• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan. Sylvia Tiwon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan. Sylvia Tiwon"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Pengawasan Anggaran

dan Pengadaan di Sektor

Keamanan

Sylvia Tiwon

(4)

Penulis

Sylvia Tiwon adalah staf pengajar dii Berkeley University, California, USA. Editor

Sri Yunanto Papang Hidayat Mufti Makaarim A. Wendy Andhika Prajuli Fitri Bintang Timur Dimas Pratama Yudha Tim Database Rully Akbar Keshia Narindra R. Balya Taufik H. Munandar Nugraha Febtavia Qadarine Dian Wahyuni Pengantar

Insitute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang menjadi kontributor Tool ini, yaituIkrar Nusa Bhakti, Al-A’raf, Beni Sukadis, Jaleswari Pramodhawardani, Mufti Makaarim, Bambang Widodo Umar, Ali. A Wibisono, Dian Kartika, Indria Fernida, Hairus Salim, Irawati Harsono, Fred Schreier, Stefan Imobersteg, Bambang Kismono Hadi, Machmud Syafrudin, Sylvia Tiwon, Monica Tanuhandaru,

Ahsan Jamet Hamidi, Hans Born, Matthew Easton, Kristin Flood, dan Rizal Darmaputra. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Tim pendukung

penulisan naskah Tools ini, yaitu Sri Yunanto, Papang Hidayat, Zainul Ma’arif, Wendy A. Prajuli, Dimas P Yudha, Fitri Bintang Timur, Amdy Hamdani, Jarot Suryono, Rosita Nurwijayanti, Meirani Budiman, Nurika Kurnia, Keshia Narindra, R Balya Taufik H, Rully Akbar, Barikatul Hikmah, Munandar Nugraha, Febtavia Qadarine, Dian Wahyuni dan Heri Kuswanto. Terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF) atas dukungannya terhadap program ini, terutama mereka yang terlibat dalam diskusi dan proses penyiapan naskah ini, yaitu Philip Fluri, Eden Cole dan Stefan Imobersteg. IDSPS juga menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Luar Negeri Republik Federal Jerman atas dukungan pendanaan program ini.

Tool Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan

Tool Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan ini adalah bagian dari Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Organisasi

Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit. Toolkit ini dirancang untuk memberikan pengenalan praktis tentang RSK di Indonesia bagi para praktisi, advokasi dan pembuat kebijakan disektor keamanan. Toolkit ini terdiri dari 17 Tool berikut :

IDSPS

Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) didirikan pada pertengahan tahun 2006 oleh beberapa aktivis dan akademisi yang memiliki perhatian terhadap advokasi Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) dalam bingkai penguatan transisi demokrasi di Indonesia paska 1998. IDSPS melakukan kajian kebijakan pertahanan keamanan, resolusi konflik dan hak asasi manusia (policy research) mengembangkan dialog antara berbagai stakeholders (masyarakat sipil, pemerintah, legislatif, dan institusi lainnya) terkait dengan kebijakan untuk mengakselerasi proses reformasi sektor keamanan, memperkuat peran serta masyarakat sipil dan mendorong penyelesaian konflik dan pelanggaran hukum secara bermartabat. DCAF

Pusat Kendali Demokratis atas Angkatan Bersenjata Jenewa (DCAF, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik dan reformasi sektor keamanan. Pusat ini melakukan penelitian tentang praktek-praktek yang baik, mendorong pengembangan norma-norma yang sesuai ditingkat nasional dan internasional, membuat usulan-usulan kebijakan dan mengadakan program konsultasi dan bantuan di negara yang membutuhkan. Para mitra DCAF meliputi para pemerintah, parlemen, masyarakat sipil, organisasi-organisasi internasional dan para aktor sektor keamanan seperti misalnya polisi, lembaga peradilan, badan intelijen, badan keamanan perbatasan dan militer.

Layout Nurika Kurnia

Foto Sampul © Teddy, 2009 Ilustrasi cover Nurika Kurnia © IDSPS, DCAF 2009

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dicetak oleh IDSPS Press

Jl. Teluk Peleng B.32, Komplek TNI AL Rawa Bambu Pasar MInggu, 12520 Jakarta-Indonesia. Telp/Fax +62 21 780 4191

www.idsps.org

Reformasi Sektor Keamanan: Sebuah Pengantar 1.

Peran Parlemen Dalam Reformasi Sektor Keamanan 2.

Departemen Pertahanan dan Penegakan Supremasi Sipil Dalam 3.

Reformasi Sektor Keamanan Reformasi Tentara Nasional Indonesia 4.

Reformasi Kepolisian Republik Indonesia 5.

Reformasi Intelijen dan Badan Intelijen Negara 6.

Desentralisasi Sektor Keamanan dan Otonomi Daerah 7.

Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas dan Penegakan Hukum di 8.

Indonesia

Polisi Pamongpraja dan Reformasi Sektor Keamanan 9.

Pengarusutamaan Gender di Dalam Tugas-Tugas Kepolisian 10.

Pemilihan dan Rekrutmen Aktor-Aktor Keamanan 11.

Pasukan Penjaga Perdamaian dan Reformasi Sektor Keamanan 12.

Pengawasan Anggaran dan Pengadaan di Sektor Keamanan 13.

Komisi Intelijen 14.

Program Pemolisian Masyarakat 15.

Kebebasan Informasi dan Reformasi Sektor Keamanan 16.

Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan 17.

(5)

Tool Pelatihan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Kajian Reformasi Sektor Keamanan ini ditujukan khususnya untuk membantu mengembangkan kapasitas OMS Indonesia untuk melakukan riset, analisis dan monitoring terinformasi atas isu-isu kunci pengawasan sector keamanan. Tool ini juga bermaksud untuk meningkatkan efektivitas aksi lobi, advokasi dan penyadaran akan pengawasan isu-isu keamanan yang dilakukan oleh institusi-institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Kepentingan mendasar aktivitas OMS untuk menjamin peningkatan transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor keamanan telah diakui sebagai instrumen kunci untuk memastikan pengawasan sektor keamanan yang efektif. Keterlibatan publik dalam pengawasan demokrasi adalah krusial untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi diseluruh sektor keamanan. Keterlibatan OMS di ranah kebijakan keamanan memberi kontribusi besar pada akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik: OMS tidak hanya bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah tapi juga sebagai pedoman kepuasan publik atas kinerja institusi dan badan yang bertanggungjawab atas keamanan publik dan pelayanan terkait. Aktivitas seperti memonitor kinerja, kebijakan, ketaatan pada hukum dan HAM yang dilakukan pemerintah semua memberi masukan pada proses ini.

Sebagai tambahan, advokasi oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil mewakili kepentingan komunitas-komunitas lokal dan kelompok-kelompok individu bertujuan sama yang membantu memberi suara pada aktor-aktor termarjinalisasi dan membawa proses perumustan kebijakan pada jendela perspektif yang lebih luas lagi. Konsekuensinya, OMS memiliki peran penting untuk dijalankan, tak hanya di negara demokratis tapi juga di negara-negara paskakonflik, paskaotoritarian dan non demokrasi, dimana aktivitas OMS masih mampu mempengaruhi pengambilan keputusan para elit yang memonopoli proses politik.

Tapi kemampuan aktor-aktor masyarakat sipil untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengawasan sektor keamanan bergantung pada kompetensi pokok dan juga kapasitas institusi organisasi mereka. OMS harus memiliki kemampuan-kemampuan inti dan alat-alat untuk terlibat secara efektif dalam isu-isu pengawasan keamanan dan reformasi peradilan. Sering kali, kapasitas OMS tidak seimbang dan terbatas, karena kurangnya sumber daya manusia, keuangan, organisasi dan fisik yang dimiliki. Pengembangan kapasitas relevan pada kelompok-kelompok masyarakat sipil biasanya melibatkan peningkatan kemampuan, pengetahuan dan praktik untuk melakukan analisa kebijakan, advokasi dan pengawasan, seiring juga dengan kegiatan manajemen internal, manajemen keuangan, penggalangan dana dan penjangkauan keluar.

