A Midsummer
Night’s Sin
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana di mak -sud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pem bajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepu luh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
A Midsummer
Night’s Sin
Kasey Michaels
Originally published as A Midsummer Night’s Sin © 2011 Kathryn Seidick
Translation by Elex Media Komputindo as A Midsummer Night’s Sin © 2016
All rights reserved including the right of reproduction in whole or in part in any form.
This edition is published by arrangement with Harlequin Books S.A. This is a work of fiction. Names, characters, places, and incidents are either the product of the author’s imagination or are used fictitiously, and any resemblance to actual persons, living or dead, business establishments, events, or locales is entirely coincidental.
All rights reserved. Alih Bahasa: Beatha Saskia Hak Cipta Terjemahan Indonesia Penerbit PT Elex Media Komputindo Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali pada tahun 2016 oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
EMK 717030268 ISBN: 978-602-04-0103-4
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Untuk dua wanita luar biasa yang
dinikahi putra-putraku,
Susan dan Tammy tersayang.
Prolog
DIA TIDAK MENGIKUTI tren, dia menciptakan nya. Dia berpenampilan bak mode Paris terkini dan yang terbaik, sangat elegan. Ketika memutuskan un tuk memanjangkan rambut pirangnya hingga nyaris mencapai bahu, separuh pengikut mode muda lang sung melakukan hal yang sama, beberapa bahkan ter paksa memakai rambut palsu.
Dia mengendarai seekor kuda merah roan dengan tanda putih berbentuk wajik di bagian wajah. Seketika penjualan kuda merah roan meningkat, begitu pula dengan keuntungan Jacques Dupuis, mantan joki dan seniman whitewash yang hebat.
Dia bisa memainkan biola dengan nadanada yang menyayat hati, piano dengan nadanada yang lincah, dan flute hanya karena menurutnya menyenangkan. Seketika para pemusik yang tak memiliki pekerjaan terjejali oleh permintaan kursus, dan mereka yang mengartikan musik sebagai “kebisingan yang indah” tentu belum pernah mendengar usaha selusin pemu da Prancis kaya yang buta nada dalam hal bermain musik.
Kasey Michaels
2
Dia tidak mendatangi teater, dan penjualan tiket pun anjlok. Dia mengucapkan lelucon, dan seluruh Paris pun tertawa. Para gadis mengidamkannya, para pemuda berlombalomba ingin terlihat bersamanya. Nyonyanyonya rumah menghujaninya dengan un danganundangan … pesta, bukan ke kamar tidur mereka.
Mereka memanggilnya Puck, nama itu membuat mereka senang. Dia sangat tidak terhormat, tetapi se lalu disambut di mana pun.
Dia adalah le beau bâtard Anglais, anak haram Inggris yang tampan, kesayangan bangsawan Paris, dan yang benarbenar, sangat amat, menggiurkan.
Tetapi kini dia meninggalkan Paris yang terang terangan kebingungan dengan kepergiannya, dan kembali ke tanah kelahirannya, tepat pada saat Season baru di London dimulai.
Tempat dirinya hanya dikenal sebagai Robin Goodfellow Blackthorn.
Anak haram.
PUCK BERDIRI di dekat perapian sebuah ruang tamu mewah di dalam sebuah rumah yang bahkan lebih mewah lagi di Grosvenor Square, tepat di pusat Mayfair yang modern. Dia tampak tenang dalam pa kaian bergaya Prancisnya yang anggun serta cravat nya yang megah, dan penghargaan desainernya terha dap keindahan fisik sang klien ditunjukkan melalui
A Midsummer Night ’s Sin 3
potongan jas wol yang sempurna dan celana pas badan yang membentuk tubuhnya yang tinggi dan langsing.
Puck memasang senyum paling menawan yang su dah lama dilatihnya untuk menyembunyikan kecer dasan di balik mata biru kehijauannya yang memeso na. Segalanya bergantung pada bagaimana dia menan gani apa yang akan terjadi dalam beberapa menit selanjutnya, meski di mata orang awam, dia tampak ramah, tolol, dan sama sekali tidak berbahaya.
