• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pertanian menurut A.T. Mosher (1965) adalah suatu proses

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pertanian menurut A.T. Mosher (1965) adalah suatu proses"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pertanian

Pengertian pertanian menurut A.T. Mosher (1965) adalah suatu proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan.

2.2. Pertanian Organik

2.2.1. Pengertian Pertanian Organik

Pertanian organik menurut Departemen Pertanian adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Sedangkan menurut Pracaya (2004), pertanian organik merupakan sistem pertanian (dalam hal bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia (dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan) tetapi menggunakan bahan organik. Jadi pertanian organik adalah sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dengan tujuan untuk melindungi keseimbangan ekosistem alam dengan meminimalkan penggunaan bahan-bahan kimia dan merupakan praktek bertani alternatif secara alami yang dapat memberikan hasil yang optimal.

Pada prinsipnya para petani organik berusaha untuk menghindari atau membatasi penggunaan pupuk dan pestisida sintetik. Oleh karena itu, lahan yang dijadikan media dalam penanaman tanaman organik harus mampu menyediakan hara dan gizi bagi tanaman, dan petani harus mampu mengendalikan serangan

(2)

hama dengan cara lain di luar cara konvensional yang biasa mereka lakukan. Sumber daya lahan dan kesuburannya dipertahankan serta ditingkatkan melalui manajemen aktivitas biologi dari lahan itu sendiri, yaitu dengan memanfaatkan residu hasil panen, kotoran ternak, dan pupuk hijau.

2.2.2. Sejarah Pertanian Organik di Indonesia

Pertanian organik sebenarnya merupakan teknik bertani yang telah digunakan masyarakat petani sejak pertama kali mereka mengenal tentang bercocok tanam. Pertama kali, bercocok tanam dilakukan secara berpindah-pindah. Sistem ladang berpindah tersebut kemudian berkembang menjadi sistem pertanian tradisional dengan pengelolaannya yang masih sederhana dan akrab lingkungan karena tidak memakai pestisida. Namun, produksinya tidak mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Untuk mengimbangi kebutuhan pangan tersebut, perlu diupayakan peningkatan produksi yang kemudian berkembang sistem pertanian konvensional yang memberi permasalahan baru terhadap kerusakan lingkungan, kesehatan manusia dan produktivitas petani. Permasalahan yang dihadapi dalam pertanian konvensional tersebut dapat diselesaikan dengan mengembangkan pertanian organik, yang konsepnya berawal dari pemikiran bahwa hutan alam yang terdiri dari ribuan jenis tanaman bisa hidup subur tanpa campur tangan manusia.

Di Indonesia, pertanian organik mulai muncul pada tahun 1984. Pemrakarsanya adalah Yayasan Bina Sarana Bakti, yang mulai mengembangkan pertanian organik di Cisarua, Bogor, pada lahan seluas empat hektar. Dari yayasan

(3)

ini, banyak orang yang belajar mengenai pertanian organik dan kemudian mengembangkannya di daerahnya.

2.2.2. Tujuan Pertanian Organik

Tujuan utama yang hendak dicapai oleh pertanian organik adalah untuk menjaga kesehatan manusia dan menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan.alam sekitar. Manfaat yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik antara lain :

• Menghasilkan pangan yang aman dan berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat.

• Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani. • Meminimalkan polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.

• Meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. • Meningkatkan pendapatan petani karena adanya efisiensi pemanfaatan

sumberdaya dan adanya daya saing produk agribisnis.

2.2.3. Perbedaan Sistem Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional Perbedaan pertanian organik dan pertanian konvensional menurut Pracaya (2004) adalah :

a. Persiapan benih

Benih pada pertanian organik berasal dari pertumbuhan tanaman yang alami sedangkan benih pada pertanian konvensional berasal dari rekayasa genetik.

(4)

b. Pengolahan tanah

Pertanian organik memperkecil kerusakan tanah oleh traktor serta dengan pengolahan tanah yang minimum maka perkembangbiakan organisme tanah dan aerasi tanah tetap terjaga. Pengolahan tanah yang maksimum pada pertanian konvensional menyebabkan pemadatan tanah dan matinya beberapa organisme tanah.

c. Persemaian

Pertumbuhan bibit pada pertanian organik terjadi secara alami. Pada pertanian konvensional, bibit dikembangkan dengan menggunakan bahan sintetik seperti pestisida dan pupuk kimia.

d. Penanaman

Pertanian organik menerapkan rotasi tanaman secara bertahap dan melakukan kombinasi tanaman dalam satu luasan. Rotasi tanaman secara bertahap tidak dilakukan pada sistem pertanian konvensional dan pada sistem pertanian ini tidak dilakukan kombinasi tanaman dalam satu luasan lahan. e. Pengairan atau penyiraman tanaman

Pada pertanian organik, air yang dibutuhkan untuk keperluan pengairan merupakan air yang bebas dari bahan kimia sintesis sedangkan pada pertanian konvensional dapat menggunakan sumber air dari mana saja.

f. Pemupukan

Pertanian organik hanya menggunakan pupuk organik sedangkan pada pertanian konvensional penggunaan pupuk kimia sangat dominan.

