• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Kurikulum Muatan Lokal - BAB II NURAINI UMI SAFANGATI PGSD'14

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Kurikulum Muatan Lokal - BAB II NURAINI UMI SAFANGATI PGSD'14"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Kurikulum Muatan Lokal

Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam seluruh kegiatan pembelajaran, yang menentukan proses dan hasil belajar. Dimasukannya muatan lokal dalam kurikulum pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam adat istiadat, kesenian, tata cara, tata krama pergaulan, bahasa dan pola kehidupan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hal tersebut tentunya pelu dilestarikan dan dikembangkan, agar bangsa Indonesia tidak kehilangan ciri khas dan jati dirinya. Upaya menjaga ciri khas bangsa Indonesia harus dimulai sedini mungkin pada usia pra sekolah kemudian diintensifkan secara formal melalui pendidikan di sekolah dasar, sekolah menengah, sampai perguruan tinggi, yang akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik (Effendy Mulyasa, 2007: 271-272).

(2)

Kurikulum Muatan Lokal khususnya Bahasa Jawa merupakan kurikulum wajib bagi pendidikan dasar sampai menengah. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 423.5/5/2010 mengenai Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) untuk Jenjang Pendidikan SD/ SDLB/ MI, SMP/ SMPLB/ MTS Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah menjelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Jawa Tengah, terutama dalam upaya penanaman nilai-nilai budi pekerti dan penguasaan bahasa Jawa bagi siswa SD/ SDLB/ MI, SMP/ SMPLB/ MTS dan SMA/ SMALB/ SMK/ MA Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari Standar Isi Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) SD/MI dan Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) yang sudah ditetapkan.

Ruang lingkup muatan lokal menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006:4), dapat berupa: bahasa daerah, bahasa Inggris, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Untuk pendidikan dasar muatan lokal yang perlu dilaksanakan yaitu muatan lokal bahasa Jawa, hal tersebut dikarena anak didik di zaman sekarang sudang sangat sedikit yang mengetahui tata krama atau unggah-ungguh yang sesuai dengan tata krama.

(3)

a. Pengertian Muatan Lokal

Pelaksanaan kurikulum muatan lokal harus melihat dan berorientasi pada lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pelaksanaan kurikulum yang dilaksanakan atau diterapkan oleh sekolah, sehingga sekolah harus melihat kebutuhan dan kondisi dari lingkungan sekitar agar pelaksanaan kurikulum muatan lokal khususnya bahasa Jawa dapat berjalan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan serta direncanakan dari pelaksanaan kurikulum muatan lokal.

Menurut Abdullah Idi (2007: 260), Muatan Lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, serta lingkungan budaya dan kebutuhan daerah, sedangkan anak didik di daerah itu wajib mempelajarinya.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2006: 3), Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.

Depdikbud (dalam Effendy Mulyasa, 2007: 273), menjelaskan pengertian Kurikulum Muatan Lokal adalah:

(4)

Dari penjelasan tersebut kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana yang mengatur pelajaran dalam mengembangkan kompetensi peserta didik yang dimiliki oleh suatu daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan dari masing-masing daerah yang bertugas mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik dengan menyesuaikan dengan kebutuhan daerahnya dengan melihat lingkungannya. Lingkungan peserta didik menurut Abdullah Idi (2007: 260- 261), terdiri atas:

1) Lingkungan Alam

Lingkungan alam adalah lingkungan alamiah yang ada di sekitar kehidupan kita, berupa benda-benda mati yang terbagi dalam empat kelompok lingkungan, yaitu:

(1) Pantai,

(2) dataran rendah termasuk di dalamnya daerah aliran sungai, (3) dataran tinggi, dan

(4) pegunungan atau gunung.

