• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007). Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007). Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tidak semua manusia beruntung dilahirkan dalam keadaan fisik yang normal dan sempurna. Beberapa dari mereka terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan secara fisik. Orang yang mengalami kekurangan pada fisiknya dalam literatur disebut dengan tunadaksa. Tunadaksa berarti keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007).

Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam. Menurut Somantri (2007) tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut kerusakan yang dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, tumor, dan kondisi-kondisi lainnya. Klasifikasi lain dilihat dari sistem kelainannya, penggolongan tunadaksa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system) (Astati, 2001).

Terjadinya ketunadaksaan pada seseorang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Berdasarkan waktu terjadinya penyebab ketunadaksaan dibedakan menjadi tiga. Pertama sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran mencakup

(2)

faktor keturunan, trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak, pendarahan pada waktu kehamilan serta keguguran yang dialami ibu. Kedua sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran mencakup penggunaan alat-alat bantu kelahiran (seperti tabung, vacum dan lain-lain) yang tidak lancar dan penggunaan obat bius pada waktu kelahiran. Ketiga sebab-sebab sesudah kelahiran mencakup infeksi, trauma, tumor, dan kondisi-kondisi lainnya (Somantri, 2007).

Sama halnya dengan individu normal, individu tunadaksa juga mengalami perkembangan baik dalam aspek psikologis maupun aspek fisik. Secara umum, aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh setiap individu. Berbeda dengan individu normal, bagi individu tunadaksa potensi fisik tersebut tidaklah utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna (Somantri, 2006). Ketidaksempurnaan fisik mereka menyebabkan sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Banyak aktivitas dalam kehidupan sehari-hari yang tidak bisa mereka lakukan seperti layaknya orang normal pada umumnya.

Seperti yang dinyatakan oleh beberapa tunadaksa:

“Iya ruang geraknya terbatas itu aja...Misalnya ga bisa saya lakukan, membawa kendaraan, karena kaki saya lemah saya ga bisa membawa kendaraan....yang lain yah biasa aja, cuman saya ga selincah mereka itu aja.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

“Sulitnya kalau ngelakuin apapun orang cepat, kalau aku lambat gitu, trus yang kedua cepat capek gitu. Apa lagi, mereka bisa lebih bebas kemana-mana, lebih gampang cari kerja. Itu aja, kami kan payah cari kerja. ” (Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

(3)

Secara umum keterbatasan fisik memang menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, namun nyatanya banyak tunadaksa yang masih mampu melakukan berbagai aktivitas seperti orang lain. Kondisi fisik tunadaksa memang tidak normal, namun mereka mampu hidup layaknya orang normal. Mereka masih mampu mendiri, melakukan aktivitas sehari-hari tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan yang mereka miliki juga, banyak tunadaksa yang mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Seperti Putri Herlina, salah seorang tunadaksa yang menunjukkan bahwa ia tidak memiliki hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan hidup layaknya orang normal:

"Aku sekolah di sekolah biasa, aku gak mau dikasihani, SMPku di sekolah Muhammadiyah biasa, SMAku juga, aku tidak minta meja khusus, kutulis semua dengan kakiku, bisa kok. Aku nggak suka diistimewakan. Semua yang bisa dilakukan teman-teman yang lain aku juga ikut. Pramuka, olahraga, pokoknya seperti biasa saja,"

“Aku dan teman-teman masak sendiri, cuci baju sendiri, membantu merawat dan mengasuh anak-anak cacat, bekerja sebagai penerima tamu, mengetik, menulis, dan menelepon. Aku juga sering mengepel lantai. Aku bisa mengurus diriku sendiri, ganti baju sendiri. Ga ada hambatan untuk melakukan kegiatan sehari-hari”

Pada umumnya keterbatasan fisik juga menyebabkan individu tunadaksa mengalami gangguan dalam aspek perkembangan psikologisnya. Keterbatasan fisik yang mereka miliki menyebabkan individu tunadaksa cenderung memandang diri mereka secara negatif. Kesadaran bahwa kondisi fisiknya berbeda dengan fisik orang normal, menjadi salah satu pemicu timbulnya kecenderungan tunadaksa merasa dirinya tidak berdaya, kurang percaya diri,

(4)

rendah diri, sensitif, cemas, dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain (Carolina, 2006). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan pandangan negatif lingkungan, yang pada umumnya menganggap tunadaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Penolakan masyarakat terhadap individu tunadaksa ini menyebabkan munculnya perasaan rendah diri, perasaan sedih dan penyesalan akan kondisinya. Mereka akhirnya cenderung menutup diri terhadap pergaulan, kurang dapat menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan (Somantri, 2007).

