• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PERILAKU MENOLONG PADA REMAJA MELALUI PERAN AFEK POSITIF SEBAGAI MEDIATOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PERILAKU MENOLONG PADA REMAJA MELALUI PERAN AFEK POSITIF SEBAGAI MEDIATOR"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PERILAKU MENOLONG

PADA REMAJA MELALUI PERAN AFEK POSITIF SEBAGAI

MEDIATOR

Akbar Syakir dan Amarina Ashar Ariyanto

1. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia

Email : syakirsiregar@gmail.com dan akbar.syakir@ui.ac.id

Abstrak

Eksklusi sosial berpengaruh negatif terhadap perilaku menolong (Twenge, 2007). Apakah eksklusi sosial kemudian memiliki pengaruh yang sama pada perilaku menolong remaja? Dalam tahap perkembangan dan peran sosial remaja, perilaku menolong adalah hal yang penting untuk dimunculkan. Studi ini berfokus pada pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku menolong remaja. Uji mediasi afek positif dilakukan untuk memperjelas hubungan kausalitas eksklusi sosial terhadap perilaku menolong. Manipulasi diberikan dalam bentuk false feedback tes kepribadian partisipan yang mengisi Eysenk Personality Quotionaire (Eysenk, 1975). Skor afek positif diukur dengan Positive and Negative Affect Scale (Watson, Clark, & Tellegen, 1988). Penelitian dilakukan pada 64 partisipan remaja pria dan wanita. Divariasikan menjadi kelompok yang mendapat eksklusi sosial (future alone, n=32) dan kelompok pembanding (future belonging, n=32). Hasil signifikan menemukan kelompok yang mendapat manipulasi eksklusi (M=0,66, SD=1,72) lebih sedikit yang ikut menolong dibandingkan kelompok pembanding (M=0,87, SD=0,33), Χ2(1,64)=4,267, p<0,05 namun eksklusi sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skor afek positif partisipan, t(62)= -1,851, p>0,05. Penelitian juga menunjukkan pengaruh eksklusi sosial terhadap menurunnya perilaku menolong remaja tidak dimediasi oleh afek positif, z=1,44<1,96, p>0,05.

(2)

The Effect of Social Exclusion on Teenager’s Helping Behavior by Positive Affect role as Mediator

Abstract

Social exclusion have negatively effect on helping behavior (Twenge, 2007). Whether it would also have the same effect on teens helping behaviour? At the developmental and social role of teenagers, helping behavior is an important point to be appear. This study focuses on social exclusion influence on the helping behavior on teenagers. Testing positive affect as mediator conducted to clarify causality effect of social exclusion on helping behavior. Manipulation is given as false feedback of participant’s personality test, who have complete Eysenk Quotionaire Personality (Eysenk, 1975). Positive affect measured with the Positive and Negative Affect Scale (Watson, Clark, & Tellegen, 1988) on 64 participant male and female. Manipulation be variated as one group receiving social exclusion (future alone, n=32) and the other as comparison group (future belonging, n=32). The results significant finding group has received exclusion manipulation (M=0.66, SD=1.72) participated less helping than the comparison group (M=0.87, SD=0.33), Χ2(1,64)=4.267, p<0.05, but exclusion did not have a significant effect on participants positive affect scores, t(62)= -1.851, p>0.05. The results also showed the effect of social exclusion on the decrease teenager’s helping behavior is not mediated by positive affect, z=1.44<1.96, p> 0.05.

Keywords : Helping Behaviour, Social Exclusion, Positive Affect, Teenagers.

Pendahuluan

Apakah yang terjadi pada perilaku menolong (prososial) seseorang ketika mengalami eksklusi sosial? Penelitian Twenge, Ciarocco, Baumeister, DeWall, dan Bartels (2007) menemukan bahwa eksklusi sosial secara signifikan mempengaruhi penurunan perilaku menolong yang ditunjukkan oleh partisipan. Democratic Dialogue (1995, dalam Peace, 2001) mendefinisikan eksklusi sosial sebagai perlakuan, baik itu oleh individu, keluarga, komunitas maupun lingkungan sosial yang menciptakan jarak dengan mengeluarkan subjek (individu atau kelompok) dari masyarakat (society). Bentuk mengeluarkan subjek tidak terbatas dalam hal hak memperoleh materi, tapi lebih luas sebagai penolakan atas kesempatan individu untuk

(3)

berpartisipasi secara penuh di kehidupan sosial tanpa ada alasan khusus, juga kaitannya dengan diskriminasi pada status dan posisi individu (Peace, 2001).

Apakah eksklusi sosial kemudian menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya perilaku menolong pada remaja? Mengapa perilaku menolong penting bagi tahap perkembangan remaja, sehingga perlu dibahas lebih lanjut? Dalam perkembangan sosial, remaja memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk diterima dan mendapat pengakuan serta status di grup sosial (Rice, 1999). Salah satu upaya remaja untuk diterima secara sosial adalah menampilkan perilaku menolong. Saat perilaku yang ditunjukkan sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah penolakan oleh kelompok (Hurlock, 1999). Demikian halnya dengan kondisi saat remaja telah mendapat penerimaan di lingkungan sosial, mereka otomatis memiliki rasa dibutuhkan (belongingness) sehingga meningkatkan keinginan untuk menampilkan perilaku menolong (Den Hartog, De Hoogh & Keegan, 2007). Saat seseorang memasuki usia remaja, muncul awareness (kesadaran) dimana remaja belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka berperilaku saling membantu. Kesadaran tersebut membuat remaja mulai membangun kepekaan untuk bertingkahlaku prososial dan pada akhirnya memunculkan rasa kemanusiaan (http://psychemate.com/2007/12/altruisme-helping-without).

Dari hal tersebut tergambar pentingnya perilaku menolong dalam hubungan sosial remaja. Ketika remaja dalam kondisi dieksklusi, dari penelitian Twenge, dkk menunjukkan, situasi tersebut dapat menyebabkan perilaku menolong remaja berkurang. Tetapi apakah dalam pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku menolong, ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara kedua variabel? Karena perilaku menolong merupakan atribut psikologis yang dipengaruhi oleh banyak faktor, maka uji mediasi kemudian dilakukan untuk memperjelas bentuk pengaruh dari eksklusi sosial terhadap perilaku menolong. Mediasi adalah variabel yang membawa dampak dari pengaruh intervensi atau manipulasi (variabel bebas) terhadap perubahan perilaku atau variabel terikat (Preacher & Hayes, 2004).

