• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO

(Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA

WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA

Jamili1*, Analuddin1 , La Ode Adi Parman Rudia2 1

Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 2

Laboratorium Biologi Unit Ekologi dan Taksonomi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo, Kendari, 1*

e-mail : Jamili76@yahoo.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the characteristics of the bird nesting microhabitat hole Maleo (Macrocephalon maleo) in National Parks Aopa Watumohai Swamp, Southeast Sulawesi . Data were collected on the savanna region block Mempaho Forest and savanna region Pampaea , by using descriptive method to determine the depth, temperature, pH and substrate nesting holes were found during the study . To determine the composition of the vegetation around the nesting hole , using roaming with 10 meters to explore the area around the hole nesting and record the type of vegetation found. Vegetation types have been known to direct scientific name recorded in the field. While the type of vegetation that is unknown scientific name, a swab or documentation then be described further in the Laboratory of Ecology and Natural Sciences Taxonomy Halu Oleo University with reference to the book (FLORA by Steenis, et al., 1997). The results showed the depth of hole nesting birds Maleo (Macrocephalon maleo) in the study area is 50-60 cm, temperature 28o-32oC, and soil pH of 5.9 - 7. Maleo bird nesting substrate type is dominated by sand. Types of vegetation found around the hole nesting nesting is Melastoma sp. and Kirinyuh (Eupathorium sp.), while the type of vegetation that is a place to find food and shelter includes a thorn Bamboo (Bambusa spinosa), Rao (Dracontomelon mangiferum), Banyan (Ficus spp.), Tamarind (Aleurites molucana), Caesalpinia pulcherrima, forest Mango (Mangifera sp.), Kuia (Alstonia scolaris), Nona (Metrosideros petiolata), and Bitti/Kulipapo (Vitex sp.). Total current Maleo birds encounter is as much one of the males and females laying eggs on the location of the savanna region Pampaea Resort Langkowala Swamp National Park area of Rawa Aopa Watumohai Southeast Sulawesi .

Keywords : Characteristics microhabitat, Bird Maleo (Macrocephalon maleo), Rawa Aopa Watumohai National Park Southeast Sulawesi.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan salah satu lokasi pengamatan burung yang penting di kawasan Wallacea. Kawasan ini merupakan suatu paduan yang menarik antara hutan rawa, perbukitan dan pesisir. Taman Nasional Rawa Aopa Watuhmohai (TNRAW) merupakan kawasan lindung yang memiliki empat ekosistem utama yaitu mangrove, rawa, savanna, dan hutan hujan (Coathes and Bishop, 2000; dalam Amnawati, 2013).

Kawasan savanna di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) dijadikan sebagai lokasi pengelolaan konservasi habitat dan populasi satwa liar seperti burung (Aves) oleh pihak Pokja Konservasi TNRAW. Menurut Sugiarto, dkk, (2010) kondisi lingkungan habitat satwa burung Maleo cukup ekstrem dengan memanfaatkan panas bumi (geothermal) untuk mengerami telur. Degradasi habitat serta banyaknya perburuan telur oleh manusia di habitat alami menjadikan burung Maleo (Macrocephalon maleo) sebagai satwa endemik yang dilindungi.

Maleo (Macrocephalon maleo) merupakan salah satu jenis burung endemik Sulawesi yang sangat unik dan banyak menarik perhatian. Burung ini menggunakan sumber panas bumi (geothermal heat) dan panas matahari (solar radiation) untuk mengerami telurnya (Jones and Birks, 1992; Dekker, 1990;

Kinnaird, 1997). Menyadari pentingnya kelangsungan hidup burung tersebut, khusus dari segi kebudayaan, keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan dan komponen ekosistem alam serta kelestarian, maka satwa tersebut dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 421/ KPTS/ UM/8/1970 dan SK Mentan Nomor 90/KPTS/UM/2/1997. Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Sugiarto, dkk., 2010).

