BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare sampai saat ini masih merupakan penyebab kematian utama di dunia, terhitung 5-10 juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat
dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia dan 2,2 juta diantaranya meninggal, dan sebagian besar anak-anak dibawah umur 5
tahun. Meskipun diare membunuh sekitar 4 juta orang/tahun di negara berkembang, ternyata diare juga masih merupakan masalah utama di negara
maju. Di Amerika, setiap anak mengalami 7-15 episode diare dengan rata-rata usia 5 tahun. Di negara berkembang rata-rata tiap anak dibawah usia 5 tahun mengalami episode diare 3 kali pertahun (WHO, 2009).
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian.
Laporan Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab
kematian yang ke empat (13,2%) (Riskesdas, 2013).
Berdasarkan data Dinkes Jateng tahun 2013 diketahui bahwa angka
terbawah (6,2%). Berdasarkan program Surveilance Terpadu Penyakit (STP) berbasis Puskesmas tahun 2013 di Kabupaten Banyumas, diare merupakan
penyakit terbanyak yang diderita oleh balita, yaitu sebanyak 56,2 %. Adapun data kasus baru penderita rawat inap penyakit menular berbasis rumah sakit
tahun 2013 menunjukkan bahwa diare masuk ke dalam urutan tiga teratas penyakit terbanyak. Sedangkan pada tahun 2012, tiga penyakit rawat inap terbanyak yang diderita balita adalah diare, DBD, dan tifus perut klinis
(Dinkes Banyumas, 2013).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
lingkungan, dua faktor yang sangat dominan adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia, apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri
atau virus serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2005).
Menurut Sucipto (2003), penyebab diare pada anak balita adalah ketersediaan air bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat. Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) faktor-faktor penyebab diare adalah menggunakan air
sumur, minum air yang tidak dimasak, sumur < 10 meter, tidak mempunyai jamban, tidak menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan
tidak cuci tangan.
PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga,
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). PHBS di tatanan rumah tangga adalah upaya untuk
memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
mencegah resiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan data Riskesdas (2013), proporsi nasional rumah tangga dengan PHBS baik pada tahun 2013 mengalami penurunan dibandingkan pada
tahun 2007. Proporsi nasional rumah tangga PHBS baik pada tahun 2007 adalah sebesar 38,7% dan proporsi nasional rumah tangga PHBS baik pada tahun 2013 adalah sebesar 32,2%, dengan proporsi tertinggi pada DKI Jakarta
(56,8%) dan terendah pada Papua (16,4%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (41,5%) dibandingkan di perdesaan
(22,8%). Terdapat 20 dari 33 provinsi yang masih memiliki rumah tangga PHBS baik di bawah proporsi nasional.
Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan
dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat
(Proverawati & Rahmawati, 2012).
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Kembaran I pada bulan Januari sampai September tahun 2014 angka kejadian diare pada balita sebesar
kasus (24,4%), Desa Linggasari sebanyak 21 kasus (17,6%), Desa Dukuhwaluh sebanyak 17 kasus (14,3%), Desa Karangsari sebanyak 15 kasus
(12,6%), Desa Tambaksari sebanyak 13 kasus (10,9%), Desa Bantarwuni dan Desa Purbadana masing-masing 11 kasus (9,2%) dan Desa Karangsoka
sebanyak 2 kasus (1,7%).
Hasil survei di 2 desa dengan kejadian diare tertinggi terhadap 13 rumah warga dengan menggunakan indikator PHBS yang berhubungan
dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, penimbangan bayi dan balita, mencuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, dan
menggunakan jamban, diketahui bahwa 44,91% masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya dan untuk sarana jamban keluarga masih ada 20,66 % yang belum mempunyai jamban keluarga.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang ”Hubungan Antara PHBS dengan Kejadian
Diare Pada Balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015”.
B. Rumusan Masalah
Kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat dapat penyebab diare pada anak. Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan
dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat.