Perilaku menolong (prosocial behaviour) adalah tingkah laku yang memberikan keuntungan bagi orang lain, tetapi tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi orang yang melakukannya (Baron, Byrne & Branscombe, 2008). Secara garis besar ada dua faktor utama yang menyebabkan munculnya perilaku menolong, antara lain faktor situasional dan faktor internal. Salah satu faktor internal adalah empati. Individu ketika melihat penderitaan dan

(4)

kesusahan orang lain, maka kecenderungannya merasakan empati akan lebih besar. Seseorang yang diesklusi akan mematikan sistem emosional mereka (emotional system shutdown) sebagai mekanisme coping sehingga terjadi penurunan empati (Twenge, Ciarocco, Baumeister, DeWall, & Bartels, 2007). Pada studi-7 penelitian Twenge, dkk, skor empati pada kelompok yang mendapat manipuasi eksklusi secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang mendapat manipulasi pembanding (belonging). Empati terbukti sebagai mediasi dalam hubungan antara eksklusi sosial dan perilaku menolong.

Faktor internal lain yang mempengaruhi seseorang untuk menolong adalah emosi. Emosi dengan intensitas kuat biasa disebut sebagai afek. Istilah emosi dan afek sering digunakan secara bergantian. Jika emosi digunakan untuk menggambarkan respon terhadap sebuah stimulus, maka afek digunakan untuk menggambarkan apa yang terlihat dari perubahan emosi atau perasaan yang tengah dirasakan oleh individu karena pengaruh stimulus tersebut (Kring & Werner, 2004). Ketika seseorang merasakan afek emosi positif (senang, terinspirasi, semangat) cenderung untuk tanggap menolong orang lain. Menolong saat merasakan emosi positif dilakukan untuk mempertahankan (retain) afek menyenangkan yang sedang dirasakan (Manucia, Baumann & Cialdini, 1984). Penelitian terbaru tentang hubungan emosi dan prososial dilakukan oleh Drouvelis dan Grosskopf (2013) yang menguji pengaruh afek emosi positif (happiness) dan negatif (anger) terhadap prososial behavior. Hasil penelitian menunjukkan sumbangan yang diberikan oleh kelompok yang diperlihatkan video anger lebih rendah dibandingkan partisipan yang diperlihatkan video happiness.

Pada studi-1 penelitian Twenge, dkk (2007) mood secara keseluruhan (negatif dan positif) diuji untuk mengetahui apakah variabel tersebut menjadi mediasi dalam hubungan exclusion-helping prosocial. Hasil menemukan mood tidak memediasi hubungan antara kedua variabel. Menurut peneliti yang menjadi kekurangan pada studi 1 ini adalah pengukuran mood dengan alat ukur afek (PANAS Scale) kurang menjelaskan apakah afek negatif atau positif yang dominan dirasakan saat seseorang dieksklusi secara sosial. Karena mood adalah perasaan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan afek merupakan ekpresi eksternal dari emosi yang dirasakan saat itu juga. Selain itu dari beberapa hasil penelitian lain dalam lingkup eksklusi sosial menemukan bahwa pada individu yang diekslusi, terjadi peningkatkan afek positif yang tidak disadari. Dimana dalam proses regulasi emosi individu, afek emosi positif menjadi lebih mudah

(5)

diakses secara automatic regulation (De Wall, Twenge, Koole, Baumeister, Marquez, & Reid, 2011). Penelitian Manner, De Wall, Baumeister, & Schaller (2007) juga menemukan partisipan yang dieksklusi menampilkan afek positif, seperti kepercayaan diri untuk menjalin hubungan dengan orang baru dan menyampaikan kesan yang lebih positif terhadap ide-ide sosial.

Dari penelitian De Wall, dkk (2011) dan Manner, dkk (2007) tersebut membuat peneliti mempunyai asumsi apakah variabel afek emosi positif merupakan mediasi dalam hubungan pengaruh sosial exclusion terhadap perilaku menolong saat dilakukan penelitian pada tahap perkembangan remaja? Rasionalnya adalah saat seseorang mendapat eksklusi sosial, secara tidak sadar (automatic regulation) afek emosi positif mereka akan lebih mudah diakses (De Wall, dkk, 2011). Partisipan yang dieksklusi juga secara tidak disadari, tidak menerima kondisi bahwa mereka telah mendapat penolakan secara sosial sehingga kemudian timbul afek positif seperti percayaan diri yang meningkat untuk menjalin hubungan dengan orang yang baru (Manner, dkk, 2007) atau ada juga kemungkinan dari sisi lain, afek positif tidak akan dirasakan karena emosi tidak dirasakan sama sekali (emotional system shutdown, Twenge, dkk, 2007). Sehingga tingkah laku prososial menolong pada partisipan yang dieksklusi diprediksi ditampilkan melalui perubahan pada afek emosi positif yang dirasakan.

Dengan rasional tersebut peneliti kemudian merumuskan masalah, apakah pada remaja terdapat pengaruh eksklusi sosial terhadap penurunan respon perilaku menolong yang dimediasi oleh afek positif? Manfaat penelitian ini secara garis besar adalah jika dari hasil penelitian ini ditemukan afek emosi positif memang terbukti sebagai mediator, diharapkan ketika perilaku prososial remaja menurun karena dieksklusi, afek dari emosi positif dapat mereduksi pengaruh tersebut sehingga prososial remaja tetap muncul. Dengan kata lain dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan pembahasan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mengurangi pengaruh negatif eksklusi sosial terhadap perilaku menolong jika hal tersebut menurunkan perilaku menolong pada remaja.

