• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRES REPORT #6

MONITORING PENGADILAN TANJUNG PRIOK

HAK-HAK YANG DILUPAKAN

Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban

Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662, 791 92564 Fax : (62-61) 791 92519

(2)

Hak-hak yang Dilupakan:

Kompensasi, Restitusi dan Rehabilatasi Korban Pelanggaran HAM Berat pada Pengadilan HAM

1. PENGANTAR

Setiap terjadi pelanggaran HAM berat harus senantiasa diikuti dengan adanya pertanggungjawaban negara untuk menghukum pelakunya (who commit atrocious human rights crime must be punished) dan memberi kompensasi yang wajar (appropriete redress) bagi korbannya. Prinsip ini dikenal dengan istilah effective remedy. Tidak adanya upaya pemenuhan atas hak-hak korban secara konkret, maka dapat dikatakan melanggengkan impunitas. Dalam pandangan ini, hak korban atas pemulihan adalah hak yang fundamental. Hukum internasional, termasuk beberapa kenvensi internasional telah lama mengatur tentang hak-hak korban kejahatan hak asasi manusia dengan memberikan pengaturan mengenai harus ada jaminan untuk pemenuhan hak-hak korban melalui mekanisme hukum nasional.1

Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM dalam pasal 35 mengatur tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagai hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran ham yang berat ini tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM.

Disini korban haruslah dijamin untuk dapat memperjuangkan hak-haknya termasuk hak-hak untuk pemulihan (rights to reparation).

2

1 Beberapa norma yang menyebutkan tentang harus adanya jaminan untuk pemenuhan hak-hak korban ini misalnya Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Penghapusan Diskriminasi Ras (CERD), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), United Nation on Declaration on The Protection from Enforced Dissapearance 1992 (pasal 19) dan United Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crimes and Abuse of Power 1985.

2

Pasal 35 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM tersebut kemudian pelaksanaannya berdasarkan pada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat.

Ketentuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi seperti yang terurai di atas menunjukkan, bahwa hak-hak korban telah menjadi bagian dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26/2000. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana pengaturan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam pasal 34 UU No 26/2000 merupakan pengaturan tentang adanya jaminan, bahwa korban dapat menuntut hak-haknya dan dijamin berdasarkan hukum. Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa proses penyelesaian pelanggaran HAM berat dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 telah sesuai dengan ketentuan internasional yang mensyaratkan adanya jaminan atas pemulihan yang efektif terhadap korban.

(3)

Tetapi hingga saat ini kerangka hukum tersebut tidak diterapkan dengan gamblang. Sampai saat ini tidak ada satu pun putusan pernah dikeluarkan oleh hakim Pengadilan HAM tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban. Situasi ini mirip dengan ungkapan seorang mantan hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang mengatakan: “We have principles, we just do not apply them”.3

UU No. 26 Tahun 2000 ini tidak menjelaskan pasal-pasal lainnya dan mendelegasikan ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam peraturan pemerintah.

Laporan ini akan menguraikan hasil pemantauan berkaitan dengan issue hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban. Laporan ini banyak didasarkan pada wawancara kepada beberapa korban dan pihak-pihak lainnya terutama jaksa penuntut umum dan hakim. Disamping itu laporan ini juga akan mengkaji tentang ketentuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berkait dengan prospek pelaksanaannya.

2. PENGATURAN KOMPENSASI, RESTITUSI DAN

REHABILITASI

a. Undang – Undang No. 26 Tahun 2000

Kompensasi, restitusi dan Rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 diatur dalam pasal 35 yang terdiri dari 3 ayat. Ayat (1) menyatakan bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM, sedangkan ayat (3) menjelaskan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 35 memberikan penjelasan tentang maksud dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.

4

3

Dikutip dari Dinah Shelton, Remedy in International Human Rights Law (Oxford University Press, 1999). Hlm 1.

4 Pendelegasiannya dengan PP ini sama dengan ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000.

Dengan adanya pendelegasian dalam peraturan pemerintah ini menjadikan ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi akan diatur lebih lanjut dengan pengaturan dibawah undang-undang.

(4)

b.

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002

PP No. 3 Tahun 2002 telah juga memberikan definisi tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang tercantum dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 4, 5 dan 6. Maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP No. 3 Tahun 2002 ini sama persis dengan penjelasan pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000. Pengertian korban dalam PP No. 3 Tahun 2002 juga diatur dengan mendefinisikan korban sebagai orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat dan termasuk korban adalah ahli warisnya.5

Pasal 2 mengatur bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.

6 PP No. 3

Tahun 2002 menegaskan bahwa pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi oleh instansi terkait yang bertugas didasarkan pada putusan pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kompensasi dan rehabilitasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan negara pelaksanaanya dilakukan oleh Departeman Keuangan.7 Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak

ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM.8

Pengaturan selanjutnya dalam PP No. 3 Tahun 2002 adalah mengenai tata cara atau prosedur pelaksanaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Tata cara ini menegaskan kembali bahwa pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan hukum yang tetap. PP No. 3 Tahun 2002 memberikan limitasi waktu terhadap pelaksanaan putusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dan memberikan mekanisme komplain dari korban atas tidak terlaksananya putusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pelaksanaan putusan pengadilan HAM oleh instansi pemerintah terkait wajib dilaporkan kepada pengadilan HAM yang

5 Bandingkan dengan pengertian korban berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 dan pengertian kerugian berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985, dimana kerugian meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak-hak asasi para Korban (substansial impairment of their fundamental rights).

6 Pasal 2 PP No. 3 Tahun 2002. Dalam penjelasan Yang dimaksud dengan "tepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban. Yang dimaksud dengan "layak" adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.

7 Pasal 3 PP No. 3 Tahun 2002. 8 Pasal 4 PP No. 3 Tahun 2002.

(5)

mengadili perkara yang bersangkutan dan Jaksa Agung paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dilaksanakan.9

Tata cara pelaksanaan adalah dengan mengirimkan salinan putusan pengadilan HAM, pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung melaksanakan putusan tersebut dengan membuat berita acara pemeriksaan putusan pengadilan kepada instansi pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi , dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi.