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia, apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri
atau virus serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik ibu balita meliputi umur, pendidikan,
pekerjaan di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.
b. Untuk mengetahui PHBS di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.
c. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis
Skripsi ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara nyata, memperkuat dan mengembangkan teori yang ada serta menambah
wawasan ilmu pengetahuan berkenaan dengan pelaksanaan PHBS dan kejadian diare pada balita.
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Skripsi ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang metode
penelitian serta dapat memberikan informasi yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hubungan antara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan kejadian diare pada balita dan pengalaman khususnya dalam
mengadakan penelitian ilmiah. b. Bagi Puskesmas
Skripsi ini dapat digunakan sebagai data masyarakat yang melakukan PHBS serta bahan pertimbangan dalam menyelesaikan masalah kesehatan mengenai pencegahan penyakit dan sebagai bahan
informasi dalam mengoptimalkan program-program PHBS. c. Bagi Institusi Pendidikan
d. Bagi Profesi Keperawatan
Skripsi ini diharapkan sebagai bahan informasi dalam upaya
peningkatan pelayanan keperawatan pada keluarga tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya untuk pencegahan
penyakit dan diharapkan perawat menjadi change agent dalam masyarakat untuk merubah paradigma sakit menjadi paradigma sehat.
E. Keaslian Penelitian
Sebagai acuan penelitian ini, beberapa penelitian yang telah dilakukan
oleh orang lain sebagai berikut:
1. Kusumawati (2011), “Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dengan Kejadian Diare Pada Balita Usia 1-3 Tahun di Desa Tegowanu Wetan
Kecamatan Tegowanu Grobogan”. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada karakteristik responden, tingkat pendidikan responden yang paling
tinggi adalah SMA (55,3 %), dan terendah adalah SD (8,5 %). Pada usia ibu yang resiko tinggi (usia < 20 tahun dan > 30 tahun) (23,4%), sedangkan resiko rendah (20-30 tahun) (76,6%). Pada kategori pekerjaan,
ibu yang tidak bekerja (78,7%), sedangkan yang tidak bekerja (21,3%). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian diare dengan p value 0,025. 2. Agustin (2009), dengan judul penelitian Beberapa faktor lingkungan
terhadap kejadian diare di Puskesmas Serayu Larangan, Kecamatan
pendekatan Case control yaitu suatu pendekatan penelitian yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi pasien dengan penyakit tertentu (kasus) dan
kelompok tanpa penyakit (kontrol). Hasil penelitian ini adalah faktor sanitasi yang berpengaruh secara bersama- sama terhadap kejadian diare
adalah ketersediaan jamban (p=0,000 dengan OR= 3,098 CI = 3,098 – 7,907) dan faktor kondisi tempat sampah (p=0,003 dengan OR= 2,098 dengan nilai CI = 3,098 – 7,907).
Skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dikarenakan pada penelitian ini meneliti tentang hubungan PHBS dengan kejadian diare pada anak, dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengetahuan 1. Definisi
Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan
perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
2. Adopsi Pengetahuan
Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa apabila suatu pembuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan apabila manusia mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses
sebagai berikut:
a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu disini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya terhadap
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih
baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
3. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan yang dicakup dalam bidang atau ranah kognitif mempunyai enam tingkatan bergerak dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks yaitu: a. Tahu (Know)
Mengetahui berdasarkan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari sebelumnya.Mengetahui dapat menyangkut bahan yang luas atau sempit seperti fakta (sempit) dan teori (luas). Namun, apa yang
diketahui hanya sekedar informasi yang dapat disingkat saja. Oleh karena itu tahu merupakan tingkat yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dapat menginterpretasi materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Penerapan adalah kemampuan menggunakan suatu ilmu yang
sudah dipelajari ke dalam situasi baru seperti menerapkan suatu metode, konsep, prinsip atau teori.