(5)

Pada pertanian organik, kunci pengendalian hama dan penyakit adalah berdasarkan pada keseimbangan alami sedangkan pada pertanian konvensional penggunaan pestisida kimia sangat dominan.

h. Panen dan pasca panen

Hasil panen pertanian organik adalah bahan yang sehat bagi konsumen dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia sedangkan hasil panen pertanian konvensional mengandung residu bahan kimia sintesis serta pada penanganan pasca panen diberi perlakuan dengan bahan kimia.

2.3. Komoditas Sayuran

2.3.1. Jenis dan Karakteristik Sayuran

Sayuran memiliki berbagai macam jenis sehingga sangat penting bagi kita untuk memenggolongkannya. Caranya adalah penggolongan berdasarkan tempat tumbuhnya, kebiasaan tumbuh dan bentuk yang dikonsumsi. Berdasarkan tempat tumbuh, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi atau sayuran yang dapat tumbuh pada kedua tempat tersebut. Berdasarkan kebiasaan tumbuh, sayuran dapat dapat dibedakan menjadi sayuran semusim dan tahunan sedangkan berdasarkan bentuk yang dikonsunsi, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran daun, buah, bunga, umbi dan rebung.

Ciri-ciri komoditas sayuran memiliki kesamaan pokok dengan produk hortikultura lainnya. Menurut Harjadi dalam Barus (2005), ciri-ciri komoditas sayuran adalah sebagai berikut :

(6)

1. Dipanen dan dimanfaatkan dalam keadaan hidup atau segar sehingga bersifat mudah rusak (perishable) karena masih ada proses-proses kehidupan yang berjalan.

2. Komponen utama mutu ditentukan oleh kandungan air, bukan oleh kandungan bahan kering (dry matter).

3. Produk hortikultura bersifat meruah (voluminous atau bulky) sehingga susah dan mahal diangkutnya.

4. Harga pasar komoditas ditentukan oleh mutu atau kualitasnya bukan oleh kuantitasnya saja.

5. Produk hortikultura bukan merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan dalam jumlah besar namun diperlukan sedikit-sedikit setiap harinya dan bila tidak mengkonsumsinya maka tidak segera dirasakan akibatnya.

6. Produk digunakan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani tetapi juga untuk pemenuhan kebutuhan rohani.

7. Dari segi gizi, produk hortikultura penting sebagai sumber vitamin dan mineral, bukan diutamakan untuk sumber kalori dan protein.

Sayuran juga mempunyai sifat lain yang berbeda dengan komoditas pertanian lainnya. Sifat ini menyebabkan adanya ketergantungan yang tinggi antara konsumen dan produsen. Sifat-sifat sayuran tersebut adalah :

1. Tidak tergantung musim. Sifat ini menyebabkan sayuran dapat dibudidayakan kapan saja asal syarat tumbuh terpenuhi.

2. Mempunyai resiko tinggi. Umumnya produk sayuran sifatnya mudah busuk dan rusak sehingga umur tampilannya pendek. Seiring berlalunya waktu dan

(7)

kekuranghatian dalam penanganan pasca panen, sayuran yang dijual semakin lama semakin turun nilainya sampai tidak bernilai sama sekali.

3. Perputaran modalnya cepat. Hal ini disebabkan umur tanaman produksi yang singkat dan permintaan pasar yang tidak pernah berhenti karena setiap hari orang membutuhkan sayuran.

4. Karena sifatnya yang mudah rusak dan berumur pendek, maka lokasi produksi sebaiknya dekat dengan konsumen. Keadaan ini sangat menguntungkan karena dapat menghemat biaya distribusi.

2.3.2. Usahatani Tanaman Sayuran

Menurut Pracaya (2004), bahwa berdasarkan tujuannya usahatani tanaman sayuran terbagi dalam lima macam yaitu :

1. Budidaya pekarangan : Hasil panen digunakan untuk keperluan sendiri. Aktivitas usaha dilakukan di sekitar rumah tinggal atau pekarangan. Jenis dan jumlah tanaman tidak banyak dan pemeliharaan kurang intensif. Sayuran yang ditanam misalnya cabai, tomat, kemangi dan lain-lain.