Sesungguhnya, dia bersikap waspada, berhatihati terhadap dua pria ini, yang dia tahu lebih menyulit kan daripada sekedar sepasang pria Inggris yang mem bosankan, yang mungkin bisa melacak silsilah mereka dari The Great Flood tetapi tidak bisa dipercaya.
Selama lima belas menit terakhir mereka bersandi wara, berpurapura membicarakan bermacammacam hal—masingmasing berpurapura memercayai apa yang dikatakan satu sama lain—tidak ada yang bisa menebak siapa yang akan memenangkan permainan tipu muslihat ini, tetapi Robin Goodfellow Blackthorn selalu berani bertaruh pada dirinya sendiri.
“Aku mengagumi pedesaan Inggris,” kata Puck, menyambung pembicaraan mereka. “Daerah di seki tar Gateshead, misalnya, sangat patut dipuji. Aku bisa membicarakan tentang tempat itu selama berjam jam.”
Didorong seperti itu, Baron Henry Sutton akhir nya memotong senda gurau sopan yang tanpa tujuan
Kasey Michaels
4
itu, Puck tahu pria itu sudah gatal ingin melakukan nya sejak datang tadi.
“Kau ingin memeras kami?” Baron memandang temannya, Richard Carstairs, dan berkata, “Ini dia, Dickie. Si anak haram ini ingin memeras kita.”
“Oh tidak, my lord, walaupun aku harus sedikit membantah, karena kurasa kita tidak perlu mengung kitungkit soal kelahiranku,” protes Puck, menjauhi perapian dan bahkan lebih jauh lagi dari sandiwara ini. “Aku hanya mengingatingat akan perkenalan singkatku dengan Mr. Carstairs ini, saat kami berdua melewati malam yang indah di Gateshead tahun lalu. Tempat yang menarik, sayangnya agak kurang terawat untuk seorang pria bangsawan seperti Mr. Carstairs. Tetapi Jack bisa ditemui di mana saja, biasanya saat orang berharap tidak akan bertemu dengannya, dan, tentunya, kedatangannya selalu hendak membuat onar.”
Dickie Carstairs, seorang pria berkulit putih dan berpipi bulat, yang tubuh lembeknya menunjuk kan bahwa hal yang disukai dalam hidupnya hanya lah bertaruh tentang kinerja tukang masaknya atau hidangan selanjutnya, berpaling pada sang baron dengan mata terbelalak. “Kau dengar itu? Dia me nyebutnyebut Jack. Tak boleh ada orang yang tahu tentang Jack. Demi Tuhan, itu kakaknya sendiri. Licik sekali. Sudah kubilang tidak seharusnya kita ke sini.
Menanggapi panggilanmu. Aku tidak begitu peduli
A Midsummer Night ’s Sin 5
Sang baron, yang jelas lebih cerdas daripada Mr. Carstairs, baik dari penampilan maupun perilakunya, menatap Puck dengan galak. “Kakakmu akan men dengar hal ini.”
Senyum Puck justru semakin lebar. “Oh ya, tentu, aku yakin dia akan mendengarnya. Sepertinya Jack selalu mendengar tentang apa pun, entah bagaimana caranya. Aneh, bukan? Di dalam keluarga, kami me manggilnya Black Jack. Dialah yang paling romantis di antara kami. Sampaikan salamku padanya, ya? Dan bagaimana kabar—Siapa namanya? Ah, aku ingat se karang. Jonas. Bagaimana kabar Jonas? Aku rasa pria keji itu sekarang terbaring di dalam kuburan tak ber nama di suatu tempat yang jauh dari London, tempat hukum Inggris yang lebih beradab ditegakkan. Tapi terkadang aku memang cenderung suka menjadi dra matis.”
“Kalau kau menyindir bahwa kami membawanya keluar dan—”
“Dickie, cukup,” kata sang baron dengan halus. “Baiklah, Mr. Blackthorn. Jelas kau tahu bahwa ka kakmu, Mr. Carstairs, dan aku terkadang melakukan pekerjaan kecil kami untuk Istana, apabila diperlu kan.”
Puck mengangkat kedua tangannya. “Agak se perti pekerjaan buangan menurutku, meskipun sa ngat tangkas. Tapi, tolong, tidak perlu penjelasan lebih rinci. Aku lebih suka kalau kita tetap berteman.”