• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. istilah Lembaga keuagan, namun istilah tersebut dapat kita temukan pada pasal 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. istilah Lembaga keuagan, namun istilah tersebut dapat kita temukan pada pasal 1"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konsep

1. Lembaga Keuangan

a. Pengertian Lembaga Keuangan

Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak menyebutkan istilah “Lembaga keuagan “, namun istilah tersebut dapat kita temukan pada pasal 1 huruf b Undang- Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang definisnya adalah “semua badan yang melalui kegiatannya di bidang keugan menaruh uang dari dan melalui kegiatan nya di bidang keuagan menaruh uang dari dan menyalurkannya dalam masyarakat artinya kegiatan dilakukan oleh lembaga keuangan selalu berkaitan dengan bidang keuangan”.

Menurut Rose dan Frasser memberikan definisi tentang lembaga keuangan (Financial Instituion) anatara lain suatu badan usaha yang aset utamannya berbentuk aset keuangan (Financial asset) maupun tagihan-tagihan (claims) yang dapat berupa saham (stocks), obligasi (bonds) dan pinjaman (loans) daripada aktiva riil misalnya bangunan, perlengkapan (equipment) dan bahan baku.1

Selanjutnya Yeagger dan Seitz menyebutkan bahwa lembaga keuangan sebagai badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan mempunyai peranan

1 Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Konsumen Aspek Perikatan, dan Konsumen, , Bandung, 2015,

(2)

11

sebagai pengalihan asset (asset transmutation), likuiditas (liquidity), alokasi pendapatan (income allocation), dan transaksi (transaction).2

Lembaga keuangan juga menawarkan bermacam-macam jasa keuangan mulai dari perlindungan asuransi, menjual program pensiun sampai dengan penyimpanan barang-barang berharga dan penyediaan suatu mekanisme untuk pembayaran dana dan transfer dana. Menurut Abdurkadir Muhammad dan Rilda Muniarti Lembaga keuangan secara garis besar diklasifikan menjadi tiga kelompok besar, antara lain, Bank, Bukan Bank, dan Lembaga Pembiayaan. 3

2. Bank

a. Pengertian Bank

Kata Perbankan dalam bahasa Inggris disebut Banking, dan dalam black’s law Dictionary dirumuskan bahwa banking dirumuskan bahwa banking adalah:

The business of banking, as defined by law and customs, consist in the issue of notes payable on demand intended to circulate as money, when the banks are banks issue, in receiving deposits payable on demand, in discounting commercial paper,

2 Ibid

3 Abdulkadir Muhamammad dan rilda Muniarti, Kelembagaan Bank, Gramedia, Jakarta, 2003, h. 13.

Lembaga Keuangan

Bank Lembaga

Pembiayaaan Bukan Bank

(3)

12

making loans of money and collateral security, buying and selling bills of exchange, negotiating loans, and dealing in negotiable securities issued by the government, state and national, and municipal and other corporation.4

Bank adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencangkup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berdasarkan Pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa sistem bank adalah suatu sitem yang menyangkut tentang bank, mencangkup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksakan kegiatan usahanya secara keseluruhan.5

Mengenai Bagaimana Sistem bank di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang NO 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang NO 10 Tahun 1998. Mengenai fungsi perbankan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 UndangUndang Perbankan yang menyatakan bahwa, “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”.6 Jenis-Jenis Bank Di Indonesia Dari ketentuan ini maka tercermin fungsi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds), sekaligus pemberian jasa-jasa perbankan dalam lalu lintas pembayaran dan lainnya. Sesuai penjelasan Shelagh Heffernan bahwa:

Banks are normally distinguished from other types of financial firms in that they provide deposit and loan product. The deposit product pay out money on demand, or

4 Henry Champbell Black, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Publicing Co, 1979, h. 184. 5 Hermasyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, 2005, Jakarta, h.18.

(4)

13

after some notice. Thus, banks are in the business of managing liabilities, and, in the process, banks also lend money, thereby creating bank assets. Alternatively, one can argue banks are in the business of managing assets, which are funded by deposits or other liabilities. As it demonstrated in the next section, the intermediation function normally result in banks offering a payments service to their customers.7

Dengan demikian, bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi sesuai Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.8 Dua fungsi ini sebagai bisnis utama bank (core business bank), ibarat dua sisi mata uang yang menjadi satu kesatuan.

Menurut Shelagh Heffernan ada dua jawaban mengapa bank sebagai lembaga intermediasi:

First, the presence of informations costs undermines the ability of a potential lender to find the most appropriate borrower, in the absence of intermediation. Second, borrowers and lenders have different liquidity preferences.9

Sebagai badan usaha, bank juga berorientasi bisnis mencari keuntungan selain dengan melakukan fungsi intermediasi juga melalui jasa pelayanan (services) guna mendukung fungsi intermediasi tersebut, melayani transaksi keuangan dan lalu lintas pembayaran sehingga disebut agent of services. Jadi berkaitan dengan fungsi agent of

7 Shelagh Heffernan, Modern Banking in Theory and Practice, England: John Wiley & Sons, 1996, hlm.

15.

8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang. 9 Shelagh Heffernan, Op.Cit, hlm. 18.

(5)

14

services, setiap industri maupun individu tidak lepas dari kebutuhan pelayanan bank. Oleh karena itu, bank selalu dituntut meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dalam bentuk inovasi berbagai produk dan pelayanan.