Hal ini juga dialami oleh beberapa tunadaksa lewat pernyataannya berikut: “Kalau menengok diri sendiri, jadi minder sama orang. Misalnya mau keluar, sebelum keluar tengok dulu diri sendiri, jadi ga berani keluar. Ga ada percaya dirinya lagi, udah hilang.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

“Jujur saya katakan keadaan fisik saya seperti ini tidak saya kehendaki, didalam hati dan perasaan, saya merasa marah, sangat tidak terima atas kenyataan yang ada, kehidupan saya berada pada posisi yang serba salah. Kadang kala saya depresi atas keberadaan diri ini, sungguh ini sebuah neraka nyata dalam hidup.”

(Sosbud Kompasiana, 2013)

“Kalau yang saya alami sekarang, mereka menganggap kalau orang yang tidak sehat atau cacat itu, dia sifatnya selalu dibantu, ga bisa apa-apa karena kondisi cacat kita ini.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

Namun keterbatasan fisik yang dialami dan berbagai sikap dan pandangan negatif sebagian masyarakat yang diterima oleh tunadaksa tidak selalu menyebabkan perkembangan psikologis tunadaksa terganggu. Banyak individu tunadaksa yang tetap percaya diri, dapat bersosialisi dan mengembangkan konsep diri yang positif walau dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.

(5)

Kondisi fisik yang tidak sempurna dan pandangan negatif serta penolakan yang diterima justru menjadi alasan bagi tunadaksa untuk terus berusaha dan bersemangat dalam menjalani hidup. Mereka tidak menjadikan kondisi cacat sebagai halangan dalam kehidupannya.

Walau memiliki keterbatasan banyak tunadaksa yang menjadi orang-orang hebat kerena mereka miliki kemauan dan berusaha bagaimana mengatasi kekurangan tersebut dengan berkarya. Bahkan akhirnya, hal-hal yang mereka kerjakan sehari-hari dalam keterbatasan fisik mereka itu, kemudian menjadi inspirasi bagi orang lain yang mempunyai keterbatasan fisik, bahkan orang-orang dengan kondisi fisik yang sempurna sekalipun. Hal ini menjadi kebangga bagi mereka apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati hambatan yang dihadapi, sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006). Karena dalam hidup tidak ada manusia yang sempurna, setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Seperti yang dialami oleh Putri Herlina, walau sejak kecil ia telah ditingallkan oleh orang tuanya, namun ia mampu bertahan dan menjadi tunadaksa yang menginspirasi banyak orang:

“Bagiku yang penting cuek dan bersikap biasa. Aku tidak ingin dikasihani, tidak ingin dibedakan dengan yang lain, mungkin itulah yang membuat aku kuat dan tegar selama ini”

Hal ini juga dapat terlihat dari penyataan beberapa tunadaksa berikut, yang juga tidak merasa minder dengan kondisinya dan menjadikan keterbatasannya sebagai motivasi untuk maju:

(6)

“Kehidupan kita yang serba berkekurangan seharusnya jangan dijadikan sebagai sebagai suatu hambatan untuk terus berkembang, bergaul dan akrab dengan dengan sesama serta menjalin persahabatan dengan siapapun tanpa terkecuali karena itu semua sebagai pelajaran hidup.”

(Petrus)

“Memiliki kekurangan dalam fisiknya, ternyata sama sekali tak membuat saya minder bertemu dengan orang-orang baru. Sebaliknya, saya justru ingin menunjukkan bahwa keterbatasan pada fisiknya tidaklah menjadi sebuah penghalang untuk menunjukkan kemampuannya sembari berkreasi.”

(Gufron)

“Keadaan fisik bukan kendala untuk sukses. Yang menjadi halangan adalah kalau kita berpikir bahwa keadaan fisik kita menghalangi sukses. Karena itu ubah pikiran, tembuslah batas itu, raih prestasi tertinggi dan hidup maksimal.”

(Lena Maria, 2013)

"Saya ga mau orang lain hanya mengasihani saya, saya ingin orang lain menghargai saya sama seperti kepada orang normal lainnya. saya ingin orang melihat saya karena prestasi yang saya raih, bukan karena ia kasihan melihat saya cacat"

(Heni Candra, Penyanyi 2013)

Dalam keterbatasan fisik, beberapa dari tunadaksa juga ada yang sangat berpotensi dalam berbagai bidang seperti seni, olah raga, usaha dan sebagainya, bahkan ada pula yang kemampuannya jauh lebih baik daripada orang-orang yang normal secara fisik. Ada yang menjadi atlet berprestasi, pengusaha, motivator, pelukis, penyanyi, aktivis dan lain sebagainya. Beberapa diantaranyanya adalah Anthony Robles pegulat bisa menjadi juara nasional gulat kelas berat dengan satu kaki, Heni Candra seorang penyanyi, seorang Gufroni Sakaril tanpa kedua tangan sekarang sukses menjadi kepala Humas Indosiar, dan masih banyak lagi.

(7)

Layaknya individu normal lainnya, individu tunadaksa juga akan melalui masa dewasa awal dan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan dimasa ini diantaranya: mendapatkan pekerjaan, memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam kelompok sosial yang cocok dengan diri mereka (dalam Hurlock, 2009). Salah satu tugas perkembangan yang penting yang akan dihadapi di masa dewasa awal adalah pemilihan pasangan. Proses pemilihan pasangan ini menjadi tugas yang penting karena sebelum membentuk suatu keluarga, individu terlebih dahulu harus melakukan pemilihan pasangannya.

Hal ini juga diungkapkan oleh seorang tunadaksa yang terlihat dari pernyataannya berikut:

“Memilih pasangan pentinglah, yahh aku, kami-kami penyandang cacat ini juga sama kan, punya hak untuk memilih pasangan, untuk berkeluarga kan juga ada.”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

Secara umum keterbatasan fisik tunadaksa dapat menjadi hambatan mereka dalam memilih pasangan. Bagi tunadaksa sulit untuk dapat berpacaran dan membina hubungan sampai dengan jenjang pernikahan (YLS, 2007). Seperti yang dinyatakan oleh Hurlock (2009) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas perkembangan dewasa awal terdapat rintangan yang bisa menghambat penguasaan tugas perkembangan. Salah satunya adalah hambatan fisik, seperti cacat yang dialami oleh individu tunadaksa. Mereka melihat bahwa cacat fisik yang dialami menjadi hambatan bagi pemilihan pasangan dan

(8)

mencapai pernikahan yang bahagia. Hal ini juga dinyatakan oleh Sinniah (dalam Rifayani, 2012) yang juga menyatakan bahwa banyak individu tunadaksa menemui banyak hambatan pada tugas memilih pasangan hidup.

Seperti yang diungkapkan oleh tunadaksa dalam penyataan berikut ini: “Bagi saya mendapatkan teman wanita itu sangatlah sulit. jangankan menikah, untuk sekedar bisa berpacaran saja sangat sulit. saat ingin berinteraksi dengan lawan jenis, selalu saja terjadi penolakan. saya merasa sering disepelekan wanita.

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

“Pantas ga seh orang kaya aku mencintai dan dicintai orang untuk menjadikan aku sebagai kekasih atau menjadi pasangan hidup aku, karena pada kenyataannya jangan kan pacaran deketpun kayanya mereka enggan, minder dan gengsi punya pasangan cacat.”

(Yahoo, 2008)

Cacat fisik pada tunadaksa umumnya membuat kepercayaan diri mereka cenderung rendah (Somantri, 2007). Hal ini berkaitan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya. Greenspan (dalam Ima, 2006) mengatakan bahwa penyandang tuna daksa sangat peduli pada body image. Karena body image menggambarkan keseluruhan mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri yang dimiliki individu tunadaksa. Tunadaksa akan lebih sulit menerima keadaan pada dirinya dan seringkali menjadi tidak yakin dengan dirinya sendiri apalagi jika kecacatan yang dialaminya menghambat proses perkembangan dan menimbulkan keraguan akan daya tarik fisik (Ima, 2006). Hal inilah yang seringkali membuat mereka menjadi minder dalam pemilihan pasangan karena merasa dirinya terlihat tidak menarik secara fisik dan memiliki banyak kekurangan. Seperti yang diungkapkan oleh tunadaksa dalam pernyataan berikut:

(9)

“Dengan kondisi fisik seperti ini, yah yang saya rasakan saya enggak menariklah. Mana bisa menarik dengan kondisi fisik begini, kalau normal bisalah menarik. Ini ga normal mana bisa menarik, jadi minderlah”

(Komunikasi Personal, 19 Desember 2012)

Pandangan negatif masyarakat juga seringkali menjadi penyebab tunadaksa sulit untuk mendapatkan pasangan. Banyak masyarakat melakukan penolakan karena memandang bahwa memiliki pasangan atau menantu tunadaksa adalah sesuatu hal yang memalukan. Penolakan ini juga timbul karena masyarakat menganggap tundaksa sebagai orang yang tidak mampu dalam kehidupan sosial. Adanya keraguan tentang kemampuan tunadaksa dalam mengurus rumah tangganya, mengurus anak dan suaminya kelak. Sehingga seringkali masyarakat menolak tunadaksa sebagai menantu atau pasangan. Hal inilah yang dialami oleh seorang tunadaksa yang terlihat dari pernyataannya berikut:

“Kayak ada cowok yang disini (di panti sosial tunadaksa), padahal aku udah mau serius sama dia. Tiba-tiba datanglah mamaknya, padahal belum dibawa ketemu masih ceritalah, mamaknya udah menolak, belum apa-apa kan, belum kenal orangnya. Aku ga mau dibilang mamanya, enggak, cari aja yang normal. Waktu itu sakit kali hatiku, tapi kek mana apa boleh buat namanya juga belum jodoh”

“Mamaknya ga setuju dengan hubungan kami. Karena dia kan orang cacat, aku juga cacat, takut mamaknya aku ga bisa ngurus dia dengan baik. Kek mananya jadi calon istri, melayani dia, tidak mungkin kan...”

(Komunikasi Personal, 23 November 2012)

Pandangan masyarakat ini juga menyebabkan individu tunadaksa menjadi minder dan kurang percaya diri dalam memilih pasangan. Kesadaran tentang kondisi fisik mereka yang cacat juga ikut menimbulkan kecemasan dan perasaan khawatir dalam memperoleh pasangan. Dalam penelitian yang

(10)

dilakukan oleh Hastuti (2012) ditemukan bahwa penyandang cacat tubuh (tunadaksa) memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan. Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Kecemasan akan penolakan keluarga dan lingkungan pasangannya, usia yang semakin bertambah, cemas akan ditinggalkan oleh pasangannya, tidak dapat memiliki keturunan, cemas jika tidak memperoleh pasangan hidup yang kondisi fisiknya lebih baik dari pada kondisinya.

Seperti yang diungkapkan oleh Putri Herlina yang terlihat dalam pernyataan berikut ini:

"Aku pengen pergi dari panti ini mas, sudah 24 tahun aku di sini.. ingin rasanya untuk segera bisa mandiri. Aku membayangkan punya suami yang normal, walaupun kondisiku seperti ini, tapi ada gak ya yang bener-bener serius sama aku. Apa aku gak tau diri ya mas kalo ngarepin jodohku lelaki yang sempurna.. apa hidupku sampai tua hanya di panti ini ya mas, sendirian tiap hari di meja ini,"

Hal ini juga dialami oleh tunadaksa lain, seperti yang terlihat dalam beberapa pernyataan berikut ini:

“Aku juga takut diejeki keluarganya, mamak-mamak zaman sekarang kan meremihin menantu, mentang-mentang fisik awak kek gini takut dia ga bisa meladeni, ga bisa ngurus anak. Itulah yang awak takutkan dalam hidup ini”

(Komunikasi Personal, 23 November 2012)

“Iyaa, kalau dengar-dengar dari kawan, banyaklah yang nikah sama yang normal bilang kalau gabung sama keluarganya itu kayak ada perasaan ga nyaman, kita jadi agak jangggal kalau gabung, dengar-dengar kawan gitu ga bahagia dia, aku jadi ada rasa takut nikah.”

(Komunikasi Personal, 3 November 2012)

“Kalau boleh kan aku kan ini udah cacat kayak gini, jadi supaya aku apa memilih pasangan itu, kalau boleh yah jangan yang cacat lagi lah. Tapi

(11)

kadang kebelakang yahh ga mungkinlah diri kita karna masih banyak yang lebih dari kita, karna cacat. Tapi tetap ada, bahwa karna aku harus memilih gitu.”

(Komunikasi Personal, 3 November 2012)

Namun terlahir sebagai seorang yang cacat dengan banyak kekurangan ternyata tidak selalu menghalangi tunadaksa untuk bisa memperoleh pasangan dan hidup bahagia dalam kehidupan pernikahan. Karena pada kenyataannya banyak tunadaksa yang bisa memperoleh pasangan dalam hidupnya. Tidak semua tunadaksa merasa minder dan kurang percaya diri dengan kondisi fisik mereka. Ada banyak tunadaksa menerima keadaan pada dirinya dan yakin dengan daya tarik dari dalam diri (inner beauty) yang dimilikinya. Daya tarik tidak hanya muncul karena fisik yang menarik dan sempurna, namun daya tarik juga dapat muncul karena karakter dan kepribadian diri seseorang (Degenova, 2008). Karena itu keyakinan dan kepercayaan diri yang dimiliki tunadaksa dapat menjadi daya tarik yang besar dalam pemilihan pasangan. Jika tunadaksa percaya diri, walaupun fisik mereka kurang sempurna, namun kepercayaan diri itulah yang membuat tunadaksa semakin menarik

Pada kenyataannya juga tidak semua masyarakat bersikap negatif dan melakukan penolakan terhadap tunadaksa. Ada banyak orang yang tidak memandang keterbatasan fisik tunadaksa sebagai sesuatu hal yang harus dipermasalahkan. Hal ini dapat terlihat dari adanya tunadaksa yang dapat memperoleh pasangan yang normal walaupun kondisi fisiknya tidak sempurna. Mereka juga tidak mendapatkan penolakan dan bahwa diterima dengan baik oleh keluarga pasangannya. Seperti yang dialami oleh Putri Herlina, dimana ia

(12)

bisa menikah dengan pasangan normal yang normal walaupun ia tidak memiliki kedua tangan dan juga diterima oleh keluarga pasangan:

“Aku mau nikah mas.. namanya Reza, yang jelas dia perhatian banget dan mau menerima kondisiku.”

“Reza adalah anak dari keluarga terhormat. Putra salah seorang petinggi Bank Indonesia, Deputi Gubernur jabatan terakhirnya. Aku bayangkan, keluarga itu memiliki hati yang luar biasa luasnya dengan menerima Putri Herlina dalam keluarga terhormat mereka.”

Kehidupan tidak berhenti sampai pada terbatasnya kondisi fisik tunadaksa. Memiliki keterbatasan fisik tidak selalu menjadi penghalang bagi tunadaksa untuk dapat memperoleh pasangan dan dapat menjalani pernikahan. Misalnya saja Putri Herlina, Nick yang saat ini menjadi motivator terkenal, juga ada beberapa artis Ucok Baba, Daus Mini, dan Adul. Mereka sama sekali tidak pernah minder atau terkucilkan sekalipun fisik mereka tidak normal. Kecacatan nyatanya dapat membuat tunadaksa menjadi kuat dan tegar. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang timpang atau tidak mempunyai tangan (Melati, 2011).

Berbagai hambatan yang dialami tunadaksa dalam kehidupannya termasuk dalam pemilihan pasangan pada umumnya lebih banyak bergantung pada sikap tunadaksa itu sendiri (Somantri, 2006). Jika mereka memandang bahwa cacat yang mereka alami dan berbagai pandangan negatif yang kerapkali diterima bukanlah suatu hambatan dalam memilih pasangan maka hal itu tidak akan

(13)

menghalangi mereka untuk memperoleh pasangan. Kalau mereka dapat menerima kondisi yang ada, perkembangan ke arah hal yang positif pun akan lebih mudah timbul (Melati, 2011).

Seperti yang diungkapkan oleh tunadaksa dalam pernyataannya berikut: “Ibarat membeli pakaian, harus benar-benar mendapatkan yang cocok karena akan melekat dalam diri sepanjang waktu. Usaha tetap harus dilakukan, apa keputusannya biar Tuhan yang menentukan. Tidak ada yang tidak mungkin jika itu sudah menjadi kehendak Tuhan. Kita harus yakin bahwa Allah Maha Adil dan punya rencana yang terbaik untuk kita” (Putri Herlina)

“ Bagi saya tidak punya tangan bukan halangan untuk menikah. Banyak orang berpikir, apa bisa menikah, apa bisa berprestasi, dll. Yang membatasi bukan fisik, tetapi pikiran mereka. Mereka lupa, bahwa di dunia ini memang tidak ada orang yang sempurna. Setiap orang memiliki kelemahan, hanya saja mereka yang berhasil, adalah orang-orang yang berpikir, bahwa ‘kelemahan’nya bukan halangan untuk berhasil, cacat fisik bukan halangan untuk menikah.”

