• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Machiavellianism Representation of Character Oda Nobunaga in Yoshikawa Eiji s Shinsho Taikoki.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Machiavellianism Representation of Character Oda Nobunaga in Yoshikawa Eiji s Shinsho Taikoki."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI GAGASAN MACHIAVELLIANISME PADA TOKOH ODA NOBUNAGA DI

DALAM NOVEL SHINSHO TAIKOKI

KARYA YOSHIKAWA EIJI Daru Iswaradana

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

daruiswaradana@yahoo.com

Abstrak

Skripsi ini membahas bagaimana gagasan Machiavellianisme direpresentasikan oleh tokoh Oda Nobunaga di dalam novel Shinsho Taikoki. Dengan menggunakan teori politik yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli di dalam bukunya “Il Principe”, penulis mengkaji novel Shinsho Taikoki dengan pendekatan intrinsik, yakni analisis tokoh. Analisis menunjukkan bahwa Nobunaga memiliki gambaran yang mencerminkan penguasa ideal menurut Machiavelli. Penguasa ideal menurut Machiavelli adalah penguasa militer yang mampu berjuang untuk kekuasaan dengan cara baik maupun cara kejam.

The Machiavellianism Representation of Character Oda Nobunaga in Yoshikawa Eiji’s Shinsho Taikoki.

Abstract

This thesis explain how the concept of Machiavellianism is represented by character Oda Nobunaga in Shinsho Taikoki. By using political theory that were written by Niccolo Machiavelli in his book "Il Principe", writer examined Shinsho Taikoki with intrinsic approach, the analysis of figure. Analysis shows that Nobunaga has representations that reflects the ideal ruler according to Machiavelli. Machiavelli's ideal ruler is military ruler who able to struggling with good way and also cruelty. Keywords: Machiavellianism, Oda Nobunaga, ruler, Il Principe, Shinsho Taikoki, Yoshikawa Eiji.

Pendahuluan

Dalam ilmu politik, konsep kekuasaan merupakan inti politik (Mufti, 2012: 53). W.A. Robson (1954: 24) mengatakan bahwa ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses, ruang lingkup, dan hasil. Fokus perhatian tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992: 85-87). Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Robert Mac Iver (1961: 22) mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah atau dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia.

(2)

Pada Zaman Pertengahan1, terdapat gagasan mengenai politik yang sangat mementingkan konsep kekuasaan, yakni gagasan yang dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli. Karyanya yang paling terkenal adalah Il Principe atau juga dikenal dengan The Prince, dan The Art of War. Il Principe yang terbit pada 1532 menjelaskan berbagai metode yang dilakukan seorang penguasa untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya serta bagaimana cara ia memerintah dalam hubungan dengan rakyatnya. Para pengikut teori

humanis2 acapkali bertolak belakang dengan Machiavelli dalam cara-cara menjalankan pemerintahan, yang

menurut mereka tidak berhati-hati bahkan cenderung tidak bermoral.3

Ide, konsep atau gagasan mengenai politik dan kekuasaan ternyata juga nampak di dalam karya sastra.

Penulis menemukan gagasan tersebut di dalam sastra jenis novel sejarah4. Sampai sekarang, karya sastra sering

dipandang oleh orang awam hanya sebagai suatu karya, suatu cerita tentang seseorang ataupun cerita tentang sesuatu. Namun, karya sastra dapat menyimpan makna yang dapat diungkapkan dengan pendekatan, serta dapat merepresentasikan suatu pemikiran. Menurut Sapardi Joko Darmono (1979), sastra merupakan sarana untuk menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Melihat dari sudut

pandang ini, sastra erat kaitannya dengan hubungan masyarakat dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.5

Sehingga, menarik untuk membahas topik mengenai nilai politik yang terkandung dalam suatu karya sastra. Shinsho Taikoki merupakan novel karya Yoshikawa Eiji, seorang novelis, yang ditulis pada 1937. Novel ini berlatarkan Jepang menjelang abad ke-16. Masa itu adalah masa ketika jatuhnya keshogunan

Ashikaga6 sehingga membuat seluruh wilayah Jepang bagaikan medan perang raksasa. Para daimyo7 saling

berperang untuk memperebutkan kekuasaan. Di tengah-tengah kekacauan tersebut, muncul tiga orang laki-laki yang mempunyai karakter yang berbeda dan ketiganya bercita-cita untuk mempersatukan Jepang, diantaranya Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu.

