• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. 4"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masalah korupsi ini bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun dinegara berkembang termasuk Indonesia, bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena

sudah meningkat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.4

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multimedimensial serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar

lebih korup dibandingkan Indonesia.5 Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK),

4 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 1.

(2)

ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang

mengalami konflik.6

Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem sosial-ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi

(termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”.7

Penyelamatan keuangan negara ditempuh dengan berbagai cara antara lain pelacakan/pengejaran dan penyitaan barang/kekayaan yang diduga ada kaitannya dengan kejahatan korupsi. Penjatuhan pidana denda telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami perubahan kembali Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diterbitkan pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang sanksi pembayaran denda dan uang pengganti atas perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang pribadi maupun badan hukum.

6 Ibid., hal 2.

7 Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 hal. 85-86.

(3)

Tujuan pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk memaksimalkan pengembalian uang negara yang telah dikorupsi.

Dalam kenyataannya pembayaran ganti kerugian dalam tindak pidana korupsi tersebut sampai sekarang belum dapat dilaksanakan dengan baik, dikarenakan banyaknya faktor penghambat baik pada terpidana, penegak, hukum, dan pada aturan-aturan pelaksanaannya, sementara uang hasil korupsi telah habis dibelanjakan, dengan demikian terlihat bahwa kemampuan dan profesionalisme aparat hukum merupakan faktor penentu dalam pemberantasan tindak korupsi di samping fakor perundang-undangan.

Diperlukan perubahan mendasar tentang ketentuan uang pengganti dalam UU No.31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan tetap

mempertimbangkan pemulihan keseimbangan antara kerugian negara,

masyarakat, dan kepentingan perlindungan hak kepemilikan terdakwa tindak pidana korupsi perlu segera diundangkan Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Kejahatan, termasuk aset yang berasal dari tindak pidana korupsi perlu segera dibentuk kantor pusat pengendali (central authority)

ditingkat nasional.8

Salah satu instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi selain Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Disamping kewenangan Kejaksaan dibidang penuntutan dan penyidikan untuk tindak pidana khusus, berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16

8 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Depok, 2010, hal. 29.

(4)

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dibidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kewenangan kejaksaan dibidang perdataan dan tata usaha negara ini diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1990.

Terdapat fakta-fakta mengenai sangat minimnya hukuman yang dijatuhkan

kepada pelaku korupsi sehingga belum sesuai dengan peraturan yang ada.9 Pada

dasarnya pencantuman mengenai lamanya pidana penjara dan adanya denda yang ditetapkan tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya tindakan/perilaku koruptif akan tetapi dalam kenyataan dilapangan, hukuman maksimal yang telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan jarang sekali diterapkan atau diambil oleh seorang hakim.

Seiring dengan desakan desentralisasi dan kebijakan nasional pasca reformasi, maka Daerah Papua khususnya daerah Kabupaten Fak-Fak merupakan

9 VIVANews, Rabu, 19 Januari 2011 14:55: Kenapa Hakim 'Hanya' Vonis Gayus 7 Tahun, http://vivanews.com/berita/200177-kenapa-hakim--hanya--vonis-7-tahun-.htm,diunduh Minggu, 2 Juni 2012 pukul 23:22 WIB.

(5)

daerah yang memiliki Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat, dimana pemberian otonomi khusus ini membuat pembangunan yang nampak pesat diberbagai bidang. Ini tentunya didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) makin bertambah, dari sekitar Rp.300 Milyar di awal

tahun 2000-an hingga sekarang mencapai lebih dari setengah Triliun Rupiah.10

Dengan besarnya jumlah Pendapatan dari daerah Kabupaten Fak-Fak tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya pelanggaran Tindak Pidana Korupsi, karena didaerah yang memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang lebih sedikit saja ada Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi.