OMS dapat berkontribusi dalam reformasi sektor keamanan dan pemerintahan melalui banyak cara, antara lain: Memfasilitasi dialog dan debat mengenai masalah-masalah kebijakan

Mendidik politisi, pembuat kebijakan dan masyarakat mengenai isu-isu spesifik terkait

Memberdayakan kelompok dan publik melalui pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk isu-isu spesifik

Membagi informasi dan ilmu pengetahuan khusus mengenai kebutuhan dan kondisi local dengan para pembuat

kebijakan, parlemen dan media

Meningkatkan legitimasi proses kebijakan melalui pencakupan lebih luas akan kelompok-kelompok maupun

perspektif-perspektif sosial yang ada

Mendukung kebijakan-kebijakan keamanan yang representatif dan responsif akan komunitas lokal

Mewakili kepentingan kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan kebijakan

Meletakkan isu keamanan dalam agenda politik

Menyediakan sumber ahli, informasi dan perspektif yang independen

Melakukan riset yang relevan dengan kebijakan

Menyediakan informasi khusus dan masukan kebijakan

Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas institusi-institusi keamanan

Mengawasi/memonitor reformasi dan implementasi kebijakan

Menjaga keberlangsungan pengawasan kebijakan

Mempromosikan pemerintah yang responsif

Kata Pengantar

(6)

Menciptakan landasan yang secara pasti mempengaruhi kebijakan dan legitimasi badan-badan di level

eksekutif sesuai dengan kepentingan masyarakat

Memfasilitasi perubahan demokrasi dengan menjaga pelaksanaan minimal standar hak asasi manusia dalam

rejim demokratis dan non demokratis

Menciptakan dan memobilisasi oposisi publik sistematis yang besar terhadap pemerintahan lokal dan nasional

yang non demokratis dan non representatif

Menjamin dibangun dan dikelola secara baik sektor keamanan yang akuntabel, responsif dan hormat akan segala bentuk hak asasi manusia adalah bagian dari kehidupan yang lebih baik. Pengembangan kapasitas OMS untuk memberi informasi dan mendidik publik akan prinsip-prinsip pengawasan dan akuntabilitas sektor keamanan, serta norma-norma internasional akan akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik hádala satu cara untuk membangun dukungan dan tekanan di bidang ini.

Sejak 1998, demokrasi Indonesia yang semakin berkembang dan kebangkitannya sebagai aktor kunci ekonomi Asia telah memberi latar belakang pada debat reformasi sektor keamanan paska-Suharto. Fokus dari perdebatan reformasi sektor keamanan adalah kebutuhan akan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam hal kebijakan, praktik di lapangan dan penganggaran. Beberapa inisiatif yang terjadi berjalan tanpa mendapat masukan dari comunitas OMS Indonesia.

Institute for Defence, Security and Peace Studies (IDSPS) telah mengelola pembuatan, implementasi dan publikasi dari Tool Pelatihan ini sebagai sebuah komponen dari pekerjaan yang terus berjalan di bidang hak asasi manusia dan tata kelola sektor keamanan yang demokratis di Indonesia. Tool ini merupakan kerangka kunci permasalahan dalam pengawasan sektor keamanan yang mudah dipahami sehingga OMS di luar Jakarta dapat mempelajari dan memiliki akses pada konsep-konsep kunci dan sumber daya relevan untuk menjalankan tugas mereka di tingkat lokal.

Proyek ini adalah satu dari tiga proyek yang ditangani antara IDSPS dan Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), sementara proyek lainnya berfokus pada membangun kapasitas OMS di seluruh kawasan Indonesia untuk bekerja sama dalam isu-isu tata kelola sektor keamanan melalui berbagai pelatihan (workshop) dan pembuatan Almanak Hak Asasi Manusia dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Tool ini menggambarkan kapasitas komunitas OMS Indonesia untuk menganalisa isu-isu pengawasan sektor keamanan dan mengadvokasi reformasi jangka panjang, tool ini juga mengindikasikan kepemilikan lokal yang menjadi pendorong internal dari proses reformasi sektor keamanan Indonesia.

Akhirnya, DCAF berterimakasih pada dukungan Kementrian Luar Negeri Republik Jerman yang mendanai keseluruhan proyek ini sebagai bagian dari program dua tahun untuk mendukung pengembangan kapasitas dari reformasi sektor keamanan di Indonesia di seluruh institusi demokrasi, masyarakat sipil, media dan sektor keamanan.

Jenewa, Agustus 2009

Eden Cole Deputy Head Operations NIS and Head Asia Task Force

(7)

Kata Pengantar

Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS)

Penelitian Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) tentang Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), IDSPS menyimpulkan bahwa kalangan masyarakat sipil telah melakukan pelbagai upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses reformasi sektor keamanan (RSK), terutama paska 1998. Upaya-upaya tersebut dilakukan seiring dengan transisi politik di Indonesia dari Rezim Orde Baru yang otoriter menuju satu rezim yang lebih demokratis dan menghargai Hak Asasi Manusia.

Pelbagai upaya yang telah dilakukan kelompok-kelompok Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) tersebut antara lain berupa: (1) pengembangan wacana-wacana RSK, (2) advokasi reformulasi dan penyusunan legislasi atau kebijakan strategis maupun operasional di sektor keamanan, (3) dorongan akuntabilitas dan transparansi dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan keamanan, dan (4) pengawasan dan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan serta pelanggaran hukum yang melibatkan para pihak di level aktor keamanan, pemerintah dan parlemen, serta memastikan adanya pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, IDSPS mencatat bahwa peran-peran OMS dalam mengawal RSK pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono umumnya bergerak dalam orientasi yang tersebar, parsial, tanpa konsensus dan distribusi peran yang ketat, serta terkesan lebih pragmatis bila dibanding dengan perannya dalam 2 periode pemerintahan sebelumnya —pemerintahan B. J. Habibie dan pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Kecenderungan ini di satu sisi menunjukkan bahwa tantangan advokasi RSK seiring dengan perjalanan waktu, dimana konsentrasi dan kemauan politik pemerintah cenderung menurun sehingga strategi dan pola advokasi OMS berubah. Di sisi lain, seiring dengan tumbangnya Rezim Soeharto sebagai musuh bersama, kemungkinan terjadi kegamangan dalam hal isu dan strategi advokasi juga muncul.

Ini ditunjukkan dalam temuan IDSPS lainnya perihal fakta bahwa OMS belum dapat menindaklanjuti opini dan wacana yang telah dikembangkannya hingga menjadi wacana kolektif pemerintah, DPR dan masyarakat sipil. Strategi advokasi yang dijalankan OMS belum diimbangi dengan penyiapan perangkat organisasi yang kredibel, jaringan kerja yang solid, komunikasi dan diseminasi informasi kepada publik yang kontinyu, serta pola kerja dan jaringan yang konsisten.

Mengingat OMS merupakan salah satu kekuatan sentral dalam mengawal transisi demokrasi dan RSK sebagaimana terlihat dalam perubahan rezim politik Indonesia tahun 1997-1998, maka OMS dipandang perlu melakukan konsolidasi dan reformulasi strategi advokasinya seiring perubahan politik nasional dan global serta dinamika transisi yang kian pragmatis. Paling tidak OMS dapat memulai upaya konsolidasi dan reformasi strategi advokasinya dengan mengevaluasi dan mengkritik pengalaman advokasi yang telah dilakukannya sembali melihat efektivitas dan persinggungan stretegis di lingkungan OMS dalam memastikan tercapainya tujuan RSK.

Penelitian IDSPS menyimpulkan setidaknya ada tiga pola advokasi RSK yang bisa dilakukan lebih lanjut oleh OMS. Pertama, menguatkan pengaruh di internal pemerintah dan pengambil kebijakan. Kedua, menjaga konsistensi peran kontrol dan kelompok penekan terhadap kebijak-kebijakan strategis di sektor keamanan. Ketiga, memperkuat wacana dan pemahanan tentang urgensi RSK yang dikembangkan.

Berdasarkan pada temuan dan rekomendasi penelitian IDSPS di atas, muncul serangkaian inisiatif untuk menyusun agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK, antara lain berupa diseminasi wacana, pelatihan-pelatihan serta upaya-upaya advokasi lainnya.

(8)

Buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit, merupakan serial Tool yang terdiri dari 17 topik isu-isu RSK yang relevan di Indonesia, yang disusun dan diterbitkan untuk menunjang agenda kerja penguatan OMS dalam mengadvokasi RSK di atas. Seluruh topik dan modul disusun oleh sejumlah praktisi dan ahli dalam isu-isu RSK yang selama ini terlibat aktif dalam advokasi agenda dan kebijakan strategis di sektor keamanan. Penulisan dan penerbitan Tools ini merupakan kerjasama antara IDSPS dengan Geneva Center for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF), dengan dukungan pemerintah Republik Federal Jerman.

Dengan adanya buku Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan Untuk Organisasi Masyarakat Sipil; Sebuah Toolkit ini, seluruh pihak yang berkepentingan melakukan advokasi RSK dan mendorong demokratisasi sektor keamanan dapat memiliki tambahan referensi dan informasi, sehingga upaya untuk mendorong kontinuitas advokasi RSK seiring dengan upaya mendorong demokratisasi di Indonesia dapat berjalan maksimal.

Jakarta, 8 September 2009

Mufti Makaarim A Direktur Eksekutif IDSPS

(9)

Daftar Isi

Akronim

Pengantar-Keamanan Sebagai

1.

“Public Good”

Beberapa Aktor Reformasi Sektor Keamanan

2.

Pengawasan dan Pemantauan: Pentingnya

3.