Gambar 1.1. Desain Penelitian Eksklusi   Sosial   Afek   Positif   Perilaku   Menolong  

(6)

Tinjauan Teoritis Perilaku Menolong

Baron, Branscome dan Byrne (2008) mendefinisikan perilaku menolong sebagai tingkah laku yang memberikan keuntungan bagi orang lain, tetapi tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi orang yang melakukannya. Definisi dari beberapa ahli mengenai perilaku menolong pada dasarnya memiliki pengertian yang sama, yaitu tingkah laku yang memiliki tujuan untuk memberikan manfaat bagi orang atau kelompok lain namun tidak memberikan keuntungan yang jelas atau secara langsung bagi orang yang melakukan atau memberi bantuan.

Perilaku menolong merupakan salah satu dari dimensi prososial. Eisenberg dan Mussen (1997) mengemukakan aspek-aspek yang menyusun perilaku prososial antara lain berbagi (tidak terbatas materi, namun juga pengetahuan dan keahlian), bekerja sama (bekerja sama dengan individu lain dalam kelompok), menolong (menguntungkan pihak lain tanpa mengharapkan keuntungan pribadi), kejujuran (tidak berbeda dalam berbicara dan bertindak), kedermawanan (dalam hal materi) dan menghargai (dalam hal hak dan kewajiban orang lain). Dari berbagai dimensi tersebut, menolong merupakan ciri utama dari prososial.

Deaux, Dane & Wrightsman (1993) membedakan perilaku menolong dalam tiga bentuk tindakan yang dibedakan berdasarkan tingkat pengorbanan orang yang melalukan, antara lain perilaku menolong yang memerlukan pengorbanan yang relatif kecil, seperti tenaga dan waktu. Perilaku menolong yang memerlukan pengorbanan yang lebih besar, selain tenaga dan waktu, juga pengorbanan materi. Kemudian perilaku menolong yang memerlukan pengorbanan yang besar, selain waktu, tenaga, dan materi, juga mengandung ancaman keselamatan diri dan kemungkinan mendapatkan keuntungan sangat kecil bagi penolong.

Berdasarkan definisi dan bentuk perilaku menolong di atas, penelitian ini mengambil indikator perilaku menolong antara lain menolong dilakukan oleh individu tanpa menuntut keuntungan saat melakukannya, kemudian tindakan menolong dilakukan secara sukarela dan terakhir perilaku menolong menghasilkan kebaikan atau keuntungan bagi pihak lain

(7)

Baron, Branscome dan Byrne (2008) menjelaskan ada dua faktor utama yang mempengaruhi perilaku menolong, antara lain faktor situasional (eksternal) dan faktor dari dalam diri (internal). Faktor Bystander, daya tarik korban, atribusi terhadap korban, terdapat model, desakan waktu dan terakhir sifat kebutuhan korban. Selain beberapa faktor eksternal, terdapat juga faktor internal (dari dalam diri sendiri) yang juga mempengaruhi individu untuk menolong. Beberapa faktor internal yang dominan mempengaruhi seseorang untuk menolong antara lain:

Empati

Menurut Batson (1991, hal.5) empati adalah respon emosional yang dirasakan seseorang yang memikirkan kesejahteraan orang lain. Empati terdiri dari 2 aspek yakni kognitif dan emosional (Davis, 2003). Komponen emosional adalah komponen afeksi dimana seseorang mencoba merasakan apa yang orang lain rasakan dalam situasi yang dialami oleh orang lain. Sementara komponen kognitif adalah kemampuan orang lain untuk menempatkan dirinya menjadi orang ketiga dalam situasi dimana ia bisa mengambil nilai yang dipunyai orang lain dan dirinya sendiri. Beberapa peneliti lebih menekankan aspek emosional dalam empati, terutama dalam kaitannya dengan perilaku menolong, dimana aspek emosional lebih berperan penting (Davis, 2003).

Emosi atau Afek Positif

Emosi menurut Kleinginna & Kleinginna (1981, dalam Plutchik, 1994, hal.5) adalah sistem interaksi antara stimulus subyektif dan obyektif pada individu yang dimediasi oleh sistem saraf dan hormonal (faali) kemudian menimbulkan afek yang dirasakan seperti perasaan nyaman/tidak nyaman, diproses oleh kognisi dan mengarahkan individu pada tingkah laku tertentu. Tingkah laku yang muncul bisa bersifat ekspresif, memiliki tujuan atau adaptif, tergantung dari apa yang dirasakan. Dapat disimpulkan sebagian besar tingkah laku yang ditampilkan individu merupakan ekspresi dari emosi yang mereka rasakan. Kuatnya intensitas emosi seseorang bisa terlihat dari seberapa kuat afek yang dirasakan. Emosi digunakan untuk menggambarkan respon individu terhadap sebuah stimulus, maka seberapa kuat intensitas emosi individu tergambar dari afek yang terlihat pada individu karena perubahan emosi atau perasaan

(8)

yang tengah dirasakan oleh individu disebabkan pengaruh stimulus (Kring & Werner, 2004). Dengan kata lain emosi juga mencakup komponen afek positif atau negatif secara umum seperti bahagia, marah, takut, atau jijik. Ketika psikolog mencoba untuk memastikan keadaan emosional seseorang, mereka biasanya meminta individu untuk menggambarkan seberapa kuat afek yang ia rasakan (Parker & Ettinger, 2010). Lazarus (1975, dalam Plutchik, 1994) membedakan emosi menjadi emosi negatif dan positif. Emosi positif adalah apa yang dirasakan individu ketika dipengaruhi oleh stimulus yang sesuai dengan keinginan (goal congruent) sehingga menimbulkan afek yang menyenangkan pada individu, sedangkan emosi negatif sebaliknya (goal incongruent).

Marcus (1984, Baron, dkk 2008) menyebutkan emosi yang positif akan berhubungan dengan tingginya perilaku menolong. Seseorang dengan emosi positif cenderung untuk tanggap menolong orang lain. Seperti penelitian yang dilakukan Baron dan Thomley (1994) yang mengobservasi bahwa wangi lemon atau bunga yang menimbulkan afek positif seperti senang dan nyaman dapat menambah keinginan dari partisipan penelitian untuk berinisiatif untuk menolong. Penelitian terbaru tentang hubungan emosi dan menolong dilakukan oleh Drouvelis dan Grosskopf (2013) yang menguji pengaruh afek emosi positif (happiness) dan negatif (anger) terhadap perilaku menolong. Hasil penelitian menemukan sumbangan yang diberikan oleh partisipan kelompok anger lebih rendah dibandingkan partisipan kelompok happiness.