Sedangkan menurut Dakar (2010: 112), lingkungan alam fisik dibagi menjadi 2 yaitu:

(1) lingkungan fisik alami, misalnya: daerah rural, urban, semirural, dan semiurban,

(5)

2) Lingkungan Sosial

Lingkungan Sosial adalah lingkungan di mana terjadi interaksi orang peorang dengan kelompok sosial atau sebaliknya, dan antara kelompok sosial dengan kelompok lain. Pendidikan sebagai lembaga sosial dalam sistem sosial diklaksanakan di sekolah, keluarga, dan masyarakat, dan itu perlu dikembangkan di daerah masing-masing. 3) Lingkungan Budaya

Lingkungan budaya adalah daerah dalam pola kehidupan masyarakat yang berbentuk bahasa daerah, seni daerah, adat-istiadat daerah, serta tatacara dan tatakrama khas daerah. Lingkungan sosial dalam pola kehidupan daerah berbentuk lembaga-lembaga masyarakat dengan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku di daerah itu di mana sekolah atau peserta didik berada. Contoh lembaga yang berada di masyarakat adalah Kelurahan, RT, RW, LKMD, KUD Puskesma, Posyandu, dan Remaja Masjid.

Dalam pelaksanaan kurikulum muatan lokal (Bahasa Jawa) haruslah berorientasi pada ketiga lingkungan tersebut di atas. Sehingga harus ada faktor pendukung dalam pelaksanaan kurikulum muatan lokal (Bahasa Jawa) sesuai dengan daerahnya.

b. Tujuan Pelaksanaan Program Muatan Lokal

(6)

Depdiknas (dalam Effendy Mulyasa, 2007: 274) Secara umum tujuan muatan lokal bertujuan:

untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap hidup kepada peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat sesuai dengan nilai yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.

Berdasarkan hal tersebut, tujuan kurikulum muatan lokal adalah memberi bekal ilmu dan pengetahuan tentang nilai-nilai yang berlaku di daerahnya atau unggah-ungguh masyarakat setempat, agar nantinya peserta didik memiliki ketrampilan dan sikap yang baik dan sopan sesuai dengan aturan atau cara yang berlaku di daerahnya. Hal tersebut juga diungkapkan oleh ahli menurut Dakir (2010: 113-114) menyebutkan bahwa muatan lokal memiliki tujuan dasar, diantaranya ialah:

1) Berbudi pekerti luhur: sopan santun daereah di samping sopan santun nasional.

2) Berkepribadian: punya jati diri- punya kepribadian daerah di samping kepribadian nasional.

3) Mandiri: dapat mencukupi diri sendiri tanpa bantuan orang lain. 4) Terampil: menguasai 10 segi PKK di daerahnya.

(7)

6) Professional: dapat mengerjakan kerajinan yang khas daerah, misalnya: membatik, membuat wayang, anyam-anyaman, patung, dan sebagainya.

7) Produktif; dapat berbuat sebagai produsen dan bukan hanya sebagai

konsumen.

8) Sehat jasmani rohani: karena suka bekerja dengan sendirinya akan menjadi sehat jasmani dan rohani (men sana incorpore sano). 9) Cinta lingkungan: karena memperhatikan keadaan dan kebutuhan

lingkungan maka dengan sendirinya akan cinta lingkungan yang akhirnya akan cinta tanah air.

10) Kesetiawanan sosial: dalam hal berkarya manusia selalu membutuhkan teman kerja, oleh karenanya akan terjadi situasi kerja sama atau gotong royong.

11) Kreatif inovatif untuk hidup: karena tidak pernah menyia-nyiakan waktu terulang, yang bersangkutan selalu akan berbuat secara ndregil, dapat rezeki, akibatnya menjadi orang yang ulet, tekun, rajin, dan sebaginya.

12) Mementingkan pekerjaan yang praktis: menghilangkap gaps antara lapangan teori dan praktek.

13) Rasa cinta budaya/ tanah air.

(8)

a) Tujuan langsung

(1) Bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid;

(2) Sumber belajar di daerah, dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan;

(3) Murid dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan disekitarnya.

(4) Murid lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya.

b) Tujuan tak langsung

(1) Murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya;

(2) Murid diharapkan dapat menolong orangtuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya;

(3) Murid menjadi akrab dengan lingkungan dan terhindar dari keterasingan terhadap lingkungan sendiri.