d. Analisa (Analysis)
Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitan suatu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas,
menyelesaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
maksud atau kriteria tertentu. Misalnya, dapat membandingkan, menanggapi dan dapat menafsirkan dan sebagainya
B.Sikap
1. Pengertian
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
2. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan
Notoatmodjo (2007), membagi tingkatan sikap menjadi 4 yaitu: a. Menerima (receiving)
b. Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat
tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatuyang dipilihnya dengan segala
risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. 3. Arah sikap
Sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang
yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang positif sebaliknya mereka yang tidak setuju atau tidak
C.Diare
1. Pengertian
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defeksi lebih dari biasanya (> 3 kali / hari) disertai perubahan
konsistensi tinja menjadi cair, dengan atau tanpa darah dan atau lendir (Suratmadja 2007). Menurut Suriadi & Yuliani (2006) diare merupakan kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena
frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.
2. Klasifikasi
Menurut Suraatmadja (2007) klasifikasi diare terdiri dari diare akut dan diare kronik.
a. Diare akut
Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi
dan anak yang sebelumnya sehat (Suraatmadja 2007). Secara operasional, diare akut adalah buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 14 hari (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah 2008).
b. Diare kronik
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan tidak disebabkan oleh infeksi (Suraatmadja 2007). Menurut Suharyono
atau lebih dan kehilangan berat badan atau tidak bertambah berat badan selama masa tersebut.
Menurut Suraatmadja (2007), diare kronik dapat dibagi menjadi 6 klasifikasi yaitu: Persistent diarrhea, diare yang menetap dan
berlangsung lebih dari 14 hari, diare ini disebabkan oleh infeksi. Protracted diarrhea, diare yang diperlambat dan berlangsung lebih dari
2 minggu dengan tinja cair. Intractable diarrhea, diare yang tidak dapat
diobati atau disembuhkan. Prolonged diarrhea, diare yang diperpanjang atau berlangsung lebih dari 7 hari. Recurrent diarrhea, diare yang
berulang-ulang selama 3 bulan dan sedikitnya tiap bulannya 1 kali episode diare. Cronic non spesific diarrhea, diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu tetapi tidak disertai gangguan pertumbuhan dan
tidak ada tanda-tanda infeksi maupun malabsorpsi. 3. Etiologi
Menurut Suharyono (2009), dilihat dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi menjadi 2 golongan sebagai berikut:
a. Diare sekresi (secretory diarrhea), disebabkan oleh: Infeksi virus, seperti
kuman-kuman patogen dan apatogen. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan (misalnya keracunan
makanan, makanan yang pedas, makanan yang sudah basi dan lain-lain), gangguan syaraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya. Defisiensi imun terutama Secretory imunnoglobulin A (SIgA) yang mengakibatkan
b. Diare osmotik (osmotic diarrhea), disebabkan oleh: malabsorpsi makanan, Kekurangan Kalori Protein (KKP), Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) dan bayi baru lahir.
Menurut Suraatmadja (2007), faktor-faktor penyebab diare kronik dapat dibagi menjadi:
a. Infeksi bakteri / infestasi parasit yang sudah resisten terhadap antibiotika atau anti parasit, disertai overgrowth bakteri non pathogen seperti
Pseudomonas, Klabsiella, Streptokok, Stafilokok dan sebagainya.
b. Kerusakan epitel usus. Sebagai akibat kerusakan epitel usus terjadi
kekurangan enzim laktase dan protease dengan akibat terjadinya maldigesti dan malabsorpsi karbohidrat dan protein, dan pada tahap lanjut setelah terjadi KKP yang menyebabkan terjadinya atrofi mukosa
lambung, mukosa usus halus disertai penumpukan villi, serta kerusakan hepar dan pankreas, terjadilah defisiensi enzim-enzim yang dikeluarkan
oleh organ-organ tersebut, menyebabkan terjadinya maldigesti dan malabsorpsi dari seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik tersebut akan menyebabkan osmotik diare. Selain itu juga akan
menyebabkan overgrowth bakteri yang menyebabkan terjadinya dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu.
c. Gangguan imunologis. Usus merupakan organ utama untuk daya pertahanan tubuh. Defisiensi dan sekretori IgA (SIgA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan tidak mampu mengatasi infeksi bakteri dan
jamur akan mausk ke dalam usus dan berkembangbiak dengan leluasa, menjadi overgrowth dengan akibat lebih lanjut berupa diare persisten dan
malabsorpsi makanan yang lebih berat.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare
Menurut Silva et al (2008), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diare adalah:
a. Penyediaan air bersih.
Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan
makanan. Kebutuhan manusia akan air sangat komplek antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk
minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum termasuk untuk masak, air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Silva et al, 2008).
Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah dimasak terlebih dahulu. Penyakit-penyakit yang biasanya ditularkan melalui air
adalah Thypus abdominalis, Cholera, Dysentri basiler, Diare akut, Poliomyelitis, Dysentri amoeba, penyakit-penyakit cacing seperti
Ascariasis, Trichiuris, parasit yang menggunakan air untuk daur
b. Jamban keluarga.
Faktor jamban keluarga yang perlu diperhatikan adalah
kepemilikan jamban keluarga di rumah, buang air besar di jamban, dan keadaan jamban. Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya
memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian, sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat rural dan peri-urban, meski memiliki toilet di rumah, mereka juga masih memanfaatkan
toilet terbuka seperti sungai atau empang. Masyarakat peri-urban menjadikan kepraktisan dan norma umum sebagai alasan utama untuk
menyalurkan kotorannya ke sungai. Tidak heran, sungai-sungai di Indonesia dapat disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat Indonesia umumnya menggunakan sungai untuk buang air. Masyarakat
urban di perkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk
membangun septic tank. Karena itu, mereka biasanya tak memiliki jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi pembatas semen. Ketika hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air
hujan masuk ke dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya diare (Hiswani, 2008).
Menurut Sarudji (2006), keadaan jamban di rumah atau lingkungan sebagai tempat pembuangan tinja diperlukan beberapa persyaratan yaitu tidak menimbulkan kontaminasi pada air tanah yang masuk ke dalam
air permukaan, tidak menimbulkan kontaminasi pada tanah permukaan sehingga dapat mencegah penularan penyakit cacing, tinja tidak dapat
dijangkau oleh lalat atau binatang-binatang lainnya dan tidak menimbulkan bau dan terlindung dari pandangan.
c. Pengelolaan sampah.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan sampah adalah tempat pembuangan sampah, keadaan tempat sampah dan faktor
adanya vektor lalat melalui lalat. Tempat pembuangan sampah yang dimaksud adalah kegiatan menyingkirkan sampah dengan metode
tertentu dengan tujuan agar sampah tidak lagi mengganggu kesehatan lingkungan atau kesehatan masyarakat. Ada dua istilah yang harus dibedakan dalam lingkup pembuangan sampah solid waste (pembuangan
sampah saja) dan final disposal (pembuangan akhir) (Sarudji, 2006). d. Sanitasi makanan.
Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya dan penyakit pada manusia (Wijayanti, 2008). Sanitasi makanan meliputi
tindakan-tindakan saniter yang ditujukan pada semua tingkatan, sejak makanan mulai dibeli, disimpan, diolah dan disajikan untuk melindungi
agar konsumen tidak dirugikan kesehatannya. Tujuan sanitasi makanan yaitu untuk menjamin keamanan dan kebersihan makanan, mencegah penularan wabah penyakit, mengurangi tingkat kerusakan atau
e. Fasilitas sanitasi makanan
Fasilitas sanitasi peranannya sangat penting, dalam hubungannya
sebagai salah satu faktor penyebab diare. Fasilitas makanan yang dimaksud seperti tempat untuk mencuci tangan yang kurang, minimnya
tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga, serta pola perilaku sehari-hari masyarakat (Hiswani, 2008).
f. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebagian besar kuman infeksius
penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada
penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia (Howard & Bartram, 2003).
Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua yang tidak
mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.
Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif, menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan
5. Patofisiologi
Menurut Suraatmadja (2007), sebagai akibat diare baik akut maupun
kronik akan terjadi keadaan sebagai berikut: a. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input), keadaan ini merupakan penyebab kematian pada diare.
b. Gangguan keseimbangan asam-basa (metabolik asidosis)
Metabolik asidosis dapat terjadi karena: kehilangan Na-bikarbonat
bersama tinja. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda keton tertimbun dalam tubuh. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan. Produk
metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal sehingga terjadi oliguria/ anuria.
c. Hipoglikemia
Keadaan ini terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare. Pada anak-anak dengan gizi cukup atau baik, hipoglikemia ini jarang terjadi,
lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita KKP. d. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini dapat disebabkan makanan yang dihentikan orang tua karena orang
hanya memberikan air teh saja sebagai dietnya. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran dan susu yang encer ini
diberikan terlalu lama e. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik.
6. Gejala Klinis
Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare.
Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam
akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan
atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit maka akan terjadi gejala dehidrasi. Berat badan menurun, pada bayi ubun-ubun besar dan cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir
mulut dan bibir terlihat kering (Hasan et al, 2007). 7. Cara Penularan
Menurut Lanny (2007) cara penularan diare diantaranya dapat melalui : a. Jalur penularan diare melalui mulut dan anus dengan perantaraan
b. Tinja penderita yang mengandung kuman bila mengeluarkan tinja akan mencemari lingkungan terutama air.
c. Alat dapur yang dicemari kuman akan masuk ke mulut, kemudian terjadi diare.
d. Infeksi oleh agen penyebab terjadinya diare bila makanan / air minum yang terkontaminasi tinja / muntahan penderita diare.
e. Penularan langsung juga dapat terjadi bila tangan tercemar dipergunakan
untuk menyuap makanan. 8. Pencegahan Diare
Menurut Suraatmadja (2007), pencegahan diare yang benar dan efektif dapat dilakukan dengan cara:
a. Memberikan ASI
ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. ASI bersifat steril berbeda dengan sumber susu lain seperti susu
formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi dalam botol kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak
dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. b. Memperbaiki makanan pendamping ASI
Makanan pendamping ASI dimulai saat bayi secara bertahap, bayi dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi, sebab perilaku pemberian
terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik dapat meliputi
perhatian terhadap kapan, apa dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.
c. Menggunakan air bersih yang cukup
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan
melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
d. Mencuci tangan dengan air dan sabun
Kebiasaan berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah
buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan mempunyai dampak dalam kejadian diare.
e. Menggunakan jamban
Upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
f. Membuang tinja bayi yang benar
Banyak orang yang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya.
Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
g. Memberikan imunisasi campak
Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu, segera
beri anak imunisasi campak segera setelah umur 9 bulan. 9. Komplikasi Diare
Menurut Suraatmadja (2007), kebanyakan diare sembuh tanpa mengalami komplikasi, tetapi sebagian kecil mengalami komplikasi dari dehidrasi, kelainan elektrolit atau pengobatan yang diberikan. Komplikasi
tersebut meliputi:
a. Hipertermia. Biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah dengan
intake cairan atau makanan kurang, atau cairan yang diminum terlalu banyak mengandung natrium. Pada bayi juga dapat terjadi jika setelah diare sembuh diberi oralit dalam jumlah yang berlebihan.
b. Hiponatermia. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita minum cairan sedikit atau tidak mengandung natrium. penderita gizi buruk mempunyai
kecenderungan mengalami hiponatremia.
c. Demam. Keadaan sering terjadi pada infeksi Shigella disentriae dan Rotavirus. Pada umumnya demam akan timbul apabila penyebab diare
akibat dehidrasi. Demam yang timbul akibat dehidrasi pada umumnya tidak tinggi dan akan menurun setelah mendapat hidrasi yang cukup.