Peran dari Kejaksaan sangat diperlukan untuk mengontrol perkembangan dari Tindak Pidana Korupsi. Tujuan penulis membahas masalah peranan kejaksaan dalam pembayaran uang pengganti di daerah Kabupaten Fak-Fak adalah ingin memberi sedikit gambaran perkembangan kasus korupsi yang terjadi didaerah Kabupaten Fak-Fak dimana daerah Kabupaten Fak-Fak memiliki Otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah Pusat dalam penyaluran APBD nya. Selain itu penulis sebelumnya telah melakukan riset di kejaksaan Negeri Medan dengan judul yang sama tetapi tidak ada respon yang positif dari pihak Kejaksaan Negeri Medan sehingga akhirnya penulis tertarik melakukan riset di daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.

Dari uraian tersebut penulis tertarik untuk mengetahui secara lebih mendetail mengenai implementasi sanksi pembayaran denda pada terpidana kasus

10 Membangun Gerakan Anti-Korupsi Untuk Tercapaina Pemerintahan yang Bersih

diKabupaten FakFak http://fakfakjamak.wordpress.com/, diunduh Minggu, 3 juni 2012

(6)

korupsi didaerah Kabupaten Fak-Fak, melalui sebuah penelitian untuk kepentingan penyusunan skripsi dengan judul:

“Peranan Kejaksaan dalam Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam skripsi ini adalah :

3. Bagaimana peranan kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti?

4. Bagaimana pelaksanaan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pihak kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada perkara tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang peranan kejaksaan dalam pelaksanaan pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak Papua Barat.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi dan upaya yang telah dilaksanakan oleh kejaksaan untuk mengatasi hambatan tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Peranan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Kejaksaan

(7)

Negeri Kabupaten Fak-Fak)”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan studi kepustakaan dan melakukan riset ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak Papua Barat guna memperoleh data-data yang dapat mendukung penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan pemeriksaan yang penulis lakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu dalam rangka pembuktian bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka telah terbukti skripsi ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan dari karya tulis orang lain.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana A. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana, pembentukan Undang-Undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.

Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Oleh karena itu, kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan,

perbuatan, atau tindakan.11

11 Evi Hartanti, Loc.Cit, Hal 5.

(8)

Menurut Simons dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah : “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.12

Menurut E.utrecht menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah Peristiwa Pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan

handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun

akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum Tindakan semua unsur dari peristiwa pidana, yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum ( unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab. Menurut Moeljanto,

straafbaarfeit adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum, larangan yang

mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang

menimbulkan kejahatan).13

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

straafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut :

1. Bahwa kata feit dalam istilah sraafbaarfeit mengandung arti kelakuan atau tingkah laku;

2. Bahwa pengertian straafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang

yang mengadakan kelakuan tersebut.14

B. Hukum Pidana Umum dan Khusus

Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu.

12 Ibid. hal. 5.

13 Ibid., hal. 7.

14 Pengertian Tindak Pidana,

(9)

Hukum Pidana khusus adalah mempelajari suatu hukum dibidang pidana yang pada umumnya berada ketentuannya diatur diluar KUHP yang berhubungan dengan hukum pidana umum. Pidana umum dan penyimpangan – penyimpangan yang ada terhadap hukum pidana umum dalam bentuk serta lembaga yang

berwenang mengadilinya.15

Tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk-bentuk hukum pidana yang tergolong kedalam hukum pidana khusus :

1. Latar belakang 2. Jenis-jenis

3. Perundang-undangan yang mengaturnya

4. Proses penyelesaian16

Latar belakang munculnya Tindak Pidana Khusus :

1. Karena dalam kenyataan sehari – hari banyak ditemukan delik – delik yang tidak diatur dalam KUHP.

2. Adanya delik yaitu pidananya relatif ringan, sedangkan delik itu pada

waktu sekarang mempunyai dampak yang besar.17

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Bersenjata, ataupun

15 Hukum Pidana Khusus, http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum-pidana-khusus/, Diunduh Rabu, 6 Juni 2012 Pukul 01.18 WIB.