Dalam novel Shinsho Taikoki,tokoh Oda Nobunaga adalah daimyo yang dikisahkan hidup pada Zaman

Sengoku8(1467 - 1573) hingga Zaman Azuchi-Momoyama9(1569 - 1603). Nobunaga lahir di Provinsi Owari                                                                                                                          

1 Periode sejarah di Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad ke-5 hingga munculnya monarki-monarki nasional, dimulainya penjelajahan samudra, kebangkitan humanisme, serta Reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans pada tahun 1517.

2 Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Diakses dari http://kbbi.web.id/humanis, pada 5 Mei 2014.

3 Niccolo Machiavelli. (2014). Sang Pangeran: Risalah Politik Abad ke-15 yang Mengilhami Negara Politik Sekuler Modern. (Noviatri, penerj.) Jakarta: Elex Media Komputindo

4 Thrall dan Hibbard (1986: 198) mendefinisikan novel sejarah sebagai berikut, “a novel, the characters, setting, and action of which

are drawn from the records of locality, a nation, or a people”. Ini bermakna bahwa elemen yang terdapat dalam novel sejarah adalah novel yang bersumber dari catatan-catatan tentang kondisi suatu daerah, suatu bangsa atau masyarakat setempat.

5 Sapardi Djoko Damono. (1979). Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm 1.

6 Pemerintahan militer oleh samurai yang didirikan Ashikaga Takauji sebagai kelanjutan dari Keshogunan Kamakura. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Ashikaga selama kurang lebih 240 tahun disebut Zaman Muromachi. Lihat Alan Campbell (ed). Japan: An Illustrate Encyclopedia. (1993). Tokyo: Kodansha, hlm. 1019

7Daimyo adalah istilah untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas atau sering disebut tuan tanah. Lihat H. Paul Varley. (1970). Samurai. (Dwi Istiani, penerj.) Depok: Komunitas Bambu

8 Zaman Sengoku masih termasuk kedalam zaman Muromachi (1334-1573). Zaman Muromachi merupakan zaman Keshogunan Ashikaga. Pada tahun 1336, Ashikaga Takauji mendirikan Keshogunan Muromachi (Istana Utara) sebagai tandingan kaisar Godaigo dari Istana Selatan. Terpecahnya kekaisaran menjadi Istana Utara-Istana Selatan berlangsung sampai Istana Selatan ditaklukkan Istana Utara pada tahun 1392. Kedudukan kaum bushi (samurai) berada di atas kedudukan kaisar setelah Istana Utara berhasil menundukkan Istana Selatan, tapi kondisi keuangan dan kondisi militer Keshogunan Ashikaga menjadi lemah akibat perang berkepanjangan.

(3)

(sekarang merupakan Prefektur Aichi) sebagai pewaris Oda Nobuhide, yang merupakan penguasa Owari. Di masa mudanya, Nobunaga diberi julukan “Si Pandir” oleh orang-orang di sekitarnya karena kelakuannya yang dinilai sembarangan. Namun sebenarnya, ia adalah salah seorang yang memiliki ambisi besar untuk mempersatukan Jepang. Nobunaga juga merupakan tokoh yang revolusioner. Ia menghancurkan sistem dalam masyarakat Jepang yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun. Nobunaga mengangkat Hideyoshi yang asal-usulnya tidak jelas sebagai pengikutnya. Dalam hal kemiliteran, Nobunaga menggunakan teknologi senapan yang berasal dari barat dan membuatnya menjadi tak terkalahkan dalam peperangan. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukannya dalam usaha menyatukan Jepang juga diceritakan menggunakan cara-cara yang keras dan kejam, seperti contohnya pemusnahan Gunung Hiei serta pembantaian biksu-biksu Kuil Enryakuji yang dilakukan Nobunaga untuk meredam kekacauan.