Berdasarkan data statistik oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) SULTRA tahun 2007 menjelaskan bahwa burung endemik Maleo ini jumlahnya sekitar 100 ekor (Macrocephalon maleo) yang terdapat di seluruh kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA Sulawesi Tenggara (BKSDA Sultra, 2008). Namun demikian kelestarian hewan tersebut terancam dengan perubahan habitat alaminya akibat perburuan terhadap telur. Gorog dkk., (2005) melaporkan bahwa kondisi burung Maleo akibat kerusakan habitat yang parah jika tidak ditangani secara serius maka populasinya akan punah dalam beberapa tahun kedepan. Masalah utama yang dihadapi dalam usaha pelestarian burung maleo adalah rusaknya habitat akibat dari eksploitasi terhadap telur, degradasi, dan fragmentasi habitat. Kajian autekologi mengenai burung Maleo adalah karakteristik mikro-habitat yang menjadi mikro-habitat alami Maleo

(3)

di wilayah savanna kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Kendari, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini perlu dilaksanakan agar memberikan informasi terbaru terhadap masyarakat dan instansi terkait di wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) dan juga instansi-instansi terkait lainnya di wilayah Sulawesi Tenggara mengenai keberadaan hewan endemik burung Maleo di Kawasan Konservasi.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data lapangan pada penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober dan November 2014 bertempat di kawasan Savanna Blok Hutan Mempaho Resort Lanowulu dan Blok Hutan Pampaea Resort Langkowala, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), Kecamatan Tinanggea, Sulawesi Tenggara. Kemudian dilanjutkan di Laboratorium Biologi Unit Ekologi dan Taksonomi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Halu Oleo, Kendari.

Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian deskripsi yang dilakukan dengan observasi dan pengamatan lapangan.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat penelitian dan fungsinya

No Nama Alat Fungsi

1. Kamera digital Canon Untuk mengambil gambar dari objek pengamatan. 2. Binoculer Bushnell

(10x50)

Untuk mengamati objek dan sebagai document gambar.

3. GPS (Garmin 76 CSx) Untuk menentukan titik koordinat di lapangan. 4. Alat tulis Untuk menuliskan data

hasil pengamatan 5. Meteran roll Untuk mengukur luas

area sarang bertelur Maleo

6. Soil tester Untuk mengukur

kelembaban tanah sarang burung maleo

7. Termometer alkohol Untuk mengukur suhu lubang sarang burung maleo 8. Buku Panduan Pengamatan Burung Untuk panduan pengamatan burung di lapangan 9. Buku Panduan Pengenalan Jenis Tumbuhan Untuk panduan pengamatan jenis vegetasi di lokasi penelitian

Prosedur Penelitian

Tahap Awal

Pelaksanaan tahap awal meliputi studi literatur dan pengumpulan informasi sekunder dari instansi terkait dan masyarakat sekitar objek penelitian mengenai keadaan lapangan. Kegiatan selanjutnya adalah observasi lapangan dilakukan untuk menentukan peluang perjumpaan dengan sarang burung Maleo pada wilayah Savanna kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara. Informasi tentang keberadaan burung maleo pada wilayah Savanna kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai yang diperoleh dari masyarakat dan staf Balai TNRAW, ditetapkan sebagai lokasi pengamatan.

(4)

Penentuan Lokasi Pengamatan

Lokasi pengamatan dilakukan pada beberapa tempat, yaitu di sekitar kawasan Savanna wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan studi literatur dan informasi data sekunder yang diperoleh dari pihak staf TNRAW serta wawancara dari masyarakat di sekitar lokasi penelitian, yang memungkinkan untuk

terjadi perjumpaan dengan burung Maleo dan letak persarangannya, maka ditetapkan lokasi pengamatan yaitu pada kawasan Savanna blok hutan Mempaho Resort Lanowulu dan kawasan Savanna blok hutan Pampaea Resort Langkowala Wilayah Taman Nasioanl Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara.

Pengambilan Data

Data Persarangan Burung Maleo

Sarang pengeraman telur burung Maleo yang ditemukan pada kawasan Savanna blok hutan Mempaho Resort Lanowulu dan kawasan Savanna blok hutan Pampaea Resort Langkowala Wilayah TNRAW dijadikan sebagai lokasi penelitian. Sedangkan data karakteristik mikro-habitat sarang yang diamati meliputi; (1) lokasi geografis sarang, (2) ketinggian lokasi area persarangan di atas permukaan laut, (3) status sarang (aktif atau tidak aktif), (4) kedalaman lubang tanah, (5) suhu di dalam lubang tanah, dan (5) kelembaban lubang tanah (6) serta jenis vegetasi di sekitar lokasi persarangan burung Maleo.

Cara Kerja

Cara kerja pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kedalaman Lubang

Kedalaman lubang pengeraman telur burung Maleo diukur tegak lurus dari permukaan tanah sampai bagian tanah dimana telur diletakkan dengan menggunakan meteran.

Gambar 1. Peta Penutupan Lahan Wilayah

Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Sulawesi

Tenggara Sumber : Dok. Balai TNRAW,

2010.

Gambar 2. Peta Lokasi Survey Maleo Blok Hutan

Mempaho, Resort Lanowulu, kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Sumber : Dok. Balai TNRAW,

(5)

b. Suhu

Suhu diukur pada kedalaman masing-masing lubang pengeraman telur yang ditemukan dengan menggunakan termometer alkohol, dengan cara mengukur tegak lurus pada kedalaman dimana telur diletakkan pada lubang sarang bertelur. Selain itu, suhu udara di sekitar sarang diukur dengan cara menggantungkan termometer selama 15 menit kemudian dihitung skalanya. c. Kelembaban

Kelembaban diukur pada kedalaman masing-masing lubang pengeraman telur yang ditemukan dengan menggunakan soil tester, dengan cara menancapkan soil tester kemudian dihitung skalanya.

d. Jenis Substrat

Pengamatan jenis substrat lubang peneluran dilakukan secara kuantitatif yaitu melihat secara visual untuk menentukan jenis substrat yang mendominasi pada lubang peneluran. e. Titik Koordinat

Lokasi geografis sarang peneluran dan ketinggian tempat di atas permukaan laut diukur dengan menggunakan GPS (Geographycal Position System).

f. Jenis Vegetasi

Penentuan jenis vegetasi di sekitar lubang sarang bertelur digunakan metode jelajah, dengan menjelajahi area di sekeliling lubang peneluran dan mencatat jenis vegetasi

yang ditemukan. Jenis vegetasi yang sudah diketahui nama ilmiahnya, langsung didata di lapangan. Jenis vegetasi yang belum dikenal nama ilmiahnya, diambil sampel dan dokumentasinya kemudian mengidentifikasi lebih lanjut di Laboratorium Biologi Unit Ekologi dan Taksonomi FMIPA UHO dengan mengacu buku FLORA (Steenis, dkk., 1997).

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, dengan cara mendeskripsikan setiap parameter yang diamati, dan dilengkapi dengan tabel atau gambar. Data penentuan status sarang peneluran burung Maleo yang masih aktif atau tidak aktif diketahui dengan menggunakan indikator aktifitas pembuatan lubang peneluran burung Maleo di sekitar sarang. Selain itu juga adanya kerja sama antara peneliti dan pihak staf Balai TNRAW untuk melakukan monitoring persarangan burung Maleo. Indikator lubang sarang bertelur yang tidak aktif dengan yang masih aktif dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah lubang sarang bertelur burung Maleo pada lokasi gundukan persarangan. Penambahan jumlah lubang sarang bertelur yang dilakukan oleh burung Maleo dari setiap monitoring di lokasi persarangan mengindikasikan bahwa lubang sarang bertelur yang baru tersebut masih aktif atau memiliki telur Maleo.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan penggabungan dari Taman Buru Watumohai, Suaka Margasatwa Rawa Aopa dan Taman Buru Daratan Rumbia, yang terletak antara 1210 44’- 1220 44’ BT dan 40 22’ – 40 39’ LS dengan batas administrasi pemerintah mencakup 4 kabupaten yaitu Kabupaten Kolaka, Konawe, Konawe Selatan, dan Bombana. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.756/Kpts-II/1990 tanggal 17 Desember 1990 TNRAW memiliki luas 105.194 ha dan panjang batas keseluruhan 366.674 km dan jumlah pal batas 4.158

buah. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai terdapat 4 tipe ekosistem yaitu savana, rawa, hutan hujan dataran rendah dan mangrove, yang kaya akan keanekaragaman hayati baik dari segi flora maupun fauna. Tercatat sebagai kelompok fauna

di TNRAW yang meliputi aves 207 jenis (38 jenis endemik Sulawesi dan 9 jenis endemik Indonesia) (Sugiarto, dkk., 2010). Kawasan savanna di wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan kawasan yang cukup luas sehingga memungkinkan berbagai jenis satwa liar untuk hidup dan berkembang biak. Salah satunya adalah burung Maleo. Sehingga dengan menggunakan kajian auteokologi pada penelitian ini yang dikaji

adalah hubungan organisme burung Maleo dengan lingkungan di kawasan savanna untuk bertelur, mencari makan, dan berlindung.