16 Ibid. 17 Ibid.

(10)

merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya

tindak pidana fiskal.18

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana korupsi A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Salah satu jenis kejahatan yang sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana adalah korupsi. Perbuatan korupsi merupakan suatu perbuatan curang dan tidak jujur yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan berpikir (inteligensi), dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling mudah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat. Sebagaimana dimaklumi bahwa terbentuknya kelompok masyarakat kriminal itu diciptakan dari perbuatan meniru yang tumbuh dalam masyarakat.

Secara tata bahasa kata korupsi berasal dari bahasa latin, corruptio atau

corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga

mengandung arti kejahatan, kebusukan, keburukan, tidak bermoral, dan

kebejatan.19

Arti harfiah dari kata ini adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian

kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 20

Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dimaksud dengan korupsi adalah

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 1-2.

19 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, hal. 146

20 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 7

(11)

penyelewenangan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.21

Disamping itu definisi korupsi yang banyak dikutip adalah merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.

Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam penjelasan umumnya memberikan pengertian korupsi sebagai perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara

melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil.22 Dengan perumusan

tersebut pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Tindak pidana korupsi yang telah meluas dan mengakar dalam masyarakat harus dicari sumber-sumbernya berdasar latar belakang sejarah dan kebudayaannya.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pejabat negara yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk mengelola kekuasaan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara umum korupsi adalah tindakan melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berakibat rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik, administrasi, manajemen, sosial

21 Ibid. 22 Ibid., hal. 8

(12)

dan budaya serta berakibat pula pada terampasnya hak-hak rakyat yang semestinya didapat.

Menurut Ensiklopedia Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, pengertian korupsi (dari bahasa latin : corruptio = penyuapan; corruptor = merusak) adalah gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunaan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.23

Adapun secara harfiah korupsi dapat diartikan sebagai berikut :

1. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran;

2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

3. Korup = busuk; suka menerima uang suap; memakai kekuasaan untuk

kepentingan sendiri.24

Berdasarkan arti secara harfiah tersebut, maka dapat dimengerti bahwa sebenarnya korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan, dalam hal ini uang negara atau uang perusahaan, untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Jadi apabila membicarakan korupsi maka perbuatan tersebut akan menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, penyelewenagan kekuasaan dalam suatu jabatan karena adanya pemberian dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya yang berhubungan dengan urusan kedinasan atau suatu jabatan.

Terkait dengan tindak pidana korupsi, Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

23 Evi Hartanti, Loc.Cit, hal. 8 24 Ibid.

(13)

Tindak Pidana Korupsi menentukan : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Kemudian lebih lanjut dalam pasal 3 diterangkan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Dari pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi adalah :

1. Tindak melawan hukum

2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi 3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

(14)

4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan.25

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yang dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal dan faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:

1. Faktor Internal

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seorang pemegang kekuasaan yang mendorong untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan atau kelompok, baik keuntungan secara

ekonomi maupun keuntungan secara politik.26 Faktor internal ini bisa terjadi

karena orang dalam keadaan terpaksa, karena gaji tidak mencukupi untuk pola hidup yang mewah, dan dapat juga terjadi karena kerakusan untuk menumpuk-numpuk materi/harta kekayaan.

Dorongan untuk penyalahgunaan kekuasaan/korupsi karena kerakusan tersebut dapat disebabkan karena renggangnya nilai-nilai sosial keagamaan dan budaya masyarakat, yang tergantikan dengna nilai-nilai hedonism, materialism, pragmatism dan konsumerisme. Ukuran kehormatan bagi masyarakat dengan nilai-nilai seperti ini adalah sesuatu yang dapat menyenangkan secara lahiriah, misalnya kekayaan, jabatan, dan lain-lain. Orang juga tidak banyak memperhatikan asal muasal kekayaan yang diperoleh oleh orang lain dalam hal ini adalah pejabat, semakin kaya seorang pejabat semakin ia dianggap berhasil oleh masyarakat, terlepas dari apakah kekayaan tersebut diperoleh dengan cara

