• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM. menjadi menarik ketika ditampilkan dalam sebuah film. Seperti yang disampaikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM. menjadi menarik ketika ditampilkan dalam sebuah film. Seperti yang disampaikan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Perempuan dan Sinema

Kekerasan yang dilakukan oleh perempuan yang dianggap tabu dan pelik menjadi menarik ketika ditampilkan dalam sebuah film. Seperti yang disampaikan oleh Gramae Turner75, film pada dasarnya merupakan media massa yang

digunakan untuk menampilkan ulang realitas yang terjadi di lingkungan sosial sekitar kita. Secara tidak sadar, film merupakan salah satu representasi dari realitas yang ada di masyarakat. Bagi pembuat dan khalayaknya, film merupakan sebuah praktek sosial yang tidak lepas dari unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terkandung di dalamnya. Fenomena tersebut berakar pada keinginan untuk merefleksikan segala hal yang tejadi dalam masyarakat sebenarnya yang tidak lepas dari konteks budaya.:

Film is as a social practice for its maker and its audience; in its narratives and meanigs we can locate evidence of the ways in which our culture make sense of itself‟76

Film sebagai bagian dari media massa, dalam kajian komunikasi massa modern dianggap memberikan pengaruh terhadap khalayaknya. Munculnya pengaruh tersebut tergantung pada proses negosiasi makna oleh khalayak terhadap pesan dari film itu. Negosiasi makna itu sendiri merupakan sebuah proses

75

Diambil dari Turner, Gramae. 1999. Film as Social Practice. Routledge: New York. Hal 03.

76

(2)

transaksional dari komunikasi dimana komunikan menerima dan mengintepretasikan makna dari pesan yang diterima sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya yang dimilikinya.77

Seiring dengan berkembangnya industri film di Hollywood, terjadi pergeseran dalam perbandingan posisi kekuasaan dari perempuan dan pria yang dinilai tidak seimbang. Namun terlepas dari kentalnya pemikiran patriarki di dalam industri film, khususnya Hollywood, generasi yang muncul berkembang dengan keahlian dan talenta yang lebih “perempuan” luar dan dalam berkaitan dengan pembuatan atau produksi film. Dengan keberadaan perempuan yang semakin menunjukkan kemampuannya, tahun 1990an dianggap menjadi dekade baru bagi perempuan di dunia perfilman. Muncul berbagai peran untuk perempuan, tidak hanya di depan layar, namun juga sebagai penulis dan sutradara. Para perempuan ini memfokuskan diri untuk menata kembali stereotip yang ada dan membuat perlakuan yang baru dalam dunia film berkaitan dengan perempuan.78

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Krisna Sen menyebutkan fenomena perempuan di belakang kamera adalah bagian dari perubahan perfilman Indonesia pasca reformasi. Sejak 1926 sampai pada akhir era orde baru, di dalam catatan Sen hanya tiga orang perempuan yang pernah menjadi sutradara dan hanya memproduksi sekitar setengah lusin film. Itu pun tanpa mendapat respon terlalu menggembirakan, baik secara populer maupun artistik. Dalam film-film tersebut

77 Sumber: McQuail, Denis. (1997). Audience Analysis,. Sage Publications: Caliornia, hal 101 78

(3)

perempuan pada umumnya ditampilkan dalam setting domestik, tergantung, dan didefinisikan oleh tokoh lelaki protagonis. Hal tersebut berkaitan erat dengan konteks budaya patriarkis seperti yang diungkapkan oleh Sen:

„Para sutradara dan produser yang berkarya di masa Orde Baru (baik lelaki maupun perempuan) tunduk pada pandangan patriarkis yang memang merupakan pandangan dominan masa itu (dan mungkin sampai sekarang‟).79

Namun kemudian, beberapa dari sutradara terkemuka pada era Orde Baru (yaitu sutradara laki-laki), tidak lagi memproduksi film pada akhir tahun 1990an. Pada saat yang bersamaan, munculnya drama trelevisi (sinetron), membuat para perempuan mulai memasuki dunia sinema.80 Generasi baru dari para pembuat film muncul pada era Reformasi. Saat itu sutradara, penulis, dan produser perempuan sudah setara jumlahnya dengan mereka yang laki-laki. Beberapa sutradara perempuan yang dianggap penting adalah Mira Lesmana, Nan T. Achnas, dan Nia Dinata. Tema yang diangkat dalam film-film karya mereka dipengaruhi oleh adanya restriksi pada era Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Seperti pada film karya Nan T. Achnas, Pasir Berbisik (2001), di mana adegan kekerasan dalam film tersebut diterjemahkan khalayak pada masa setelah Orde Baru sebagai kekerasan brutal dari rezim tersebut, dan aktris utama perempuan dalam film tersebut menggambarkan korban yang lemah dalam melawan tindakan brutal.81 Nia Dinata dengan film karyanya yang berjudul

Ca-Bau-Kan juga melanggar batas-batas sinema Orde Baru (beberapa batas-batas

79

Lihat: http://insideindonesia.org/content/view/155/29/v diakses terakhir pada 27 Mei 2012

80

Ibid.

81

(4)

sinema berdasarkan Badan Sensor Film pada masa Orde Baru, film dilarang keras untuk menampilkan adegan seks dan kekerasan, konflik sosial, konflik agama dan suku, atau berpotensi dalam mengeksploitasi sentimen kesukuan dan agama82).

Tokoh utama laki-laki dari film ini, Tan Peng Liang, diceritakan sebagai tokoh yang menantang stereotip moral dan etnis. Namun, peran utama wanita, Tinung, menggambarkan kembali pola dasar peran wanita yang paling umum dalam sinema Indonesia: seorang wanita muda yang bertahan hidup dengan bergantung pada statusnya sebagai seorang istri atau pelacur (ca-bau-kan). Hampir tidak ada adegan dimana dia tidak menghibur, melayani atau berkabung untuk seorang pria, atau diperkosa dan dilecehkan oleh mereka.83

Begitu pula dengan film yang disajikan Mo Brothers ini, menghadirkan sosok perempuan perkasa yang mampu menghabisi tiga laki–laki sekaligus dalam satu malam. Di mana konstruksi umum masyarakat akan film yang menampilkan perempuan selalu dalam posisi lemah tak berdaya dan berada di outside dari lingkaran film tersebut.

Mo Brothers bukan sutradara berhaluan feminis, namun menghadirkan sosok Dara menjadi tokoh sentral dan penentu jalannya cerita ini. Selain itu, film ini hadir di 2007 di mana media mainstream masih belum peka terhadap isu kesetaraan gender.

82

Sen, Krishna. (2009). Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Penerbit Ombak: Yogyakarta. Hal. 120-122

83

Lihat: http://www.kalyanashira.com/cabaukan/news/femina040202.html diakses terakhir pada 27 Mei 2012

(5)

2.2. Sinema dan Kekerasan

Kekerasan sebagai bagian dari realitas juga seringkali ditampilkan dalam beberapa film. Dalam kajian mengenai visual pleasure, bahkan ada suatu pleasure tersendiri bagi penonton saat menonton berbagai adegan kekerasan.

Mulvey mengutarakan bahwa Kepuasan yang didefinisikan sebagai visual

pleasure ini membawa apa yang disebut sexual instinct dan ego libido seperti

yang Sigmund Freud gambarkan84.

Dalam film Dara, kekerasan yang ada dalam kategori sadisme, seperti yang diklasifikasi oleh Fomm85 dalam suatu jenis kekerasan yang juga menjadi

bagian dari dating violence, di mana setting kejadian kekerasan dilakukan saat sedang Dara dan para korbannya dating.

Secara general, banyak film Indonesia yang menyajikan kekerasan baik sebagai main idea maupun pelengkap cerita. Kita mengenal film Perempuan Berkalung Sorban besutan Hanung Bramantyo yang menyajikan perempuan sebagai objek kekerasan oleh Ayahnya, maupun suaminya dengan dalih pembenaran atas hukum Islam. Sosok Anisa yang ditampar, diseret, dirajam, maupun disiksa secara psikisnya. Selain itu juga, ada film Perempuan Punya Cerita, sebuah film omnibus, yang dalam film Cerita Pulau, digambarkan seorang perempuan cacat mental yang mengalami kekerasan seksual, yakni diperkosa hingga hamil oleh para pemuda Jakarta. Hampir seluruh film yang menghadirkan

84 Lihat Mulvey, Laura. “Visual Pleasure and Narrative Cinema.” Film Theory and Criticism :

Introductory Readings. Eds. Leo Braudy and Marshall Cohen. New York: Oxford UP, 1999: 837.

(6)

kekerasan, menjadikan sosok perempuan sebagai objek kekerasan, bukan pelaku kekerasan. Bertolak belakang dari arus ini, Mo Brothers, membuat Dara dengan penokohan dimana Dara menjadi subjek, bukan objek kekerasan.

2.3. Perempuan dan Kekerasan

Realitas menguasai makhluk hidup lainnya dalam teori–teori gender selalu diasosiasikan dengan laki–laki. Dalam perkembangan gender di Indonesia, kelihatannya banyak pihak yang mengharapkan masa transisi di Indonesia akan membawa perubahan yang cukup signifikan di berbagai bidang kehidupan, antara lain kehidupan kaum perempuan. Harapan ini dimunculkan oleh banyak pihak, baik kelompok yang selama ini gencar memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti LSM, maupun ormas perempuan. Isu yang terlihat sangat gencar dikumandangkan adalah kekerasan terhadap perempuan. Banyak program dicanangkan dengan melakukan berbagai strategi dan pendekatan, seperti pendidikan dan pendekatan ke aparat penegak hukum, pemerintah maupun legeslatif. Kekerasan terhadap perempuan dianggap isu yang sangat krusial. Di samping suatu persoalan yang serius saat ini, kekerasan dianggap sebagai isu yang dapat menimbulkan empati banyak pihak dan dapat mempersatukan kaum perempuan, karena kekerasan bisa sangat dirasakan oleh kaum perempuan pada tingkat mana pun.

(7)

Pada konstruksi media mainstream, perempuan yang diasosiasikan sebagai objek pemuas seks.86 Dengan demikian, peran media massa, dalam hal ini, sama

sekali tidak bisa dipandang remeh. Media massa bukan saja mengajarkan, tetapi juga meneguhkan skema yang sudah terbangun, memberi pembenaran, bahkan mendukung kondisi yang memfasilitasi praktik-praktik penindasan perempuan.

Ketika perempuan yang digambarkan dalam keadaan lemah dan menjadi objek kekerasan secara terus-menerus ditampilkan sebagai objek seks di media, maka khalayak laki-laki akan menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual dan objek kekerasan dari laki-laki. Akibatnya, tertanam anggapan bahwa „kekuatan‟ utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti keunggulan intelektual, keluasan wawasan, kecakapan bekerja, dan sebagainya.87

Sementara itu, merujuk pada definisi Straus, pelaku kekerasan maupun perilaku kekerasan tidak memandang jenis kelamin dari subjek kekerasan tersebut.88 Baik laki–laki maupun perempuan sama–sama memiliki prevelasi dan

preferensi yang dikatakan sama untuk berpotensi menjadi subjek kekerasan.89

2.4. Deskripsi Film Dara

86 Hariyanto. 2009. Gender dalam Konstruksi Media. Jurnal Komunika. STAIN Purwokerto. 87 ibid

88

Straus. Prevalence of Violence Against Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide (2004)

89

(8)

Dara atau juga Darah (nama lain dari sekuel ini untuk rilis/debut di Jepang)90 adalah film horor komedi hitam jagal yang merupakan segmen terakhir

dari film Takut, Faces of Fears, yang disutradarai dan ditulis oleh dua sahabat Kimo Stamboel dan Timothy Tjahjanto (dalam film–filmnya dikredit sebagai "The Mo Brothers")91. Keduanya adalah lulusan Australian Film School yang

sekarang bekerjasama untuk membawakan film ber-ragam slasher di Indonesia.92

Film ini juga merupakan sekuel lepas dari film Macabre yang saat film ini dirilis sedang mereka sutradarai.93 Menurut The Mo Brothers, 'Dara' adalah sebuah usaha

mereka untuk membawakan sesuatu yang sama sekali baru dalam latar perfilman horor Indonesia, sebuah film purwarupa yang mengkombinasi beberapa ragam seperti thriller, slasher, dan komedi hitam. Film ini adalah segmen penutup dan puncak dari film Takut, yang telah lebih dahulu diputar dalam Screamfest Indo 2007, namun baru kali ini dirilis sebagai bagian dari sebuah film antologi.

Segmen Dara pada tahun 2010, dirilis dalam sebuah film horor fitur dengan judul "Rumah Dara" dengan Shareefa kembali sebagai tokoh antagonis utama yang sama.94

90

Rohandika, Cahyo. 2011. Takut : Kaleidoskop Film Horor Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

91

ibid

92 Lihat

http://meonthemovie.blogspot.com/2012/07/takut-faces-of-fear-2008.html#ixzz26F6YNE2W, diakses tanggal 12 Septemebr 2012

93

Ibid

94

Rohandika, Cahyo. 2011. Takut : Kaleidoskop Film Horor Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

(9)

Film ini diperankan oleh Shareefa Daanish, Mike Muliadro, Dendy Subangil, Ruli Lubis. Film ini memiliki iNAFFF95 Jury Score 80/100.96 suatu

pencapaian yang luar biasa untuk genre film sekelasnya.

2.5. Plot Cerita Dara

Gambar 2.1. Cover Film Dara

Dara (Shareefa Daanish) adalah seorang juru masak sekaligus pemilik sebuah restoran mahal. Perawakan Dara yang anggun dan cantik membuat banyak pria tertarik dan datang ke rumahnya. Adjie (Mike Muliadro), Eko (Dendy Subangil), dan Rama (Ruli Lubis) datang di waktu yang hampir bersamaan,

95Indonesia International Fantastic Film Festival, satu-satunya festival film tahunan dengan genre

fantastic di Asia Tenggara, INAFFF selalu akan menampilkan suasana dan semangat yang sama dari pertama kali diadakan di tahun 2007. Ini adalah festival film yang diadakan oleh sekumpulan maniak pecinta film genre fantastic dan dipersembahkan untuk sesame pecinta film. Membebaskan diri untuk menikmati festival ini sama seperti menghabiskan kalori yang bermanfaat untuk jantung manusia, semakin banyak adrenalin yang dipompa dan lahir melalui teriakan, semakin tercipta suasana seru yang khas dari semua penonton. Situs resminya di www.inafff.com.

96 Lihat

(10)

padahal Dara sudah mengatur mereka untuk datang di malam berbeda. Adjie yang memang direncanakan datang malam itu oleh Dara, diberi obat tidur dan dikurung di kamar jagal yang berisi potongan-potongan tubuh manusia. Sebelum Dara sempat menghabisinya, Eko datang dan membuat Dara terpaksa meniggalkan Adjie dalam keadaan terikat tak berdaya. Eko pun disediakan makan malam oleh Dara. Dalam suasana tak terduga, Rama pun juga datang dan juga dihidangkan makan malam oleh Dara. Musik klasik mengiringi pembicaraan mereka berdua, tapi, Adjie berhasil melepas penutup mulutnya dan tentunya berteriak minta tolong di tengah proses melepaskan diri itu. Hal itu membuat Eko curiga, saat ia berdiri, Dara yang sudah menyiapkan banyak senjata dibawah meja makan, mengambil golok dan menggorok leher Eko hingga Eko menggelepar di lantai, sementara Rama hanya terduduk mati kutu karena ketakutan.

Adjie berhasil keluar dari kamar dan menyaksikan bagaimana Rama dipenggal oleh Dara secara mengerikan. Adjie tak dapat lari meninggalkan rumah tersebut karena Dara sedang mengeksekusi Rama di satu-satunya pintu keluar. Adjie terpaksa bersembunyi di kamar jagal yang menjadi tempat pertama ia disekap. Dara pun kembali ke kamar jagalnya dan disana terjadi serang-serangan menakutkan oleh Dara, namun Adjie berhasil kabur meninggalkan sebilah pisau tertancap di tangan Dara yang berteriak kesakitan dengan mengerikan. Adjie pun berhasil keluar dari rumah Dara dan bersiap menyalakan mobil, namun kuncinya terjatuh ke bawah. Saat itu Dara tiba-tiba muncul dan mengayunkan gergaji mesin ke tubuh Adjie dengan sadis dan membunuhnya. Film diakhiri dengan Dara kembali di restoran larisnya. Dara berjalan ke belakang restorannya untuk

(11)

mengambil stok daging yang ternyata adalah daging manusia. Dara pun tersenyum menakutkan saat melihat semua pelanggan restorannya tampak menikmati hidangan dagingnya, dan berjalan seiring latar film menjadi hitam, dan Dara tersenyum tersungging menghadap penonton.

Gambar

Gambar 2.1. Cover Film Dara

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode inkuiri terbimbing terhadap prestasi belajar dan kemampuan berpikir kritis kategori afektif khusus pada

Oleh sebab itu perlu dikaji lebih lanjut menggunakan metode analisis kualitatif beserta didukung dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities,

Abstrak: Salah satu sumber yang berpotensi mencemari sungai Brangbiji adalah keberadaan sejumlah indutri tahu tempe. Industri tersebut menghasilkan limbah cair

Metode yang digunakan adalah metode sejarah yakni Heuristik (pengumpulan sumber), Kritik Sumber (intern dan ekstern), Interpretasi sejarah, dan tahap akhir dalam

Momen indah yang tak terlupakan dirasakan oleh setiap wisudawan dan wisudawati saat akhir acara yudisium, mereka mengabadikan momen ini bersama. bapak-ibu dosen

Rangkuman hasil observasi kegiatan diskusi kelompok siswa dalam PBM siklus I pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Penilaian hasil praktikum dari pertemuan ke pertemuan

mengenai Peran Satlantas Polres Cilacap dalam menanggulangi tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas. Sehingga terjadi penurunan jumlah kecelakaan yang signifikan

Walaupun terdapat berbagai kendala pengelolaan seperti kecurangan yang dilakukan oleh para petugas parkir namun itu tidak menjadi masalah besar dan tidak mempengaruhi