Demam yang tinggi mungkin diikuti dengan kejang.
d. Oedema atau overhidrasi. Keadaan ini terjadi apabila penderita
mendapatkan cairan terlalu banyak. Tanda dan gejala oedema kelopak mata, kejang-kejang jika terjadi oedema otak, oedema paru-paru.
e. Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya
basa cairan ektraseluler. Sebagai kompensasi terjadi alkalosis respiratorik, yang ditandai dengan pernapasan yang dalam dan cepat.
f. Hipokalemia (serum K > 3.0 mMol/L). keadaan ini terjadi jika penggantian K selama dehidrasi tidak cukup, akan terjadi kekurangan K yang ditandai dengan kelemahan pada tungkai, ileus, kerusakan ginjal
dan aritma jantung.
g. Illeus paralitikus. Komplikasi ini penting dan sering fatal terutama sering
terjadi pada anak kecil sebagai akibat penggunaan obat antimotilitas. Tanda dan gejala perut kembung, muntah, peristaltik usus berkurang atau tidak ada.
h. Kejang karena hipoglikemia. Terjadi kalau anak dipuasakan terlalu lama. Bila penderita dalam keadaan koma, glukosa 20% harus diberi IV dengan
i. Intoleransi laktosa. Pada penderita intoleransi laktosa, pemberian susu formula selama diare dapat menyebabkan: volume tinja bertambah, berat
badan tidak bertambah atau gejala dehidrasi memburuk, dalam tinja terdapat reduksi dalam jumlah cukup banyak.
j. Malabsorpsi glukosa. Komplikasi ini jarang terjadi, namun dapat terjadi pada penderita diare yang disebabkan oleh infeksi, atau penderita dengan gizi buruk.
k. Malabsorpsi dan intoleransi laktosa. Pada penderita intoleransi laktosa, pemberian susu formula selama diare dapat menyebabkan volume tinja
bertambah, berat badan tidak bertambah atau tanda dehidrasi memburuk, dan dalam tinja terdapat reduksi dalam jumlah yang cukup banyak.
l. Muntah. Muntah dapat disebabkan oleh dehidrasi, iritasi usus dan
gastritis Karena infeksi, ileus yang menyebabkan gangguan fungsi usus atau mual yang berhubungan dengan infeksi sistemik. Muntah dapat juga
disebabkan pemberian cairan oral terlalu cepat. D.Perilaku Hidup Bersih Sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan
pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan
informasi dan melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku guna membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri sehingga masyarakat sadar, mau dan mampu mempraktekkan PHBS
pemberdayaan masyarakat (Empowerment). Terdapat 5 tatanan PHBS yaitu PHBS Rumah Tangga, PHBS Sekolah, PHBS Tempat Kerja, PHBS Sarana
Kesehatan, PHBS Tempat-tempat Umum (Dinkes Jateng, 2009). 1. Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Keluarga
a. PHBS Keluarga
PHBS keluarga adalah wahana atau wadah dimana orang tua (bapak dan ibu) dan anak serta anggota keluarga yang lain dalam
melaksanakan kehidupan sehari-hari bertolak dari pengertian di atas PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (Dinkes Jateng, 2009).
b. Manfaat
Perilaku hidup bersih dan sehat sangat banyak bermanfaat bagi penduduk Indonesia, yaitu (Kamisah, 2009) :
1) Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit. 2) Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota
keluarga.
3) Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk
biaya investasi seperti biaya pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga.
4) Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah
5) Meningkatkan citra pemerintah dalam bidang kesehatan.
6) Dapat menjadikan percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.
c. Manajemen Pelaksanaan
Sasaran PHBS pada keluarga adalah seluruh anggota keluarga
yaitu pasangan usia subur, ibu hamil dan menyusui, anak dan remaja, usia lanjut dan pengasuh anak (Kamisah, 2009).
d. Indikator PHBS Keluarga
Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau permasalahan kesehatan. Indikator PHBS keluarga yang digunakan
yaitu mengacu kepada standar pelayanan minimal bidang kesehatan antara lain (Dinkes, 2009) :
1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan (Dokter atau Bidan).