Studi literatur awal dan data sekunder yang diperoleh dari pihak staf TNRAW serta wawancara dari masyarakat di sekitar lokasi penelitian, yang memungkinkan untuk terjadi perjumpaan dengan burung Maleo dan letak persarangannya maka ditetapkan lokasi pengamatan yaitu pada kawasan Savanna blok hutan Mempaho Resort Lanowulu dan kawasan Savanna blok hutan Pampaea Resort Langkowala Wilayah Taman Nasioanl Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara.

Gambar 3. Perjumpaan dengan burung Maleo (Macrocephalon maleo). Lokasi sarang peneluran : kawasan Savanna Pada-padai Resort Langkowala TNRAW. (Sumber: dok. Moersidi, dkk. TNRAW, Selasa 28/10/2014; 10.36 WITA)

(7)

Karakteristik Mikro Habitat Lubang

Sarang Bertelur Burung Maleo Di

Kawasan Taman Nasional Rawa

Aopa Watumohai (TNRAW)

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data karakteristik mikro habitat sarang bertelur burung Maleo disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Mikro Habitat Lubang Sarang Bertelur Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Di TNRAW.

Keterangan :

No. 1 : Lubang sarang bertelur burung Maleo kawasan Savana Blok Hutan

Mempaho Resort Lanowulu Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

No. 2 : Lubang sarang bertelur burung Maleo kawasan Savana “Pada-padai” Blok Hutan Pampea Resort Langkowala Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. No. 3 : Lubang sarang bertelur

burung Maleo kawasan Savana Pampaea Blok Hutan Pampaea Resort Langkowala Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Burung Maleo merupakan hewan yang berhabitat sangat khas, mampu hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegunungan yang memiliki sumber panas bumi (geothermal), sebab di daerah

ini burung Maleo mengubur telur di dalam pasir hingga kedalaman 60 cm untuk proses penetasan (Gunawan, 1998). Burung Maleo menggunakan habitat berupa daerah sekitar savanna area perbukitan kawasan blok hutan Mempaho dan kawasan savanna Pampaea wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara dengan vegetasi yang berupa pohon tinggi sebagai vegetasi habitatnya untuk berlindung dan mencari makan.

Spesies burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller, 1846) yang ada di lokasi penelitian kawasan savanna wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara berbeda dengan burung Maleo lainnya yang ada di daerah subkawasan Sulawesi dalam hal seleksi habitat untuk membuat sarang bertelur. Hal ini didukung oleh jenis substrat yang diamati langsung di lokasi penelitian berupa tanah berkerikil, pasir halus dan pasir berkerikil. Selain itu pula burung Maleo di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menghindari daerah pantai dan hutan mangrove untuk pembuatan sarang bertelur sebab dari hasil pengamatan dengan penentuan titik koordinat diperoleh lokasi sarang burung Maleo letaknya jauh dari daerah pantai dan hutan mangrove. Jarak datar lurus sarang bertelur burung Maleo kawasan savanna blok hutan Mempaho terdekat dari hutan mangrove adalah 3,8 km. Jarak sarang bertelur burung Maleo kawasan savanna blok hutan Mempaho ke laut 8,32 No Karakteristik Fisik Jenis Vegetasi Kedala-man (cm) Suhu (oC) pH Substrat 1 55 28 5,9 Tanah berkerikil Rumput gajah 2 28 30 7 Pasir Senggani dan Komba-komba. 3 60 31 6,9 Pasir berkerikil Alang-alang, Senggani Komba-komba, Ubi hutan.

(8)

km. Sehingga burung Maleo memiliki strategi untuk pemilihan habitat sarang bertelur di wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.

Coates dan David (1997) menyatakan bahwa sarang burung Maleo biasanya berupa tanah berpasir dan pantai gunung berapi serta di tanah yang hangat dari panas bumi di hutan pamah primer dan hutan perbukitan. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi habitat burung Maleo kawasan savanna area perbukitan blok hutan Mempaho yang ditempuh perjalanan dengan berjalan kaki dengan jarak 2 km dari pinggir jalan raya. Diperoleh titik koordinat S : 04o28`43.8``; E : 122 o 02`45.4`` dengan ketinggian lokasi sarang dari permukaan laut adalah ±18 m.