Eksklusi Sosial

Ketika membahas mengenai eksklusi sosial, secara garis besar akan merujuk pada perubahan yang terjadi pada keseluruhan masyarakat sehingga berdampak pada sebagian orang yang ada di masyarakat tersebut (Byrne, 2005). Peace (2001) membahas konsep eksklusi pertama kali dipergunakan untuk menyebut term poverty (kemiskinan), deprivation (perampasan hak), atau hardship (kesusahan) dalam kebijakan politik. Walker & Walker (dalam Byrne, 2005, hal.2) menyebutkan eksklusi sosial adalah sebagai suatu proses dinamis, dimana terdapat tindakan mengeluarkan (secara penuh atau sebagian) individu dari sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang membuat integrasi sosial individu tersebut dalam masyarakat berkurang atau bahkan menghilang. Disini eksklusi sosial dilihat sebagai penolakan dari hak-hak sipil, politik dan sosial warga negara.

(9)

Dalam ranah psikologi, eksklusi sosial juga sering disebut dengan istilah ostracism, namun terdapat sedikit perbedaan. Ostracism merupakan bentuk penolakan dimana rejector menolak kehadiran atau mengeluarkan seseorang dari kelompok dengan cara mengabaikan, menjauhkan, menghindar, atau bahkan dengan mengusir orang yang diesklusi (Forsyth, 2009). Dengan kata lain ostracism adalah bentuk penolakan yang melibatkan pemutusan hubungan dengan sangat ekstrim oleh rejector (William, 2007, dalam Forsyth, 2009). Sedangkan eksklusi sosial didefinisikan sebagai tujuan untuk mengabaikan atau mengeluarkan seseorang oleh individu atau kelompok (Williams, Forgas, Von Hippel, 2005, hal.ix). Baron, Branscombe, dan Byrne (2008, hal.323) kemudian mengambil sudut pandang individu dalam mendefinisikan eksklusi sosial. Dimana eksklusi sosial merupakan kondisi yang membuat individu merasa bahwa dirinya telah dikeluarkan atau ditolak oleh lingkungan sosial.

Penelitian eksperimental saat ini menggunakan tiga paradigma utama dalam memberikan manipulasi eksklusi (Ramos, 2013). Dari tiga paradigma tersebut, 2 diantaranya bisa dilakukan dalam seting field eksperimen dan satu dalam bentuk permainan lab eksperimen. Salah satu manipuasi field eksperimen adalah dalam bentuk peserta mengikuti tes kepribadian dan diberikan false feedback tentang hasil tes tersebut dalam satu dari tiga kondisi. Dalam kondisi future belongging, peserta diberitahu bahwa mereka memiliki tipe kepribadian yang akan memungkinkan mereka untuk mengalami hubungan yang sehat sepanjang hidup mereka. Kondisi future alone, peserta diberitahu bahwa mereka adalah tipe yang akan berakhir hidup kesepian tanpa hubungan interpersonal jangka panjang. Kondisi future alone inilah yang dikondisikan mengalami eksklusi sosial.

Penelitian tentang Pengaruh Eksklusi Sosial

Pada penelitian yang dilakukan Twenge, Ciarocco, Baumeister, DeWall, dan Bartels (2007) menemukan bahwa eksklusi sosial berdampak terhadap menurunnya perilaku menolong. Studi 1 menunjukkan partisipan yang diberikan manipulasi future belonging menyumbang empat kali lebih banyak dibandingkan dengan partisipan yang diberi manipulasi exclusion feedback (future alone). Hasil juga menunjukkan bahwa mood tidak memediasi kedua hubungan. Mood partisipan tidak berbeda secara signifikan antara kelompok yang mendapat eksklusi dengan kelompok pembanding. Pada studi-7, dengan prosedur yang sama pada 30 orang partisipan,

(10)

empati diuji sebagai mediator dalam hubungan eksklusi-perilaku menolong. Empati partisipan diukur setelah menerima manipulasi dan dipriming melalui cerita percintaan yang menyedihkan. Setelah itu peneliti memberikan reward berupa uang $2 lalu menjelaskan tentang Student Emergency Fund. Partisipan diminta untuk menyumbang secara sukarela. Perilaku menolong diukur berdasarkan jumlah uang yang didonasikan oleh masing-masing kelompok partisipan. Hasil menunjukkan partisipan yang diberikan feedback eksklusi sosial (future alone) memberi donasi yang paling sedikit dibandingkan dengan dua kelompok pembanding. Skor empati pada kelompok future alone juga lebih rendah dibandingkan dengan dua kelompok lain membuktikan bahwa empati memediasi hubungan antara 2 variabel. Pengaruh hubungan antara eksklusi sosial dan perilaku menolong dimediasi oleh penurunan empati.

Penelitian lain tentang eksklusi sosial menemukan pengaruh unik eksklusi terhadap afek positif karena terjadi peningkatkan afek positif yang tidak disadari pada orang yang dieksklusi. Dimana peningkatan afek positif tersebut terjadi dalam proses regulasi emosi otomatis. Emosi positif partisipan yang mengalami eksklusi menjadi lebih mudah diakses secara tidak disadari atau automatic regulation (De Wall, Twenge, Koole, Baumeister, Marquez & Reid, 2011). Penelitian Manner, De Wall, Baumeister dan Schaller (2007) juga menemukan partisipan yang dieksklusi menampilkan kepercayaan diri yang kuat untuk menjalin hubungan dengan orang baru dan menyampaikan kesan yang lebih positif terhadap ide-ide sosial. Proses reconnect ini menurut Manner, dkk menunjukkan partisipan yang dieksklusi secara tidak disadari, tidak menerima kondisi bahwa mereka telah mendapat penolakan secara sosial. Dari hal itu kemudian timbul afek positif yang tidak disadari seperti percayaan diri yang meningkat, sehingga mereka menampilkan keinginan kuat menjalin hubungan dengan orang yang baru.