25 Ikhwan Fahrojih, dkk, Mengerti dan Melawan Korupsi, Yappika dan Malang CorruptionWatch (MCW), Jakarta, 2005, hal. 10.

(15)

wajar atau tidak. Pejabat dengan karakter seperti ini sangat berpotensi untuk menggunakan kekuasaan yang dipegangnya untuk memperkaya diri sendiri. Pejabat dengan karakter seperti ini juga tidak akan pernah puas dengan gaji yang diterima, walaupun sudah ada kenaikan gaji yang sangat tinggi.

Pejabat dengan karakter seperti ini bahkan sangat berpotensi pula untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya dengan cara menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengumpulkan uang demi membiayai praktek-praktek politiknya. Ketika orang melakukan investasi politik maka ada motivasi untuk melipatgandakan keuntungan atas investasi tersebut. Baik keuntungan secara politik maupun ekonomi yaitu terpeliharanya kekuasaan dengan praktek-praktek korupsinya dan keuntungan secara ekonomi yaitu bertambahnya kekayaan pribadi karena praktek-praktek korupsi.

2. Faktor Eksternal

Yang dimaksud dengan faktor eksternal ini adalah adanya sistem pemerintahan yang memang memberikan kesempatan kepada pemegang

kekuasaan untuk melakukan korupsi.27

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;

27 Ibid., hal 11.

(16)

4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain.28

Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi diatas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut :

1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tersebut. Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik dalam kerja sama di bidang politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan di segala bidang khususnya pembangunan ekonomi, serta terganggunya stabilitas perekonomian negara dan stabilitas politik.

2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat

Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan negara, masyarakat akan bersikap apatis terhadap segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat apatis masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional akan rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1998 yang lalu, masyarakat sudah tidak mempercayai lagi pemerintah dan menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban amanat rakyat dan melakukan berbagai tindakan melawan hukum menurut kacamata masyarakat.

3. Menyusutnya pendapatan negara

Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan negara dapat

berkurang apabila tidak diselamatkan dari penyelundup dan

penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut.

4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan negara

Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak memaksakan ideology atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat terhadap negara.

5. Perusakan mental pribadi

28 Evi Hartanti, Loc.Cit., hal. 16

(17)

Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan akan melupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya ataupun orang lain yang dekat dengan dirinya. Yang lebih berbahaya lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau dicontoh oleh generasi muda Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai.

6. Hukum tidak lagi dihormati

Negara kita merupakan negara hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja namun juga pada seluruh warga negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi sehingga hukum

tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.29

Adapun ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya “Sosiologi Korupsi” sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, adalah sebagai berikut :

1. Korupsi senantiasa melihatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang pejabat yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel, namun disini seringkali ada pengertian diam-diam diantara pejabat yang mempraktekkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan oleh para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemik di masyarakat.

2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada didalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya, namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

4. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. 5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

29 Ibid., hal. 16

(18)

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.30

Berdasarkan ciri-ciri korupsi tersebut diatas dapat disimpulkan secara garis besar bahwa suatu tindak pidana korupsi paling tidak melanggar tanggung jawab pada sistem publik atau kepentingan umum dan merusak sistemnya. Suatu sistem public atau ketertiban umum, lebih mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan khusus. Jadi para pelanggar terhadap kepentingan umum untuk kepentingan khusus adalah korup.

Selanjutnya Syed Hussein Al-Attas menyatakan bahwa korupsi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

2. Sistem kolonialisme, karena pemerintahan asing tidak memberikan tergugahnya kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3. Kurangnya pendidikan 4. Kemiskinan

5. Tiada sanksi yang keras.

6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. 7. Struktur pemerintahan.

8. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit yang transisional.