10 Kemudian instansi pemerintah

terkait melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi paling lambat terhitung sejak berita acara.11

Setelah ada pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka intransi terkait, pelaku atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Salinan tanda bukti pelaksanaan juga disampaikan kepada korban dan selanjutnya ketua pengadilan HAM mengumumkan pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.12

Korban dalam PP No. 3 Tahun 2002 mempunyai hak untuk mengajukan komplain atas keterlambatan pemberian pelaksanaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada mereka yang melampaui batas waktu yang telah ditentukan dengan melaporkan kepada Jaksa Agung. Kemudian Jaksa Agung segera memerintahkan instansi pemerintah terkait, pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat tujuh hari kerja sejak tanggal perintah tersebut diterima.13

Disamping adanya limitasi watu pelaksanaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi secara tegas dalam PP No. 3 Tahun 2002, tetapi PP No. 3 Tahun 2002 ini juga membuka peluang untuk pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini secara bertahap dan setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung. Dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada pelaku atau pemerintah karena keterbatasan kemampuan bila dilaksanakan sekaligus.14

PP No. 3 Tahun 2002 tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini terdiri dari 11 pasal yang mengatur tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan kepada

9 Pasal 5 PP No. 3 Tahun 2002. 10

Pasal 6 PP No. 3 Tahun 2002. 11 Pasal 7 PP No. 3 Tahun 2002. 12

Pasal 8 PP No. 3 Tahun 2002. 13 Pasal 9 PP No. 3 Tahun 2002. 14

(6)

korban pelanggaran HAM yang berat dan mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban mulai dari proses diterimanya salinan putusan kepada instansi pemerintah terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan (lihat bagan). Pengaturan yang hanya mengatur tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dan tata cara pelaksanaannya hanya mungkin diaplikasikan ketika telah ada keputusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dari pengadilan. PP No. 3 Tahun 2002 tidak mengatur tentang bagaimana seharusnya hak-hak korban yang berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini diajukan sehingga akan menimbulkan keputusan adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dalam amar putusan pengadilan HAM sebagaimana disyaratkan dalam UU No. 26 Tahun 2000.

3. PENGALAMAN PENGADILAN HAM TIMOR-TIMUR

Perhatian tentang pemenuhan hak-hak korban terutama berkaitan dengan hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam beberapa pengalaman pengadilan ham ad hoc yang telah berjalan tidak pernah ada. Selama pemantauan dalam pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur tidak ada satupun persidangan yang menbicarakan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban. Dengan tidak adanya pembicaraan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini, sebagai konsekuensinya adalah bahwa tidak akan pernah ada putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur.

Putusan di tingkat pertama, yang memeriksa 18 terdakwa dengan 12 berkas perkara tidak ada keputusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban meskipun semua peristiwa yang terjadi sebagai dasar dakwaan semunya diterima atau diputuskan sebagai terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari 18 terdakwa, akhirnya dalam tingkat pertama 6 orang dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi. Tetapi, tidak ada satupun putusan terhadap para terdakwa yang bersalah dan dijatuhi pidana tersebut yang disertai dengan putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap para korban.

Dalam tingkat banding, beberapa terdakwa juga tetap dinyatakan bersalah dan bahkan di tingkat kasasi, salah seorang terdakwa, Abilio Jose Osorio Soares (Mantan Gubernur Dili) juga telah dijatuhi pidana, tetapi putusan di tingkat kasasi inipun tidak membicarakan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi Sampai saat ini masih terdapat beberapa berkas yang diperiksa di tingkat kasasi dan prospek atas pemenuhan hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban kemungkinan besar tidak terpenuhi.

Terhadap putusan-putusan yang tidak disertai amar putusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini tidak pernah ada penjelasan secara memadai mengapa persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak pernah bisa diwujudkan. Beberapa pertanyaan mendasar berkaitan dengan masalah pemenuhan hak-hak korban muncul ketika regulasi mengatur tetapi tidak ada aplikasi atas regulasi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah berkaitan dengan fungsi kejaksaan agung sebagai pihak

(7)

penuntut dalam kasus pelanggaran HAM yang berat yang tidak pernah memperhatikan faktor korban sebagai pihak yang mempunyai hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Apakah karena korban tidak meminta atau tidak ada permintaan korban atas kompensasi, retitusi dan rehabilitasi maka kejaksaan sebagai penuntut tidak juga mempunyai hak untuk mengajukan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut. Dan juga apakah sosialisasi atas hak-hak korban atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat ini ke korban juga telah dilakukan oleh jaksa, dalam artian apakah jaksa pernah melakukan tawaran atau opsi atas kemungkinan adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban atas penderitaan mereka?.

Pertayaan-pertanyaan diatas lebih banyak didasarkan atas apakah ada permohonan dari korban dan juga apakah jaksa aktif memberikan sosialisasi ke korban berkaitan dengan adanya ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hal lainnya yang menjadi pertanyaan adalah berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya hambatan yuridis atas terlaksananya hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut. Hambatan-hambatan yuridis tersebut berkenaan dengan proses pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi memang tidak bisa dilaksanakan karena jaminan prosedur hukumnya tidak memadai termasuk jaminan prosedur penuntutan hak-hak perdata tersebut dari korban. Demikian pula jika melihat putusan hakim yang tidak satupun yang mencantumkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban. Tidak ada amar putusan tentang masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini kontadiktif dengan putusan yang secara jelas telah dinyatakan ada korban dan ada pihak yang harus bertanggung jawab. Pertanyaannya kemudian adalah apakah memang tidak adanya putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut karena memang hakim tidak mempunyai kewenangan memutus lebih dari apa yang dituntut oleh jaksa, dalam hal ini jaksa hanya menuntut pidana saja, sehingga tidak ada kewajiban bagi hakim untuk memutus lebih termasuk berkenaan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini. Kemudian pemaknaan atas pentingnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dari majelis hakim juga tidak jelas tergambar dari keputusan-keputusan maupun selama proses persidangan yang berlangsung.

Terhadap putusan yang demikian, berdasarkan interview yang dilakukan, persoalan utama tidak dapat diputuskannya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban ini adalah berkaitan dengan tidak adanya tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut kehadapan pengadilan. Jaksa memang seperti terlihat dalam tuntutan tidak pernah mencantumkan tentang permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban maupun ahli warisnya, sedangkan hakim tidak ada kewajiban apapun untuk memberikan putusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini. Berkaitan dengan pemenuhan hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini juga ternyata bahwa ketentuan PP No. 3 Tahun 2002 memang tidak digunakan dan ini terlihat dari adanya pernyataan salah seorang jaksa yang menyatakan bahwa ketentuan PP No. 3 Tahun 2002 kurang memadai dan adanya perintah pimpinan untuk tidak menggunakan PP No. 3 Tahun 2002 dan menunggu untuk menggunakan mekanisme yang lain.15

Penelusuran lebih jauh dengan melakukan wawancara kepada beberapa hakim dapat disimpulkan bahwa persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban ini

15

(8)

tidak hanya persoalan tidak adanya permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dari korban semata-mata tetapi juga merujuk pada peraturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang tidak cukup jelas dari UU No. 26 Tahun 2000 maupun dalam pengaturan di PP No. 3 Tahun 2002. Ketidakjelasan mengenai pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini terutama berkaitan dengan ketidakjelasan mengenai prosedur untuk sampai pada keputusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dan juga ketidakjelasan mengenai besarnya ganti kerugian atau parameter mengenai besarnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban meskipun hakim telah diberikan kebebasan untuk menentukan bersarnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban.

4. PENGADILAN HAM TANJUNG PRIOK

a. Kebingungan Menyikapi Peraturan.

Sebagaimana dalam persidangan kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur, pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok ini juga “lepas” dari wacana kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban. Sejak awal pembacaan surat dakwaan sampai dengan pemeriksaan saksi dan tuntutan dalam salah satu berkas perkara, pembicaraan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM berat tidak pernah muncul. Hal ini besar kemungkinan menunjukkan bahwa sejak awal, jaksa sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak korban, sekali lagi tidak mampu memaknai signifikansi atau pentingnya hak-hak pemulihan termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini terhadap para korban.

Persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini semakin jelas urgensinya ketika melihat perkembangan pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok ini yang semakin jauh dari upaya menuju pencapaian kebenaran. Perkembangan pengadilan menunjukkan bahwa banyak saksi yang melakukan pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) atas kesaksian mereka semula. Pencabutan BAP, selama pemantauan, menunjukkan bahwa alasan-alasan atas pencabutan ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagai alasan pencabutan BAP tersebut. Alasan-alasan pencabutan BAP ini, meskipun secara jelas tidak bisa dibuktikan hubungannya dengan proses islah, menunjukkan bahwa ada masalah dan perubahan orientasi selama proses persidangan ini. Pencabutan BAP yang marak dilakukan oleh para saksi ini, mulai terlihat bahwa telah terjadi beberapa konsesi atas pencabutan BAP yang terjadi.16

Kasus Tanjung Priok sendiri merupakan kasus yang telah berlangsung 19 tahun yang lalu dimana korban mengalami penderitaan-penderitaan diantaranya luka dan cacat badan pada anggota tubuh tertentu akibat penembakan, penganiayaan maupun penyiksaan. Di luar penderitaan fisik tersebut korban juga mengalami stigmatisasi, pemenjaraan dan selama puluhan tahun menderita kerugian-kerugian ekonomi akibat lanjutan atas Tanjung Priok pada tanggal 18 September yang lalu. Dalam kurun waktu yang cukup

16 Lihat kesaksian Yusron, pada persidangan dengan terdakwa Mayjend Sriyanto, pada tanggal 15 Januari 2004. Ini adalah kesaksian yang cukup menunjukkan bahwa antara pencabutan BAP dengan persoalan konsesi bisa terjadi. Ini merupakan salah satu kesaksian yang muncul dipersidangan berkaitan dengan alasan-alasan pencabutan BAP.

(9)

lama ini harapan korban atas adanya penghukuman kepada pelaku dan keadilan masih merupakan tujuan utama, tetapi juga pemenuhan atas hak-hak korban dalam kompensasi, restitusi dan rehabilitasi itu juga menjadi harapan yang penting.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah korban, harapan atas adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi atas penderitaan mereka dapat terwujud dalam persidangan ini. Pandangan korban atas prospek pemenuhan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini ternyata tidak sama, hal ini terlihat ketika ternyata ada pengakuan dari salah satu korban yang sejak awal tidak begitu tahu tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi mereka sebagai korban. Ketidaktahuan ini dikarenakan sejak awal jaksa penuntut umum tidak mampu mensosialisasikan dan meyakinkan tentang hak-hak korban ini bahkan mereka juga tidak yakin sebelumnya bahwa pengadilan ini akan digelar.

Sementara itu, sekelompok korban lainnya menyatakan bahwa sejak semula telah mengetahui adanya aturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dan telah sejak lama mengajukan tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Para korban melihat bahwa hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini merupakan hak yang melekat pada korban tetapi yang paling utama bagi mereka adalah keadilan dalam artian bahwa ada proses penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat. Bagi para korban, permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini merupakan hak yang akan diperjuangkan terus menerus. Korban menyatakan bahwa jaksa juga telah memberikan pemahaman dan sosialisasi atas persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini kepada mereka.17

Penyikapan atas tuntutan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban ini aparat yang berwenang dalam hal ini jaksa maupun hakim terkesan mengalami kebingungan dalam memahami ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 maupun PP No. 3 Tahun 2002. Jaksa sampai saat ini tidak melakukan tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam tuntutan pidananya. Berbagai alasan dikemukakan, terutama masalah-masalah yang sifatnya hambatan yuridis karena dianggap ketentuannya tidak cukup memberikan pengertian yang jelas. Sampai saat ini masih terjadi kebingungan dari jaksa untuk mengajukan tuntutan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terutama ketika tidak ada kejelasan berkenaan dengan jumlah korban dan ahli waris serta perincian

Bahkan korban sampai saat ini telah melakukan penghitungan terhadap kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang siap diajukan kepada jaksa. Permintaan bahkan sejak awal telah diajukan tetapi pihak kejaksaan agung berjanji akan memajukan juga tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut bersamaan dengan tuntutan pidana tetapi sampai dengan tuntutan terhadap terdakwa RAButar-butar diajukan, masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini tidak dilakukan.

Niatan untuk memperjuangkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini akan terus dilakukan meskipun mekanisme pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pengadilan HAM mandeg. Korban telah bersepakat akan mengajukan gugatan secara perdata berkenaan dengan ganti kerugian kepada mereka yang hal ini tentu saja mensyaratkan adanya pengakuan dan putusan terhadap adanya pelanggaran ham berat kepada mereka. Adanya pelanggaran ham yang berat merupakan pengakuan ada tindak kejahatan dan ini dianggap menjadi dasar terhadap gugatan perdata.

17

(10)

perhitungan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang akan dituntut. Jaksa berpendapat bahwa sejak awal, mulai dari Komnas HAM, harus sudah jelas tentang adanya korban yang cukup jelas siapa saja sehingga bisa diperhitungkan masalah kompensasinya sejak lebih awal pula.18

Pendapat jaksa lainnya menyatakan bahwa sampai saat ini tidak belum ada korban yang secara resmi mengajukan tuntutan atas kompensasi atas perkara yang ditanganinya kecuali ada saksi yang telah mengajukan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimuka persidangan.

19

Pendapat jaksa diatas, agak berbeda jika menyimak pernyataan salah satu jaksa yang memberikan pernyataan bahwa tuntutan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam tuntutan pidana tidak dimungkinkan karena dalam dakwaan tidak dicantumkan.

Tentang persoalan prosedur permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi oleh korban, jaksa menyatakan bahwa prosedurnya sudah jelas yaitu dengan menggunakan mekanisme dalam KUHAP dapat dengan menggunakan penggabungan perkara dengan tuntutan pidananya maupun dengan gugatan secara perdata secara terpisah. Jaksa malah menyarankan agar korban nantinya menggunakan mekanisme gugatan perdata dimana korban akan mempunyai kesempatan yang luas untuk memperhitungkan kerugian riil maupun kerugian materiil jika dibandingkan dengan penggabungan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam perkara pidana ini.

20 Pendapat ini menegaskan kembali bahwa sejak awal tidak ada

pemahaman dari jaksa bahwa ada hak-hak yang berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban. Pandangan ini senada, tetapi dengan pernyataan yang berbeda, bahwa persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam kasus Tanjung Priok ini telah ada islah dan juga ada tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi , jadi ada dua sumber.21

18

Wawancara dengan I Ketut Murtika, Direktur Penanganan Perkara HAM Kejaksaan Agung dan Jaksa untuk terdakwa Abilio Soares. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 April 2004.

19

Wawancara dengan Dharmono SH, jaksa penuntut umum untuk kasus Tanjung Priok dengan terdakwa Mayjend. Sriyanto, tanggal 28 April 2003.

20 Lihat pernyataan Jaksa Penuntut Umum Widodo Supriyadi dalam Majalah Tempo Edisi 26 April – 2 Mei 2004. Jaksa Widodo Supriyadi ketika di konfirmasi menyatakan bahwa seharusnya sejak semula memang korban mengajukan tuntutan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimuka pengadilan dan tidak secara tiba-tiba meminta kompensasi, restitusi dan rehabilitasi setelah ada tuntutan pidana yang tidak mencantumkan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Wawancara dilakukan tanggal 29 April 2004.

21

Wawancara dengan Roesmanadi, jaksa untuk terdakwa Pranowo, tanggal 27 April 2004.

Dari berbagai pandangan jaksa diatas jelas menunjukkan bahwa memang tidak ada kesatuan pemikian dalam artian ternyata selama ini pemahaman atas hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban antara jaksa sendiri tidak sama. Kesamaan pemahaman hanya pada kesepakatan bahwa pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini tidak jelas sehingga memang tidak tahu bagaimana akan mengajukan tuntutan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban. Adanya korban yang menuntut haknya dalam kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus secara sungguh-sungguh dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum sehingga tidak ada kesan lepas tangan dan berlindung dibalik kelemahan peraturan.

(11)

Pandangan para hakim, terbatas yang diwawancarai, menyatakan bahwa hak-hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi merupakan hak yang harus diberikan kepada setiap korban pelanggaran HAM yang berat karena tanpa adanya hak ini maka ada satu kewajiban yang tidak dilaksanakan kepada korban.22

Terhadap hambatan prosedural berkaitan dengan kelemahan regulasi dan terutama bagaimana prosedur pengajuannya sebetulnya bisa diatasi dengan menggunakan mekanisme KUHAP.

Pemenuhan hak-hak ini harus semaksimal mungkin diupayakan ditengah keterbatasan peraturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini. Para hakim sebetulnya juga telah memikirkan tentang bagaimana proses pemenuhan hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini kepada korban dan ahli warisnya.

23 Permasalahan yang utama bagi hakim nantinya adalah bagaimana

menghitung tentang besarnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi untuk korban karena memang dalam PP No. 3 Tahun 2002 tidak jelas dinyatakan dan hanya diberikan kepada hakim untuk memberikan putusan hanya dengan indikator adil, layak dan cepat dan hal ini berbeda dengan pengaturan dalam hukum pidana biasa yang sudah ada patokan untuk pemberian ganti kerugian.24

Baik pihak jaksa maupun hakim berpendapat bahwa sangat perlu ada petunjuk dari Mahkamah Agung untuk membuat sebuah prosedur berkenaan dengan mekanisme secara khusus tentang bagaimana para korban dan peranan Jaksa dalam menerapkan ketentuan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

25

Pengaturan tantang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi seperti terurai dalam bagian dua diatas ternyata menyebabkan pihak-pihak, baik jaksa maupun hakim mengalami Pandangan lainnnya adalah jika memang tidak ada kepastian peraturan dan hal ini mengakibatkan terhambatnya pemenuhan hak-hak korban terutama dalam konteks hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka perlu adanya terobosan-terobosan hukum untuk menjamin adanya pemenuhan terhadap hak-hak korban.

Berdasarkan atas temuan fakta dari berbagai perspektif baik korban, jaksa maupun hakim sendiri menunjukkan ada kesepakatan bahwa regulasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 maupun PP No. 3 Tahun 2002 tidak cukup memadai untuk memecahkan problem yuridis tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun atas kelemahan tersebut masing-masing punya pandangan yang berbeda untuk mensikapi tuntutan korban dan kewajiban atas pemenuhan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban.

b. Pengaturan Tidak Jelas dan Kontradiktif

22 Wawancara dengan Kabul Supriyadi, salah satu hakim ah hoc dalam kasus pelanggaran Ham yang berat., tanggal 27 April 2004.

23

Wawancara dengan Andriani Nurdin, salah seorang hakim ad hoc dalam kasus pelanggaran Ham yang berat., tanggal 27 April 2004.

24 Wawancara dengan Andriani Nurdin, salah seorang hakim ad hoc dalam kasus pelanggaran Ham yang berat., tanggal 27 April 2004

25 Semua jaksa dan hakim yang diwawancarai menyatakan bahwa pengaturan yang tidak jelas dalam PP No. 3 Tahun 2002 perlu segera untuk dlakukan langkah-langkah demi kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak koeban.

(12)

kebingungan untuk bagaimana menerapkan peraturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban. Fakta yang terungkap selama proses pemantauan di persidangan pembicaraan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak pernah mendapatkan cukup perhatian. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa kebingungan dan ketidaktahuan ini bukan saja dialami oleh para korban tetapi juga olah aparat penegak yaitu pihak jaksa dan hakim.