Pengertian yang lebih teknis dapat ditemukan pada Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pengertian bank menurut PSAK No.31 dalam Standar Akuntansi Keuangan adalah: Bank adalah suatu lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan antar pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Sedangkan berdasarkan SK Menteri Keuangan RI nomor 792 Tahun 1990 Bank merupakan suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana dan menyalurkan dana dari masyarakat untuk masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

b. Kegiatan Usaha

Menurut ketentuan Pasal 6 UUNo. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank umum adalah sebagai berikut:

1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;

(6)

15

3) Menerbitkan surat pengakuan hutang ;

4) Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;

5) Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ;

6) Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud ; 7) Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;

8) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ; 9) Obligasi ;

10) Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;

11) Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;

12) Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah ;

13) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ;

14) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan antar pihak ketiga ;

(7)

16

16) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak ;

17) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;

18) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat ;

19) Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;

20) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa bank umum dapat pula melakukan kegiatan usaha sebagai berikut:

1) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

2) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

(8)

17

3) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

4) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

c. Kredit

1. Pengertian Kredit

Dalam Bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau anggsuran di kemudian hari atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Artinya kredit dapat berbentuk barang maupun kredit berbentuk uang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan metode angsuran atau cicilan tertentu.10

Kata “kredit’ berasal dari bahasa latin creditus yang merupakan bentuk past particle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum, yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan.11 Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditor (yang memberi kredit, lazim di bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah

10 Kasmir, Dasar-dasar perbankan, Jakarta, Raja grafindo, 2000, hlm. 74.

(9)

18

disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan.12

Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan popular, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang. Bahkan dalam dunia pendidikan dengan system kredit semester baru, istilah kredit sudah memeliki konotasi khusus tersendiri dibanding asalnya.13

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kredit antara lain diartikan pertama, pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh ban atau atau badan lain.14 Adapun kata utang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain diartikan uang yang dipinjam dari orang lain .15 Jadi istilah lain dari kredit adalah pinjaman (uang) atau utang.

Secara Yuridis UU No.10 tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata kredit, istilah yang digunakan dalam bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua kata pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah. Pengunaan kata kedua istilah

12 D.Gandaprawira, Perkembangan Hukum Perkreditan Nasional dan Internasional, Jakarta, Badan

Pembinaan Hukum Nasional, 1992 hlm. 1.

13 Ibid

14 Tim penyusun Kamus Pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa, Jakarta, 1988, hlm. 465. 15 Ibid., hlm.1000.

(10)

19

tersebut tersebut tergantung pada kegiatan usahanya secara Konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.

Istilah kredit banyak dipakai dalam system perbankan Konvensionalyang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntugan riil yang dikehadaki (margin) nataupun bagi hasil (profit sharing).16

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU No.10 tahun 1998, yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sementara itu pengertian pembiayaan dalam ketentuan pasal 1 angka 12 UU No.1998, yaitu: Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Kemudian Pengertian Pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam ketentuan pasal 1 angka 3 peraturan Bank Indonesia Nomer 9/19/PBI/2007 yang menyatakan sebagai berikut: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam:

16 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, 2007, Yogyakata, Gadja Mada University

(11)

20

1) transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad Mudharabah dan/atau Musyarakah;

2) transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Akad Ijarah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik);

3) transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad Murabahah, Salam, dan Istishna;

4) transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad Qardh; dan

5) transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah atau Kafalah.

Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam ketentuan pasal 1 angka 25 UU No. 21 tahun 2008, yaitu: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a) transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyawarah;

b) transaksi-sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam betuk ijarah atau sewa beli dalam ijarah muntahiya bittamlik.

c) Trasnsaksi jual beli dalam bentuk piutang muraba, salam dan istishna; d) Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e) Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan anatara bank syariah dan pihak yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangak waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

(12)

21

Dari pengertian yuridis kredit dan pembiayaan sebagaimana tertuang dalam UU No. 10 tahun 2008, diketahui bahwa pemberian atau pembiayaan oleh bank didasarkan kesepakatan atau perjanjian pinjam-meminjam (uang) yang dilakukan antara bank dengan pihak lain nasabah peminjam dana. Perjanjian pinjam-meminjam (uang) itu dibuat atas dasar kepercayaan bahwa nasabah peminjam dana dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, akan melunasi atau mengembalikan pinjaman uang atau tagihan itu kepada bank disertai pembayaran sejumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntugan sebagai imbalan jasanya. Pada umumnya, dalam perjanjian pinjam-meminjam (uang) itu akan ditekankan kewajiban nasabah peminjam dana untuk memenuhi kewajiban memenuhi kewajiban melunasi atau mengembalikan dengan cara mengangsur atau mencicil utang pokoknya, ditambah dengan bunga, imbalan, atau bagi hasil keuntugannya sesuai waktu yang ditentukan bersama.

Anaslisa kredit diberikan, untuk menyakinkan bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit bank terlebih dulu mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencangkup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang di berikan, serta factor-faktor lainya. Tujuan analisis ini agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman dalam arti uang yang disalurkan pasti kembali. Karena pemberian kredit tanpa di analisis terlebih dahulu akan sangat membahyakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data fiktif, sehingga kredit tersebut sebenarnya tidak layak diberikan. Akibatnya jika salah menganalisis maka, kredit yang disalurkan akan sulit ditagih (macet). Namun faktor salah analisis ini bukanlah

(13)

22

merupakan penyebab utama kredit macet walupun sebagian besar penyebab utama kredit macem diakibatkan salah dalam mengadakan analisis, penyebab lainnya mungin disebabkan oleh musibah seperti bencana alam yang tidak dapat dihindari oleh nasabah, seperti misalnya kebanjiran, atau gempa bumi atau dapat pula keasalah pengelolaan.17

Jika terjadi macet, maka langah yang harus dilakukan oleh bank adalah berupaya menyelamatkan kredit tersebut dengan berbagai cara tergantung kondisi nasabah atau penyebab kredit tersebut macet. Apabila memang masih bias dibantu, maka tindakan bank membantu nasabah dengan menambah jumlah kredit atau dengan memperpanjang jangka waktunya. Namun jika memang sudah tidak bisa diselamatkan kembali, maka tindakan terakhir bank ialah dengan menyita jaminan yang telah dijaminkan oleh nasabah.18

Apabila ditelusuri pengertian kredit, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam makna tersebut, yaitu:

a. Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikan kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan yang diperjanjiakan pada waktu tertent;

b. Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu anatara pemberian dan pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak pihak bank dan nasabah peminjam dana;

17.Kasmir Op.Cit. hlm. 72. 18 Ibid. hlm.74.