Kondisi topografi berupa lereng perbukitan yang sebagian hanya ditumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi berupa Rumput gajah (Fimbristylis- sp.). Berdasarkan informasi dari pihak pengelola Taman menjelaskan bahwa di

area perbukitan pernah terjadi kebakaran dan pengerukan alat berat sehingga sebagian lereng perbukitan menjadi gundul dengan menyediakan sisa tanah yang berupa campuran tanah dan kerikil. Burung Maleo memilih lokasi yang cukup hangat untuk menetaskan telurnya. Lokasi perbukitan blok hutan Mempaho menjadi lokasi yang cukup baik bagi telur burung Maleo sebab tanpa adanya penutupan kanopi maka panas matahari langsung diserap ke tanah kemudian tanah tersebut menyimpan panas (geothermal heat) yang mampu ditolerir oleh telur burung Maleo untuk masa penetasan dengan perilaku induk burung Maleo yang selalu menggali sarang lubang bertelur dan meletakkan telurnya di dalam tanah.

Suhu udara mengindikasikan sebagai suhu lingkungan yang mampu ditolerir oleh semua organisme yang ada di lingkungan tersebut untuk hidup dan berkembangbiak, salah satunya adalah burung Maleo. Diperoleh suhu udara pada lokasi penelitian kawasan savanna wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara yaitu 38oC. Suhu lubang sarang bertelur burung Maleo adalah rata-rata 30oC merupakan suhu yang baik selama proses pengeraman telur. Kemudian pH substrat lubang sarang bertelur burung Maleo adalah 5.9–7, sehingga dapat diasumsikan untuk proses pengeraman telur burung Maleo mampu mentolerir tingkat pH tanah yang asam hingga netral. LOKASI SARANG

BURUNG MALEO

BLOK HUTAN MEMPAHO

Gambar 4. Lokasi Sarang Burung Maleo, Daerah

(9)

Kedalaman lubang sarang bertelur Maleo yaitu 60 cm.

Kondisi mikrohabitat menyebabkan anak dari telur burung Maleo setelah menetas memiliki peluang hidup yang relatif rendah. Beberapa predator menjadi ancaman bagi telur Maleo. Salah satu predator utama burung Maleo adalah biawak (Mabouya sp.). Selain itu pula ancaman lain yang mengganggu pelestarian burung Maleo di wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara adalah maraknya perburuan liar di habitat asli burung Maleo oleh masyarakat terhadap telur bahkan induk burung Maleo dijerat untuk dikonsumsi.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi persarangan burung Maleo pada kawasan savanna “Pada-padai” Resort Langkowala diperoleh titik koordinat yaitu S : 04o32`49.6``; E : 121o59`10.7``. Ketinggian sarang dari permukaan laut ±8 m. Jarak sarang terdekat ke daerah hutan mangrove adalah 6,4 km dan jarak sarang terdekat ke arah laut berjarak 9,4 km.

Adapun jarak sarang terjauh ke daerah hutan mangrove adalah 9,97 km dan jarak terjauh lokasi sarang burung Maleo ke arah laut berjarak 13,8 km. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi habitat burung Maleo di wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara untuk membuat sarang bertelur memilih daerah yang jauh dari laut dan daerah hutan mangrove sebab kondisi substrat daerah hutan mangrove berupa lumpur.

Karakteristik mikro-habitat yang teramati pada sarang bertelur berupa substrat berpasir dengan pH substrat 7, mengindikasikan tingkat pH substrat

sarang bertelur burung Maleo pada kawasan savanna Pada-padai blok hutan Pampaea adalah netral. Lubang bertelur burung Maleo pada saat pengukuran diperoleh kedalaman 28 cm, dan suhu lubang bertelur 30oC. Jenis substrat berupa pasir halus mudah digali menyebabkan telur Maleo terancam oleh predator dan pemangsa lainnya.

Sarang

Gambar 5. Cangkang telur burung Maleo yang telah pecah akibat dimakan oleh biawak. Lokasi

sarang bertelur : kawasan Savanna “Pada-padai” Resort Langkowala TNRAW (Senin/3/11/2014; 12.33 WITA).

(10)

Gambar 6. Ilustrasi Bentuk Ukuran Sarang Bertelur Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller, 1846) kawasan Savana Pampaea Resort Langkowala, Wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara.