Metode Penelitian

Tipe dan Desain Penelitian

Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian field eksperimental dengan desain randomized two-group dengan variasi 2 (future alone, future belonging) X 1 (perilaku menolong). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah saat remaja mengalami eksklusi sosial apakah

(11)

terjadi penurunan pada perilaku menolong yang ditampilkan yang berhubungan dengan seberapa kuat afek emosi positif yang dirasakan. Sehingga memastikan variabel afek positif merupakan mediator antara hubungan kausalitas sosial eksklusion terhadap perilaku menolong.

Partisipan dan Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di SMA N 38 Jakarta dalam 2 tahap. Dengan mengambil sampel sebanyak 80 orang dari 2 kelas, XI IPA 1 dan XI IPS 1. Sebanyak 16 orang tidak dimasukkan dalam perhitungan karena tidak hadir dan melengkapi EPQ pada Tahap I dan tidak diketahui identitasnya.

Tahap I berupa pengisian kuosioner Eysenk Personality Quotioner (EPQ) dikedua kelas. Kemudian pada peserta diberitahukan bahwa dari pengisian EPQ akan diketahui kecenderungan kepribadian peserta berdasarkan dimensi ekstraversion dalam EPQ dan hasilnya diberitahukan seminggu setelah pengisian (tahap II). Pada tahap II dilakukan simple random sampling pada seluruh peserta untuk dibagi dalam 2 kelompok sama banyak (n=32) ditambah penyetaraan jumlah partisipan laki-laki dan perempuan tiap kelompok. Kepada kelompok yang diberi manipulasi eksklusi sosial diberitahu skor mean ekstraversion mereka sangat rendah (11 poin dari nilai maksimal 30) sehingga dari skor tersebut diberikan manipulasi feedback future alone:

“Berdasarkan skor pengisian kuosioner, teman-teman punya kecenderungan kepribadian yang sulit untuk bergaul dan bersosialisasi di masa yang akan datang dan mungkin hal tersebut akan teman-teman rasakan pada masa kuliah atau selepas teman-teman memasuki usia dewasa. Sekarang teman-teman mungkin punya banyak teman, mudah bergaul, hmm, tapi dari kecenderungan jawaban yang telah teman-teman isi pada kuosioner, saat teman-teman memasuki usia 20an ada kemungkinan teman-teman ditolak dalam lingkungan sosial yang akan teman-teman masuki, misalkan di kampus atau mungkin lingkungan kerja. Ada kecenderungan juga dari skor yang teman-teman peroleh, teman-teman sangat sulit untuk mendapat pasangan. Mungkin terdengar agak menakutkan, tapi ini merupakan intrepretasi skor yang teman-teman dapatkan dari kuosioner kepribadian yang telah teman-teman isi kemarin”

Satu kelompok lain menjadi kelompok pembanding (n=32) dengan dikatakan skor mean ekstraversion tinggi (25 poin) dan diberikan manipulasi feedback future belonging:

“Berdasarkan skor pengisian kuosioner kemarin, teman-teman adalah tipe orang yang hangat dan terbuka untuk orang banyak. Ada kecenderungan di masa depan teman-teman akan selalu memiliki hubungan yang bermakna dengan banyak orang. Ketika memasuki masa jenjang kuliah misalnya, teman-teman akan cepat beradaptasi di lingkungan tersebut dan memiliki banyak

(12)

teman. Teman-teman juga akan mudah diterima di organisasi atau komunitas apapun yang teman-teman ikuti. Besar kemungkinannya bahwa teman-teman akan selalu memiliki hubungan yang harmonis dan orang-orang yang peduli dengan teman-teman sepanjang hidup”

Manipulation chek dilakukan dengan diskusi dengan partisipan selama 5 menit untuk melihat reaksi mereka setelah manipulasi diberikan, juga dilihat dari asumsi perbedaan skor mean pada kedua kelompok. Setelah itu pada kedua kelompok diperlihatkan video priming afek positif, pemberian priming ini dilakukan untuk menyetarakan prosedur penelitian dengan penelitian acuan (Twenge, dkk, 2007) yang juga menggunakan priming pada studi-7. Selanjutnya peneliti membagikan lembar kuosioner PANAS Scale dan setelah proses pengisian telah selesai dilakukan, peneliti menjelaskan tentang Program Adik Asuh BEM Fakultas Psikologi UI 2014 dan penyebaran form sumbangan pada partisipan. Setelah semua partisipan melihat form sumbangan dan menuliskan namanya untuk ikut menyumbang serta jumlah sumbangan yang diberikan. Kemudian dilakukan debriefing akhir mengenai penjelasan tentang keseluruhan penelitian dan pemberian reward pada seluruh partisipan

Hasil Penelitian

Berikut merupakan gambaran umum demografis partisipan:

Karakteristik Frekuensi (%)

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Usia 16 Tahun 17 Tahun 36 (57%) 28 (43%) 34 (53%) 30 (47%) Pengeluaran Perbulan Rp. 500.000 Rp. 500.000 27 (43%) 37 (58 %)

Tabel 1.1 Demografis Partisipan

Dalam randomisasi kelompok peneliti membagi jumlah laki-laki dan perempuan sama banyak dalam tiap kelompok. Sehingga randomisasi simple random sampling tidak dilakukan secara menyeluruh. Masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.

(13)

pengeluaran perbulan pada masing-masing kelompok tidak bisa dilakukan, karna penyetaraan kelompok telah dilakukan sebelumnya pada jenis kelamin. Untuk kelompok eksklusi 14 orang punya pengeluaran >Rp.500.000/bulan berbanding 13 orang di kelompok pembanding.