9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan

keadaan masyarakat secara keseluruhan.31

Menurut Prof.Dr.Baharuddin Lopa SH, suatu tindak pidana korupsi itu disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

Pertama – yang bersumber pada kebiasaan (tradisional) dimana seseorang membiasakan diri memberikan hadiah kepada pejabat, atau pegawai bawahan memberikan hadiah kepada atasan dengan maksud terselubung. Kedua – karena ketidakberesan manajemen dimana belum efektifnya mekanisme pengawasan sementara administrasi makin meningkat disebabkan pembangunan dan modernisasi tumbuh pesat, juga membuka peluang terjadinya korupsi. Ketiga – karena tekanan ekonomi, rendahnya gaji pegawai negeri dan tingginya kebutuhan membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan untuk berkhianat, menyelewengkan wewenang dan korup dimana awalnya hanya sekedar

30 Ibid, hal. 10 31Ibid., hal. 11.

(19)

menyambung hidup tetapi berubah menjadi serkah. Keempat – karena erosi mental, misalnya mental yang rusak sehingga setiap kesempatan yang diperolehnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan melahap ludes apa saja yang dapat dijangkau untuk korup. Kelima – karena gabungan beberapa faktor, terjadi karena alasan yang paling terkait dan saling mempengaruhi. Misalnya seseorang melakukan korupsi untuk mengumpulkan dana dengan tujuan agar

memperoleh kedudukan politik atau susatu jabatan dalam pemerintahan.32

Menurut Munawar Fuad Noeh, suatu tindak pidana korupsi itu disebabkan oleh lima variabel yaitu :

Pertama – variabel penjajahan (kolonialisme) yang telah turut andil mengembangkan budaya korupsi di Indonesia. Kedua – variabel kebudayaan, misalnya budaya ewuh. Ketiga – variabel ekonomi, rendahnya gaji pegwai negeri dan tingginya kebutuhan membuat mereka tidak berdaya menghadapi godaan untuk berkhianat, menyelewengkan wewenang dan korup. Keempat – variabel struktur, struktur kekuasaan yang sentralistik antara lain dapat berakibat pada terbatasnya kelompok pengambilan keputusan dan melimpahnya para pengharap keputusan sehingga pengambil keputusan memiliki daya tawar tinggi. Situasi demikian membuatnya rakus dan gampang memeras. Kelima – variabel partai politik, sumber dana partai politik di negara berkembang umumnya tidak mapan, karena itu parpol berharap banyak pada bantuan negara. Partai berkuasa tentu berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya, untuk itu ia akan memonopoli penghisapan dana negara dengan cara apapun demi kelangsungan

partai dan tentu saja secara tidak langsung dengan rezim.33

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Sekretaris LSM Alammak Babel Joni Irawan menyebutkan, ada tiga puluh jenis tindak pidana korupsi yang kerap dilakukan para koruptor. Bentuk/jenis tindak pidana korupsi itu yaitu :

1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara

2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara

3. Menyuap pegawai negeri

4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya 5. Pegawai negeri menerima suap

32 Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 79.

33 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Zikrup Hakim, Jakarta, 1997, hal. 50.

(20)

6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya 7. Menyuap hakim

8. Menyuap advokat

9. Hakim dan advokat menerima suap

10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan 11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administras 12. Pegawai negeri merusakkan bukti

13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti 14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti 15. Pegawai negeri memeras

16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain 17. Pemborong berbuat curang

18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang 19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang

20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang 21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang

22. Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain

23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya 24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK 25. Merintangi proses pemeriksaan

26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya 27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka

28.Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu

30. Saksi yang membuka identitas pelapor34

C. Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Sistem Pemidanaaan dalam tindak pidana korupsi selain Uang Pengganti ada juga beberapa jenis Pemidanaan yang di berikan kepada Terdakwa didalam

Putusan Hakim. Diantaranya ada Pidana Penjara dan Pidana Denda.35

Alasan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diketahui dari konsiderans butir b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

34 Bangkapos.com Jumat, 4 Maret 2011 18:12 WIB : 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi, www.bangkapos.com, diunduh Kamis, 6 Juni 2012 pukul 01.17 WIB

35 Wawancara dengan Bapak Arfan, Kepala Bagian Pidana Khusus, Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak, 17 Juni 2012.