Tingkat kedalaman lubang sarang bertelur burung Maleo pada tiap lokasi pengamatan berbeda-beda. Hal ini menunjukkan perilaku burung Maleo yang terproteksi pada jenis substrat untuk meletakkan dan mengubur telur pada lubang sarang bertelurnya. Makin dalam peletakkan telur yang dilakukan oleh burung Maleo maka telur tersebut terproteksi oleh ancaman predator. Hal ini pula menjadi salah satu adaptasi perilaku bagi burung Maleo untuk mengelabui

mangsanya. Whitten et al. (1987) dalam Tanari (2007) menyatakan bahwa burung Maleo termasuk spesies burrow nester yaitu jenis burung pembuat lubang atau liang. Hal tersebut sejalan dengan perilaku burung Maleo di lokasi pengamatan yang menggali dan membuat banyak lubang pada lokasi sarang bertelur, namun dari banyaknya lubang yang dibuat hanya satu dari lubang tersebut yang berisi telur. Pada Lokasi sarang bertelur yang ditemukan merupakan lokasi terbaru dari beberapa titik sarang yang telah ditetapkan oleh staf Balai TNRAW. Pertama kali ditemukan pada hari Selasa tanggal 28 Oktober 2014 pukul 10.36 WITA. Aktifitas Maleo saat perjumpaan adalah sedang menguburkan telurnya dengan jumlah individu sebanyak sepasang, Maleo jantan dan betina.

Burung Maleo yang ditemukan di kawasan savanna Pampaea wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai merupakan jenis Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo Sal. Muller, 1846). Hal ini didukung oleh adanya dokumentasi oleh staf Balai TNRAW. Sugiarto (2012) mengatakan bahwa burung Maleo selalu bertelur tiap bulannya sebanyak tiga sampai lima kali bertelur pada lokasi sarang yang sama yaitu bulan Agustus sampai November dengan kondisi iklim yang panas merupakan waktu yang sangat baik bagi Maleo untuk bertelur sebab dengan adanya panas matahari dan panas bumi (geothermal heat) membantu proses penetasan telur Maleo.

210 cm 196 cm

p

l

60 cm

(11)

Pada musim penghujan dengan kondisi iklim yang cukup dingin burung Maleo bertelur dengan intensitas yang rendah yakni satu atau dua kali tiap bulan bahkan sampai dua bulan tidak bertelur.

Penelitian untuk karakteristik mikrohabitat burung Maleo yang dilakukan pada bulan Oktober dan November merupakan waktu yang baik untuk pengamatan mikrohabitat burung Maleo di kawasan savanna wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebab tingkat produksi telur Maleo cukup tinggi diakibatkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk masa pengeraman telur yaitu bulan Oktober dan November adalah musim panas untuk wilayah Sulawesi Tenggara khususnya di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai menyebabkan kondisi cuaca yang sangat panas. Hal ini pula yang menyebabkan maraknya perburuan dilakukan oleh manusia di habitat alami burung Maleo. Sehingga beberapa kali monitoring yang dilakukan oleh petugas Taman menemukan perangkap atau jerat burung yang terdapat di habitat sarang bertelur burung Maleo.

Jenis Vegetasi Di Sekitar Lubang

Sarang

Bertelur

Burung

Maleo

Kawasan Taman Nasional Rawa

Aopa

Watumohai

Sulawesi

Tenggara

Jenis vegetasi di sekitar lubang sarang peneluran burung Maleo (Macrocephalon maleo) Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

Sulawesi Tenggara di-identifikasi dengan menggunakan panduan Buku FLORA (Steenis, dkk., 2001). Hasil identifikasi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis vegetasi di sekitar lubang sarang bertelur burung Maleo (Macrocephalon maleo) Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

No. Familia Nama

Lokal

Nama Ilmiah

1 Ericaceae Krinyuh Eupatorium

sp. 2 Discoraeaceae Ubi Gadung Discorea hispida Dennst. 3 Gramineae Alang-alang Imperata cylindrical

4 Melastomaceae Senggani Melastoma

polyanthum

5 Cyperaceae Rumput

gajah

Fimbristylis sp.

Setiap organisme memiliki keterikatan dengan habitatnya. Burung Maleo memiliki habitat yang sangat khas di kawasan savanna. Khususnya di kawasan savanna Pampaea Resort Langkowala wilayah Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Maleo memilih gundukan pasir berkerikil yang ditumbuhi beberapa vegetasi Krinyuh (Eupatorium sp.) dengan meletakkan telurnya di bawah perakaran tumbuhan tersebut. Maleo menggali pasir berkerikil menggunakan kaki dengan kedalaman 60 cm untuk menguburkan telur. Sarang peneluran terdedah oleh panas matahari dengan presentase penutupan kanopi yang sedikit karena ternaungi oleh jenis tumbuhan Krinyuh (Euphatorium sp.). Sebab hal ini dibutuhkan untuk telur Maleo agar menetas karena induk Maleo tidak mengerami telurnya secara langsung.

(12)

Lokasi penelitian mikro habitat burung Maleo di sekitar persarangan terdapat hutan yang dialiri sungai Pampaea sehingga sumber air ini menjadi komponen penting bagi satwa liar seperti burung Maleo untuk berkembang biak. Selain itu di sekitar lokasi persarangan di kawasan savanna “Pada-padai” sarang bertelur burung Maleo ditumbuhi beberapa jenis vegetasi berupa tumbuhan Senggani (Melastoma polyanthum). Telur diletakkan di bawah perakaran tumbuhan tersebut dengan kedalaman lubang sarang bertelur sedalam 28 cm sehingga mendapatkan panas yang cukup pula dari system perakaran tumbuhan Senggani yang berupa akar serabut. Tingkat kedalaman sarang berbeda dengan lokasi di savanna Pampaea yaitu 60 cm. Selain itu pula jenis substrat sarang bertelur Maleo di lokasi savanna Pada-padai berupa pasir halus berbeda dengan jenis substrat sarang bertelur Maleo di savanna Pampaea berupa pasir berkerikil. Perbedaan tingkat kedalaman lubang adalah sebagai akibat dari bentuk adaptasi perilaku burung Maleo pada kondisi habitat alami yang dipilih oleh burung Maleo untuk memproteksi telurnya agar terhindar dari ancaman predator di wilayah savanna kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara.

Burung Maleo merupakan burung liar yang memilih hidup di hutan primer yang habitatnya jauh dari pemukiman manusia. Faktor-faktor lingkungan

menjadi komponen penting bagi makhluk hidup dalam pola adaptasi dan seleksi habitat. Odum (1998) dalam konsep Leubic menyatakan bahwa kajian Ekologi mengenai keberadaan suatu organisme dalam lingkungannya dipengaruhi oleh beberapa interaksi faktor lingkungan. Sehingga untuk bisa bertahan hidup, maka setiap organisme mampu mentolerir semua faktor lingkungan tersebut. Dalam karakteristik habitat maupun mikro-habitat suatu organisme juga dipengaruhi oleh interaksi faktor lingkungan baik itu komponen fisik, biotik, dan kimia.

Pada kajian studi karakteristik mikro-habitat burung Maleo (Macrocephalon maleo) interaksi faktor-faktor lingkungan seperti komponen fisik (iklim, suhu, kelembaban), komponen biotik (air dan jenis vegetasi), serta komponen kimia (mikroorganisme dan dekomposer) sangat berpengaruh terhadap proses adaptasi dan seleksi habitat bagi burung Maleo untuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak. Sehingga kegiatan konservasi burung Maleo telah dilakukan di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sejak tahun 2009 dalam upaya pelestarian satwa endemik. Beberapa ancaman terbesar bagi kelestarian burung Maleo adalah perburuan terhadap telur yang dilakukan oleh masyarakat di habitat asli Maleo sehingga hal ini sangat mengganggu habitat alami Maleo untuk bertelur dan berkembang biak. (Sugiarto, 2012) menyatakan bahwa masyarakat yang

(13)

biasa mengganggu kelestarian Maleo adalah masyarakat di sekitar kawasan taman nasional. Selain itu predator telur Maleo seperti biawak (Mabouya sp.), ular, dan babi. Namun predator ini bukan ancaman besar bagi telur Maleo karena adanya seleksi alam sehingga burung Maleo sangat proteksi ketika meletakkan telurnya pada pasir yang berkerikil dengan kedalaman yang cukup menyebabkan beberapa predator tidak dapat mendeteksi telurnya. Pengelolaan habitat asli Maleo terus dilakukan melalui penelitian dan pengamanan intensif di kawasan savanna TNRAW, Sulawesi Tenggara.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Karakteristik vegetasi pada habitat persarangan burung Maleo yaitu jenis vegetasi di sekitar sarang bertelur berupa tumbuhan Senggani (Melastoma sp.), Ubi Hutan (Discorea hispida Denst.), Alang-alang (Imperata cylindrical), dan Kirinyuh (Eupathorium sp.).

2. Beberapa parameter Lingkungan yang diukur sebagai parameter pengukuran Karakteristik Mikro-Habitat Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller, 1846) yaitu diperoleh suhu udara 32oC, suhu tanah lubang sarang bertelur Maleo 30oC. Pengukuran pH substrat sarang bertelur Maleo yaitu

5.9-7. Rata-rata kedalaman lubang sarang bertelur burung Maleo adalah ±60 cm dengan diameter lubang 32 cm–33 cm. Kemudian jenis substrat pada lokasi penelitian di kawasan savanna Blok Hutan Mempaho dan savanna Blok Hutan Pampaea didoiminasi oleh pasir berkerikil.