(14)

23

c. Prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan pemberian kredit antara bank dan nasabah peminjam dan, yaitu berupa uang, atau tagihan yang diukur dengan uang dan Bunga atau imbalan, atau bahkan tanpa imbalan bagi bank syariah;

d. Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu anatara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakanlah pengikatan jaminan (agunan).

2. Prinsip-prinsip dalam pemberian kredit bank

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengadung suatu resiko, sehingga dalam pelaknaanya harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mencegah, mengurangi, atau menetralisir terjadinya resiko tersebut, maka dunia perbankan diharuskan melaksanakan prinsip prudential banking atau prinsip kehati-hatian bagi bank. Ketentuan dalam pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 menetapkan bahwa:

a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan sertakesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

(15)

24

b. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuaidengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3. Kredit Modal Kerja

Kredit modal kerja adalah kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam kegiatan operasional suatu perusahaan atau merupakan kredit yang digunakan sebagai modal usaha. Kredit modal kerja merupakan kredit produktif yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Kredit modal kerja ini diberikan berdasarkan kelayakan bisnis perusahaan pemohon kredit. Kredit modal kerja menurut Thomas Suyatno adalah kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga dapat berjalan dengan lancar. Kredit ini berupa pembelian bahan baku, bahan penolong meningkatkan produksi, Dan biaya-biaya produksi lainnya seperti upah buruh, biaya-biaya pengepakan, distribusi dan sebagainya. Tujuan kredit ini untuk baik peningkatan kuantitatif maupun kualitatif.19

3. Bukan Bank

a. Pengertian Bukan Bank

Istilah Bukan bank tidak ditemukan definisi formal namun dalam praktek perbankan diartikan sebagai kebalikan / a contrario dari istilah “produk bank” yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005, tanggal 20 Januari 2005, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/25/DPNP, tanggal 18 Juli 2005 dan

(16)

25

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/35/DPNP, tanggal 31 Desember 2009. Dengan demikian, istilah produk bukan bank dapat diartikan dan didefinisikan sebagai produk dan atau instrumen keuangan yang tidak diterbitkan oleh bank, namun diciptakan, diterbitkan dan atau dikembangkan oleh lembaga keuangan bukan bank.

Lembaga keuangan Bukan Bank berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 792/MK/IV/12/70 tanggal 7 Desember 1970, yang kemudian diubah keputusan Menteri Keuangan No. 38/MK/IV/I/72 tanggal 18 Januari 1972/ Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, secara langsung ataupun tidak langsung, menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan.20

Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No, KEP-38/MK/IV/1972, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKKB) adalah semua lembaga (badan) yang melakukan kegiatan dalam bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat-surat berharga, kemudian menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi perusahaan-perusahaan.

b. Kegiatan Usaha

Kegiatan usaha lembaga keuangan bukan bank atau sering juga digunakan istilah lembaga keuangan non bank adalah semua badan yang melakukan kegiatan di bidang

(17)

26

keuangan, yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkan dalam masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan untuk mendapatkan kemakmuran dan keadilan masyarakat.21

Lembaga keuangan non bank ini berkembang sejak tahun 1972, dengan tujuan untuk mendorong perkembangan pasar modal serta membantu permodalan perusahaan-perusahaan ekonomi lemah. Lembaga keuangan bukan bank yang dapat memberikan pelayanan memberikan jasa dalam bidang keuangan cukup banyak jenisnya. Adapun jenis-jenis lembaga keuangan bukan bank yang ada di Indonesia saat ini antara lain

1) Perusahaan Asuransi merupakan perusahaan yang bergerak dalam usaha pertanggungan.

2) Dana Pensiun, merupakan perusahaan yang kegiatannya mengelola dana pensiun suatu perusahaan pemberi kerja.

3) Koperasi Simpan Pinjam yaitu menghimpun dana dari anggotanya kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggota koperasi dan masyarakat umum

4) Pasar Modal merupakan pasar tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara pencari dana dengan para penanam modal, dengan instrumen utama saham dan obligasi.

21Jamal, Peran Lembaga Keuangan Bank Dan Lembagakeuangan Bukan Bank Dalam Memberikan Distribusi Keadilan Bagi Masyarakat, Jurnal Hukum Undip, Volume 43 no. 1, 2014, hlm. 90.

(18)

27

5) Perusahaan Anjak Piutang, merupakan yang usahanya adalah mengambil alih pembayaran kredit suatu perusahaan dengan cara mengambil kredit bermasalah.

6) Perusahaan Modal Ventura merupakan pembiayaan oleh perusahaan-perusahaan yang usahanya mengandung resiko tinggi.

7) Perusahaan Pegadaian merupakan lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas pinjaman dengan jaminan tertentu.

8) Perusahaan Sewa guna usaha lebih ditekankan kepada pembiayaan barang barang modal yang di inginkan oleh nasabahnya.

9) Perusahaan Kartu Kredit.

10) Pasar Uang yaitu pasar tempat memperoleh dana dan investasi dana. 11) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

4. Lembaga Pembiayaan

a. Pengertian Lembaga Pembiayaan

Lembaga pembiayaan terdiri dari dua kata, yaitu:

1. Lembaga adalah badan atau pranata22 yang bermaksud melakukan uransesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.

2. Pembiayaan adalah perbuatan untuk membiayai23 baik perorangan maupun bentuk perusahaan.

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dana tau pengeluaran yang diterima kembali, baik pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

22 Andi Hamzah, kamus hukum, Jakarta Ghalia Indonesia, Cet. ke-1, 1986, hlm. 349. 23 Ibid. hlm.136.

(19)

28

Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi dan lembaga keuagan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan usaha mikro, kecil dan menegah.

b. Kegiatan Usaha

Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal24 yang termasuk salah satu lembaga jasa keuangan.25

c. Anjak Piutang

a) Pengertian Anjak Piutang

Banyaknya sektor usaha yang menghadapi berbagai masalah dalam menjalankan kegiatan usaha, salah satunya kurangnya kemampuan dan terbatasnya sumber-sumber permodalan, lemahnya pemasaran akibat kurangnya sumber daya manusia yang cukup, mempengaruhi pencapaian target penjualan suatu produk yang dihasilkan, disamping kelemahan dibidang manajemen dan kredit, menyebabkan semakin meningkatnya jumlah kredit macet.