(21)

1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum; 2. Menghindari keragaman penafsiran hukum;

3. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta

4. Perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Perubahan terhadap Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut adalah berupa :

1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Karena hanya menyebutkan tentang adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka selain penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, penjelasan yang lain dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal, menurut hemat penulis masih tetap berlaku atau tidak ada perubahan.

2. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.

Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan yang masing-masing terdapat dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, semula-sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan

(22)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 – adalah ketentuan-ketentuan yang mengaitkan dengan mencantumkan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP yang naskah aslinya mempergunakan bahasa Belanda, yaitu seperti yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht.

Dikatakan tidak mengacu lagi pada pasal-pasal dari KUHP, karena dalam Pasal 43 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sendiri telah ditentukan bahwa Pasal 209, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tetapi meskipun demikian, putusan pengadilan dan pendapat pakar mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu, menurut hemat penulis masih dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menerapkan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

3. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa diantara Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 12A, Pasal 12B dan Pasal 12C.

4. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 26A.

5. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dipecah menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A.

(23)

6. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa diantara Pasal 38 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 38A, Pasal 38B dan Pasal 38C.

7. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa diantara Bab VI dan Bab VII ditambah Bab VI A yang berisi Pasal 43 A. 8. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa

dalam Bab VII sebelum Pasal 44 ditambah Pasal 43B.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3), telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 2002.

Meskipun sebagai pelaksanaan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (3), Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini telah banyak mengadakan perubahan mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dengan diadakannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang kemudian disusul dengan adanya Undang Nomor 30 Tahun 2002, diharapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat lebih mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangna kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat

(24)

merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.

Untuk mewujudkan usaha mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi tersebut, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.

1. Pidana Tambahan

Pidana tambahan berupa :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.36

Lembaga yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi adalah

36 Evi Hartanti, Loc.Cit, hal. 14-15

(25)

Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimana Menurut UU No 15 Tahun 1961 dan secara terperinci dalam pelaksanaan tupoksi kejaksaan diatur dengan Kepres No 86 Tahun 1982 juncto Kepres No 83 Tahun 1982 juncto Keputusan Kajagung No 116/JA/183, Kejaksaan Agung Republik Indonesia memiliki Tugas Pokok dan Fungsi yang telah diatur.

Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Fungsi dari Kejaksaan Negeri Republik Indonesia yaitu :

1. Penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;

2. pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana;

3. pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

4. penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

5. pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

6. koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan

(26)

fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

7. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan

yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.37

Disamping kewenangan kejaksaan dibidang penuntutan dan penyelidikan untuk tindak pidana khusus, dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa dibidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dalam kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Kewenangan kejaksaan dibidang keperdataan dan tata usaha negara ini diantaranya adalah apabila terpidana tindak pidana korupsi tidak mampu membayar uang pengganti atau apabila barang yang disita belum atau tidak mencukupi jumlah uang pengganti atau barang-barang terpidana telah habis maka jaksa penuntut umum selaku eksekutor dapat menunggu sampai terdakwa mempunyai harta kekayaan lagi dan apabila ternyata setelah beberapa lama (telah selesai menjalani pidana badan) memiliki harta kekayaan maka jaksa penuntut umum dapat meminta kekurangan pembayaran uang pengganti melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI

Nomor 3 Tahun 1990.38

Ketentuan mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah salah satu upaya

37 http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=31&sm=2, diunduh Minggu, pukul 01.08 WIB

(27)

untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha penyelamatan/pengembalian kerugian negara. Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa, berlakulah ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pidana tambahan dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.

Selanjutnya mengenai pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan :

“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.