(9)

mempersiapkan diri agar mampu bersaing dan mempertahankan apa yang ada di daerah atau lingkungannya, karena dari lingkungan anak didik akan banyak belajar dan menemukan informasi serta dapat memecahkan masalah yang ada di lingkungannya.

c. Fungsi Muatan Lokal dalam Kurikulum

Sebagai komponen kurikulum, muatan lokal memiliki fungsi. Menurut Abdullah Idi (2007: 266-267) menyebutkan ada 3 fungsi muatan lokal, yaitu:

1) Fungsi Penyesuaian

Program sekolah harus disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan daerah dan masyarakat, sehingga setiap pribadi dapat menyesuaikan diri dan akrab dengan daerah lingkungnnya.

2) Fungsi Integral

Muatan lokal berfungsi mendidik pribadi-pribadi peserta didik agar dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan lingkungannya atau berfungsi untuk membentuk dan mengintegrasikan pribadi peserta didik dengan masyarakat.

3) Fungsi Perbedaan

(10)

2. Pembelajaran Bahasa Jawa di SD

Bahasa Jawa adalah suatu bahasa yang dimiliki suatu daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi, yang menjadi identitas atau ciri dari suatu daerah tertentu. Bahasa daerah tersebut harus dilestarikan dan dijaga agar tidak punah atau hilang keberadaanya, karena di zaman modern seperti sekarang ini banyak bermunculan berbagai bahasa yang digunakan oleh para generasi muda.

Pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah Dasar meliputi mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Kegiatan mendengarkan berupa memahami wacana lisan yang didengar baik teks sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa. Kegiatan berbicara diarahkan kepada kemampuan dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, baik sastra maupun nonsastra dengan menggunakan berbagai ragam bahasa. Kegiatan membaca diarahkan untuk memahami teks sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa berupa teks bacaan, pidato, geguritan, percakapan, dan lain sebagainya. Kegiatan menulis diarahkan pada keterampilan menulis dalam mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi.

Pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar memiliki tujuan-tujuan tertentu. Kongres Bahasa Jawa IV dalam Sudjarwadi, menjelaskan tujuan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar sebagai berikut:

(11)

b) Siswa memahami bahasa Jawa dari segi bentuk, makna dan fungsi serta menggunakannya dengan tepat untuk bermacam-macam tujuan keperluan, keadaan, misalnya di sekolah, di rumah, di masyarakat dengan baik dan benar,

c) Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar,

d) Siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar untuk meningkatkan keterampilan, kemampuan intelektual (berfikir kreatif menggunakan akal sehat, menerapkan kemampuan yang berguna, menggeluti konsep abstrak, dan memecahkan masalah),kematangan emosional dan sosial,

e) Siswa dapat bersikap positif dalam tata kehidupan sehari-hari di lingkungannya. (Aditya Hidayat, 2012: 12)

Dalam Pengembangan Bahasa Daerah dalam dunia pendidikan, merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan bukan hanya pemerintah daerah. Hal ini telah tertera dalam: UUD 1945 pasal 32 ayat 2: “negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Butir ketiga Sumpah Pemuda adalah “Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”, dengan kata “menjunjung tinggi” dan bukan

“mengakui” sebagaimana butir pertama dan kedua Sumpah Pemuda, yang

(12)

oleh negara. Dan Politik Bahasa Nasional bahwa dalam kedudukannya sebagai;

1) Bahasa daerah sendiri sebagai lambang kebanggaan daerah; 2) Lambang identitas daerah;

3) Alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah; serta fungsinya sebagai:

(1) Pendukung bahasa nasional, (2) Bahasa pengantar di sekolah,

(3) Alat pengembang serta pendukung budaya daerah.

3. Komunikasi Bahasa

a. Hakikat Bahasa

Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 11), bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Ciri-ciri yang merupakan hakikat bahasa itu, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusia. Berikut dibicarakan ciri-ciri bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 12), yaitu

1) Lambang bunyi bahasa bersifat arbitrer

(13)

2) Bahasa itu bersifat produktif

Artinya, dengan sejumlah unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas.

3) Bahasa itu bersifat dinamis

Maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik dan leksikon.

4) Bahasa itu beragam

Artinya, meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis, maupun tataran leksikon.

5) Bahasa itu bersifat manusiawi

(14)

4. Bentuk Unggah- Ungguhing Basa Jawa

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang dimiliki oleh suatu daerah Jawa dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain dalam hidup sehari-hari. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirnya. Keterampilan berbahasa diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak berlatih (Tarigan, H. G, 2008: 1). Seseorang terampil dalam berbahasa Jawa krama inggil karena selalu menerapkan dan berlatih berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa krama inggil. Selain itu pendidikan dalam keluarga mempengaruhi kemampuan anak dalam berbahasa Jawa krama inggil. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Djamarah (2004: 24-25) menjelaskan bahwa :

pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya melalui keteladanan dan kebiasaan hidup sehari-hari dalam keluarga. Baik tidaknya keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

Pendidikan dalam keluarga berperan penting dalam perkembangan dan kepribadian anak, sehingga keluarga atau orang tua harus mengajarkan hal-hal yang baik khususnya dalam unggah-ungguh basa, agar anak memiliki tata krama dan unggah-unggah-ungguh dalam bertindak dan bersikap dalam bermasyarakat.

(15)

kental dengan unggah-ungguh atau tata krama (sopan santun) dalam berbicara dengan yang lebih tua. Orang yang lebih tua harus dihormati yaitu dengan cara berbicara yang sopan dan halus dengan menggunakan bahasa Jawa krama inggil sesuai dengan unggah-ungguh basa. Bahasa Jawa krama memiliki banyak jenis dan macamnya sesuai dengan penggunaannya.

Jenis bahasa Jawa krama diantaranya Basa Krama Inggil, Basa Priyayi, Krama Desa, Bahasa Lokasi, dan Bahasa Bagongan. Menurut Purwadi dkk (2005: 10-13) menjelaskan fungsi dari penggunaan bahasa ngoko krama dalam masyarakat Jawa adalah pertama, sebagai norma pergaulan masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, dituntut untuk mengikuti kaidah sosial tertentu. Salah satu yang harus diperhatikan oleh orang dalam bermasyarakat ialah bahasa Jawa yang dipakai. Kedua, tataran bahasa jawa dipakai sebagai tata unggah-ungguh. Ketiga, berfungsi sebagai alat untuk menyatukan rasa hormat dan keakraban. Keempat, berfungsi sebagai pengatur jarak sosial (social distance). Jadi, ketika ketika berbicara dengan seseorang terdapat kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat.

(16)

disebut unggah-ungguhing basa”. Unggah-ungguhing basa menurut Purwadi dkk (2005: 9) “merupakan alat untuk menciptakan jarak

sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan”. Sedangkan menurut Aryo Bimo Setiyanto (2007: 1-2) Unggah-ungguhing basa merupakan:

alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing basa merupakan produk dari kehidupan sosial. Struktur bahasa merupakan pantulan dari struktur masyarakat. Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguhing basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Makin rumit unggah-ungguhing basa, makin rumit stratifikasi sosial.

Unggah-ungguhing basa banyak jenis dan macamnya. Menurut Aryo Bimo Setiyanto (2007: 26) membagi unggah-ungguhing basa Jawa menjadi tiga: basa ngoko (ngoko lugu, dan ngoko andhap), basa madya (madya ngoko, madya krama, madyantara), dan basa krama (mudha krama, kramantara, wredha krama, krama inggil dan krama desa).

a. Ragam Ngoko

Yang dimaksud dengan ragam ngoko yaitu bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa Ngoko dibagi menjadi 2, yaitu ngoko lugu dan ngoko andhap.

2) Ngoko Lugu

Menurut Aryo Bimo Setiyanto (2007: 29) menjelaskan “bahasa ngoko lugu disusun dari kata-kata ngoko semua, adapun

(17)

panambang: -ku, -mu, -e, - ake, tidak berubah”. Jadi ngoko lugu kosakatanya lugu atau netral tidak tercampur krama, krama inggil atau ngoko andhap. Bahasa ngoko lugu digunakan untuk berbicara: Orangtua kepada anak/ yang lebih muda, atasan kepada bawahan, percakapan orang sederajat, dipakai saat ngunandika.

Berikut disajikan beberapa contoh ngoko lugu.

(1) Bu, aku mengko arep mangkat gasik gugahen aja nganti kerinan.

„Bu, aku nanti mau berangkat pagi bangunkan jangan sampai

kesiangan‟

(2) Mbang, kowe mau wis sarapan during? „Mbang, kamu sudah makan pagi belum?‟

3) Ngoko andhap

Basa ngoko andhap adalah basa ngoko campur krama inggil, digunakan atau dipakai saat berbicara dengan lawan bicaranya yang sudah dekat atau akrab. Menurut Purwadi dkk (2005: 25) menjelaskan “basa ngoko adhap dipakai oleh siapa saja yang telah

akrab dengan lawan bicaranya, sudah ngokon-ngokonan, tetapi masih saling menghormati”. Berikut ini disajikan contoh ngoko

andhap.

(a) Pak, iki unjukane mengko selak adhem, arep dhahar apa ora? „Pak, ini minumnya nanti cepat dingin, mau makan apa

(18)

(b) Mbang, biasane bapakmu yen wungu sare terus mriksani TV karo maos koran, ya to?

„Mbang, bapak kamu kalau bangun tidur terus nonton TV dan

baca koran, iya kan?‟

b. Ragam Krama

Yang dimaksud ragam krama yaitu bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa krama. Basa krama itu basa yang lebih menghormati orang yang diajak berbicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk, yaitu krama alus dan krama inggil.

1) Krama Lugu

Basa krama lugu itu bahasanya krama semua tanpa menggunakan basa ngoko dan krama. Ater-ater dan panambang dikramakan, tembung aku jadi kula, kowe jadi sampeyan kepada yang diajak bicara. Penggunaan basa krama yaitu percakapan orangtua kepada yang lebih muda yang belum kenal, percakapan orang sedrajat. Berikut ini disajikan contoh krama lugu.

(a) Dik Ning, kula badhe ningali pameran sampeyan tumut punapa mboten?.

„Dik Ning, aku mau melihat pameran kamu mau ikut apa

tidak?‟.

(19)

„walaupun belum paham saya mau mencaritahu perkara yang

sebenar-benarnya‟. 2) Krama alus/ inggil

Menurut Purwadi dkk (2005: 37) menjelaskan “basa krama

inggil kata-katanya krama semua dicampur dengan krama inggil untuk orang yang diajak bicara”. Basa krama inggil yaiku basa

yang terbentuk dari tembung krama dan krama inggil. Ater-ater dan panambang dikramakake. Tembung aku jadi kula (dalem), tembung kowe jadi panjengan terhadap orang yang diajak bicara dan yang perlu dihormati. Penggunaan basa krama inggil biasanya digunakan oleh murid kepada guru, priyayi cilik kepada priyayi gedhe, orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, anak kepada orangtua. Berikut ini disajikan contoh krama inggil.

(a) Bu Guru, kula dipundhawuhi Pak Bambang supados ngaturaken buku menika wonten mejanipun.

„Bu Guru, saya disuruh Pak Bambang supaya mengantarkan

buku ini dimejanya‟.

Referensi

Dokumen terkait

 Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang kisah keteladanan Nabi Musa a.s.  Peserta didik juga menyimak

52 Penyediaan Peralatan dan Perlengkapan Kantor, 26273163 Belanja Modal Peralatan dan Mesin-Pengadaan Komputer APBDP Karo (Kab.).

Berdasarkangrafik tersebut menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis akibat kerja dan terpapar bahan kimia dalam jumlah yang beragam sebanyak 83,3%.Hasil

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Pengetahuan berhubungan dengan perilaku, dan perilaku yang dilandasi pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan 5 .Di posyandu desa

Sudah saatnya UU Darurat tersebut direvisi atau di tinjau ulang kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman jika memang hendak menjerat Airsoft Gun

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Rumah Perawatan Psiko-Neuro-Geriatri atau yang lebih dikenal dengan “Puri Saras” adalah klinik kesehatan yang bergerak dalam bidang layanan kesehatan jiwa, mulai beroperasi sejak