(Lena Maria, 2013)

“Saya memahami bahwa meskipun saya memiliki kekurangan, tapi pasti ada kelebihan dibalik kekurangan. Merasa minder dan tidak sempurna bukan penyelesaian masalah, keterbatasan fisik tidaklah sebuah halangan untuk terus berkembang dan maju bahwa untuk memiliki pasangan”

(Triy, 2008).

Berdasarkan pemaparan di atas, banyak tunadaksa melihat bahwa cacat fisik dan penampilan mereka yang tidak menarik serta pandangan negatif masyarakat menjadi hambatan yang menyebabkan mereka sulit memperoleh pasangan. Namun tidak semua tunadaksa mengalaminya, ada juga tunadaksa yang dapat memperoleh pasangan dan mencapai pernikahan seperti orang lain pada umumnya. Hal inilah yang akhirnya menarik minat peneliti untuk melihat bagaimana gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa lebih mendalam.

(14)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada tunadaksa.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemilihan pasangan pada tunadaksa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi dalam rangka perluasan teori dan konsep di bidang psikologi, terutama yang berkaitan dengan pemilihan pasangan pada tunadaksa.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam proses pemilihan pasangan

(15)

hidup yang akan membantu mereka untuk memilih pasangan hidupnya dengan baik sebelum memutuskan melangkah ke jenjang pernikahan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

keluarga tunadaksa dan masyarakat tentang proses pemilihan pasangan pada tunadaksa, individu tunadaksa juga mempunyai tugas untuk memilih pasangan hidup sama seperti individu normal.

c. Manfaat lainnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pemicu

munculnya penelitian-penelitian lain tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyandang cacat. Selain itu, penelitian ini dapat menambah wawasan individu yang membacanya, khususnya tentang pemilihan pasangan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menyajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menyajikan berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah pemilihan pasangan hidup yang terdiri dari pengertian pasangan hidup, proses

(16)

pemilihan pasangan hidup, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan hidup. Kemudian teori dewasa awal yaitu, pengertian dewasa awal, tugas-tugas perkembangan dewasa awal. Dan terkahir adalah teori tentang tunadaksa yaitu, pengertian tunadaksa, klasifikasi tunadaksa. BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menyajikan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, dalam hal ini adalah metode kualitatif, metode pengumpulan data, partisipan penelitian, teknik pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menyajikan hasil analisis data partisipan dan pembahasan yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan yaitu teori pemilihan pasangan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

(17)

Bab ini menyajikan kesimpulan dan saran mengenai pemilihan pasangan pada partisipan. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan saran berisikan saran-saran praktis dan saran-saran metodologis.

Referensi

Dokumen terkait

tanaman/tahun dan nyata lebih tinggi daripada perlakuan lainnya pada tahun pertama, sedangkan pada tahun kedua, pemberian N 300 g/tanaman/ tahun nyata meningkatkan konsentrasi

Berdasarkan tabel 1, maka penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal variabel yang diteliti, yaitu ROM sendi panggul dan fleksi

Dalam hal ini pelatih sangat berperan penting, maka dari itu peneliti berusaha untuk merubah pandangan beberapa pelatih bahwa komponen biomotor khususnya

Hasil yang diperoleh pada tahapan pengujian hipotesis kedua tidak sejalan dengan teori atau pun hipotesis seperti yang diungkapkan Dhendawidjaya (2008) yang

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian “Rancang Bangun Rumah Pintar Berbasis IoT (Internet of Things) sebagai Media Pembelajaran Pada Mata Pelajaran

Assalamua’alaikum Wr. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah berupa Laporan Penelitian dengan judul “Analisis

Quantum Teaching ( Model Pembelajaran Quantum) adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya. Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam

Atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis FAKTOR-FAKTOR KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH YANG MEMPENGARUHI BELANJA PEGAWAI, BELANJA BARANG, BELANJA HIBAH DAN