Kelompok Pengukuran Mean Standar Deviasi N

Ekslusi Afek Positif 3,19 8,95 32 Perilaku Menolong (1) 2,31 2,34 Perilaku Menolong (2) 0,66 0,48 Pembanding Afek Positif 3,57 7,30 32 Perilaku Menolong (1) 3,06 1,72 Perilaku Menolong (2) 0,87 0,33

Ket: perilaku menolong (1)=jumlah sumbangan, perilaku menolong (2)=menyumbang/tidak Tabel 1.2. Mean skor variabel afek positif dan perilaku menolong

Dari tabel bisa dilihat skor afek positif partisipan kelompok eksklusi (M=3,19, SD=8,95) lebih rendah dibanding kelompok pembanding (M=3,57, SD=7,30). Mean skor jumlah sumbangan kelompok ekslusi (M=2.31, SD=2,348) juga lebih rendah dibandingkan kelompok pembanding (M=3,06, SD=1,72). Jumlah partisipan yang ikut memberikan sumbangan dikelompok eksklusi (M=0,66, SD=1,72) juga lebih rendah dibandingkan kelompok pembanding (M=0,87, SD=0,33). Kemudian peneliti melakukaan uji signifikansi dengan uji stastistik t test, chi square. Dengan hasil sebagai berikut:

Variabel t Χ2 Std.Error Sig (p) Keterangan

Afek positif -1,851 - 2,04 0,069 -

Perilaku Menolong (1) -1,45 - 0,51 0,15 -

Perilaku Menolong (2) - 4,267 0,10 0,039* signifikan

Ket:*p<0,05, perilaku menolong(1)=jumlah sumbangan, perilaku menolong(2)=menyumbang/tidak Tabel 1.3. Uji statistic t-test dan chy square untuk melihat signifikansi

Dari hasil perhitungan statistik di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor afek positif kelompok eksklusi (M=3,19, SD=8,95) dengan kelompok

(14)

pembanding (M=3,57, SD=7,30), t(62)= -1,851, p>0,05. Kemudian juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah sumbangan yang diberikan oleh kelompok ekslusi (M=2.31, SD=2,34) dan kelompok pembanding (M=3,06, SD=0,304), t(62)= -1,45, p>0,05, tetapi jumlah partisipan yang ikut memberikan sumbangan dikelompok eksklusi (M=0,66, SD=1,72) lebih rendah secara signifikan dibandingkan dikelompok pembanding (M=0,87, SD=0,33), Χ2(1,64)=4,267, p<0,05. Dari hasil perhitungan statistik bisa disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan dari manipulasi eksklusi sosial terhadap penurunan perilaku menolong pada remaja yang tidak berhubungan dengan skor afek positif. Dari hasil perhitungan telah diketahui bahwa afek positif tidak memediasi pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku menolong, karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor afek positif partisipan.

Analisis Mediasi

Berdasarkan hasil analisis formal pengaruh antar variabel, persyaratan mediasi memenuhi tiga hal, yakni eksklusi (variabel bebas) signifikan mempengaruhi perilaku menolong (variabel terikat), afek positif (mediator) memiliki efek unik yang signifikan pada perilaku menolong dan pengaruh eksklusi pada perilaku menolong berkurang dengan menambahkan afek positif dalam model penelitian. Namun syarat utama dimana eksklusi harus signifikan berpengaruh pada afek positif tidak terbukti. Peneliti tetap melakukan uji mediasi dengan metode sobel test. Terlebih dahulu peneliti melakukan uji regresi untuk persamaan yang akan digunakan

Prediktor B Sig (p) Standard

Error Keterangan Ekslusi-Afek Positif 3,781 0,069 2,043 - Afek Positif-Perilaku Menolong (2) 0,085 0,023* 0,037 Signifikan

Ket: *p<0,05, perilaku menolong (2)=menyumbang/tidak

Tabel 1.4. Regresi antar variabel untuk analisis mediasi

Dari perhitungan regresi diatas didapatkan nilai a=3,781, sa=2,043, b=0,085, sb=0,037 pada persamaan perhitungan sobel test, yaitu z-value = a.b/SQRT(b2.sa2 + a2.sb2). Untuk memudahkan perhitungan peneliti menggunakan software khusus perhitungan mediasi sobel test yang telah dikembangkan oleh Preacher dan Hayes (http://quantpsy.org/sobel/sobel.htm) dan didapatkan hasil sebagai berikut

(15)

z Sig (p) Std.error

1,44 0,149 0,22

Tabel 1.5. Hasil perhitungan uji mediator dengan sobel test

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku menolong melalui afek positif lebih kecil dibandingkan pengaruh eksklusi sosial terhadap perilaku menolong secara langsung, dengan kata lain tidak terjadi proses mediasi. Respon menolong yang ditampilkan oleh partisipan yang dieksklusi tidak berhubungan dengan skor afek positif, z =1,44<1,96, p>0,05.

Analisis Tambahan

Pada data demografis, penelitian menyertakan pengeluaran perbulan partisipan. Dengan data ini peneliti melakukan analisis tambahan apakah perilaku menolong (menyumbang/tidak) yang ditampilkan partisipan diprediksi oleh besarnya pengeluaran perbulan. Pengeluaran perbulan di koding menjadi >Rp.500.000=1, <Rp.500.000=0. Perilaku menolong dikoding menjadi menyumbang=1, tidak menyumbang=0. Analisis dilakukan dengan teknik uji statistik chi-square. Peneliti juga melakukan uji statistic linear regression untuk memprediksi besarnya pengaruh afek positif memprediksi keinginan partisipan memberikan sumbangan atau tidak. Hasil perhitungan statistiknya adalah sebagai berikut

Prediktor X2 B Sig (p) Standard

Error

Keterangan Pengeluaran perbulan 0,039 - 0,844 0,601 -

Afek positif - 0,085 0,023* 0,037 Signifikan

Ket: *p<0,05

Tabel 1.6. Perhitungan regresi dan chy square untuk memprediksi perilaku menolong

Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa besarnya pengeluaran perbulan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku partisipan untuk ikut memberikan sumbangan atau tidak Χ2(1,64)= 0,039, p>0,05. Namun tingginya skor afek positif partisipan signifikan dalam memprediksi munculnya respon ikut menyumbang yang ditampilkan oleh partisipan, B(1)=0,085, p<.0,05.