Anggaran

Peran yang Dapat dimainkan oleh Organisasi

4.

Masyarakat Sipil

Catatan Tambahan untuk Pengawasan Anggaran

5.

Daftar Pustaka

6.

Bacaan Lanjutan

7.

Lampiran

8.

vii

1

5

6

7

12

15

15

16

(10)

Akronim

ABRI Angkatan Bersenjata Republk Indonesia ASEAN Association of South East Asia Nation Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BIN Badan Intelijen Indonesia

BPS Badan Pusat Statistik

Brimob Brigadir Mobile

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

HAM Hak Asasi Manusia

HDI Human Development Index ata Index Pembangunan Manusia

Kapolri Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Mabes Markas Besar

OSM Organisasi Masyarakat Sipil

Pol. PP Polisi Pamong Praja

Polri Kepolisian Negara Republik Indonesia

RSK Reformasi Sektor Keamanan

SPN Sekolah Pegawai Negeri

TNI Tentara Nasional Indonesia

UNDP United Nations Development Program

UUD Undang Undang Dasar

(11)

1. Pengantar-Keamanan sebagai “Public Good”

Lihat Timothy Edmunds, “Security Sector Reform: Concepts and Implementation” Report for Geneva Centre for Democratic Control 1

of Armed Forces. Workshop November 2001.

Untuk kritik atas pelaksanaan RSK di Eropa, lihat misalnya Heiner Hanggi dan Fred Tanner, “Promoting Security Sector Governance 2

in the EU’s Neighbourhood,” Chaillot Paper no. 80, Juli 2005.

Walaupun perlu dicatat juga bahwa dalam tubuh ABRI pun cukup banyak ketegangan antar-matra yang tertanam, terutama dengan 3

adanya dominasi Angkatan Darat.

Pengawasan Anggaran dan Pengadaan

di Sektor Keamanan

Secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga jenis pendekatan pada reformasi sektor keamanan: yang pertama memusatkan perhatian pada institusi negara yang berwenang menggunakan kekuatan (force), seperti militer, polisi paramiliter (di Indonesia terutama Brimob), intellijen. Pendekatan kedua menempatkan RSK dalam konteks yang lebih luas dengan menambahkan keamanan swasta serta sistem peradilan, termasuk penuntut umum serta pengadilan. RSK didefinisikan sebagai penyediaan layanan keamanan di dalam negara dengan cara yang efektif dan efisien, dalam kerangka kontrol sipil demokratis (“provision of security within the state in an effective and efficient manner, and in the framework of democratic civilian control”).1 Pendekatan ketiga meletakkan RSK sebagai unsur kunci dalam pembangunan untuk mencapai keamanan insani (“human security”) dan berpendapat bahwa RSK perlu dipahami dan ditangani secara holistik.2

Tentu saja, setiap pendekatan ada titik-titik temu dengan pendekatan yang lain, dan masing-masing pendekatan tersebut juga mengalami perkembangan dengan bergulirnya waktu dan bertambahnya pengalaman dalam bidang yang relatif baru ini. Namun, adanya penekanan yang berbeda-beda masih menuntut supaya organisasi masyarakat sipil (OSM) membahas dan menentukan pilihan pendekatan yang sesuai dengan posisi/peran yang dibayangkan serta kapasitas yang (akan) dikembangkan. Terutama dalam menggarap segi penganggaran dan monitoring/

pengawasan sektor keamanan, jenis pendekatan yang dipilih serta pemahaman akan implikasi-implikasinya akan sangat menentukan.

Pendekatan pertama akan menuntut pemantauan dan analisis anggaran untuk masing-masing institusi sektor keamanan, dengan penekanannya yang berbeda-beda. Untuk Indonesia, hal ini sudah tentu akan membawa persoalannya tersendiri mengingat ketegangan yang masih tersisa antara TNI dengan POLRI akibat penghapusan ABRI sebagai institusi pemersatunya.3 Tingkat kesulitan bertambah jika dimasukkan juga pemantauan atas fungsi intelijen, terutama BIN. Namun, umumnya dalam pendekatan pertama, peran sipil lebih diutamakan pada fungsi-fungsi pengawas yang dilaksanakan oleh institusi-institusi kenegaraan seperti menteri/departemen yang bersangkutan untuk pengawasan internal dan untuk pengawasan dan kendali eksternal dari parlemen. Perlu diingat juga bahwa pendekatan pertama ini lebih banyak berkembang karena kepedulian negara-negara lain untuk memfasilitasi reformasi militer bagi negara-negara yang baru memasuki proses demokratisasi setelah keluar dari pemerintahan otoritarian berkepanjangan, terutama di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Soviet, dan berbagai konflik yang merebak sesudahnya. Dapat dikatakan bahwa dalam pengertian tertentu, RSK merupakan bagian integral dari penanganan kondisi keamanan dunia pasca-Perang Dingin.

(12)

Pendekatan kedua meletakkan RSK dalam kerangka yang lebih luas, dengan antara lain memasukkan reformasi sistem peradilan, mekanisme pengawasan sipil, legal drafting untuk pengaturan anggaran militer, dan mencakup unsur-unsur keamanan non-negara seperti perusahaan keamanan dan intelijen swasta. Pendekatan kedua ini timbul antara lain sebagai kritik terhadap pendekatan pertama seperti yang diimplementasi atas dorongan negara-negara luar (donor) yang terlihat terfragmentasi dan walaupun didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan menyebut pelayanan keamanan sebagai layanan publik, kurang memperhatikan penanganan yang menggunakan prinsip-prinsip tersebut. Peran masyarakat sipil non-negara (“non-state” civil society actors)—atau katakan, publik dalam negara demokratis—belum terlalu nampak.

Pendekatan ketiga dapat dikatakan lebih “holistik” atau utuh karena mengakui keamanan sebagai “public good” dalam negara demokratis dan menempatkan RSK sebagai bagian integral dari proses pembangunan manusia, sehingga keamanan (atau rasa aman) tidak hanya terpusatkan pada institusi-institusi keamanan (negara dan swasta) melainkan pada rasa aman warga dalam masyarakat dan komunitas. Salah satu dokumen penting untuk pendekatan ini di Indonesia adalah The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia, yang dikeluarkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP tahun 2004.4 Dalam dokumen ini, sektor keamanan dimasukkan sebagai bagian kunci dari pembangunan, terutama pembangunan manusia, tidak hanya karena keamanan yang baik akan menjamin bahwa investor luar akan masuk dan modal domestik tidak lari ke luar negeri, seperti pernah dialami Indonesia pada tahun-tahun awal reformasi. “Security” di sini dimaknai sebagai keamanan fisik (physical security) yang merupakan

hak yang dijamin konstitusi (pasal 28A, 28B [2], 28 G UUD 45/amandemen) dan mempunyai kaitan erat dengan—bahkan merupakan unsur menentukan bagi— pembangunan. Sebagai contoh dikemukakan kondisi di Maluku, di mana pada masa konflik, GDP turun 22% di Maluku Tengah dan 40% di Maluku Tenggara. Karena itu, walaupun keamanan tidak dihitung dalam menentukan HDI (Human Development Index, atau Index Pembangunan Manusia), tanpa keamanan (bebas dari rasa takut, bebas dari kekerasan) masyarakat sulit memperoleh hak-hak dasarnya yang lain, seperti hak atas pendidikan, layanan kesehatan, dsb., dan Millenium Goals hampir mustahil akan tercapai. Dengan kerangka pembangunan manusia ini, maka peran OMS menjadi sedikit lebih jelas: OMS merupakan bagian dari masyarakat sipil yang kepentingannya juga menyangkut penyediaan keamanan yang memadai. Ia tidak lagi bertindak sebagai pihak luar, melainkan sebagai pihak yang langsung berkepentingan pada sesuatu yang langsung berkaitan dengan hak dasarnya.

Lebih jauh lagi, RSK cenderung mempunyai wawasan keamanan transnasional (lintas negara) yang semakin diperkuat setelah peristiwa WTC di New York tahun 2001, dan kemudian di Indonesia setelah bom Bali I (dan selanjutnya hingga saat ini). Negara sebagai wadah utama penjagaan, pengendalian dan pengawasan atas keamanan dan institusi keamanan (atau atas penggunaan kekerasan) juga mengalami pergeseran, baik karena kepentingan transnasional tersebut, tetapi juga karena ancaman dari pengguna kekerasan non-negara yang tidak hanya transnasional tetapi dapat dikatakan tidak mengakui negara sebagai wadah yang legitim. Dengan demikian, terjadi juga pergeseran pada identitas dan posisi warganegara serta pada haknya atas keamanan sebagai “public good” dalam wadah negara. Dalam tulisan berjudul

BPS, Bappenas, UNDP, The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. National Human Development 4

(13)

“Locating the Public Interest in Transnational Policing,” Loader dan Walker berpendapat bahwa walaupun gerakan sosial global yang sedang berkembang merupakan semacam penyeimbang bagi tekanan-tekanan akibat globalisasi (pasar bebas), dibandingkan dengan “tingkat negara, argumen transnasional untuk sebagian besar masih bersifat aspirasi ketimbang berpijak dalam konfigurasi penataan dan budaya yang konkrit” (113). Dan sejauh ini, negara, sebagai wadah bagi keterikatan demokratis warga negara (“democratic attachment”, atau sifat afektif dan budaya) dan penataan (“ordering”), masih merupakan wadah utama (walau memang bukan satu-satunya) bagi upaya untuk menjalankan pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan keamanan. Karena itu, setiap upaya RSK (yang di Indonesia juga masih banyak disokong pihak internasional), selalu perlu diperhatikan simbiose antara sifat afektif (dimensi rasa dan budaya) dengan penataan. Posisi dan peran sebagai warganegara karenanya, harus menjadi faktor utama dalam wacana reformasi sektor keamanan, baik dari dimensi legitimasi maupun dari dimensi kepemilikan. Tanpa memperhatikan hal ini, maka upaya reformasi sektor keamanan mengalami apa yang oleh Loader dan Walker5 disebut sebagai “defisit legitimasi” (“legitimacy deficit”) yang berujung pada berkurangnya efektivitas dalam menyelenggarakan keamanan demi kepentingan publik.

Dalam menentukan posisi dan peran organisasi masyarakat sipil maka pengertian “public good” perlu dipahami sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar hal ekonomis, atau layanan yang diberi negara kepada warganya. “Public goods” mempunyai dimensi sosial yang menonjol, dan karena keamanan mempunyai sifat yang sangat mendasar, maka di antara semua public goods lain, keamanan mempunyai dimensi

sosial yang paling tebal. Dimensi keamanan menjawab akar permasalahan—yaitu rasa tak aman—yang penyebabnya juga merupakan hal sosial. Keamanan tidak hanya merupakan sesuatu (good) yang disediakan oleh negara bagi warganya melainkan memiliki dimensi subyektif yang kental, yaitu rasa bebas dari keresahan, kecemasan, ketakutan dalam lingkungan sosial. Rasa aman (atau sebaliknya rasa tak aman) membentuk relasi-relasi sosial yang paling dalam. Dengan demikian, keamanan bukan sekedar sesuatu yang dapat dipenuhi dengan penyediaan fisik seperti pangan, infrastruktur, transportasi, pendidikan dsb., tetapi menjangkau dimensi kemanusiaan ontologis (atau seperti dikatakan oleh Farhadian: keamanan ontologis, “ontological security” yakni, rasa aman dalam diri manusia sebagai manusia dan dalam relasinya dengan komunitasnya).6

Ian Loader dan Neil Walker, 2007, dalam Crafting Transnational Policing Police Capacity-Building and Global Policing Reform, 5

Andrew Goldsmith dan James Sheptycki, eds. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, hal. 111-145.

Charles E. Farhadian, 2001. “Reflexive Communities: The Non-Western Church as Healing Community,” Pastoral Psychology, Vol. 6

(14)

Kotak 1

Bagaimana Membuat Anggaran yang Ideal?

Buku Putih Pertahanan Indonesia menyatakan bahwa jumlah anggaran ideal harusnya ”didasarkan pada rasio kebutuhan pertahanan dengan memperhatikan tingkat risiko yang dihadapi.” Namun ada faktor-faktor terkait lainnya yang harus dipertimbangkan lebih lanjut, yakni:

kondisi geopolitik negara

kondisi ekonomi nasional

skala prioritas kebutuhan

doktrin pertahanan

postur pertahanan yang sudah ada sebelumnya

Dari semua itu barulah dilihat bagaimana pemerintah dapat memberikan pemenuhan anggaran pertahanan pada rasio yang proporsional. Sebagai fakta, rata-rata anggaran pertahanan di dunia, jika ini dijadikan patokan anggaran ideal, adalah 2% dari PDB, sementara Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 1% dari PDBnya. Menambah pesimisme, ahli postur pertahanan Indonesia, Connie Rahakundini, menyatakan bahwa anggaran pertahanan Indonesia masih kurang karena inflasi. Namun tak bisa dipungkiri bahwa anggaran pertahanan Indonesia naik dari tahun 2000-2007 senilai hampir 300%, begitu juga dengan anggaran polisi.

Yang perlu ditekankan adalah bukan mengejar porsi persentasi alokasi anggaran pertahanan keamanan seperti negara lain, tapi membangun kemampuan pertahanan yang berdaya tangkal, membawa stabilitas, yang pada akhirnya mendorong pembangunan nasional di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Anggaran Polri dalam Milyar Rupiah

Anggaran Dephan dalam Milyar Rupiah

Sumber: Buku Putih Pertahanan Indonesia 2003 & 2008, S. Yunanto, ”Reformasi Kepolisian Republik

(15)

K

2. Beberapa Aktor Reformasi Sektor Keamanan.

Dalam menjalankan peran kontrol dan pengawasan penyelenggaraan keamanan, ada beberapa asumsi dasar, yaitu: adanya publik yang dapat diketahui dan memiliki kepentingan bersama, yang bersedia melakukan upaya bersama. Dalam hal ini, keamanan mempunyai kemiripan dengan persamaan bahasa dan budaya dalam pembentukan komunitas dan solidaritas berdasarkan rasa saling percaya. Mudah dibayangkan bahwa tanpa rasa aman dan rasa saling percaya yang merupakan dasar kehidupan bersama akan hilang dan komunitas itu sendiri terancam. Di Indonesia, pengalaman seperti ini sudah terlalu sering dialami, dan pemulihan rasa aman tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Namun, dimensi sosial (bahkan kemanusiaan dasar) dari “sektor keamanan” ini dalam wadah negara apabila tidak disertakan dengan demokratisasi (dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik) mudah dialihkan kepada pendekatan keamanan seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Inilah sisi gelap negara yang belum terlalu lama ditinggalkan di Indonesia. Loader dan Walker membagi pendekatan reformasi sektor keamanan dalam tiga jenis: pendekatan negara, pendekatan regional, dan pendekatan masyarakat sipil. Menurut mereka, RSK umumnya berjalan menurut pendekatan negara atau regional (seperti misalnya, Eropa atau ASEAN), dan pada umumnya pendekatan seperti itu membawa apa yang mereka sebut sebagai “defisit partisipasi” (“participation deficit”).

Pendekatan tersebut juga sering terlalu mengutamakan kepentingan negara-negara mendukung. Hanggi dan Tanner, misalnya, menunjuk pada kepentingan negara-negara Eropa Barat dalam RSK bagi negara-negara-negara-negara Eropa Tengah-Timur dan Selatan yang lebih didorong oleh kepentingan menjaga keamanan internal mereka, misalnya dengan menekankan penjagaan perbatasan. Zygmunt Bauman bahkan menyatakan pesimismenya akibat marginalisasi peran negara berkembang yang seakan-akan hanya menjadi semacam “polsek” bagi kepentingan modal/investor global.7 Sebagai upaya menyeimbangi dominasi pendekatan negara/regional RSK ini maka defisit partisipasi perlu diatasi dengan partisipasi utuh dari masyarakat sipil.

Namun, masyarakat sipil juga mempunyai kelemahan yang oleh Loader dan Walker disebut sebagai “negative capacity” (atau “kapasitas negatif”), yaitu: kemungkinan terjadinya kooptasi, permasalahan legitimasi—terutama bagi organisasi masyarakat sipil, dan kecenderungan untuk hanya melontarkan kritik yang bersifat umum/tidak spesifik dan normatif/ ideal dan kurang membumi, dalam pengertian kurang mampu menerjemahkan kritik menjadi kebijakan dan regulasi untuk melaksanakan penyelenggaraan keamanan. Dapat ditambahkan juga, khususnya bagi OMS di Indonesia, kurangnya pengetahuan dan kapasitas untuk menangani pengawasan terhadap sektor keamanan.

“Dalam dunia keuangan global, negara hanya memiliki sedikit kewenangan seperti polisi lokal: kuantitas dan kualitas dari polisi di 7

daerahnya, efisiensi untul membersihkan jalan dari peminta-minta dan hak untuk mempenjarakan untuk pengamanan demi untuk mendapatkan ‘kepercayaan investor’ merupakan pertimbangan untuk membuat dan memberlakukan suatu kebijakan” (terjemahan bebas), dalam Goldsmith dan Sheptycki, 2007, hal. 33.

(16)

3. Pengawasan dan Pemantauan: Pentingnya

Anggaran.