Sedang dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa :

“Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan lamanya

pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”39

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembayaran uang pengganti adalah suatu

upaya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha

penyelamatan/pengembalian kerugian negara ataupun kekacauan negara. Apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa, berlakulah

39 Undang-Undang Nomor 31 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(28)

ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan-pelaksanaan pidana tambahan dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya dan ditentukan dalam putusan pengadilan.

3. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana A. Dasar Hukum Uang Pengganti Dalam Hukum Pidana

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Sehubungan dengan adanya kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok,

hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak.40

Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP.41

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang pengganti sebagaiman ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka

40 P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84

41 R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 126

(29)

perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana

korupsi yang dilakukannya.42 Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana

tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi.

Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang lain.43

Sehubungan dengan adanya kalimat “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah …..dst” dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan dalam :

1. Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi :

42 Ibid., hal. 129. 43 Ibid., hal. 130.

(30)

a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari :

1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu 2) Hak memasuki angkatan bersenjata

3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum

4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri

5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.

b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas atas :

1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan 2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk

melakukan kejahatan.

c. Pengumuman keputusan hakim.

2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

b. Pembayaran uang pengganti

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan

oleh pemerintah kepada terpidana.44

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap hukum pidana dan penerapan pidana sebagai sarana kebijakan hukum pidana, dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap eksistensi pidana

44 Ibid., hal. 131

(31)

badan di Indonesia dan aplikasinya terhadap penegakan hukum di

Indonesia.45

2. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

2) Badan Hukum Sekunder, yaitu badan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

45 Ibid., hal. 132.

(32)

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari :

a) Kamus Umum Bahasa Indonesia b) Kamus Istilah Hukum

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Fak-Fak pada instansi : Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak

4. Narasumber Penelitian

Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Fak-Fak atau yang mewakilinya

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian lapangan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada narasumber penelitian.

b. Penelitian kepustakaan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

6. Analisis Data

Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(33)

a. Data yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian

b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan

c. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam beberapa bab dan masing bab terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masing-masing bab tersebut adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal dasar bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. Selanjutnya pada bab ini juga diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data. Pada akhir dari bab ini disajikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI

Pada bab ini diuraikan dan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Adapun uraian pada bab ini meliputi : Tugas pokok Kejaksaan dalam tindka pidana korupsi, Pidana tambahan dalam tindak pidana

(34)

korupsi yang berupa uang pengganti, Penetapan uang pengganti, dan Prosedur penyelesaian pembayaran uang pengganti.

BAB III PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN

PEMBAYARAN UANG PENGGANTI PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DIKEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN FAK-FAK

Pada bab ini diuraikan dan dianalisis hasil penelitian lapangan terhadap peranan kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak. Adapun uraian dan analisis pada bab ini meliputi Peranan Kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindka pidana korupsi di Kejakasaan negeri Kabupaten Fak-Fak, dan Hambatan yang dihadapi pihak Kejaksaan dan upaya penyelesaiannya penyelesaiannya.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam skripsi ini dan sekaligus disajikan saran yang merupakan sumbangan pemikiran dan rekomendasi dari penulis tentang peranan Kejaksaan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti pada tindak pidana korupsi di Daerah Kabupaten Fak-Fak.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

Dengan menggunakan data hasil digitasi bidang gelincir dengan data topografi pada area bidang gelincir, maka dapat digunakan untuk mengetahui kedalaman bidang

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

halnya Mulan, seorang Princess yang memiliki keahlian dalam berpedang. Anak lainnya terlihat tengah berenang dengan menggunakan berbagai aksesoris dengan simbolisasi

Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PERWAKILAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA

PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan hal-hal yang berkaitan dengan arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 sehingga dapat memberi saran bagi orang-orang awam

Laporan Keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Semester I Tahun Anggaran 2021 ini telah disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor

Permainan Dhakon ternyata dapat dijadikan sebagai media pembelajaran matematika. Pembelajaran dilakukan dengan langkah-langkah: memilih pasa- ngan, mengisi lubang dengan