Ambisi dan kebijakan yang kejam dari Oda Nobunaga tersebut sangat identik dengan pemikiran Machiavelli. Pemikiran-pemikiran Machiavelli menunjang perjalanan tokoh Oda Nobunaga merebut kekuasaan

dan mempersatukan Jepang di dalam novel Shinsho Taikoki. Sehingga pembahasan tentang perjalanan Oda

Nobunaga beserta kebijakannya akan dikupas dengan gagasan Machiavellianisme. Metode Penelitian

Penelitian tentang “Representasi Gagasan Machiavellianisme Pada Tokoh Oda Nobunaga di Dalam

Novel Shinsho Taikoki Karya Yoshikawa Eiji” menggunakan metode studi pustaka. Penulis menggunakan

novel Shinsho Taikoki karya Yoshikawa Eiji jilid pertama hingga keenam sebagai objek penelitian. Selanjutnya,

penulis menganalisis tokoh Oda Nobunaga yang dikisahkan dalam novel Shinsho Taikoki.

Tokoh cerita hadir ke hadapan pembaca tidak sekaligus menampakkan kediriannya, melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan cerita. (Nurgiyantoro, 1995: 297) Untuk mengenali secara lebih baik tokoh cerita, penulis mengidentifikasi kedirian tokoh secara cermat serta menganalisisnya dengan gagasan Machiavellianisme.

Adapun usaha pengidentifikasian yang dimaksud adalah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama,

prinsip pengulangan. Tokoh cerita yang belum dikenal, akan menjadi kenal jika dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat, sikap, watak dan tingkah laku pada bagian-bagian selanjutnya. Kesamaan itu mungkin saja dikemukakan dengan teknik lain, seperti dialog, tindakan, arus kesadaran, ataupun yang lain. Sifat kedirian seorang tokoh yang diulang-ulang biasanya untuk menekankan sifat-sifat tertentu yang

menonjol. (Luxemburg dkk, 1992: 139) Kedua, prinsip pengumpulan. Seluruh kedirian tokoh diungkapkan

sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Dengan demikian, pengidentifikasian tokoh dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi kedirian yang tersebar di seluruh cerita sehingga diperoleh data yang lengkap dan menghasilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan. (Luxemburg dkk, 1992: 140)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Pergolakan di dalam klan Ashikaga yang disebut Peristiwa Meiōnoseihen, dan ini merupakan awal zaman Sengoku yang penuh intrik, perebutan kekuasaan, kerusuhan, dan dihapuskannya sistem tanah milik bangsawan. Lihat Alan Campbell (ed). Japan: An Illustrate Encyclopedia. (1993). Tokyo: Kodansha, hlm. 1345

9 Periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sejak Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi menjadi penguasa Jepang dan berakhir ketika Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan pasukan pendukung Toyotomi Hideyori dalam Pertempuran Sekigahara tahun 1600.

(4)

Gagasan Machiavellianisme dalam Il Principe

Il Principe terdiri dari dua puluh enam bab yang masing-masing berisi tentang:

Bab 1: Terdapat dua bentuk negara, yakni republik (republics) dan monarki (principalities). Terdapat tiga jenis monarki, yakni monarki tua yang diwariskan kepada keturunan raja yang telah ditentukan, monarki baru yang benar-benar baru dibentuk dan ada pula yang baru digabungkan dengan monarki yang sudah lebih tua. (Machiavelli, 2005: 7)

Bab 2: Monarki warisan pada umumnya tidak begitu banyak mengalami masalah. Yang penting, sang

penguasa senantiasa memanfaatkan cara-cara yang ditempuh oleh leluhurnya di masa lampau yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya. Dalam hal itu, sang penguasa dengan kemampuan yang biasa-biasa saja, sudah cukup memadai untuk memelihara kelanjutan hidup negaranya dan mempertahankan kekuasaannya atas negara itu, kecuali ada kekuatan yang luar biasa dan sungguh-sungguh hebat yang menyerang dia, barulah kekuasaannya dapat direbut. Namun kelak ia akan sanggup merebutnya kembali. (Machiavelli, 2005: 7-8)

Bab 3: Monarki campuran (mixedprincipalities), yaitu monarki baru yang digabungkan dengan monarki yang lebih lama, akan mengalami banyak masalah. Apalagi bila sang penguasa menguasai daerah-daerah yang memiliki bahasa, hukum dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, maka masalah yang akan dihadapinya akan semakin besar. Dalam hal yang demikian, keberhasilan sang penguasa akan sangat bergantung pada peruntungan dan upaya yang sangat besar. (Machiavelli, 2005: 8-16)