(16)

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan perilaku menolong remaja yang diberi manipulasi eksklusi sosial lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan remaja yang mendapat manipulasi pembanding (belonging) dilihat dari jumlah partisipan yang ikut menyumbang. Partisipan remaja yang diberi manipulasi eksklusi lebih sedikit yang ikut menyumbang dibandingkan dengan kelompok pembanding. Maka dari hal tersebut dapat disimpulkan efek dari manipulasi eksklusi sosial terbukti menurunkan perilaku menolong pada remaja. Penelitian juga menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari eksklusi sosial terhadap afek positif yang dirasakan oleh partisipan dengan kata lain perilaku menolong yang ditampilkan oleh partisipan yang dieksklusi tidak dimediasi oleh afek positif. Namun dilihat dari skor mean, partisipan remaja yang mendapat manipulasi ekslusi memiliki skor afek positif yang sedikit lebih rendah dibandingkan kelompok pembanding.

Kesimpulan tambahan dalam penelitian ini adalah dari karakterisitik demografis yang dikontrol yakni pengeluaran perbulan partisipan. Besarnya pengeluaran perbulan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap partisipan dalam menampilkan perilaku menolong. Dilihat dari sejauh mana afek positif memprediksi perilaku menolong, terdapat hubungan yang positif. Dimana semakin tinggi skor afek positif partisipan memprediksi partisipan untuk menampilkan perilaku menolong.

Diskusi

Hasil penelitian ini masih sangat jauh dari kata cukup memiliki validitas eksternal untuk digeneralisasikan pada remaja secara umum di Indonesia maupun remaja di kota besar seperti Jakarta. Kekurangan pertama yakni sampel diambil hanya dari satu SMA, dan dari satu SMA tersebut data diambil hanya dari dua kelas secara keseluruhan. Kemudian penelitian ini dilakukan pada remaja yang sudah punya tingkat pendidikan yang baik dan hidup di lingkungan perkotaan. Sehingga kurang merefleksikan apa yang terjadi pada remaja yang putus sekolah dan remaja daerah urban yang tentunya berbeda secara karakter dan di Indonesia sendiri karakteristik remaja seperti itu masih cukup banyak dijumpai. Kekurangan yang sangat diperhatikan oleh peneliti adalah manipulation chek. Dalam penelitian ini manipulation chek hanya dilakukan dengan

(17)

diskusi singkat untuk melihat respon partisipan setelah mendapatkan manipulasi. Hal tersebut sangat kurang memastikan apakah manipulasi yang diberikan benar-benar dirasakan oleh partisipan, ataukah perbedaan skor yang terjadi disebabkan oleh variabel ekstra di luar penelitian. Meskipun dari asumsi terdapat perbedaan skor mean bisa dikatakan keberhasilan intervensi baik, namun hal itu belum cukup untuk sebuah penelitian eksperimen.

Hasil penelitian intinya juga tidak menemukan hubungan yang jelas antara eksklusi sosial dan afek positif. Kritik peneliti atas hal tersebut yakni dari prosedur penelitian. Pemberian priming video mungkin saja akan menambah efek bias pada skor afek yang dirasakan oleh partisipan, sehingga skor afek yang dirasakan tidak sepenuhnya berasal dari manipulasi eksklusi. Hal ini memang tidak terfikirkan sebelumnya oleh peneliti, karena peneliti memasukkan priming video dalam prosedur untuk menyetarakan dengan prosedur penelitian acuan yang juga memakai priming. Selanjutnya tambahan tentang prosedur, penelitian ini berhasil mengukur perilaku menolong dari dua pengukuran. Pertama jumlah sumbangan dan kedua keinginan ikut menolong atau tidak. Hal ini menurut peneliti menambah kekurangan pada penelitian acuan yang hanya melihat perilaku menolong dari seberapa besar jumlah sumbangan yang diberikan. Seberapa besar jumlah sumbangan yang diberikan kurang merefleksikan tingginya perilaku menolong yang dimiliki oleh individu, apalagi dalam tahap perkembangan remaja. Selain itu perilaku menolong merupakan salah satu dari dimensi prososial yang bisa ditampilkan dalam berbagai bentuk, tidak hanya besarnya jumlah sumbangan.

Kekurangan lain yang menurut peneliti diperbaiki pada prosedur penelitian adalah perilaku menolong pada penelitian acuan diukur setelah partisipan diberikan reward berupa uang tunai. Hal ini menurut peneliti dapat menyebabkan fake pada respon menolong yang ditampilkan atau konformitas karna sudah memiliki uang tambahan. Namun pada analisis tambahan juga ditemukan besarnya pengeluaran dalam artian besarnya uang saku remaja tidak berhubungan dengan respon remaja untuk menolong

Saran

Penelitian ini sangat memerlukan replikasi, baik secara langsung maupun konseptual. Replikasi langsung diperlukan untuk menguji kembali temuan yang ada dengan perbaikan pada beberapa kekurangan seperti memilih sampel penelitian yang lebih variatif baik itu dari jumlah, maupun karakterisitiknya sehingga hasil penelitian bisa lebih merepresentasikan populasi,

(18)

perbaikan pada prosedur dengan menghilangkan pemberian priming dan menetapkan standard untuk manipulation chek sehingga dipastikan partisipan benar-benar merasakan efek dari manipulasi yang diberikan. Penambahan pada variabel penelitian juga disarankan untuk lebih memperkaya hasil penelitian. Pada penelitian lanjutan, peneliti menyarankan untuk melihat variabel afek negatif sebagai untuk diuji sebagai mediator dalam hubungan eksklusi sosial - perilaku menolong. Variasi variabel bebas juga menurut peneliti perlu untuk ditambahkan, untuk lebih memperkaya perbandingan seperti contohnya kelompok no-feedback sebagai kelompok control

Bentuk manipulasi yang lebih direct pada partisipan sebaiknya dilakukan pada penelitian selanjutnya. Feedback apalagi dalam konsep peramalan masa depan berdasarkan tes kepribadian dikhawatirkan memiliki efek bias atau ketidakpercayaan, apalagi jika dilakukan pada tahap perkembangan yang lebih tinggi dari remaja. Terkait dengan proses pengambilan data, sebaiknya peneliti melakukan pemeriksaan kembali dan memastikan setiap partisipan mengisi semua item pada kuesioner secara lengkap, sehingga tidak ada partisipan yang tidak diketahui identitasnya dan tidak dimasukkan dalam analisis perhitungan.