Dengan kondisi yang demikian sangat penting untuk melakukan peninjauan kembali atas bagaimana UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 3 Tahun 2002 mengkonstruksi persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban. Dengan peninjauan ini akan dilihat kembali apakah regulasi yang ada dalam UU No. 26 Tahun 2000 maupun PP No. 3 Tahun 2002 memang sarat dengan kelemahan yang menjadikan pemenuhan hak-hak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sulit diwujudkan.

UU No. 26 Tahun 2000 maupun PP No. 3 Tahun 2002 mempunyai beberapa hambatan dimana hambatan ini dapat berupa hambatan yang sifatnya prosesual maupun hambatan subtansial. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya; pertama, berkaitan dengan istilah pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengertian mempunyai ketentuan hukum yang tetap adalah bahwa putusan tersebut tidak dapat atau tidak bisa dilakukan lagi upaya hukum lainnya setelah ada keputusan tersebut atau dua belah pihak yang berperkara telah menerima keputusan pengadilan dan tidak melakukan upaya hukum yang lain. Dengan pengertian ini maka salah satu konsekuensinya adalah keputusan hukum tetap ini akan bisa dilihat setelah ada putusan ditingkat kasasi jika ada salah satu pihak yang mengajukan permohonan kasasi. Ketentuan ini akan kontradiktif dengan ketentuan dalam PP yang sama yang menyatakan bahwa pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. Penjelasan atas kata cepat adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban, dan ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak-hak korban untuk sesegera mungkin memulihkan korban. Dengan pengaturan bahwa eksekusi atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini akan dapat dilaksanakan setelah ada kekuatan hukum tetap maka semakin panjang capaian atas hak-hak korban dalam kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dan tidak sesuai dengan ketentuan lainnya. Ditambah jika keputusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pengadilan tingkat pertama tersebut kemudian dibatalkan dalam tingkat yang lebih tinggi yaitu dalam putusan tingkat banding dan kasasi.26

Kedua, berkaitan dengan istilah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sendiri dalam PP No. 3 Tahun 2002 yang berbeda dengan pengertian ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP. KUHAP telah mengatur tentang prosedur ganti kerugian dan rehabilitasi, namun ketentuan mengenai ganti kerugian dan terutama rehabilitasi seperti dalam KUHAP mempunyai perbedaan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan pengertian atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 26/2000. Ganti kerugian dalam KUHAP dibagi atas 2 kategori yaitu ganti kerugian untuk tersangka dan terdakwa akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan yang tidak berdasarkan undang-undang sedangkan yang kedua adalah ganti kerugian untuk pihak

26 Pandangan ini mengasumsikan bahwa perkara akan sampai pada tingkat kasasi dan tidak berhenti pada tingkat pertama.

(13)

yang mengalami kerugian atas perkara yang menjadi pokok dakwaan.27 Ganti kerugian

seperti yang kedua inilah yang sesuai dengan konteks kompensasi dan restitusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 UU No. 26/2000 yakni ganti kerugian kepada korban. Istilah rehabilitasi seperti yang dicantumkan dalam UU No. 26/2000 tidak sama artinya dengan rehabilitasi dalam ketentuan di KUHAP yang mengatur rehabilitasi ini hanya khusus bagi tersangka maupun terdakwa sedangkan dalam UU No. 26/2000 adalah hak-hak untuk korban. Kata “rehabilitasi” dalam UU No. 26/2000 maupun KUHAP meskipun mempunyai redaksional yang sama tetapi berbeda sasaran.28

Istilah kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (pelaku). Dengan pengertian yang demikian, ganti kerugian ini diambil alih oleh negara dari kewajiban pelaku untuk membayar ganti kerugian. Istilah ini menunjukkan bahwa untuk adanya kompensasi, harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana sekaligus diberi pembebanan untuk membayar restitusi kepada korban. Definisi kompensasi seperti ini menyempitkan makna kompensasi dalar arti tanggung jawab negara atas pemulihan terhadap korban. Pengalaman pengadilan ham ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur menunjukkan bahwa keputusan-keputusan dalam kasus-kasus tersebut menyatakan adanya pengakuan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat dan ada korban atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut tetapi pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sehingga otomatis juga tidak ada kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban.

Ketentuan yang berbeda ini akan mengakibatkan kesulitan dalam melakukan gugatan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi menggunakan mekanisme KUHAP.

29

Ketiga, terkait dengan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi harus dilakukan secara tepat, cepat dan layak. Pengertian kata “layak” yang didefenisikan tentang bagaimana panggantian kerugian ini akan dilakukan dilakukan secara patut dan berdasarkan rasa keadilan dan istilah patut ini juga tidak cukup dijelaskan kriterianya. Dalam penjelasan umum PP No. 3 Tahun 2002 ditegaskan bahwa mengenai besarnya ganti kerugian atau pemulihan kebutuhan dasar tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutus perkara yang dicantumkan dalam amar putusannya. Jadi, hakim diberikan kebebasan sepenuhnya secara adil, layak, dan cepat mengenai besarnya ganti kerugian tersebut berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta

27 Ganti kerugian untuk korban ini sesuai dengan bab XIII sedangkan ganti kerugian untuk tersangka atau terdakwa diatur dalam bagian kesatu bab XII KUHAP.

28

Istilah rehabilitasi dalam PP No. 3 Tahun 2002 adalah pemulihan kepada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain sedangkan dalam KUHAP rehabilitasi diartikan sebagai hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).

29 Hal ini terkait dengan para terdakwa yang diajukan dimuka persidangan adalah para terdakwa yang didakwa melakukan kejahatan kemanusian dan pelanggaran atas pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang tanggung jawab komandan militer, atasan polisi dan atasan sipil. Tidak ada pelaku langsung yang diajukan ke persidangan. Hal ini agak berbeda dengan kasus di Tanjung Priok dimana terdapat pelaku langsung yang diajukan juga ke persidanga sedangkan terdakwa lainnya adalah dalam tingkatan komandan, putusan dengan model yang sama dengan timor-timur bisa terjadi dalam kasus Tanjung Priok ini.

(14)

pemeriksaan di sidang pengadilan beserta bukti-bukti yang mendukungnya. Ketentuan ini dianggap tidak cukup memberikan batasan atau rujukan berapa besar ganti kerugian dan pemulihan terhadap korban dalam pelanggaran HAM yang berat, dan dengan ketentuan ini apakah dapat disimpulkan bahwa hakim mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan besarnya ganti kerugian kepada korban termasuk jika merujuk pada indikator atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dengan menggunakan indikator dengan standar internasional.30

30 Indikator besarnya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini misalnya dengan menggunakan standar yang diuraikan oleh pelapor khusus PBB yang diajukan oeh Theo van Boven yang telah memberikan gambaran tentang hal-hal apa yang harus dipenuhi dalam kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat.

Keempat, PP No. 3/2002 dalam pasal 10 memberikan peluang untuk pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dilakukan secara bertahap yang dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa maksud dari ketentuan ini adalah untuk memberikan keringanan pada pelaku atau pemerintah dalam pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi karena keterbatasan kemampuan bila dilaksanakan sekaligus. Pada pasal-pasal sebelumnya ditentukan bahwa ada limitasi waktu terhadap proses pemberian atau pelaksanaan atas keputusan adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dan yang menjadi permasalahan adalah tidak adanya parameter yang jelas dan tegas mengenai pada kondisi bagaimana pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dapat dilakukan secara bertahap. Ada adanya ketentuan pemeberian kompensasi dapat dilakukan secara bertahap maka akan mereduksi ketentuan sebelumnya yang memberikan kepastian terhadap kapan pelaksanaan putusan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini akan dijalankan.

Berdasarkan atas uraian diatas memang ternyata banyak persoalan yuridis yang membuat proses pemberian kompensasi restitusi dan rehabilitas terhadap para korban tidak dapat diterapkan. Problem-problem yang muncul karena tidak jelasnya pengaturan berimplikasi atas tersendatnya upaya-upaya nyata atas perjuangan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban.

b. Jalan Keluar : Dengan Mekanisme KUHAP?

Melihat ketentutan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 26/2000 maupun PP No. 3/2002 hanya mengatur tentang adanya hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan bagaimana hak-hak tersebut akan diberikan setelah adanya keputusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. PP No. 3 Tahun 2002 tidak menjelaskan tentang prosedur pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam proses pengadilan HAM sehingga amar putusan pengadilan akan juga memberikan putusan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Permasalah tentang prosedur inilah yang menjadikan kegamangan jaksa dalam melakukan upaya pemenuhan terhadap hak-hak korban dan tanpa adanya langkah-langkah maju untuk menyelesaikan problem ini maka titik inilah yang akan menjadi faktor penghambat atas terpenuhinya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

(15)

Dengan tidak ada ketentuan tentang prosedur pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut menimbulkan beberapa permasalahan mendasar yang mengakibatkan kebingungan untuk pemenuhan hak-hak berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini kepada korban. Ketentuan pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa hukum acara yang digunakan untuk proses peradilan pelanggaran HAM yang berat adalah menggunakan mekanisme sesuai dengan KUHAP dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.31

Prosedur pengajuan untuk ganti kerugian berdasarkan KUHAP dapat dilakukan dengan melakukan permohonan ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidananya. Pasal 98 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Alasan lainnya adalah bahwa tujuan utama penggabungan gugatan ganti kerugian adalah untuk melakukan penyederhanaan atas proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri dan untuk segera memungkinkan orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui prosedur dan proses gugatan perdata biasa.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa mekanisme pengajuan hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban ini harus didasarkan pada ketentuan KUHAP. Jika pemahaman ini yang digunakan maka akan menimbulkan beberapa persoalan diantara berkaitan dengan maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi untuk korban dikaitkan dengan pengertian ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP, persoalan apakah permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi itu harus melalu korban sebagaimana dalam ketentuan KUHAP sehingga Jaksa penuntut umum harus menunggu permohonan korban dan keluarganya terlebih dahulu sebelum membuat tuntutan untuk adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan juga bagaimana jika ternyata terbukti ada pelanggaran HAM dan adanya korban yang riil tetapi tidak ada pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sehingga korban tidak mendapatkan hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tersebut.

32

Mekanisme penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana. Cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana adalah dengan permintaan perhatian penuntut umum agar hakim dapat mencantumkan dalam diktum putusan pidana. Dalam pasal 98 ayat 2 KUHAP saksi korban dapat mengajukan “petitum” tersendiri secara lisan maupun tulisan dalam persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusannya.

33

31

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 berbunyi dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas pelanggaran ham yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara.

32 Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan KUHAP, jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta. Hal. 604.

33

Lihat Keputusan Menteri kehakiman RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak korban tindak pidana diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapatkan ganti rugi yang dideritanya, yaitu dengan menggabungkan perkara pidananya dengan permohonan untuk mempercepat ganti rugi, yang pada hakekatnya merupakan suatu perkara perdata dan yang biasanya diajukan melalui gugatan perdata dengan demikian akan dihemat waktu

(16)

Berdasarkan mekanisme dalam KUHAP ini sepertinya lebih cocok dengan konteks tuntutan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban mengingat hasil keputusan dalam proses penggabungan gugatan ini akan bersamaan waktunya dengan putusan pidana dan hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 UU No. 26/2000 maupun PP No. 3/2002 yang menyatakan bahwa hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. Dengan cara ini, meskipun mungkin secara yuridis tetapi tetap harus diuji mengingat prosedur ini hanya digunakan untuk ganti kerugian dan bukan termasuk untuk istilah rehabilitasi seperti yang dimaksud dalam PP No. 3/2002 sehingga permohonan atas gugatan rehabilitasi akan dikabulkan oleh majelis hakim.

Mekanisme yang kedua berkenaan dengan pemenuhan hak atas ganti kerugian ini adalah melalui mekanisme gugatan secara perdata dengan mendasarkan pada adanya perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan hukum perdata. Dengan gugatan ini tentu saja mensyaratkan adanya terlebih dahulu peristiwa yang telah diputuskan bahwa peristiwa tersebut adalah melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain sebagai dasar adanya kerugian. Disamping itu gugatan secara perdata ini akan dilaksanakan setelah adanya keputusan yang mempunyi kekuatan hukum yang tetap. Meskipun model gugatan perdata ini dalam kasus pelanggaran HAM berat dapat dilakukan karena pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan juga merupakan tindak pidana yang menimbulkan korban, dan oleh karenanya menjadi dasar hak untuk menuntut tetapi gugatan ini perlu ditelaah secara lebih mendalam jika dikaitkan dengan konsep kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pelanggaran HAM sesuai dengan ketentuan UU No. 26/2000.

Diantara pilihan atas penggabungan perkara atau gugatan perdata masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Dalam gugatan perdata, pihak penggugat dalam hal ini korban masih harus menunggu adanya keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sebagai dasar gugatan adanya perbutan melawan hukum. Gugatan ini bisa dilaksanakan setelah adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan terhadap putusan kasasi jika memang proses akan sampai pada tingkat Mahkamah Agung. Kelebihan dengan gugatan perdata ini, korban akan lebih rinci menghitung biaya kerugian atas penderitaan mereka dengan menghitung kerugian riil (materiil) dan kerugian yang sifatnya imateriil dan korban dapat mewakili dirinya (meskipun lewat pengacara) untuk memperjuangkan hak-hak mereka terutama menyangkut ganti kerugian di depan pengadilan. Faktor penghambat gugatan secara perdata ini memang disamping harus ada perbuatan melawan hukum dalam hal ini keputusan dari pengadilan HAM sebagai dasar gugatan juga persoalan waktu pengajuan gugatan yang akan sangat panjang, dimana untuk kasus perdata ini tidak ada limitasi waktu untuk

dan biaya perkara. Demikian pula dengan Petunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No. B 187/E/5/1995 kepada kepala Kejaksaan Tinggi di Seluruh Indonesia yang mengharuskan Jaksa Penuntut umum untuk memberitahukan pada para korban kejahatan mengenai hak-haknya sesuai dengan pasal 98 KUHAP sebelum dibacakannya tuntutan sesuai dengan keputusan Menteri Kehakiman RI No. Masyarakat M.01.PW.07.03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP.

(17)

penyelesaian perkara sebagaimana dalam proses peradilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000.34

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Persoalan prosedur pengajuan atas hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban ini ternyata sesuai dengan KUHAP masih dimungkinkan meskipun tidak ada pengaturan secara khusus dalam UU No. 26/2000 maupun PP No. 3/2002. KUHAP sebagai hukum acara, meskipun terbatas, masih memberikan jalan atas upaya pemenuhan hak-hak korban yang berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Mekanisme KUHAP ini meskipun masih memerlukan pengujian secara yuridis jika dikaitkan dengan pemenuhan hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi perlu untuk menjadi dasar bagi pihak-pihak yang sepakat bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah hak korban dan harus diusahakan pemenuhannya.

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas tentang persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pelanggaran HAM berat, dapat disimpulkan bahwa implementasi mewujudkan hak-hak korban masih belum efektif. Keadaannya persis seperti yang dikatakan mantan hakim Pengadilan HAM Eropa yang dikutip di muka: “We have principles, we just do not apply them”. Kerangka normatif yang tersedia bagi pemenuhan hak-hak korban tidak pernah diterapkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia; jaminan atas hak-hak korban tersebut seperti berada dalam etalase, yang hanya dapat dilihat tetapi tidak dapat dirasakan oleh korbannya. Dengan tidak menerapkan ketentuan-ketentuan normatif tersebut, pengadilan seakan-akan bersekutu hendak menyangkal keberadaan hak-hak normatif para korban itu.

Kelemahan regulasi (UU No. 26/2000 maupun PP No. 3/2002) hendaknya tidak dijadikan alasan pembenar bagi pengabaian hak-hak normatif korban; jaksa dan hakim seolah-olah lepas tangan dari tanggungjawab. Seharusnya jaksa dan hakim dapat mengisi kelemahan regulasi tersebut dengan interpretasi-interpretasinya yang progressif menafsirkan perundang-undangan yang terbatas. Hakim dan jaksa dituntut dapat melakukan terobosan-terobosan hukum guna menjamin bahwa hak-hak korban akan terpenuhi. Hakim dan jaksa perlu membuka akses seluas-luasnya kepada korban menuntut hak mereka, di sini perlu adanya kesatuan pemahaman tentang urgensi dan pemihakan pada korban.

Tidak terimplementasinya regulasi berkenaan dengan hak-hak korban itu, terlihat bukan semata-mata masalah terletak pada struktur internal hukum (regulasi kurang memadai, hakim dan jaksa tidak kreatif) tetapi melampaui masalah itu adalah politik negara dalam menyediakan anggaran bagi keadilan. Hingga saat ini kita lihat hampir tidak ada kebijakan anggaran yang mengalokasikan biaya-biaya keadilan dalam APBN kita. Ini merupakan masalah yang serius dalam upaya mengefektifkan UU No. 26/2000 dan PP

34 Bandingkan dengan ketentuan dalam PP No. 3 Tahun 2002 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak.

(18)

No. 3/2002, karena peraturan ini mengandaikan ketersedian biaya-biaya keadilan. Tanpa adanya politik negara berkaitan dengan tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak korban, maka sulit kita bayangkan hak-hak tersebut terimplementasi.

Berdasarkan pada kesimpulan yang dipaparkan di atas, kami menyampaikan beberapa rekomendasi berikut ini:

1. Jaksa Penuntut Umum (JPU) seharus sudah memasukkan hak-hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam surat tuntutannya, bukan hanya menuntut penjatuhan vonis bersalah kepada hakim sebagaimana umumnya; 2. Hakim seharusnya juga melakukan interprestasi-interprestasi yang progressif

dalam menafsirkan peraturan-perundangan, sehingga prinsip effective remedy yang menjadi standar internasional terwujud dalam putusannya. Artinya, tanpa dituntut oleh JPU, hakim dapat mengambil sendiri putusan tentang pemenuhan hak-hak korban tersebut;

3. Kelemahan peraturan-perundangan di bidang hak-hak korban pelanggaran berat HAM seharusnya tidak menjadi “senjata” bagi para aparat penegak hukum (jaksa dan hakim) mengabaikan hak-hak korban;

4. Mahkamah Agung, sebagai institusi yang berwenang untuk membuat penetapan atas permasalah hukum harus sesegera mungkin menyikapi permasalahan seputar hak-hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap para korban. Sikap yang jelas dari Mahkamah Agung akan menjadi rujukan dan kepastian bagaimana kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban akan dilaksanakan; dan

5. Sebagai bagian penting dari perwujudan hak-hak korban tersebut, maka politik negara di bidang anggaran harus memasukkan biaya-biaya keadilan ke dalam struktur APBN, agar tersedia anggaran negara bagi pemenuhan hak-hak korban.

Jakarta, 30 April 2004.

(19)

Tabel kasus Timor-timur

No BERKAS PERKARA PUTUSAN KOMPENSASI, RESTITUSI DAN

REHABILITASI

HAKIM

1 Abilio Jose Osorio Soares

(Gubernur Tim-tim)

3 Tahun Tidak ada Emmi Marni Mustafa Roky Panjaitan Rudi M. Rizki Emong Komariah S Winarno Yudho 2 Timbul Silaen

(Kapolda Tim-tim) bebas Tidak ada Andi Samsan Nganro Ridwan Mansyur Kabul Supriyadi Amiruddin Abudaera Heru Sutanto 3 Herman Sedyono (Bupati Kovalima) Liliek Koeshadiayanto (Dandim Kovalima) Gatot Subyaktoro (kapolres Kovalima) Achmad Syamsudin (Kasdim Kovalima) Sugito (Danramil Suai)

Semua bebas Tidak ada Cicut Sutiarso Andriani Nurdin M. Guntur Alfie Rachmat Syafei Abdurrachman

4 Endar Prianto

(Dandim Dilli) Bebas Tidak ada Amril Eddy Wibisono Amiruddin Abudaera Kabul Supriyadi Sulaiman Hamid 5 Soejarwo

(Dandim Dilli) 5 Tahun Tidak ada Andi Samsan Nganro Binsar Gultom Kabul Supriyadi Heru Sutanto

Amiruddin Abudaera 6 Hulman Gultom

(Kapolres Dilli) 3 Tahun Tidak ada Andriani Nurdin Sunarjo Rudi M. Rizki Kalelong Bukit Sulaiman Hamid 7 Asep Kuswani (Dandim Liquica) Adios Salova (Kapolres Liquica) Leonito Martens (Bupati Liquica)

Semua Bebas Tidak ada Cicut Sutiarso Jalaluddin Rachmat Syafei Abdurrachman Amiruddin Abudaera

8 Yayat Sudrajat

(Dansatgas Tribuana) bebas Tidak ada Cicut Sutiarso Jalaluddin Abdurrachman Guntur Alfie

(20)

9 Adam Damiri

(Pangdam IX Udayana) 3 Tahun Tidak ada Emmi Marni Mustafa Rocky Panjaitan Rudi M. Rizki Emong Komariah S Sulaiman Hamid

10 Tono Suratman

(Danrem 164) Bebas Tidak ada Andi Samsan Nganro Binsar Gultom Kabul Supriyadi Heru Sutanto

Amiruddin Abudaera

11 Nur Moeis

(Danrem 164) 5 Tahun Tidak ada Andriani Nurdin Sunarjo Rudi M. Rizki Kalelong Bukit Sulaiman Hamid 12 Eurico Guterres (waka PPI/komandan Aitarak

10 Tahun Tidak ada Herman H Hutapea Rocky Panjaitan Rudi M. Rizki Emong Komariah S Winarno Yudho

(21)

1 Undang-Undang No.

14 Tahun 1970 Diatur dalam pasal 9 Diatur dalam pasal 9. Rehabilitasi diartikan sebagai pemulihan atas hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan.

Ganti kerugian dan rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah berkenaan dengan kekeliruan atas orang dan penerapan hukum

2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP

Diatur dalam bab XIII pasal 98. jika suatu perkara yang menjadi dasar dakwaan dalam pemeriksaan pengadilan negeri, telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, hakim atau pengadilan atas permintaan orang yang dirugikan dapat menetapkan “untuk menggabungkan” perkara ganti kerugian kepada pekara pidana yang sedang diperiksa. Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara-cara yang diatur dalam UU.

Dalam KUHAP istilah ganti kerugian menyangkut dua pihak yaitu ganti kerugian yang tersangka, terdakwa dan ganti kerugian untuk korban/orang yang mengalami kerugian atas terjadinya tindak pidana yang terjadi. Pengaturan tentang ganti kerugian dalam Bab XII (untuk terdakwa dan tersangka) sedankan dalam bab XIII untuk korban.

3 Undang-undang No.

26 Tahun 2000 Diatur dalam bentuk hak-hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

Diatur Diatur Diatur Pasal 35. Dalam ketentuan ini hak atas kompensasi, restitusi dan rehailitasi adalah hak korban dan ahli warisnya pelanggaran HAM yang berat. Pasal ini hanya berisi tentang adanya hak-hak tersebut dan mendelegasikan pengaturan selanjutnya dalam PP. 4 PP No. 3 Tahun 2002 Diatur dalam

bentuk hak-hak atas kompensasi dan restitusi.

Ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarga oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain.

Kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi ini diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

(22)

TIM MONITORING PENGADILAN HAM AD HOC

KASUS TANJUNG PRIOK

Koordinator

Supriyadi Widodo Eddyono

Analis

Ifdhal Kasim

Indriaswati Dyah Saptaningrum

Amiruddin Al Rahab

Agung Yudhawiranatha

Koordinator Lapangan

Wahyu Wagiman

Observer

Zainal Abidin

Rinto Tri Hasworo

Roger Metchel Paath

Film dan Dokumentasi

Made Ardhian

Administrasi

Gambar

Tabel kasus Timor-timur

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari Gini Ratio, ukuran ketimpangan Bank Dunia pun mencatat hal yang sama yaitu ketimpangan daerah perkotaan di Jawa

Kesimpulan dari penelitian ini adalah aplikasi SPK berbasis komputer menggunakan metode SAW telah dibuat dimana aplikasi dapat memasukan biodata calon siswa,

Iz toga vizualnom inspekcijom podataka moˇ zemo do- biti ideju o tome za koje se vrijednosti kovarijate izgladivaˇ c ne´ ce ponaˇsati najbolje u smislu pristranosti i u kojem smjeru

Hadits merupakan sumber hukum kedua dalam Islam, yang dimana fungsinya adalah menjelaskan al-Qur’an. 1 Al-Qur’an ditinjau dari segi turunnya mulai dari Malaikat Jibril,

Pada Sub Menu Download Peserta berfungsi untuk mendownload data peserta format Excel 34 kolom yang sukses tervalidasi dan terkirim ke Kantor Cabang BPJS Kesehatan

Dari hasil pemeringkatan portofolio optimal berdasarkan Coefficient of Variance (CV) terkecil dari kombinasi 2 saham sampai dengan kombinasi 5 saham dengan

Dengan statistik menggunakan uji Chi- Square Test didapat p-value 0.178> (0.05) maka hasil dari penelitian dapat disimpulkan H 0 diterima dan H a ditolak yang

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Tingkat kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam pelayanan publik di Kecamatan Peudada menganut pelayanan terpadu dan