Saran

Saran penulis untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berkiut : 1. Melakukan penelitian karakteristik

tanah, penetapan tekstur tanah, dan sifat tanah yang baik bagi pengeraman telur maleo.

2. Melakukan pneleitian tentang analisis vegetasi hutan di sekitar persarangan burung Maleo untuk pengelolaan kawasan Konservasi Burung Endemik secara ex-situ dan in-situ di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Amnawati, W.O., 2013. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Hutan Mangrove di Kawasan Sungai Lanowulu Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW)

Sulawesi Tenggara,

J.Biowallacea 1 (2) : 71-81. Coates, B.J., dan David B.K.,1997.

Panduan Lapangan Burung-Burung Di Kawasan Wallacea. BirdLife Internasional-Indonesia Programme and Dove Publications. Bogor.

Dekker RWRJ., 1990. The distribution and status of nesting grounds of the Maleo Macrocephalon maleo in

(14)

Sulawesi Indonesia. Biological Conservation. 51:139–150. Gunawan, H. 1998. Pelestarian Hutan

Mangrove Untuk Konservasi Satwa Langka Di Sulawesi. Eboni 3 (1) : 1 - 10. Balai Penelitian Kehutanan. Makassar.

Gorog, A.J., B. Pamungkas and R.J.Lee. 2005. Nesting Ground Abandoment by The Maleo (Macrocephalon maleo ) in North Sulawesi: Identiffying Conservation Priorities for Indonesia’s Endemic Megapode. Biological Conservation Journal. Vol.126 (4):548-555

Odum, E.P., 1998, Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan), Gadjah mada University Press, Yogyakarta Steenis, C.G.G.J. van dan Suryowinoto,

M., 1997. FLORA Untuk Sekolah Indonesia. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sugiarto, D.P., P. Budi, P. Efi, M. Handry, dan Darystin. 2010. Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. DIPA. Tatangge. Sugiarto, D.P., 2012. Konservasi Burung

Maleo (Macrocephalon maleo) di TN Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara,

http://tnrawku.wordpress.com/20 12/03/20/konservasi-burung- maleo-macrocephalon-maleo-di-

tn-rawa-aopa-watumohai-sulawesi-tenggara/ Diakses pada Tanggal 10 September 2014. Tanari, M., 2007. Karakterisasi Habitat,

Morfologi dan Genetik serta Teknologi Pengembangan Ex-situ Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) Sebagai Upaya meningkatkan Efektivitas Konservasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor, Disertasi : 1-137.

Tim Penyusun BKSDA, 2008. Dokumen Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara, BKSDA Sultra, Kendari.

Whitten A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi

Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gambar

Gambar 1. Peta Penutupan Lahan Wilayah  Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa  Watumohai (TNRAW) Sulawesi
Gambar  3.  Perjumpaan  dengan  burung  Maleo  (Macrocephalon  maleo).  Lokasi  sarang  peneluran  :  kawasan  Savanna  Pada-padai  Resort  Langkowala  TNRAW
Gambar 4. Lokasi Sarang Burung Maleo, Daerah  Perbukitan Blok Hutan Mempaho
Gambar 5. Cangkang telur burung Maleo yang telah pecah akibat dimakan oleh biawak. Lokasi  sarang  bertelur  :  kawasan  Savanna  “Pada-padai”  Resort  Langkowala  TNRAW  (Senin/3/11/2014; 12.33 WITA)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada komponen validitas dari fungsi kognitif media pembelajaran berbasis permaina chemo-karuta diperoleh nilai momen kappa sebesar 0.86 dengan kategori kevalidan sangat

Monitoring status neurologi secara komprehensif merupakan bagian penting terutama pada pasien Space Occupying Lesion dengan HIV dan Toxoplasmosis Cerebri dengan adanya monitoring

Therefore, the present paper entitles fostering studentc autonomy through poster making of previous classroom Action Research articles as the alternative media in

Sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni), hasilnya

Objektif kajian ini ialah untuk menentukan prevalens keadaan alahan yang berlaku akibat dedahan kepada populasi rama-rama Toxoproctis hemibathes, seperti

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat

Muridnya antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak,

Conclusion: The administration of potassium citrate 2x20mEq/day in 6 months improved patient’s complaints and occurrence of renal colic, while consumption of Citrus