Mengingat kuatnya warisan otoritarianisme di Indonesia, di mana dapat dikatakan masyarakat sipil mengalami keterpinggiran yang mendalam, maka kurangnya pengetahuan dan kapasitas tidaklah mengherankan, walaupun kegigihan untuk memperjuangkan demokrasi di hadapan kekuasaan eksekutif yang disokong oleh kekuasaan bersenjata tak dapat dipungkiri sebagai aset awal yang penting. Terpulihkannya kekuasaan parlemen dan peran partai sebagai wadah perwakilan bagi kedaulatan rakyat—dengan segala kekurangan yang masih sangat kentara—merupakan langkah awal yang kemudian melahirkan pemisahan fungsi kepolisian (keamanan internal) dari fungsi TNI (pertahanan terhadap ancaman eksternal). Namun, fungsi pengawasan dan pemantauan sektor keamanan masih sangat lemah. Salah satu unsur kunci dalam pengawasan adalah anggaran berbagai aktor penyelenggara keamanan negara (dan swasta).

Dalam literatur mengenai peran organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, ada pendapat yang cukup umum bahwa perhatian pada anggaran negara merupakan hal kunci dalam partisipasi yang bermakna. Anggaran merupakan bentuk substantif dari perencanaan pemerintah sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Dalam negara demokratis, kebijakan-kebijakan tersebut merupakan produk proses partisipatif, dan analisis, pemantauan dan pengawasan terhadap anggaran merupakan cara yang baik untuk menjaga akuntabilitas pemerintah

dan upaya mempengaruhi keputusan-keputusan anggaran berikut.8

Anggaran juga merupakan pernyataan pemerintah mengenai prioritas-prioritas utamanya. Dari anggaran dapat diketahui pendapatan negara dari berbagai sumber, seperti pajak; dari pengeluarannya dapat diketahui pilihan-pilihan mana yang dianggap penting. Dalam proses penyusunan dan pengesahan anggaran selalu akan terjadi gesekan kepentingan antara berbagai pihak/segmen publik mengenai prioritas, yang diharapkan akan diselesaikan dengan kesepakatan yang lahir dari perdebatan yang bermakna. Khusus bagi anggaran penyelengaraan keamanan,

Sumber yang baik untuk kegiatan pemantauan dan pengawasan anggaran adalah Bab 8, “Budget Analysis” oleh Teodora Fuior, dalam 8

manual berjudul Public Oversight of the Security Sector, Eden Cole, Kerstin Eppert, Katrin Kinzelbach, eds., yang diterbitkan oleh DCAF dan UNDP, 2008.

(17)

4. Peran yang Dapat Dimainkan Oleh Organisasi

Masyarakat Sipil.

Di Indonesia, walaupun berbagai organisasi masyarakat sipil sudah mulai mengikuti perdebatan tersebut dan memberi sumbangan kepadanya, dalam hal anggaran sektor keamanan, peran ini masih terasa sangat kurang, dan sebagian besar segi anggaran penyelenggaraan keamanan masih merupakan perbincangan yang relatif tertutup.9

Pada dasarnya, sistem penganggaran mempunyai daur/siklus berjalan sebagai berikut: kebijakan/ legitimasi—> pendapatan—> alokasi—>pemantauan—> pengawasan/akuntansi dan audit —>pengesahan/ legitimasi. (Daur anggaran yang lebih singkat dapat dibuat sebagai berikut: 1. Perumusan —> 2. Pengesahan—> 3. Pelaksanaan—>4. Evaluasi, yang untuk tahun berikut kembali ke permusan, lihat buku panduan DCAF/UNDP, 2008).

Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan pada tingkat yang paling fundamental ialah:

Kebijakan mana yang dijawab oleh rancangan

anggaran (atau anggaran yang telah disahkan)? Apakah anggaran/rancangan anggaran tersebut

memadai untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijakan?

Sejauh mana prioritas diberikan kepada salah

satu sektor dibandingkan dengan sektor-sektor lain?

Berapa persen dari anggaran negara dialokasikan

pada keseluruhan sektor keamanan?

Kompromi-kompromi antar-sektor apa yang terjadi,

dan bagaimana dampaknya pada keamanan insani (human security)?

Bagaimanakah dampak alokasi anggaran

keamanan tersebut? Buku panduan DCAF/UNDP mengakui sulitnya mengukur dampak alokasi anggaran keamanan karena kurang jelasnya indikator-indikator kinerja yang dapat digunakan. Di samping itu, karena berbagai pertimbangan, transparansi sangat berkurang dalam perumusan anggaran sektor keamanan (terutama bagi TNI dan berbagai fungsi intelijen, termasuk BIN). Karena itu, kegiatan analisis dan pengawasan terhadap anggaran sektor keamanan menuntut kerja yang lebih berat dibandingkan dengan sektor-sektor lain (hal. 161-162). Kegiatan pengumpulan data faktual sering berhadapan dengan hambatan-hambatan besar. Salah satu cara mengupayakan penerobosan ialah mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat diajak berbicara secara informal.10 Menentukan indikator dampak bagi fungsi intelijen tentu lebih sulit lagi, mengingat kerahasiaan yang perlu dijaga yang sangat menyulitkan pengawasan dan pengendalian yang efektif.

Bagaimana pembagian alokasi antara

institusi-•

institusi penyelenggara keamanan?

Prioritas-Rancangan UU Rahasia Negara dapat berakibat semakin tertutupnya ruang partisipasi publik dalam berdebatan mengenai anggaran 9

keamanan dan pertahanan.

Membangun relasi-relasi informal dengan berbagai aktor/narasumber menjadi bagian penting dari pekerjaan pengawasan anggaran 10

keamanan. Sangat mungkin terjadi bahwa narasumber yang bersangkutan hanya bersedia memberi keterangan “off the record” atau secara anonim. Ini tidak berarti bahwa data yang diperoleh tidak dapat digunakan, tetapi menuntut kehati-hatian dalam melakukan verifikasi dan perlindungan identitas sumber. Adanya undang-undang yang mengatur hak atas informasi (Freedom of Information Act) tentu akan sangat membantu kegiatan ini, dan mungkin merupakan upaya penting bagi OMS yang bergerak di bidang legislasi dan sektor keamanan. Namun, undang-undang seperti itu tidak juga bisa membuka tabir kerahasiaan secara keseluruhan.

Analisis kebijakan walau merupakan bagian integral dari analisis anggaran tidak dibahas dalam tulisan ini secara rinci, namun penulis 11

berpendapat bahwa pendekatan holistik yang berpegang pada nilai-nilai dan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan menitikberatkan keamanan insani merupakan dasar untuk melakukan analisis kritis terhadap kebijakan penyelenggaraan keamanan di Indonesia.

(18)

prioritas apa yang tercermin dalam alokasi? Dalam konteks ini, salah satu pembagian alokasi terpenting bagi Indonesia pasca-militerisme ialah pembagian alokasi untuk pertahanan (menjaga keamanan terhadap pihak eksternal) dengan keamanan internal dan penegakan hukum. Sejak terpisahnya POLRI dan TNI, terkesan adanya “perebutan” baik jurisdiksi dan anggaran antara keduanya, yang juga mudah menjadi sumber ketegangan dan rasa tak aman. Bahkan di antara matra-matra TNI pun dapat terjadi ketegangan, terutama dalam hal pengadaan alutsista yang tepat untuk pertahanan negara kepulauan, regenerasi alutsista yang sudah mendesak, dan penentuan alokasi personil bagi masing-masing matra yang diatur dalam kebijakan. Alokasi anggaran bagi intelijens juga seharusnya tercermin dalam anggaran.

Mengingat pentingnya keamanan sebagai public good utama (oleh Fuior, 2008 disebut sebagai “primus inter pares” di antara semua public goods, hal. 161), dan mengingat warisan militerisme yang masih cukup berbekas di Indonesia, maka analisis anggaran

juga sebaiknya disertakan dengan analisis seluruh perangkat kebijakan penyelenggaraan keamanan baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang.11 Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan sebagai panduan ialah: sejauh mana kebijakan penyelenggaraan keamanan menjamin rasa aman dan rasa adil warga masyarakat? Sejauh mana kebijakan tersebut lebih menjamin keamanan pihak investor (termasuk investor luar)? Walaupun investasi merupakan bagian penting dari pengembangan kehidupan ekonomi—juga bagi komunitas lokal— kedua kelompok kepentingan tersebut sering dipertentangkan, dan sering melahirkan berbagai bentuk ketegangan dan rasa tak aman yang mudah terpicu menjadi konflik terbuka.

Beberapa pertanyaan khusus:

Dalam buku panduan DCAF/UNDP, 2008, hal. 173, diberikan daftar unsur-unsur khusus yang termasuk dalam anggaran pertahanan (dengan beberapa penyesuaian):

Pengeluaran yang biasanya termasuk dalam anggaran pertahanan:

Kotak 2

Sumber Anggaran TNI & Polri

Sumber anggaran TNI berdasarkan UU Pertahanan No. 3/2002 dan UU TNI no. 34/2004 hanya berasal dari APBN. Sementara dalam UU Polri No. 22/2002 tidak dijelaskan darimana sumber anggaran institusi ini, sehingga membuka peluang bagi praktek pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak akuntabel dan transparan. Perbedaan sumber dana ini menyebabkan adanya kecemburuan TNI kepada Polri dalam masalah anggaran, belum lagi menyangkut jumlah besarannya.

Jumlah anggaran yang diberikan pemerintah kepada TNI pada tahun 2009 adalah sebesar 35 triliun rupiah yang harus dibagi kedalam 5 pos (Dephan, Mabes TNI, AD, AL, dan AU). Sementara untuk Polri anggarannya sebesar 25 triliun, selain itu Polri bisa mendapat bantuan anggaran dari pemerintah daerah bagi Polda maupun Polwil.

Sehingga ada kasus dimana terjadi perebutan anggaran antara TNI dan Polri. Misalnya pada tahun anggaran 2001, TNI menagih Polri sebesar Rp 95 milyar sebagai klaim pengerahan tentara pada berbagai bantuan pengamanan. Sebelumnya pada tahun anggaran 2000, Polri juga harus menyetor pada TNI Rp 75 milyar.

(19)

Personil (termasuk personil militer dan sipil: gaji,

makanan, jaminan sosial untuk personil dan keluarga)

Operasi dan pemeliharaan

Pengadaan persenjataan

Riset dan pengembangan

Bantuan militer (unsur ini terdapat dalam anggaran

negara donor)

Unsur-unsur terkait militer yang sering tidak

dimasukkan dalam anggaran pertahanan: Pertahanan sipil

pertahanan ekonomi (objek vital)

pertahanan psikologis (terhadap propaganda

musuh)

Pengeluaran sekarang untuk kegiatan militer

lalu (bisa terdapat dalam anggaran berbagai departemen di luar pertahanan)

jaminan untuk veteran

program demobilisasi dan reintegrasi (di Indonesia

misalnya, di Aceh)

perubahan penggunaan fasilitas produksi senjata

penghancuran senjata

Pengeluaran untuk pertahanan di luar departemen

pertahanan (untuk satuan-satuan paramiliter; di Indonesia Brimob berada di bawah Kepolisian Negara);

Gaji untuk personil militer yang dipekerjakan pada

proyek pembangunan (seperti membangun jalan/ jembatan)

Pembangunan/konstruksi militer (unsur ini belum

tentu masuk anggaran pertahanan)

Bantuan asing untuk militer (tidak masuk dalam

anggaran negara penerima bantuan)

Pendapatan dari kegiatan ekonomi angkatan

bersenjata

konversi fasilitas pertahanan melalui privatisasi,

penjualan atau penyewaan

akses pada dan eksploitasi sumberdaya alam

oleh militer

kegiatan komersial militer (kadang tidak dikenakan

pajak)

Utang untuk belanja militer (bunga dan

pengurangan nilai/amortisasi peralatan militer yang dibiayai utang luar negeri)

Pertukaran/barter (komoditas yang ditukar

dengan sistem barter dengan peralatan militer) Dana kontinjensi dan dana darurat (adakalanya

hanya terdapat pada suplemen atau amandemen anggaran)

“Anggaran Hitam” – identitas, maksud dan biaya

operasi rahasia tidak dirinci atau tidak diidentifikasi secara jelas dalam dokumen anggaran.

Yang belum termasuk dalam daftar di atas adalah alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan baik melalui sekolah-sekolah (kodiklat) maupun berbagai pelatihan-pelatihan khusus lain.

Juga protap untuk dalmas. 12

Misalnya AK 47 yang dikonversi khusus untuk tugas kepolisian, revolver, dsb. 13

Salah satu hambatan dalam penganggaran untuk polmas mungkin juga bersumber pada kurangnya pemahaman anggota legislatif 14

mengenai prinsip dan metode polmas. Konsep mengenai “policing budget” untuk melengkapi “police budget” merupakan hal yang baru: “policing budget” juga mencakup kebutuhan untuk mendukung kegiatan komunitas dalam bermitra dengan polisi, dan mungkin lebih cocok dikembangkan di tingkat DPRD. Peraturan Kapolri no. 7, 2008 cukup membantu dalam mendalami pemahaman mengenai polmas. Salah satu masalah yang juga merupakan hambatan adalah mekanisme internal kepolisian, yang kadang-kadang kurang mengutamakan sinkronisasi institusional. Untuk keperluan polmas, perencanaan dan alokasi anggaran menuntut perubahan pendekatan dari top-down menjadi bottom-up. Alokasi anggaran harus dapat mencerminkan kebutuhan riil di lapangan, dan mengingat keragaman komunitas di Indonesia, tidak dapat dilakukan secara seragam. Desentralisasi kewenangan dari Mabes POLRI ke Polda dan terutama Polres sebagai kesatuan operasi dasar (basic command unit) sudah berjalan tetapi masih terdapat berbagai hambatan yang disebabkan, antara lain, oleh sistem manajemen yang belum secara tuntas mendukung perencanaan bottom-up, serta sistem penganggaran dan pengawasan yang masih terkesan kaku. Bagi kepolisian Indonesia, gabungan antara struktur sentral dengan desentralisasi merupakan pendekatan yang paling tepat dan diharapkan dapat memberi kelenturan yang cocok dengan keadaan lokal sambil menghindari fragmentasi yang terjadi seperti, misalnya, di Amerika Serikat. Diharapkan juga bahwa sistem pengawasan dan pengendalian sentral dapat mengurangi korupsi yang mudah terjadi dengan tekanan pada pemolisian lokal.

(20)

Anggaran kepolisian juga memuat unsur-unsur seperti biaya personil, biaya operasional, pengadaan senjata dan peralatan khusus kepolisian, penelitian dan pengembangan, material dan logistik, ditambah dengan tugas khusus kepolisian seperti Intelkam, Reskrim, Samapta, Lalu-lintas (termasuk lalu-lintas perairan), Densus 88, Brimob, serta pendidikan kepolisian dari SPN hingga pendidikan lanjut dan SESPIM/SESPATI. Khususnya untuk peralatan dengan spesifikasi kepolisian perlu dilihat sejauh mana pengadaan peralatan menunjang kebijakan POLRI dalam pelaksanaan prosedur-prosedur yang sesuai dengan HAM (hal ini sekarang lebih dimungkinkan sejak dikeluarkannya Peraturan Kapolri no. 8, 2009).12 Ini menyangkut baik peralatan/ senjata yang tidak mematikan (non-lethal) dari yang paling sederhana seperti borgol, tongkat polisi dan alat dan pakaian pelindung sampai yang lebih canggih seperti water-cannon, dsb., serta senjata api khusus spesifikasi polisi13 serta pelatihan-pelatihan khusus untuk implementasi dan penggunaannya. Tidak kalah pentingnya adalah fasilitas penahanan yang sesuai dengan standar HAM dan kepolisian internasional. Program pemolisian masyarakat juga memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat/ warga komunitas dalam penyelenggaraan keamanan dan merupakan langkah penting dalam membangun kepolisian sipil dan demokratis yang mampu menjawab kebutuhan rasa aman dan rasa adil di tingkat lokal. Sejauh mana alokasi anggaran mencerminkan adanya dukungan riil bagi pemolisian masyarakat?14

Mengingat warisan Orde Baru yang sangat kental di sektor keamanan, dan tidak adanya transparansi selama itu, maka ada seperangkat unsur khusus yang sangat membutuhkan perhatian. Untuk pemantapan upaya reformasi penyelenggara keamanan pendidikan dan pelatihan merupakan unsur kunci bagi perubahan kultural dan mental yang diharapkan. Apakah anggaran memberi alokasi yang cukup untuk pelatihan/pendidikan yang tepat? Berapa besar

persentase pembiayaan pendidikan dan pelatihan yang berasal dari bantuan donor luar? Apakah ada indikator-indikator khusus untuk mengukur dampak berbagai program pendidikan tersebut?

Di samping itu, sistem manajemen dan akuntabilitas internal juga membutuhkan pembenahan. Apakah alokasi penganggaran memberi perhatian pada unsur penting ini?

Penelitian dan pengembangan merupakan fungsi penting bagi penyelenggara keamanan maupun pertahanan. Bagi penegak hukum, penelitian dan pengembangan menjadi sangat krusial untuk menjawab perubahan lingkungan dan berbagai pendekatan, metodologi dan teknologi terbaru. Dalam beberapa hal kunci (misalnya, bagi kepolisian, pengembangan metode-metode pencegahan kejahatan terbaru untuk menjawab berbagai jenis kejahatan mutakhir) juga memerlukan kerjasama yang baik dengan masyarakat sipil, seperti akademisi yang memiliki pengetahuan tersebut dan dapat memberi dukungan sebagai analis khusus. Apakah anggaran mencerminkan pentingnya unsur ini?

Segi kesetaraan gender juga sangat membutuhkan perhatian dalam analisis anggaran dan pengawasan. Bagi kepolisian, gender bukan sekedar ideal abstrak yang dituntut karena adanya peraturan mengenai pengarusutamaan gender: selama ini perlakuan terhadap perempuan, baik korban maupun pelaku, sangat jauh di bawah standar dilihat dari segi penanganan dan fasilitas seperti unit khusus untuk penanganan perempuan dan anak, walaupun sudah ada peraturan kapolri. Jumlah polwan sangat kurang dibandingkan dengan warga perempuan dan anak yang memiliki hak akses pada keamanan. Semua ini berarti bahwa bagi perempuan—yang sering masih dilihat sebagai insan domestik di ranah privat— keamanan sebagai public good utama masih sangat jauh dari jangkauannya. Karena masih ada pemisahan

(21)

gender yang ketat di dalam kepolisian, maka bagi sekian banyak perempuan di seluruh Indonesia, hanya ada satu sekolah kepolisian (Sepolwan), yang tempatnya di Jakarta, sementara SPN-SPN di seluruh Indonesia hanya merupakan sekolah bagi laki-laki. Alokasi anggaran yang tepat akan sangat membantu mendobrak diskriminasi gender sistemik ini yang sangat merugikan lebih dari setengah warga Indonesia (dengan menghitung anak laki-laki maupun perempuan yang masih membutuhkan pengasuhan ibu). Keterlibatan perempuan dalam fungsi intelijen tentu ada, walaupun data mengenai itu belum diperoleh untuk keperluan tulisan ini. Tetapi budaya maskulinis-kekerasan yang mewarnai institusi-institusi penyelenggara keamanan memerlukan perubahan. Di Indonesia, masalah yang barangkali paling menghambat transparansi, akuntabilitas dan auditabilitas institusi-institusi penyelenggara keamanan adalah pendapatan-pendapatan “off budget” (di luar anggaran). Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa ketergantungan pada penghasilan “off budget” cenderung “menswastakan” keamanan dan dengan demikian mengingkari sifatnya sebagai public good, apalagi sebagai primus inter pares di antara semua public goods. Ketergantungan pada pendapatan di luar anggaran merupakan warisan budaya militeristik Orde Baru yang sangat sulit diberantas dan menyebabkan penyelenggara keamanan terlalu akrab dengan korupsi, ekstorsi dan berbagai usaha gelap (seperti misalnya perjudian, prostitusi dan human trafficking terselubung), yang pada gilirannya membuka peluang bagi berbagai praktek gelap lain seperti yang berdampak pada keamanan penyelundupan senjata, manajemen perbatasan yang buruk, dan sebagainya. Pendapatan off-budget juga sering ditengarai sebagai pemicu ketegangan, bahkan konflik, antara institusi-institusi penyelenggara keamanan sendiri, yang

Pengeluaran untuk jasa kemananan seperti itu dapat diperoleh dari laporan perusahaan kepada pemegang sahamnya, tetapi kalau 15

perusahaan tersebut tidak menjual saham ke publik, melacak pengeluaran tersebut akan sulit sekali. Pengeluaran seperti ini tidak hanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tetapi juga pada skala yang lebih kecil, yang oleh publik sering disebut sebagai “backing” yang diberi oleh penyelenggara keamanan dalam berbagai bentuk.

mudah merebak menjadi keresahan dan konflik yang lebih tajam di kalangan masyarakat. Setidak-tidaknya, pendapatan dari perusahaan-perusahaan swasta untuk pengamanan perlu pengawasan dan pengendalian publik dan tidak dirahasiakan.15 Tetapi lebih jauh dari itu, pendapatan-pendapatan tambahan bahkan pada skala yang paling kecil (termasuk pungutan ilegal oleh polisi lalulintas) dan “sumbangan-sumbangan” yang tak terkendali, juga memperdalam rasa kurang percaya warga kepada penyelenggara keamanan, memperbesar defisit legitimasinya, dan menguras karakter keamanan sebagai public good utama dalam negara demokratis: keamanan yang ditopang—walau sebagian—oleh kontribusi swasta (legal maupun ilegal) menjadi “good” seperti komoditas lain yang diperebutkan (melawan sifat non-rival), dan sebagian warga (biasanya yang tidak memiliki uang) terkucilkan dari akses kepadanya. Untuk pengawasan atas penganggaran sektor keamanan, apalagi berkaitan dengan reformasi dan prinsip-prinsip dasar demokrasi, barangkali unsur off-budget inilah yang menjadi tantangan yang paling besar. Ikutserta OMS dalam melaksanakan pengawasan, pemantauan, analisis anggaran dan pemberian masukan alternatif mengenai prioritas-prioritas alokasi bagi penyelenggara keamanan merupakan tugas yang cukup berat, tetapi makna akuntabilitas dan auditabilitas publik perlu secara bertahap diperkuat dan diperdalam dengan menangani permasalahan yang berkaitan dengan unsur-unsur anggaran yang sifatnya “off-budget.”

(22)

Sistem pendidikan (misalnya: pengembangan

kurikulum dasar, pengembangan manajemen, litbang)

Pembenahan sistem internal (misalnya

pembenahan sistem pengawasan internal, manajemen)

Penguatan Unit-Unit PPA yang ada di tingkat Polres,

penyampaian layanan PPA ke tingkat Polsek, di mana kebanyakan perempuan dan anak berada. Apakah alokasi anggaran menjawab permasalahan 2.

tersebut?

Bagaimana alokasi tahun ini dibandingkan dengan 3.

tahun lalu? (apakah menunjukkan kecenderungan ke arah lebih baik? Atau sebaliknya terjadi pemotongan alokasi?)

Adakah bagian yang tidak memperoleh alokasi 4.

atau alokasinya terlaku kecil? Kenapa? Bagaimana seharusnya?

Pemantauan: bagaimana proses pengeluaran? 5.

Apakah sesuai dengan target? Apakah ada alokasi yang tidak terpakai atau dialihkan? Kenapa? (karena kendala internal, misalnya kelemahan manajemen? Kendala eksternal?)

Apakah penyerapan dana efisien? (alokasi dipakai 6.

tetapi tidak efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan)

Bagaimana mekanisme perencanaan dan 7.

pengawasan internal?

Apakah sistem audit sudah cukup dan efektif? 8.

Apakah proses pemeriksaan, pengesahan dan 9.

pengawasan oleh DPR dilakukan dengan baik dan memahami persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan keamanan? Adakah komisi khusus yang bertanggungjawab untuk mengawasi hal-hal yang dianggap sebagai rahasia? Apakah mereka sudah memperoleh “security clearance”

5. Catatan Tambahan untuk Kegiatan Pengawasan

Penganggaran

Institusi-institusi penyelenggara keamanan mana yang akan dijadikan fokus?

Tingkat Nasional: TNI, BIN, POLRI. Tingkat Daerah: Pol. PP, dsb. Swasta: ?

Walaupun akan memusatkan perhatian pada satu institusi, wawasan yang juga mencakup institusi-institusi penyelenggara keamanan (dan mungkin peradilan) tetap dibutuhkan.

Siapakah aktor-aktor kunci dalam penyusunan anggaran dan pengawasan institusi-institusi penyelenggara keamanan?

Eksekutif: Menteri Pertahanan dan Keamanan, Sektretaris Negara

Legislatif: Komisi I, Komisi III, Panitia Anggaran. Yudikatif: Apabila terjadi penyimpangan penggunaan anggaran, apakah ada mekanisme untuk melakukan koreksi (karena anggaran negara disahkan sebagai undang-undang, maka penyimpangan/ penyalahgunaan merupakan pelanggaran hukum). Tingkat daerah: Gubernur, Bupati, DPRD

Berkaitan dengan aktor keamanan swasta: lembaga mana yang menjalankan fungsi pengendalian, pengawasan dan penjaga mutu?

Beberapa pertanyaan konkrit awal untuk membantu analisis anggaran:

Permasalahan apa yang perlu dijawab? 1. Misalnya: Alutsista

Kesejahteraan personil

Pelatihan-pelatihan khusus (misalnya: Hak Asasi

(23)

yang memadai?

Peran OMS dalam pemantauan penganggaran:

Mengingat beratnya pekerjaan dan keahlian yang dibutuhkan maka sebaiknya dilakukan semacam analisis kapasitas sendiri dan arah pengembangan yang realistis sebelum menentukan pilihan.

Mengingat keamanan sebagai public good berkenaan dengan rasa aman dan rasa adil komunitas setempat, perlu dilakukan analisis keadaan keamanan pada komunitas tempat OMS berada/bergerak. Apa yang mengganggu rasa aman dan rasa adil? Apa saja ancaman-ancaman pada rasa aman dan rasa adil? Alangkah baiknya jika dapat dilakukan pemetaan lokal untuk membantu menentukan prioritas-prioritas yang kemudian tercermin pada tingkat yang lebih tinggi/ nasional.

Dibutuhkan peembagian kerja menurut pengetahuan/ keahlian dan lokasi.

Lakukan dentifikasi kebutuhan OMS: pelatihan khusus, pendidikan lanjut sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan.

Monitoring:

Memantau pengeluaran: pada titik-titik mana? (misalnya: pengadaan alutsista, penyelengaraan pendidikan dasar, lanjutan. Untuk tingkat komunitas: misalnya jumlah personil polisi dengan pendidikan HAM dan polmas yang memadai, yang juga memiliki dukungan yang memadai sehingga tidak perlu minta kepada masyarakat.)

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh OMS: 1. Dalam perumusan anggaran:

melakukan identifikasi kebutuhan

menyusun usulan anggaran alternatif

(keseluruhan atau dengan fokus pada satu atau beberapa unsur)

2. Dalam legalisasi anggaran:

mengupayakan keterbukaan dalam proses

pengesahan anggaran

menyusun rangkuman anggaran yang analitis

dan kritis. 3. Implementasi:

melakukan advokasi anggaran

memantau dampak

4. Audit: mengukur dampak

meneliti input dan output

menyusun rekomendasi untuk tahun berikut.

Untuk melakukan kegiatan pengawasan anggaran penyelengaraan keamanan dibutuhkan:

riset faktual (tentu di tingkat nasional, tetapi

di tingkat lokal/komunitas ini sangat perlu dan sering terlupakan)

perumusan tujuan yang realistis

mengupayakan solusi yang positif

membangun kemitraan/aliansi, juga dengan

narasumber

merumuskan pesan yang jelas baik bagi

penyelenggara negara, institusi-institusi keamanan dan perangkat pengawasnya, tetapi juga jelas bagi warga komunitas dan memperoleh persetujuan dari warga.

(24)

Kotak 3

Ketika Aktor-Aktor Sektor Keamanan Berbisnis

Terdapat tiga jenis bisnis yang berjalan di lingkungan aktor keamanan di Indonesia; koperasi, yayasan dan perorangan yang biasanya mempunyai kaitan dengan institusi keamanan. Bisnis polisi maupun militer sudah berlangsung sejak Orde Baru berkuasa.

Di lingkungan Polri, bisnis itu ada yang sejalan dengan wewenang yang dimiliki, seperti bisnis di bidang pengadaan sarana administrasi SIM, STNK, BPKB, plat nomor kendaraan dan asuransi kecelakaan lalu-lintas. Sementara di lingkungan TNI, terdapat yayasan milik AD, AL, AU yang bergerak di berbagai bidang mulai dari transportasi, logging, hingga perbankan.

Penanganan bisnis Polri berbeda dengan pengananan bisnis militer. Saat ini persoalan yang berkaitan dengan bisnis militer sudah mendapatkan pehatian kalangan OMS yang luas dan kerangka hukum yang jelas dalam pasal 76 UU TNI No.34/2004, walaupun implementasinya belum berjalan karena hingga Juli 2009 belum ada satu bisnis militer pun yang diambil alih pemerintah. Hingga saat ini kajian tentang bisnis Polri masih sangat minim. Kerangka hukumnya pun belum jelas. UU tentang Polri tidak menyebutkan arah yang jelas tentang bisnis Polri ini.

Keterlibatan aktor keamanan dalam bisnis akan mempengaruhi profesionalitas, independesi dan asas keadilan dalam memberikan pelayanan. Selain itu, belum adanya kerangka penanganan bisnis Polri juga menimbulkan kecemburuan di kalangan Militer yang keterlibatannya dalam bisnis juga telah diusik melalui beberapa kajian dan bahkan UU.

Sumber: S. Yunanto, ”Reformasi Kepolisian Republik Indonesia: Baru Janji, Belum Bukti”, (Jakarta:

Lesperssi, 2009), Tesis Fitriani, Study of Indonesian Government’s Policy Implementation in Separating Military from Business, ITB 2009

(25)

Buku Putih Pertahanan Indonesia 2003 & 2008 S. Yunanto. ”Reformasi Kepolisian Republik Indonesia:

Baru Janji, Belum Bukti”. Jakarta: Lesperssi, 2009 Connie R. Bakrie. Pertahanan Negara dan Postur TNI

Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 Timothy Edmunds. “Security Sector Reform: Concepts

and Implementation” Report for Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces. Workshop November 2001

Heiner Hanggi dan Fred Tanner. “Promoting Security Sector Governance in the EU’s Neighbourhood”. Chaillot Paper. No. 80, Juli 2005

BPS, Bappenas, UNDP. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. National Human Development Report

Andrew Goldsmith dan James Sheptycki, eds. Crafting Transnational Policing Police Capacity-Building and Global Policing Reform, Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2007

Charles E. Farhadian. “Reflexive Communities: The Non-Western Church as Healing Community,” Pastoral Psychology, Vol. 49, No. 3, 2001

Teodora Fuior. Oversight of the Security Sector, Eden Cole, Kerstin Eppert, Katrin Kinzelbach, eds. DCAF dan UNDP, 2008

Peraturan Kapolri No. 7/2008

Indonesia Human Development Report 2004, Economics of Democracy. BPS, Bappenas, UNDP, 2004

Connie R. Bakrie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007 Michael E. O’Hanlon. Budgeting for Hard Power:

Defense and Security Spending Under Barack Obama. Brooking Institution Press, 2009

Gary Schmitt. Of Men and Materiel: The Crisis in Defense Spending. London: AEI Press, 2007. Departemen Pertahanan RI. Mempertahankan Tanah

Air Abad 21, 2008

Marpaung, Rusdi. et al. (ed). Dinamika Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Pro Patria, 2005. Nurhasim, Moch. (ed). Praktek-praktek Bisnis Militer:

Pengalaman Indonesia,Burma, Filipina, dan Korea Selatan. Jakarta: The RIDEP Institute-FES, 2003. Stanley (ed). Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta:

Propatria, 2000

Sukadis, Beni. Eric Hendra (ed). Menuju TNI yang Profesional: Restrukturisasi Bisnis TNI. Lesperssi, 2005

Widjajanto, Andi (ed). Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia. Jakarta: Pro Patria, 2004.

Widoyoko, Danang, et. al. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: ICW & NDI, 2003.

Yunanto, Sri. Et al. Evaluasi Kolekstif Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia: TNI dan Polri. Jakarta: The RIDEP Institute-FES, 2005.

Reiffel, Lex and Jaleswari Pramodhawardani, Menggusur Bisnis Militer: Tantangan Pembiayaan TNI Melalui APBN. Bandung: Mizan, 2007.

7. Bacaan Lanjutan

6. Daftar Pustaka

(26)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS

KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dipandang perlu menyesuaikan beberapa ketentuan dan istilah di dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 agar selaras dengan kedua undang-undang dimaksud;

b. bahwa untuk lebih meningkatkan transparansi dan kompetisi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah serta untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan negara, dipandang perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai tata cara pengumuman dalam rangka pengadaan barang/jasa pemerintah;

c. bahwa untuk lebih memperoleh hasil yang maksimal dalam pelaksanaan sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan dalam rangka meningkatkan kompetensi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah, dipandang perlu mengatur kembali batas waktu kewajiban syarat sertifikasi bagi Pejabat Pembuat Komitmen dan panitia/pejabat pengadaan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah;

d. bahwa sehubungan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, dipandang perlu mengubah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3956);

3. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212), sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);

4. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005;

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH.

Gambar

Foto Sampul © Teddy, 2009 Ilustrasi cover Nurika Kurnia

Referensi

Dokumen terkait

Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan,. hanyalah Tuhan yang mencipta, dan manusia hanya dapat

(a) Bakso ayam (b) Fillet daging... bahan setengah jadi di simpan lama dalam kondisi beku seperti bakso, sosis, atau dapat juga disimpan dalam kondisi kering seperti

“ Penerapan Model Pembelajaran Somatis Auditori Visual dan Intelektual (SAVI) Berbantuan media Komputer Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia Fisika... Tersedia

Pengguna data mengakui bahwa BPS tidak bertanggung jawab atas penggunaan data atau interpretasi atau kesimpulan berdasarkan penggunaan data apabila tidak diketahui atau

40 km 2 , t et api hanya sekit ar 22% dari luasan t ersebut yang dapat diperunt ukkan menj adi kawasan budi daya (pert anian dan non pert anian), permukiman, sert a unt uk

Mak- simum total drift adalah 0,00340 arah x dan 0.00507 arah y < 0.01 , sehingga gedung termasuk dalam level kinerja Immediate Occupancy (IO) , dimana terjadi kerusakan kecil

Kepala

Untuk soal nomor 1-6, pilihlah kata atau frasa yang bertanda A,B,C,D atau E yang mempunyai arti sama atau paling dekat dengan kata yang dicetak dengan huruf kapital