Untuk menanggulangi masalah piutang macet dan administrasi kredit yang semrawut dapat diserahkan kepada perusahaan yang sanggup untuk melakukannya yaitu perusahaan anjak piutang (factoring) yakni lembaga pembiayaan yang melakukan suatu hubungan pengikatan pembiayaan oleh

24 Pasal 1 angka 1 Perpres No. 9 Tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan 25 Pasal 1 angka 4 UU No. 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan.

(20)

29

(factor) dan suatu perusahaan (client) di mana factor akan membeli piutang dagang client (secara dengan atau tanpa recourse kepada client).

Sehubungan dengan itu factor mengawasi batas kredit yang diberikan kepada pelanggan (customer) serta mengadministrasikan buku penjualan client tersebut. Perusahaan anjak piutang (factoring) dapat mengambil alih pengelolaan piutang baik dengan cara dikelola atau dengan cara dibeli serta dapat pula melakukan pengelolaan administrasi piutang suatu perusahaan yang sedang mengalami kesulitan dalam pengelolaan piutang maka dapat menyerahkan seluruh persoalan kepada perusahaan anjak piutang dengan imbalam (fee) dan biaya-biaya lainnya yang disepakati bersama oleh perusahaan. Dengan melalui jasa anjak piutang, perusahaan-perusahaan akan memungkinkan untuk memperoleh sumber pembiayaan secara mudah dan cepat sampai dengan 80% (delapan puluh persen) dari nilai faktur penjualannya secara kredit.

Di Indonesia eksistensi lembaga anjak piutang dimulai sejak diluncurkan paket kebijaksanaan 20 Desember 1988 atau Pakdes 20: 1988 sesuai dengan Keppres No. 61 Tahun 1988 dan Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.13/1998 tanggal 20 Desember 1988 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan, kegiatan anjak piutang dapat dilakukan oleh multi finance company yaitu lembaga pembiayaan yang dapat melakukan kegiatan usaha disamping bidang anjak piutag, juga dibidang sewa usaha, modal ventura, kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Pengertian anjak piutang menurut Keputusan Menteri

(21)

30

Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 Tentang Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek perusahaan dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan. Di dalam peraturan tersebut kemudian lebih lanjut mengatur berbagai kegiatan yang dapat dilakukan oleh lembaga pembiayaan tersebut beserta tata cara pemberian dan perincian untuk pendirian serta pengawasannya.

b) Pengaturan anjak Piutang

Pranta Hukum anjak piutang di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkanya Keppres No.61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan dan keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.031/1988 tentang ketentuan dan Tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan. Kedua keputusan tersebut merupakan titik awal sejarah perkembangan pengaturan anjak piutang sebagai lembaga pembiayaan di Indonesia.

Keberadaan dan aktivitas dari anjak piutang ini dilakukan tidak hanya berdasarkan kehendak para pihak saja, yaitu antara supplier sebagai penjual yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, tetapi juga diatur oleh beberapa peraturan perundangan yang bersifat publik adminstratif. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti Berpendapat bahwa anjak piutang sebagai salah satu bentuk bisnis

(22)

31

pembiayaan bersumber dari berbagia ketentuan hukum baik perjanjian maupun perundang-undangan.

c) Jenis-jenis Anjak Piutang

1) With recourse factoring

kegiatan anjak piutang dimana penjual piutang menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruhnya pitang yang terjual kepada perusahaan pembiayaan. Cara kerja jenis anjak piutang ini yaitu apabila factor tidak mendapatkan atau tidak semuanya mendapatkan tagihannya dari pihak nasabah bank maka klien tetap bertanggungjawab untuk melunasinya.

Menurut Munir Fuady berpendapat apabila pihak perusahaan factor ternyata tidak mendapatkan atau tidak penuh mendapatkan tagihannya dari pihak customer, maka pihak klien masih tetap bertanggung jawab untuk melunasinya. Bahkan ada jenis recourse memberikan opsi untuk pihak perusahaan factor untuk menjual piutangnya kembali kepada klien.

Menurut sistem KUHPerdata, maka jika ditentukan lain oleh para pihak, maka setiap factoring dianggap merupakan recourse factoring by the operation of law. Sebab, dalam setiap perjanjian jual beli, termasuk jual beli piutang, apabila jual beli selesai dilakukan, jual beli tersebut tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak, kecuali berlakunya syarat batal, dan ditentukan para pihak.

(23)

32

kegiatan anjak piutang dimana perusahaan pembiayaan menanggung seluruh resiko tidak tertagihnya piutang. Cara kerja jenis anjak piutang ini yaitu yang meletakkan beban tagihan beserta seluruh resikonya sepenuhnya kepada factoring, jika terjadi kegagalan dalam hal penagihan piutang dalam jenis ini adalah merupakan tanggungjawab pihak factoring sendiri, sementara pihak klien tidak lagi bertanggungjawab dan tidak dapat dikembalikan penagihan kepada pihak klien. Kecuali ada unsur kesalahan pada pihak klien.