Daftar Referensi

http://psychemate.com/2007/12/altruisme-helping-without http://quantpsy.org/sobel/sobel.htm

Baron, R.A., Branscombe, N.R., & Byrne, D. (2008). Social psychology. Boston: Pearson Allyn and Bacon

Baron, R.A., Thomley, J. (1994). A whiff of reality: Positive affect as a potential mediator of the effects of pleasant fragrances on task performance and helping. Journal of Environment and Behavior, 26, 766-784.

Batson, C.D. (1991). The altruism question: Towards a social social psychological answer. New Jersey: Erlbaum Baumeister, R. F., DeWall, C. N., Ciarocco, N. J., & Twenge, J. M. (2005). Social exclusion impairs self-regulation.

Journal of Personality and Social Psychology, 88, 589-604.

(19)

Davis, H. M. (2003). Measuring individual differences in empathy: Evidence for multidimensional approach.

Journal of Personality and Social Psychology, 44(5), 113-126.

Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightsman, L.S. (1993). Social psychology in the 90’s (edisi 6). New York : Brooks & Cole Publishing.

De Wall, C., Twenge, M., Koole, S., Baumeister, R., Marquez, A., & Reid, M. (2011) Automatic emotion regulation after social exclusion: Tuning to positivity. American Psychological Association, 11, 623-636. doi: 10.1037/a0023534

Den Hartog, D. N., De Hoogh, A. H. G., & Keegan, A. E. (2007). The interactive effects of belongingness and charisma on helping and compliance. Journal of Applied Psychology, 92, 1131-1139. doi: 10.1037/0021-9010.92.4.1131

Drouvelis, M., & Grosskoph, B. (2013). The efect of anger and happiness on prosocial behaviour. Journal of

University of Birmingham.

Eisenberg, N & Mussen, P.H (1997). The roots of prosocial behavior in children 4th Edition. UK: Cambridge University Press

Forsyth, D. R. (2010). Group dynamics 5th edition. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendidikan sepanjang rentang kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayanti & Soejarwo. Jakarta: Erlangga (2008)

Kring, A. M., & Werner, K. H. in Philiphot, P., & Feldman R. S. (2004). The regulation of emotion, Part III,

Chapter 14. New Jersey: Lawrence Erlbaum

Manucia, G.K., Baumann, D.J., & Cialdini, R.B. (1984). Mood influences on helping: Direct effect or side effect.

Journal of Personality and Social Psychology, 46, 357-364.

Mashoedi, S.F. (2009). “ Tingkah laku menolong”. dalam Sarwono, S.W., dan Meinarno, E.A. (Ed). Psikologi

Sosial. hal. 121- 145. Jakarta : Salemba Humanika

Maner, J., De Wall, C., Baumeister, R., & Schaller., M. (2007). Does social exclusion motivate interpersonal reconnection? Resolving the “porcupine problem”. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 42-55. doi: 10.1037/0022-3514.92.1.42

(20)

Peace, R. (2001). Social Exclusion: A concept in need of definition. Social Policy Journal of New Zealand, 16, 17-36.

Plutchik, R. (1994). The psychology and biology of emotion. New York: Harper Collins College.

Preacher, K. J., & Hayes, A. F. (2004). SPSS and SAS procedures for estimating indirect effects in simple mediation models. Behavior Research Methods, Instruments, and Computers, 36, 717-731.

Ramos, K.M. (2013). Bullying and sensitivity to rejection: The role of individual difference variables in social Exclusion’s impact on eating behaviors. Honors Projects: Paper 28.

Rice, P.F (1999). The adolescent: development, relationship, and culture 9th edition. Needham Heights: Allyn and Bacon.

Twenge, J. M., Ciarocco, N. J., Baumeister, R. F., DeWall, C. N., & Bartels, J. M. (2007). Social exclusion decreases prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 55-66. doi: 10.1037/0022-3514.92.1.56. Twenge, J.M., Baumeister, R.F., Tice, D.M., Stucke, T.S. (2001). If you can't join them, Beat them: Effects of social exclusion on aggressive behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 81, 1058-1069. doi : 10.1037//0022-3514.81.6.1058

Twenge, J. M., Catanese, K. R., & Baumeister, R. F. (2002). Social exclusion causes self-defeating behavior.

Journal of Personality and Social Psychology, 83, 606-615. doi: 10.1037//0022-3514.83.3.606

Williams, K.D., Forgas, J.P., von Hippel, W., & Zadro, L. (2005). The social outcast: Ostracism, social exclusion,

Gambar

Tabel 1.2. Mean skor variabel afek positif dan perilaku menolong
Tabel 1.4. Regresi antar variabel untuk analisis mediasi
Tabel 1.6. Perhitungan regresi dan chy square untuk memprediksi perilaku menolong  Dari  hasil  perhitungan  dapat  disimpulkan  bahwa  besarnya  pengeluaran  perbulan  tidak  memiliki  pengaruh  signifikan  terhadap  perilaku  partisipan  untuk  ikut  mem

Referensi

Dokumen terkait

a. Penelitian menunjukkan pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang

Selain itu, di bawah tahap pertama, proyek pun mampu meningkatkan kepedulian terhadap masalah pekerja anak dalam kebijakan dan kerangka kerja pemerintah nasional dan daerah;

Firewall atau packet filtering yang digunakan untuk melindungi jaringan lokal dari serangan atau gangguan yang berasal dari jaringan internet bekerja pada layer

Penelitian ini mengacu pada penelitian Arfan (2014) tentang Pengaruh Komitmen Organisasional dan Peran Manajer Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja

Dengan adanya Wiki tentang legenda Indonesia ini diharapkan cerita rakyat dapat terjaga terkait mitos dan legenda suatu daerah dan sejarah di Indonesia sehingga menjadi menarik

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

Berdasarkan data hasil identifikasi ukuran partikel dan indeks polidispersitas nanoemulsi minyak atsiri sereh wangi pada Tabel 4.2, dapat disimpulkan ketiga formula

Metode menjelaskan suatu kombinasi dari fungsi objektif dengan berbagai macam batasan-batasan yang dipertimbangkan digunakan untuk meningkatkan antibodi