2. Budidaya sayuran komersial : Hasil panen akan dijual ke pasar. Aktivitas usaha dilakukan pada sebidang tanah yang cukup luas. Jenis dan jumlah tanaman lebih banyak dibandingkan dengan budidaya pekarangan.

3. Budidaya agribisnis : Usahatani ini sama dengan budidaya sayuran komersial. Perbedaannya hanya dalam luas skala usaha dan transportasi. Aktivitas usaha dilakukan di tempat yang jauh dari pasar sehingga memerlukan unit pengangkutan yang cukup besar.

(8)

4. Budidaya sayuran olahan atau agroindustri : Hasil panen akan diolah lebih lanjut, misalnya diawetkan dalam kaleng. Areal uasahatani ini sangat luas dengan menggunakan peralatan pertanian yang canggih.

5. Budidaya rumah kaca : Usahatani yang dilakukan di ruang terkontrol, misalnya di dalam rumah kaca. Tujuannya untuk memproduksi sayuran di luar musimnya. Usahatani semacam ini mahal biayanya namun prospeknya sangat baik karena dapat menyuplai pasar setiap saat dengan kualitas produk lebih tinggi.

2.3.3. Penanganan pasca Panen Komoditas Sayuran

Penanganan pasca panen sangat penting dilakukan untuk menjaga mutu komoditas hasil pertanian tetap tinggi serta untuk mengurangi dan meniadakan kehilangan yang terjadi pasca panen. Sistem penanganan pasca panen yang biasa diterapkan pada sayuran meliputi :

a. Pencucian

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran serta residu pestisida.

b. Curing

Curing dilakukan agar permukaan kulit yang terluka atau tergores dapat tertutup kembali serta untuk mencegah pertumbuhan kapang. Curing dilakukan dengan cara membiarkan bahan untuk beberapa hari pada suhu ruang. Hal ini biasanya digunakan untuk perlakuan pasca panen pada ubi jalar, kentang, bawang merah dan bawang putih

(9)

Sortasi dilakukan untuk memisahkan sayuran yang mutunya rendah (ukuran terlalu kecil, kematangan tidak sesuai, rusak, lecet, memar, busuk dan sebagainya).

d. Grading

Grading adalah suatu operasi memisah-misahkan sayuran berdasarkan kelas mutunya, ukurannya baik volume maupun ukuran panjang, tingkat kematangan, warna, dan sebagainya.

e. Pengemasan dan pengepakan

Pengemasan dilakukan dengan terlebih dahulu membungkus sayuran satu per satu atau per ikat (kemasan primer, biasanya berupa plastik atau kertas) dan kemudian diikuti dengan kemasan sekunder yang berupa karton atau kotak kayu. Selanjutnya karton atau kotak kayu tersebut disimpan di atas suatu palet untuk kemudian dikirim ke ruang pendingin. f. Pendinginan (cooling)

Proses pendinginan seringkali disebut precooling. Pendingina dimaksudkan untuk menghilangkan panas dari sayuran, memperlambat respirasi, menurunkan kepekaan terhadap serangan mikroba, mengurangi jumlah air yang hilang dan memudahkan pemindahan ke dalam ruang penyimpanan dingin atau transportasi yang berpendingin. Tiga metode yang dapat digunakan, yaitu : (a) pendinginan dengan udara (air cooling), (b) pendinginan dengan air (hydrocooling), dan (c) pendinginan dengan vacuum cooling.

(10)

Cara ini dapat mengurangi : (a) kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, (b) proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan, serta perubahan-perubahan tekstur dan warna, (c) kehilangan air dan pelayuan, (d) kerusakan akibat aktivitas mikroba (bakteri, kapang, dan khamir), dan (e) proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki misalnya munculnya tunas dan akar.

2.4. Penelitian Terdahulu

Beruntung (2005) telah melakukan penelitian tentang “Formulasi Strategi Pengembangan Bisnis Produk Nata De Coco” pada PT. Keong Nusantara Abadi, Natar, Lampung. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan eksternal yang merupakan peluang bagi perusahaan adalah meningkatnya permintaan nata de coco, terbukanya pasar ekspor, pasokan bahan baku yang pasti dan bermutu, konsumen fanatik yang mengenal produk PT. Keong Nusantara Abadi (Wong Coco dan King Coco) dan ketersediaan tenaga kerja. Sedangkan faktor-faktor ancaman bagi perusahaan adalah semakin bertambahnya jumlah pesaing, adanya produk pengganti (substitusi), kenaikan harga BBM, tarif telepon dan listrik, kondisi politik dan keamanan dan harga nata de coco yang dijual pesaing lebih murah.

Hasil analisa matriks EFE dan IFE yang dipetakan ke dalam matriks I-E menunjukkan bahwa posisi perusahaan berada pada sel V sehingga jenis strategi yang tepat adalah strategi hold and maintain berupa penetrasi pasar dan pengembangan produk. Alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh PT. Keong Nusantara Abadi berdasarkan analisis matriks SWOT yaitu meningkatkan

(11)

keunggulan produk untuk menghadapi ancaman pesaing dan produk substitusi, melakukan pengembangan dan penganekaragaman produk, peningkatan kualitas SDM perusahaan dengan pelatihan dan pengembangan karyawan, melakukan perencanaan produksi dan efisiensi biaya, menciptakan produk yang mempunyai ciri tersendiri, memperluas dan mempertahankan pasar yang sudah ada, mempertahankan dan terus membina hubungan baik dengan supplier demi kelancaran produksi dan menjaga citra perusahaan di mata konsumen. Berdasarkan hasil analisis matriks QSPM, strategi yang paling efektif dilakukan yaitu meningkatkan keunggulan produk untuk menghadapi ancaman pesaing dan produk substitusi, melakukan pengembangan dan penganekaragaman produk.

Barus (2005) melakukan penelitian tentang “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Beberapa Sayuran Organik” yang dilakukan di PT. Amani Mastra, dengan mengambil tempat survei konsumen yaitu di Carrefour MT Haryono dan responden yang diambil dalam penelitian tersebut berjumlah 60 orang. Data yang diperoleh dari wawancara tersebut dianalisis secara deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dilakukan analisis regresi berganda, kemudian dilakukan juga perhitungan elastis untuk mengetahui besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap permintaan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumen sayuran organik merupakan kalangan menengah ke atas yang dapat dilihat dari tingkat pendapatan rumah tangga konsumen per bulan berkisar antara Rp 4 000 000 00 – Rp 8 000 000 00 dengan mayoritas tingkat pendidikan terakhir adalah sarjana (S1). Usia responden

mayoritas berkisar antara 21-30 tahun dan jumlah anggota keluarga umumnya sekitar 3-4. Frekuensi pembelian rata-rata dilakukan 4-6 kali dalam satu bulan,

(12)

dan umumnya responden menilai bahwa harga bukanlah sesuatu yang penting yang dapat mempengaruhi permintaan mereka. Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa perusahaan sebaiknya melakukan promosi dengan memperhatikan sasaran pasar yang tepat yaitu kepada kalangan menengah keatas dan berusia 21 tahun keatas.

Berdasarkan uraian tentang hasil penelitian terdahulu, bisa disampaikan bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya terutama dalam hal lokasi dan objek penelitiannya. Dalam penelitian Barus ( 2005), objek yang diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan sayuran organik. Sedangkan dalam penelitian Beruntung (2005), lokasi penelitianny dilakukan di PT. Keong Nusantara Abadi, Natar, Lampung. Kelebihan penelitian ini terletak pada faktor faktor berikut:

1. Belum adanya penelitian serupa yang dilakukan pada PT Amani Mastra. 2. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi

perusahaan, sehingga dapat memberi masukan yang berharga bagi perusahaan dalam mengatasi permasalahannya.

3. Strategi yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan srategi yang efektif yang dapat dilakukan perusahaan karena analisisnya dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor strategis dan posisi perusahaan saat itu.

Referensi

Dokumen terkait

Gereja juga harus tunduk kepada Sang Penebus karena dalam diri-Nya tersimpan misteri yang tidak bisa dijelaskan secara tuntas dengan nalar manusiawi kita, kecuali

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa value added capital employed (VACA), value added human capital (VAHU) dan structural capital value added (STVA) mempunyai

Kesenjangan kompetensi yang sering terjadi antara keinginan industri dan lulusan yang dihasilkan pendidikan kejuruan merupakan persoalan klasik yang terus dibenahi. Studi

Selain hal tersebut, sebagaimana kawasan lain yang mengandalkan pariwisata massal, Yogyakarta dewasa ini juga menghadapi berbagai permasalahan sebagai akibat

Yoldaşını bırakıp ağaçların arkasına korunmak için sakla­ narak, kavrulmuş hayvana doğru emeklemeye başladı. Yö­ nünü tayin etmek için başını hafifçe

Penelitian Ropingi (2009) yang berjudul “Analisis Keterkaitan Sektor Pertanian Terhadap Sektor Perekonomian Lain dalam Pembangunan Wilayah di Era Otonomi Daerah Kabupaten

Akibat kondisi demikian maka banyak kebijakan koperasi terhadap anggotanya merupakan hasil imbas dari kondisi ekonomi kapitalis yang menggambarkan ketidak berdayaan koperasi

Perlakuan interaksi antara asam sitrat dan gula berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air, kadar antosianin, total gula, total padatan terlarut, perlakuan konsentrasi