5. Jaminan

a. Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggugan yang artinya adalah atas segala perikatan dari seorang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggugan atas perikatan tertentu dari seorang yang diatur dalam pasal 1139 sampai dengan pasal 1149 tentang piutang – piutang yang diistimewakan, pasal 1150 sampai 1160 tentang gadai, pasal 1162 sampai dengan pasal 1178 tentang hipotek, pasal 1820 sampai dengan 1850 tentang perjanjian penaggugan utang .26

Racmadi Usman berpendapat bahwa jaminan merupakan terjemahan dari kata dalam Bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Dua kata tersebut jika diartikan kurang lebih kemampuan debitor untuk memenuhi atau melunasi utangnya kepada kreditor yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis

26 R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung,

(24)

33

sebagai tanggugan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap kreditornya.27

Dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa:

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkananalisis yang mendalam atau itikad dankemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya ataumengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Sementara itu dalam penjelasan atas pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain dinyatakan:

Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 febuari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan Jaminan adalah Suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang perjanjian

b. Fidusia

a) Pengertian Fidusia

Menurut Pasal angka 1 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud dari fidusia adalah:

(25)

34

Pengalihan hak milik suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemiliknya benda

Disamping itu pengertian fidusia adalah pendelegasian wewenang pengolahan uang kepada pihak yang didelegasikan.28 Menurut asal katanya, fidusia berasal dari kata fide yang berarti kepercayaan, yakni hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan.29

Pemberi fidusia percaya bahwa fidusia percaya bahwa kreditur penerima fidusia mau mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi utangnya. Kreditur juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalah gunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaanya dan mau memelihara barang tersebut selaku bapak rumah yang baik.

b) Para Pihak dalam Fidusia

Adapun para pihak dalam fidusia adalah pemberi fidusia menurut pasal 5 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah orang perseorangan atau perusahaan yang memiliki hak kepemilikan atas benda yang menjadi benda objek jaminan Fidusia. Sedangkan penerima fidusia adalah orang

28 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, hlm. 129.

29 Oey Hoey Tiong, Fidusia sebagai jaminan unsur-unsur perikatan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm.

(26)

35

perseorangan atau koporasi yang memiliki piutang, yang pembayaranya dijamin dengan menggunakan Jaminan Fidusia.30

c) Unsur-unsur dalam Fidusia

1) Unsur Pengalihan Hak Milik

Bahwa penyerahan hak milik secara kepercayaan sebagai suatu penjaminan, diakui sebagai suatu peristiwa perdata yang sah untuk memindahkan hak milik.

2) Unsur Kepercayaan

a. Debitur pemberi jaminan percaya, bahwa benda fidusia yang diserahkan olehnya, tidak akan benar-benar dimiliki oleh kreditur penerima jaminan, tetapi hanya sebagai jaminan saja.

b. Debitur pemberi jaminan percaya, bahwa kreditur terhadap benda jaminan, hanya akan menggunakan kewenangan yang diperolehnya, sekedar untuk melindunggi kepentingganya sebagai krediur saja. c. Debitur pemberi jaminan percaya, bahwa hak milik atas benda

jaminan akan kembali kepada debitur pemberi jaminan, kalua hutang debitur dilunasi.

3) Unsur Kepercayaan dari sudut pandang penerima fidusia

Kepercayaan terjadi apabila penerima fidusia membiarkan benda jaminan tetap dipinjam-pakai oleh penerima fidusia, maka mestinya ada unsur kepercayaan juga pada penerima pada penerima fidusia terhadap itikad dari

(27)

36

pemberi fidusia, yaitu bahwa benda yang dipinjam-pakai tidak akan dialih tangankan kepada orang lain.

4) Unsur tetap dalam pemilik benda penguasaan pemilik benda

Apabila dilihat dari luar, tidak tampak ada perubahan apa-apa atas benda jaminan milik debitur. Baik pada waktu penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, maupun pada penyerahan pinjam pakai dari kreditur ke debitur. Penyerahan seperti itu disebut penyerahan secara constitum possessorium.31

5) Hak Preferen

Hak Preferen adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Penerima fidusia mengambil uang hasil penjualan benda jaminan terlebih dulu daripada kreditur lain.

6) Sifat Accesoir

Bersifat Accesoir maksudnya jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang telah ada anatara kreditur dan debitur, yakni utang piutang.

c. Pendaftaran Fidusia

31 Di mana disepakati bahwa pemilik benda menyerahkan hak miliknya atas benda itu kepada yang

mengoper (yang menerima penyerahan). Tetapi dengan janji bahwa ia (yang menyerahkan) boleh tetap

menggunakannya dan selanjutnya ia memegang benda itu untuk pemilik-baru itu (yang menerima penyerahan). Jadi statusnya, orang yang semula adalah pemilik, sekarang ia menjadi peminjam pakai. Dalam peristiwa demikian tidak terjadi penyerahan nyata, tetapi hanya didasarkan sepakat belaka

(28)

37

Menurut Pasal 11 ayat 1 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam undang-undang fidusia, maka haruslah terpenuhi syarat, bahwa jaminan fidusia itu didaftarkan. Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan, tidak bisa menikmati keutungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Fidusia.32

Keuntugan-keuntugan jaminan fidusia yang sudah didaftarkan antara lain:

a. Pasal 1 ayat 2 UU No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatakan, bahwa kreditur/ penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur preferen. Kedudukan kreditur preferen juga ditegaskan dalam pasal 27 ayat 1 dan diperjelas lagi maksudnya dalam ayat 2 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.33

b. Jaminan Fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan, hal tersebut terdapat dalam pasal 37 ayat 3 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pemegang hak agunan atas kebendaan dianggap sebagai keutunggan karena pemegang hak agunan atas barang agunan atas barang (kreditur) berwenang untuk mengeksekusi objek jaminan yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitur yang yang dipailitkan.

c. Pasal 17 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berisi larangan pemberi fidusia untuk tidak memfidusiakan ulang sangat menguntukan kreditur.

32 Ibid., hlm. 242. 33 Ibid., hlm. 143.

(29)

38

d. Pasal 23 ayat 2 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berisi pemberi fidusia tidak diperbolehkan untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan, semua hal tersebut juga mengguntungkan kreditur. e. Pasal 4 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menegaskan

jaminan sifat acccsoir dari perjanjian fidusia, secara tidak langsung juga memberikan perlindungan hak-hak bagi pemberi fidusia atas benda jaminan, karena dengan itu berarti, bahwa dengan melalui pelunasan hutangdalam perjanjian pokok maka perjanjian jaminan fidusia otomatis menjadi hapus.34

f. Ketentuan Pasal 29 UU No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menguntungkan pemberi fidusia karena memperbesar peluang untuk mendapatkan harga yang baik bagi benda jaminan fidusia.