Bab 4: Menjelaskan tentang sebab yang menjadi alasan mengapa Monarki Darius yang ditaklukkan Alexander tidak memberontak kepada para pengganti Alexander sesudah kematiannya. Hal itu terjadi karena Alexander menaklukkan wilayah yang hanya mempunyai satu orang penguasa. Negara yang mempunyai satu penguasa yang dicintai, akan sulit ditaklukkan. Tetapi, bila monarki tersebut berhasil ditaklukkan, maka akan mudah mempertahankannya. (Machiavelli, 2005: 16-18)

Bab 5: Sejarah menunjukkan bahwa ada tiga cara untuk memerintah negara kota atau monarki yang

baru direbut yang pada mulanya merupakan negara bebas. Pertama, memusnahkannya sama sekali. Kedua,

pergi mendudukinya dan bermukim secara pribadi di negara tersebut. Ketiga, memperkenankan warga negara

tersebut hidup menurut tradisi dan hukum mereka sendiri, mewajibkan mereka membayar pajak dan membentuk pemerintahan yang terdiri dari beberapa orang yang loyal dan tetap menjaga persahabatan dengan penguasa yang baru. Cara kedua dan ketiga tidak begitu berhasil. Dari contoh-contoh dalam sejarah, yang paling baik adalah cara yang pertama, yaitu memusnahkan sama sekali negara tersebut. (Machiavelli, 2005: 19-20)

Bab 6: Tingkat kesulitan yang dihadapi oleh penguasa baru dari monarki yang baru terbentuk tergantung pada tingkat kemampuan yang dimiliki oleh sang penguasa itu sendiri. Apabila seorang warga negara biasa

menjadi penguasa karena nasib baik (fortune) maka masalah yang dihadapinya akan lebih susah untuk diatasi,

sedangkan bagi mereka yang menjadi penguasa karena kemampuan (virtue) yang mereka miliki, maka masalah

(5)

Bab 7: Warga negara biasa yang menjadi penguasa karena nasib baik memang tidak begitu sulit untuk memperoleh monarki dan kekuasaan, namun akan sangat susah untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut. Hanya mereka yang benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa yang akan dapat mempertahankan kekuasaan yang dikaruniakan oleh nasib baik kepada mereka itu. (Machiavelli, 2005: 23-30)

Bab 8: Untuk mereka yang menjadi penguasa dengan cara yang keji, kejam dan jahat, maka tindakan mereka yang demikian itu tak dapat disebut suatu usaha yang berlandaskan kebaikan. Tetapi dengan cara-cara yang demikian, dapat menjadikan mereka sebagai sang penguasa yang ditakuti dan memperkecil kemungkinan adanya pemberontakan, dengan menggunakan cara-cara keji tersebut dengan benar dan jika diperlukan. (Machiavelli, 2005: 30-34)

Bab 9: Seorang warga biasa yang menjadi penguasa bukan dengan kekejaman dan kekejian, tetapi dengan dukungan rakyat berhasil meraih kekuasaan, maka hal itu terjadi tidak semata-mata atas nasib baik, melainkan oleh kecerdikannya yang didukung dengan keberuntungan. Penguasa yang didukung rakyat harus memelihara persahabatannya dengan rakyat dengan cara tidak menindas mereka. (Machiavelli, 2005: 34-37)

Bab 10: Penguasa yang kuat adalah penguasa yang memiliki pasukan bersenjata dan uang yang banyak. Mereka harus membangun benteng pertahanan yang kokoh. Rakyat biasa harus dilatih dengan latihan kemiliteran. Selain itu sang penguasa harus berusaha untuk tidak dibenci oleh rakyatnya. Suatu negara akan menjadi kuat apabila pertahanannya kuat dan sang penguasa dicintai oleh rakyatnya. (Machiavelli, 2005: 38-39) Bab 11: Mengenai penguasa dan negara gereja, mereka adalah penguasa yang bahagia. Mereka memiliki negara yang tak perlu mereka pertahankan dari serangan musuh dan memiliki rakyat yang tetap menghormati mereka. (Machiavelli, 2005: 40-42)