2) Bayi diberi ASI saja sejak usia 0-6 bulan tanpa makanan tambahan lain termasuk susu formula.
3) Penimbangan balita dilakukan satu bulan sekali /minimal 8 kali setahun di sarana kesehatan (Posyandu, PKD, puskesmas dan lain- lain).
4) Anggota keluarga mengkonsumsi makanan yang bergizi dan beraneka ragam.
5) Anggota keluarga menggunakan air bersih untuk keperluan sehari-hari.
6) Anggota keluarga menggunakan jamban sehat.
8) Setiap anggota keluarga menempati ruangan rumah minimal 9 m². 9) Anggota keluarga yang berumur 10 tahun keatas melakukan
aktifitas fisik /olahraga.
10) Semua ruangan rumah berlantai kedap air (bukan tanah) dan dalam
keadaan bersih.
11) Anggota keluarga tidak ada yang merokok.
12) Anggota keluarga mencuci tangan sebelum makan dan sesudah
BAB.
13) Anggota keluarga menggosok gigi minimal 2 kali sehari sesudah
makan dan sebelum tidur.
14) Anggota keluarga tidak minum minuman keras dan tidak menyalahgunakan narkoba.
15) Anggota keluarga menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan (Dana Sehat, Askes Maskin, Jamsostek dan lain- lain).
16) Anggota keluarga melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
e. Indikator PHBS yang berhubungan dengan diare
Berdasarkan 10 indikator PHBS di rumah tangga yang berhubungan dengan kejadian diare adalah bayi diberi ASI eksklusif,
menggunakan air bersih, mencuci tangan pakai sabun, dan menggunakan jamban sehat (Proverawati & Rahmawati, 2012).
Pengukuran dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung.
responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotetis, kemudian ditanyakan pendapat
responden (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur untuk indicator PHBS yang
berhubungan dengan diare.
Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut, dengan jumlah
soal sebanyak 35 dengan kriteria jawaban sangat selalu, sering, kadang-kadang dan tidak pernah. Untuk nilai skor jawaban menggunakan skala
likert adalah sebagai berikut:
1) Selalu : 4
2) Sering : 3
3) Kadang-kadang : 2 4) Tidak pernah : 1
Untuk mencari nilai kriteria peneliti menggunakan rumus kategorisasi dalam Syarifudin (2010) sebagai berikut:
1) Tentukan skor maksimal ideal dengan cara skor tertinggi dari
jawaban dikali dengan jumlah butir soal.
2) Tentukan skor minimal ideal dengan cara skor terendah dari jawaban
dikali dengan jumlah butir soal.
Sehingga didapatkan nilai sebagai berikut: a) Nilai Maksimal (tertinggi) : 140
b) Nilai Minimal (terendah) : 35 c) Rentang Nilai : 35
Jadi kriteria beban kerja berdasarkan skala linkert adalah a) Baik : 105-140
b) Cukup : 75-104
c) Kurang : 35-74
Jadi responden akan diketahui memiliki PHBS baik jika memperoleh
E.Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Silva at all (2008), Suaratmadja (2007), Sarudji (2006), Suriadi & Yuliani (2006), Mida (2009), Wahab (2007), Suharyono (2009)
Sehat
Diare Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare:
1. Faktor penyediaan air bersih. 2. Faktor sanitasi makanan.
3. Faktor penyediaan jamban keluarga. 4. Faktor pengolahan sampah.
5. Faktor fasilitas sanitasi.
Lingkungan
F. Kerangka Konseptual Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Keterangan:
: variabel yang diteliti : arah penelitian
Gambar 2.2 Kerangka Konsep G.Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Pernyataan tersebut merupakan asumsi tentang hubungan antara
dua atau lebih variabel yang diharapkan dapat menjawab suatu pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015.
Ho : Tidak ada hubungan antara PHBS dengan kejadian diare pada balita
di Desa Kembaran dan Desa Linggasari Tahun 2015. Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat