• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

28

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai gambaran persebaran IPM dan komponen-komponen penyususn IPM di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan pemodelan dengan menggunakan analisis Spatial Error Model (SEM) untuk mengetahui persebaran IPM dan komponen-komponen penyusunnya di Provinsi Jawa Tengah.

4.1 Pola Penyebaran IPM dan Komponen-Komponen Penyusun IPM

Berdasarkan data survei terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai IPM tahun 2011, Jawa Tengah menempati peringkat 14 untuk tingkat nasional dengan nilai IPM sebesar 72,94. Angka tersebut masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain yang nilai IPM-nya berada dikisaran tinggi, padahal Jawa Tengah adalah provinsi yang notabene memiliki wilayah besar dengan banyak kabupaten/kota.

Hasil output ArcView pada gambar 4.1 menunjukkan persebaran IPM di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011. Berdasarkan gambar 4.1 dapat diketahui bahwa warna lokasi semakin hijau, maka persentase IPM semakin tinggi. Terlihat bahwa kabupaten/kota dengan persentase IPM berkisar antara 74,9% - 78,18% adalah Kota Magelang (76,33%), Kota Salatiga (76,83%), Kota Semarang (77,42%), dan Kota Surakarta (78,18%). Kabupaten/kota dengan presentase IPM antara 73,49% - 74,90% adalah Kabupaten Karanganyar (73,82%) dan Kabupaten Klaten (74,10%), Kabupaten Semarang (74,45%), Kabupaten Temanggung

(2)

29

(74,47%). Kabupaten/kota dengan presentase antara 71,86% - 73,49% terlihat mengelompok yaitu pada Kabupaten Rembang (72,45%), Kabupaten Demak (73,09%), Kabupaten Jepara (73,12%), Kabupaten Kudus (73,24%), dan Kabupaten Pati (73,49%). Untuk kabupaten/kota dengan persentase berkisar antara 70,39% - 71,86% juga terlihat mengelompok pada Kabupaten Blora (71,25%), Kabupaten Boyolali (71,25%), Kabupaten Grobogan (71,27%), dan Kabupaten Sragen (71,33%). Sedangkan kabupaten/kota dengan persentase paling rendah yaitu berkisar antara 68,61% - 70,39%, yaitu Kabupaten Brebes (68,61%), Kabupaten Pemalang (70,22%), dan Kabupaten Banjarnegara (70,39%).

Gambar 4.1 Persebaran IPM Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011

Berikutnya gambaran tentang penyebaran AHH ditunjukkan pada gambar 4.2. Kabupaten/kota dengan lamanya AHH ditunjukkan dengan warna semakin coklat kabupaten/kota, maka semakin lama rata-rata tahun hidup yang akan

(3)

30

dijalani seseorang di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kabupaten/kota yang tergolong memiliki AHH tinggi berkisar antara 71,67 – 72,89 per tahun adalah Kota Semarang (72,18 per tahun), Kota Surakarta (72,25 per tahun), Kabupaten Karanganyar (72,28 per tahun), Kabupaten Wonogiri (72,35 per tahun), Kabupaten Semarang (72,54 per tahun), Kabupaten Temanggung (72,66 per tahun), dan Kabupaten Sragen (72,75 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH 70,78 – 71,67 per tahun ditempati oleh Kabupaten Jepara (70,99 per tahun), Kabupaten Demak (71,59 per tahun), Kabupaten Blora (71,41 per tahun) dan Kabupaten Cilacap (71,12 per tahun). Adapun kabupaten/kota dengan tingkat AHH antara 69,68 – 70,78 per tahun terdapat pada Kabupaten Wonosobo (70,23 per tahun), Kabupaten Purworejo (70,78 per tahun), Kabupaten Magelang (70,18 per tahun), dan Kabupaten Boyolali (70,43 per tahun). Kabupaten/kota dengan AHH berkisar antara 67,96 – 69,68 per tahun adalah Kabupaten Pekalongan (69,28 per tahun), Kabupaten Banjarnegara (69,20 per tahun) dan Kabupaten Kebumen (69,37 per tahun). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AHH rendah yaitu berkisar antara 67,90 – 67,96 per tahun adalah Kabupaten Pemalang (67,90 per tahun) dan Kabupaten Brebes (67,96 per tahun).

(4)

31

Gambar 4.2 Persebaran AHH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011

Persebaran AMH di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 ditunjukkan pada gambar 4.3 dengan warna lokasi semakin merah, maka persentase AMH semakin tinggi. Persentase AMH menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah yang tergolong tinggi berkisar antara 94,9% - 97,29% adalah Kota Pekalongan (95,93%), Kabupaten Temanggung (95,96%), Kota Semarang (96,47%), Kota Salatiga (96,52%), Kota Surakarta (96,71%), dan Kota Magelang (97,29%). Kabupaten/kota dengan AMH antara 92,08% - 94,90% terlihat mengelompok yaitu Kabupaten Jepara (93,15%), Kabupaten Magelang (93,29%), Kabupaten Demak (92,53%), Kabupaten Semarang (93,67%) dan Kabupaten Kudus (93,73%),. Kabupaten/kota dengan AMH antara 89,92% - 92,08% adalah Kabupaten Wonosobo (91,16%), Kabupaten Kebumen (91,53%), dan Kabupaten Purworejo (91,74%). Untuk kabupaten/kota dengan AMH berkisar antara 86,15%

(5)

32

- 89,92% adalah Kabupaten Banjarnegara (88,48%) Kabupaten Kendal (89,31%), dan Kabupaten Batang (89,90%). Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki AMH rendah berkisar antara 83,50% - 86,15% yaitu Kabupaten Wonogiri (83,50), Kabupaten Sragen (84,41%), Kabupaten Blora (85,06%) dan Kabupaten Brebes (86,15%).

Gambar 4.3 Persebaran AMH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011

Apabila persentase IPM di suatu kabupaten/kota tinggi, ada kemungkinan kemampuan daya beli masyarakatnya juga tinggi. Gambar 4.4 menunjukkan penyebaran PPP di setiap kabupaten/kota. Kabupaten/kota dengan PPP tinggi ditunjukkan dengan warna semakin ungu. Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp 646.390,00 – Rp 655.770,00 yaitu Kabupaten Pati (Rp 648.770,00), Kabupaten Wonogiri (Rp 649.510,00), Kabupaten Karanganyar (Rp 649.700,00), Kabupaten Sukoharjo (Rp 649.960,00), Kota Salatiga (Rp 650.390,00), Kota

(6)

33

Magelang (Rp 651.910,00), Kota Tegal (Rp 653.110,00) dan Kota Surakarta (Rp 655.770,00). Kabupaten/kota dengan PPP berkisar antara Rp 639.980,00 – Rp 646.390,00 adalah Kabupaten Blora (Rp 642.830,00), Kabupaten Rembang (Rp 644.430,00), dan Kabupaten Klaten (Rp 646.390,00). Kabupaten/kota dengan PPP antara Rp 636.620,00 – Rp 639.980,00 terlihat mengelompok pada Kabupaten Semarang (Rp 637.710,00), Kabupaten Temanggung (Rp 638.070,00), Kabupaten Magelang (Rp 638.160,00), dan Kabupaten Kendal (Rp 639.780,00). Kabupaten dengan PPP berkisar antara Rp 632.870,00 – Rp 636.620,00 adalah Kabupaten Grobogan (Rp 635.150,00) Kabupaten Purworejo (Rp 636.290,00), Kabupaten Jepara (Rp 636.450,00), dan Kabupaten Cilacap (Rp 636.620,00). Sedangkan yang mempunyai PPP rendah adalah Kabupaten Wonosobo (Rp 630.410,00), Kabupaten Sragen (Rp 630.610,00), Kabupaten Batang (Rp 631.550,00), Kabupaten Boyolali (Rp 632.190,00), dan Kabupaten Demak (Rp 632.870,00).

(7)

34

Gambar 4.4 Persebaran PPP Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2011

Untuk melihat pola hubungan antara persentase IPM di Jawa Tengah dengan komponen-komponen penyusunnya bisa diketahui dengan melihat tabel korelasi antara persentase IPM dengan komponen penyusunnya disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Korelasi Persentase IPM (Y) dengan Komponen Penyusunnya (X)

Variabel Korelasi rxy P-Value

AHH (X1) 0,533 0,001

AMH (X2) 0,732 0,000

PPP (X3) 0,649 0,000

Hubungan antara nilai IPM dengan komponen-komponen penyusunnya ditunjukkan pada tabel 4.1 bahwa semua komponen penyusun IPM tersebut memiliki korelasi dengan persentase IPM. Hal ini terlihat dari P-value kurang dari α = 5%.

(8)

35 4.2 Model Regresi

Pada pemodelan regresi, estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dengan pemodelan OLS ini, akan didapatkan parameter-parameter yang signifikan atau tidak, yang berpengaruh terhadap nilai IPM. Yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemodelan SEM.

Sebelum melakukan analisis regresi, pendeteksian terhadap multikolinearitas perlu dilakukan. Melihat hasil besaran korelasi antar variabel independen tampak bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi cukup tinggi (< 90%) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas yang serius (Ghozali dalam Astuti, 2013). Oleh karena itu, analisis regresi ini dapat dilanjutkan dengan tetap menggunakan ketiga varibel independen. Hasil regresi OLS disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pengujian Parameter Regresi OLS

Parameter Koefisien Std. Error t-Statistik P-value

Konstanta -88,478 7,454 -11,870 0,000

AHH 0,712 0,056 12,644 0,000

AMH 0,368 0,022 16,760 0,000

PPP 0,121 0,011 10,563 0,000

R2 96%

Ket :*) signifikan pada α=10%

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa parameter AHH, AMH dan PPP mempunyai nilai sebesar 0,000 kurang dari α = 5% , artinya pengaruhnya signifikan terhadap nilai IPM pada taraf α = 5%. Nilai AHH, AMH dan PPP diasumsikan tidak sama dengan dengan nol.

(9)

36

Salah satu uji kesesuaian model regresi OLS adalah uji kebebasan residual yaitu tidak terjadi autokorelasi, yang diuji dengan menggunakan uji Durbin-Watson.

Rumusan hipotesis pada pengujian ini adalah: H0 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) H1 : (Ada autokorelasi antar lokasi)

Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,059 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H0 ditolak. Dengan kata lain, asumsi kebebasan residual tidak terpenuhi. Sehingga, model perlu dilanjutkan dengan menggunakan model regresi spasial.

4.3 Matriks Pembobot

Dalam sebuah model regresi, sifat-sifat yang dimiliki oleh error tidak lain merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh variabel dependen. Berdasarkan gambar 4.1, IPM di Provinsi Jawa Tengah nampak berpola mengelompok antara wilayah yang saling berdekatan. Kabupaten Grobogan, Blora, Sragen dan Boyolali tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM berkisar antara 70,39% - 71,86%. Kabupaten Jepara, Demak, Kudus, Pati, dan Rembang tergolong wilayah yang memiliki tingkat IPM antara 71,86%-73,49%. Begitu juga pada Kabupaten Klaten dan Karanganyar dengan IPM berkisar antara 73,49%-74,9%.

Sehingga matriks pembobot spasial yang sesuai dalam penalitian ini adalah matriks pembobot Queen Contiguity. Matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side)

(10)

37

atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya.

4.4 Spatial Error Model (SEM)

Selanjutnya dilakukan pemodelan menggunakan SEM. Berikut ini merupakan hasil output dari pemodelan SEM dengan masing-masing nilai parameter pada tingkat signifikansi 10%.

Tabel 4.3 Pengujian Parameter SEM

Parameter Koefisien Z P-value

Konstanta -84,366 -11,613 0,000 AHH 0,658 12,229 0,000 AMH 0,369 17,222 0,000 PPP 0,120 10,589 0,000 Lambda 0,369 1,948 0,051 R2 = 96,36%

Berdasarkan output Geoda pada tabel 4.3 hasil dari SEM tersebut menunjukkan adanya dependensi spasial pada error. Hal ini nampak dari AHH, AMH dan PPP memiliki tanda positif serta signifikan pada tingkat 10%. Koefisien

lambda bertanda positif dan signifikan pada tingkat 10%, artinya ada keterkaitan IPM pada suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang berdekatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lambda berperan penting pada pemodelan SEM. Selain itu variabel AHH, AMH dan PPP berperan penting pada SEM dengan taraf signifikansi 10%. Artinya, IPM di suatu wilayah dipengaruhi oleh nilai AHH, AMH dan PPP wilayah tersebut serta residual spasial dari wilayah lain yang berdekatan dan memiliki karakteristik sama.

(11)

38

Model SEM yang terbentuk adalah sebagai berikut.

Keterangan :

yi : IPM di kabupaten/kota ke-i : AHH di kabupaten/kota ke-i : AMH di kabupaten/kota ke-i : PPP di kabupaten/kota ke-i Wij : matriks penimbang spasial

ui : residual spasial dari kabupaten/kota ke-i εi : residual dari kabupaten/kota ke-i

Model SEM dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh AHH terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,658. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AHH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,658 satuan.

Adapun pengaruh AMH terhadap IPM adalah juga sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,369. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan, jika nilai AMH di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,369 satuan.

Pengaruh PPP terhadap IPM adalah sama untuk setiap kabupaten/kota dengan elatisitasnya sebesar 0,120. Artinya apabila faktor lain dianggap konstan,

(12)

39

jika nilai PPP di suatu kabupaten/kota naik sebesar 1 satuan maka nilai IPM akan bertambah sebesar 0,120 satuan.

Selanjutnya, berikut dipaparkan SEM untuk setiap kabupaten/kota. 1. Kabupaten Cilacap ( ) 2. Kabupaten Banyumas ( ) 3. Kabupaten Purbalingga ( ) 4. Kabupaten Banjarnegara ( ) 5. Kabupaten Kebumen ( ) 6. Kabupaten Purworejo ( )

(13)

40 7. Kabupaten Wonosobo ( ) 8. Kabupaten Magelang ( ) 9. Kabupaten Boyolali ( ) 10. Kabupaten Klaten ( ) 11. Kabupaten Sukoharjo ( ) 12. Kabupaten Wonogiri ( ) 13. Kabupaten Karanganyar ( )

(14)

41 14. Kabupaten Sragen ( ) 15. Kabupaten Grobogan ( ) 16. Kabupaten Blora ( ) 17. Kabupaten Rembang 18. Kabupaten Pati ( ) 19. Kabupaten Kudus ( ) 20. Kabupaten Jepara

(15)

42 21. Kabupaten Demak ( ) 22. Kabupaten Semarang ( ) 23. Kabupaten Temanggung ( ) 24. Kabupaten Kendal ( ) 25. Kabupaten Batang ( ) 26. Kabupaten Pekalongan ( ) 27. Kabupaten Pemalang ( )

(16)

43 28. Kabupaten Tegal ( ) 29. Kabupaten Brebes ( ) 30. Kota Magelang 31. Kota Surakarta ( ) 32. Kota Salatiga 33. Kota Semarang ( ) 34. Kota Pekalongan ( )

(17)

44 35. Kota Tegal

( )

Model SEM pada Kota Tegal, dapat diinterpretasikan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, jika AHH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,658, jika AMH bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,369, dan jika PPP bertambah satu satuan maka akan menambah nilai persentase IPM di Kota Tegal sebesar 0,120 untuk UBre dan UTeg merupakan kabupaten yang dekat dengan Kota Tegal, dengan kedua nilai error dari kedua kabupaten tersebut berpengaruh terhadap model di Kota Tegal sebesar 0,184.

4.5 Perbandingan Model Regresi OLS dan Model SEM

Pemilihan model terbaik antara model regresi OLS dan model SEM bertujuan untuk mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus IPM di Provinsi Jawa Tengah. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai AIC dari kedua model tersebut. Berikut perbandingan modelnya.

Tabel 4.4 Nilai AIC Model SEM

Model AIC

OLS 45,6231

SEM 43,8540

Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa model dengan nilai AIC minimal yaitu model SEM. Sehingga model SEM lebih baik digunakan untuk menganalisis data IPM di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan dengan model regresi dengan menggunakan metode OLS.

(18)

45

Berdasarkan hubungan antara IPM dengan AHH, AMH dan PPP, dapat diartikan bahwa persamaan dan perbedaan karakteristik pada tiap kabupaten/kota yang berdekatan dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan IPM di Jawa Tengah.

4.6 Pengujian dari Asumsi Model SEM

Model SEM yang terbentuk perlu dilakukan pengujian asumsi, untuk mengetahui kelayakan dan keabsahan dari modelnya diantaranya yaitu asumsi normalitas residual, dan asumsi ada autokorelasi dari residualnya.

1. Asumsi Residual Berdistribusi Normal

Kenormalan residual dapat diuji secara formal dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov (KS), dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut. H0 : residual menyebar normal

H1 : residual tidak menyebar normal

Tabel 4.5 Pengujian Asumsi Normalitas Residual pada Model SEM N Nilai KS Nilai KStabel P-value

5 0,110 0,23 >0,150

Nilai KS yang diperoleh sebesar 0,110 lebih kecil dari nilai KStabel (0,23) dan nilai p-value lebih besar dari sehingga H0 diterima, artinya asumsi kenormalan residual terpenuhi.

2. Asumsi Residual Autokorelasi Spasial

Asumsi ini menggunakan Uji Durbin Watson dengan hipotesis yang diajukan sebagai berikut.

H0 : (Tidak ada autokorelasi antar lokasi) H1 : (Ada autokorelasi antar lokasi)

(19)

46

Nilai P-value pada pengujian Durbin-Watson ini sebesar 0,003 yang lebih kecil dari 0,10. Ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10% H0 ditolak, artinya terdapat autokorelasi spasial pada residual SEM.

Gambar

Gambar 4.1 Persebaran IPM Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun
Gambar 4.2 Persebaran AHH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun
Gambar 4.3 Persebaran AMH Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun
Gambar 4.4 Persebaran PPP Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kecelakaan ditempat kerja bisa disebabkan oleh dua faktor yaitu tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan dan keadaan lingkungan yang tidak

Jika diperhatikan kegiatan aktivitas guru dalam penelitian inisudah baik dan berjalan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran berbasis portofolio yang ada pada

Kentang yang cocok untuk industri keripik harus mempunyai kandungan gula &lt;0,05%, bobot kering &gt;20%, kandungan bahan padatnya tinggi ( ≥ 16,7%), bentuk umbi baik, dan

Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati proses pembelajaran yang menerapkan metode ceramah bervariasi berbantu game puzzle pada kelas 2 di SDN

Adapun skripsi ini berjudul “ Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Pada Materi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas siswa, respon siswa serta pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) Berbantu Media

Prinsip organisasi ruang seperti luan-teben dan Sanga Mandala , dalam kon- teks permukiman berbasis unit kosmologis desa adat, akan sulit dimanfaatkan dalam proses analisis

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional yang bersifat deskriptif, dengan mengetahui konsentrasi debu dan keluhan kesehatan yang dialami masyarakat di