Permohonan pendaftaran diajukan kepada menteri hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia melalui kantor pendaftaran fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara tertulis dalam bahasa indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, dengan melampirkan pernayataan pendaftaran jaminan fidusia dan mengisi formulir yang berbentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

d. Eksekusi Fidusia

Menurut Pasala 15 UU No. 42 TAhun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sertifikat Jaminan Fidusia mencantumkan kata-kata Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang

(30)

39

maha esa, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun kekuatan eksekutorial pengertianya adalah kekuatan untuk dilaksanakanya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara.35

Menurut Pasal 29 UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, apabila pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jamian fidusia yang dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan title eksekutorial oleh penerima Fidusia.

b. Penjualan benda Jaminan yang menjadi objek Jaminan fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

c. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Jadi maksudnya adalah penjualan benda yang menjadi benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum, karena untuk meperoleh harga yang paling tinggi.36 Namun apabila melalui pelelangan diperkirakan tidak akan memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak, maka

35 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2002, hlm. 211. 36 Gunawan Wijaya, Jaminan Fidusia, Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 152.

(31)

40

dimungkinkan penjualan dibawah tangan, asalkan disepakati kedua belah pihak dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan dipenuhi.37

Menurut Pasal 30 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, mewajibkan pemberi Fidusia untuk menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Apabila pemberi tidak menyerahkan objek jaminan fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima Fidusia berhak mengambil objek jamian fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.38

Menurut Pasal 34 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam hasil eksekusi melebihi nilai pinjaman, penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada penerima Fidusia, dan apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, konsumen tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

6. Rumah Sakit

a. Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat (Permenkes No. 147 Tahun 2010). Rumah sakit menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (PERSI) Bab I Pasal 1 adalah suatu lembaga dalam mata rantai Sistem Kesehatan Nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat.

37 Ibid. 38 Ibid

(32)

41

Rumah sakit adalah suatu sarana yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan, dan rehabiitasi berikut segala penunjangnya. Menurut American Hospital Association, rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan tersebut merupakan diagnostic dan terapeutik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan baik yang bersifat bedah maupun non bedah.

b. Pengaturan Rumah Sakit

Dalam konsep Negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada hakikatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara adalah berdasarkan atas hukum. Negara hukum merupakan substansi dasar dari kontrak sosial setiap Negara hukum. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pengaturan badan hukum Rumah Sakit berdasarkan teori stufenbau.

Rumah Sakit diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Pengertian tersebut sejalan dengan Pasal 28 Huruf H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan setiap warga Negara mempunyai hak atas pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

(33)

42

bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Kesehatan rakyat adalah salah satu modal pokok dalam rangka pertumbuhan dan kehidupan bangsa, dan mempunyai peran penting dalam penyelesaian revolusi nasional dan penyusunan masyarakat sosialis Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menjelaskan bahwa tiap-tiap warganegara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikut-sertakan dalam usaha-usaha kesehatan Pemerintah.

Dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan kesehatan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.” Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan masyarakat secara optimal.

Untuk meningkatkan mutu kesehatan dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

(34)

43

Sakit. Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 dijelaskan bahwa “Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta”. Rumah Sakit yang berbentuk swasta dalam hal ini adalah badan hukum yang berbentuk Yayasan atau Perseroan dimana kegiatan usahanya bergerak di bidang perumahsakitan.

Dalam memberikan pelayanan tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan keseahtan. Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatang yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya memalui sertfikasi, perizinan, pembinaan, pengawasan dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rada keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menjelaskan mengenai kualifikasi dan pengelompokan tenga kesehatan.

Selain tenaga kesehatan, penyelenggaraan praktik kedokteran menjadi penting, karena merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjelaskan

(35)

44

bahwa “Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk: memberikan perlindungan kepada pasien; mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.”

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan bahwa “Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan atau masyarakat” Masyarakat yang dimaksudkan adalah pihak swasta dalam penyelenggaraan Rumah Sakit baik berbentuk Yayasan maupun Perseroan Terbatas.

Rumah Sakit yang berbadan hukum harus memiliki tenaga kerja yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan menjelaskan bahwa “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.”

Tenaga kesehatan yang berada di Rumah Sakit diatur dalam suatu orgnisasi. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 77 tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit menjelaskan bahwa “Pengaturan pedoman organisasi Rumah Sakit bertujuan untuk mewujudkan organisasi Rumah Sakit yang efektif, efisien, dan akuntabel

(36)

45

dalam rangka mencapai visi dan misi Rumah Sakit sesuai tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dan tata kelola klinis yang baik (Good Clinical Governance).” Peraturan pedoman organisasi Rumash Sakit tersebut berlaku bagi seluruh Rumah Sakit di Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan organisasi Rumah Sakit yang baik maka perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Rumah Sakit. Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/MEN.KES/PER/II/1998 tentang Rumah Sakit mengatur mengenai Penyelenggaraan Rumah Sakit mencakup pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan pelayanan administrasi, pendidikan, pemeliharaan gedung, peralatan dan perlengkapan. Rumah Sakit berbentuk swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan, yang sudah disahkan sebagai badan hukum; dan badan hukum lain (Perseroan Terbatas).

Penyelenggaraan Rumah Sakit di lingkup Departemen Kesehatan diharapkan agar sesuai dengan arah pembinaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlu didukung dengan organisasi yang efektif. Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan menjelaskan bahwa Rumah Sakit merupakan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Kesehata yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik.

Untuk mendirikan Rumah Sakit diperlukan izin sesuai dengan Pasal 1 butir 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan

(37)

46

Rumah Sakit bahwa “Izin mendirikan Rumah Sakit adalah izin yang diberikan untuk mendirikan Rumah Sakit setelah memenuhi persyaratan untuk mendirikan”. Sedangkan Izin operasional Rumah Sakit adalah izin yang diberikan untuk menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan setelah memenuhi persyaratan dan standar.

Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit bahwa “Rumah Sakit dapat didirikan dan diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swsta.” Untuk Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba (Yayasan).

Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan Dan Prasarana Rumah Sakit menjelaskan bahwa “Persyaratan teknis Bangunan dan Prasaranan Rumah Sakit harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit”.

Selain penyelenggaraan dan persyaratan teknis Rumah Sakit, Akreditasi Rumah Sakit menjadi penting dalam penyelenggaraan Rumah Sakit. Hal ini dilakukan untuk melindungi masyarakat terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit menjelaskan bahwa Setiap Rumah Sakit wajib terakreditasi. Akreditasi ini bertujua untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit dan melindungi keselamatan pasien Rumah Sakit.

(38)

47

7. Jaminan Kesehatan Nasional

a. Pengertian

Di dalam Naskah Akademik UU SJSN tahun 2004 disebutkan bahwa Program Jaminan Kesehatan Nasional, disingkat Program JKN, adalah suatu program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) tidak menetapkan definisi atau pengertian JKN dalam salah satu ayat atau pasalnya. Dengan merangkai beberapa pasal dan ayat yang mengatur tentang program jaminan sosial, manfaat, tujuan dan tatalaksananya, dapat dirumuskan pengertian Program Jaminan Kesehatan Nasional sebagai berikut:

“Program jaminan sosial yang menjamin biaya pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan yang diselenggarakan nasional secara bergotong-royong wajib oleh seluruh penduduk Indonesia dengan membayar iuran berkala atau iurannya dibayari oleh Pemerintah kepada badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan nirlaba - BPJS Kesehatan.”

Dua Peraturan Pelaksanaan UU SJSN, yaitu Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan menetapkan bahwa yang dimaksud dengan:

“Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

(39)

48

kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.”

Manfaat yang dijamin oleh Program JKN berupa pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit(preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) termasuk obat dan bahan medis. Pemberian manfaat tersebut dengan menggunakan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care).

b. Pengaturan JKN

1) Undang-undang Dasar 1945

Pasal 28H dan Pasal 34 Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjamin hak konstitusional warga negara atas pelayanan kesehatan dan mewajibkan Pemerintah untuk membangun sistem dan tata kelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan penyelenggaraan program jaminan social:

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;39Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;40

39 Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 40 Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945

(40)

49

Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.41

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara;42Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;43Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

2) Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional

UU SJSN menetapkan program JKN sebagai salah satu program jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial nasional. Di dalam UU ini diatur asas, tujuan, prinsip, organisasi, dan tata cara penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. UU SJSN menetapkan asuransi sosial dan ekuitas sebagai prinsip penyelenggaraan JKN.

Kedua prinsip dilaksanakan dengan menetapkan kepesertaan wajib dan penahapan implementasinya, iuran sesuai dengan besaran pendapatan, manfaat JKN sesuai dengan kebutuhan medis, serta tata kelola dana amanah Peserta oleh badan penyelenggara nirlaba dengan mengedepankan kehati-hatian, akuntabilitas efisiensi dan efektifitas. UU SJSN membentuk dua organ yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan program jaminan

41 Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945 42 Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 43 Pasal 34 ayat 2 UUD 1945

(41)

50

sosial nasional, yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU ini mengatur secara umum fungsi, tugas, dan kewenangan kedua organ tersebut.

UU SJSN mengintegrasikan program bantuan sosial dengan program jaminan sosial. Integrasi kedua program perlindungan sosial tersebut diwujudkan dengan mewajibkan Pemerintah untuk menyubsidi iuran JKN dan keempat program jaminan sosial lainnya bagi orang miskin dan orang tidak mampu. Kewajiban ini dilaksanakan secara bertahap dan dimulai dari program JKN. UU SJSN menetapkan dasar hukum bagi transformasi PT Askes (Persero) dan ketiga Persero lainnya menjadi BPJS.

3) UU No. 24 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

UU BPJS adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN. UU BPJS melaksanakan Pasal 5 UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 007/PUU-III/2005. UU BPJS menetapkan pembentukan BPJS Kesehatan untuk penyelenggaraan program JKN dan BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. UU BPJS mengatur proses transformasi badan penyelenggara jaminan sosial dari badan usaha milik negara (BUMN) ke badan hukum publik otonom nirlaba (BPJS). Perubahan-perubahan kelembagaan tersebut mencakup Perubahan-perubahan dasar hukum, bentuk badan hukum, organ, tata kerja, lingkungan, tanggung jawab, hubungan kelembagaan, serta mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban. UU

(42)

51

BPJS menetapkan bahwa BPJS berhubungan langsung dan bertanggung jawab kepada Presiden.

4) Peraturan Pemerintah No. 101 tentang penerima bantuan iuran

jaminan kesehatan (PP PBIJK)

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PP PBIJK) adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN. PP PBIJK melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (6) UU SJSN. PP PBIJK mengatur tata cara pengelolaan subsidi iuran jaminan kesehatan bagi Penerima Bantuan Iuran. PP PBIJK memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur penetapan kriteria dan tata cara pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu, penetapan PBIJK, pendaftaran PBIJK, pendanaannya, pengelolaan data PBI, serta peran serta masyarakat.

5) Peraturan pemerintah No. 86 tahun 2013

PP No. 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran DalamPenyelenggaraan Jaminan Sosial adalah peraturan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2011 (UU BPJS). PP 86/2013 melaksanakan ketentuan UU BPJS Pasal 17 ayat (5). Peraturan ini mengatur ruang lingkup sanksi administratif, tata cara pengenaannya kepada pemberi kerja dan perorangan, serta tata cara

(43)

52

pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan peserta dalam penyelenggaraan program jaminan sosial

6) Peraturan Presiden no. 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan

(PERPRES JK)

PerPres JK adalah peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS. PerPres JK melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 26, Pasal 27 ayat (5), dan Pasal 28 ayat (2) UU SJSN. PerPres JK juga melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (5) huruf a UU BPJS. PerPres JK mengatur peserta dan kepesertaan JKN, pendaftaran, iuran dan tata kelola iuran, manfaat JKN, koordinasi manfaat, penyelenggaraan pelayanan, fasilitas kesehatan, kendali mutu dan kendali biaya, penanganan keluhan, dan penanganan sengketa.

7) Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan

Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 (PERPRES PERUBAHAN

PERPRES JK)

Menjelang penyelenggaraan JKN pada 1 Januari 2014, ditemukan beberapa ketentuan dalam PerPres JK yang perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan JKN. Materi muatan Perpres Perubahan PerPres Jaminan Kesehatan adalah untuk:

1) mengubah ketentuan tentang peserta JKN dan penerima manfaat JKN; 2) mengatur lebih rinci penahapan kepesertaan wajib JKN;

(44)

53

3) menambahkan ketentuan tentang iuran JKN. Besaran iuran diatur rinci untuk masing-masing kelompok peserta dan diatur pula tata cara pengelolaan iuran JKN;

4) mengubah batasan hak ruang perawatan inap di rumah sakit.

5) menambahkan dua manfaat yang tidak dijamin oleh JKN, yaitu pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas dan biaya pelayanan kesehatan pada kejadian tak diharapkan yang dapat dicegah;

6) menambahkan ketentuan tentang koordinasi manfaat antara JKN dan program jaminan kecelakaan kerja dan program jaminan kecelakaan lalu lintas wajib;

7) mengubah ketentuan pelayanan obat, alat medis habis pakai dan alat kesehatan;

8) mengubah ketentuan tentang pemberian kompensasi; 9) mengubah prosedur pembayaran fasilitas kesehatan; 10) mengubah ketentuan kendali mutu dan kendali biaya.

8) Peraturan Menteri kesehatan No. 59 tahun 2014

Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan (Permenkes Standar Tarif Pelayanan Kesehatan) adalah peraturan pelaksanaan PerPres No. 12 Tahun 2013. Permenkes Standar Tarif Pelayanan

(45)

54

Kesehatan melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013. Standar tarif yang diatur dalam peraturan ini mencakup tarif bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Standar tarif memuat tarif INA-CBGs, tarif kapitasi, dan tarif non-kapitasi.

9) PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO. 71 TAHUN 2013

Peraturan Menteri Kesehatan No. 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional (Permenkes Pelayanan Kesehatan JKN) adalah peraturan pelaksanaan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013. Permenkes Pelayanan Kesehatan JKN melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (7), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 26 ayat (2), Pasal 29 ayat (6), Pasal 31, Pasal 34 ayat (4), Pasal 36 ayat (5), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 44 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013. Permenkes ini mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh program JKN, tata cara kerjasama fasilitas kesehatan dengan BPJS Kesehatan, sistem pembayaran fasilitas kesehatan, sistem kendali mutu dan kendali biaya, pelaporan dan kajian pemanfaatan pelayanan (utilization review), serta peraturan peralihan bagi pemberlakuan ketentuan-ketentuan wajib di fasilitas kesehatan.

10) Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 tahun 2014

Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan adalah peraturan pelaksanaan PerPres No. 12 Tahun 2013

(46)

55

dan PerPres No. 111 Tahun 2013. 2013 Pasal 15, Pasal 17 ayat (7), Pasal 26 ayat (3), Pasal 31, Pasal 40 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (3) dan PerPres No. 111 Tahun 2013 Pasal 17 A ayat (6). Peraturan BPJS Kesehatan tersebut mengatur tata cara pendaftaran dan pemutahiran data Peserta JKN, identitas Peserta JKN, tata cara pembayaran iuran, tata cara pengenaan sanksi administratif, tata cara penggunaan hasil penilaian teknologi kesehatan, prosedur pelayanan kesehatan, prosedur pelayanan gawat darurat, tata cara penerapan sistem kendali mutu pelayanan JKN.

11) Peraturan Menteri Keuangan No. 205 tahun 2013

Peraturan Menteri Keuangan No. 205 Tahun 2013 (Permenkeu 205/2013) mengatur tata cara penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana iuran jaminan kesehatan penerima penghasilan dari pemerintah.

12) PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 206 TAHUN 2013

Peraturan Menteri Keuangan No. 205 Tahun 2013 (Permenkeu 206/2013) mengatur tata cara penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dan iuran jaminan kesehatan penerima bantuan iuran.

8. Badan Penyelengara Jaminan Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS menurut UU SJSN adalah transformasi dari badan penyelenggara jaminan sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan untuk membentuk badan penyelenggara baru

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Produksi jamur pada media kultivasi yang diletakkan vertikal cenderung lebih tinggi (90,25 gram) dibandingkan dengan hasil dari media yang diletakkan pada posisi horizontal yaitu

(2) Pengangkatan Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Republik Indonesia untuk menduduki

Seorang pemimpin yang memiliki watak luhur akan berdampak pada rasa hormat bawahan terhdap pemimpin sehingga akan tercipta kewibawaan yang bukan berasal dari rasa

Perbendaan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau Dari Tingkat Self Efikasi Pada Anak Usia Sekolah Dasar Di Daaerah Dampak Bencana Gunung Kelud.. Jurnal

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Berdasarkan hasil pengukuran parameter BOD, COD, TSS dan pH yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-58/MENLH/12/1995 tentang Baku

Peran pemimpin dalam penilaian kinerja jika diterapkan dalam tatanan nyata akan memberikan dampak pada peningkatan motivasi karyawan dan meningkatkan pertumbuhan, karena

Melakukan pre test untuk menentukan subjek penelitian dan diperoleh 13 siswa dari 31 siswa kelas VIII A SMP N 3 Muntilan yang tingkat perilaku konsumtifnya berada dalam