Bab 12: Menjelaskan tentang bahaya jika menggunakan tentara sewaan. Tentara sewaan atau tentara bayaran itu tidak teratur, tidak disiplin, ambisius dan tidak setia. Kesetiaan mereka bergantung pada besar kecilnya uang bayaran yang mereka peroleh. Oleh karena itu, seorang penguasa sebaiknya tidak menggunakan dan mengandalkan tentara sewaan. (Machiavelli, 2005: 42-46)

Bab 13: Mengandalkan tentara bantuan asing, sama bahayanya dengan mengandalkan tentara sewaan. Oleh karena itu, penguasa yang baik akan menghinndari penggunaan tentara bantuan asing. Penguasa harus memiliki kekuatan militer sendiri. Pasukan militernya itu harus terdiri dari rakyatnya sendiri yang telah terlatih dengan baik. (Machiavelli, 2005: 47-50)

Bab 14: Seorang penguasa wajib memperlengkapi diri dengan pengetahuan militer. Seorang penguasa yang baik akan tetap melanjutkan latihan-latihan militer di masa damai sehingga apabila masa damai itu berlalu ia tetap siaga bahkan telah siap sedia menghadapi apapun. (Machiavelli, 2005: 50-52)

Bab 15: Penguasa yang ingin mempertahankan kekuasannya, bukan hanya akan mempelajari hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga hal-hal yang tidak terpuji dan tahu memanfaatkannya dengan baik dan benar, yakni demi keselamatan negaranya. (Machiavelli, 2005: 53-54)

Bab 16: Penguasa yang bermurah hati demi meraih reputasi akan membahayakan dirinya sendiri, karena kemurahan hati dapat membuatnya jatuh miskin dan negara terancam bahaya. Sebaiknya penguasa itu hidup

(6)

berhemat-hemat walaupun dituduh kikir oleh orang lain. Suatu saat kekikirannya itu akan dipahami sebagai kemurahan hati yang sesungguhnya. (Machiavelli, 2005: 54-56)

Bab 17: Lebih baik seorang penguasa itu disebut kejam demi kesatuan rakyatnya daripada bermurah hati yang mengakibatkan rakyat terpecah-pecah dan kacau. Memang sangat baik apabila sang penguasa dicintai dan ditakuti, namun apabila kedua-duanya tidak mungkin terjadi, maka lebih baik ia ditakuti daripada dicintai. Meskipun ditakuti, ia harus berusaha agar tidak dibenci. (Machiavelli, 2005: 57-59)

Bab 18: Seorang penguasa harus tahu berjuang dengan hukum dan berjuang dengan kekerasan. Ia harus tahu menggunakan cara-cara manusia dan juga cara-cara binatang. Seorang penguasa harus bisa menepati janji, tetapi apabila janji itu merugikan dirinya sendiri, maka ia idak perlu menepati janjinya. Sang penguasa sedapat mungkin harus berusaha agar tidak menyimpang dari yang baik, tetapi ia juga harus dapat berbuat jahat apabila diperlukan. (Machiavelli, 2005: 60-62)

Bab 19: Sang penguasa wajib memerintah dengan sebaik-baiknya. Penguasa yang benar-benar bijaksana tidak akan mengecewakan rakyat dan bangsawan. (Machiavelli, 2005: 62-71)

Bab 20: Penguasa wajib mempersenjatai rakyatnya. ditekankan kembali betapa penting membangun benteng yang kuat. Benteng yang terbaik adalah dicintai rakyat, sebab meskipun telah dibangun benteng yang kokoh, benteng tersebut tidak berguna jika rakyat membenci sang penguasa. (Machiavelli, 2005: 72-75)

Bab 21: Seorang penguasa harus membuktikan kemampuan dan keterampilan yang luar biasa agar dihormati dan dihargai. Penguasa harus menjaga keagungan martabat jabatannya. (Machiavelli, 2005: 76-79)

Bab 22: Sang penguasa harus bijak dalam memilih dan menugaskan menteri dan bawahannya. Penguasa harus dapat memuji yang baik dan menegur yang buruk. Penguasa juga disarankan memberi kehormatan dan kekayaan kepada menterinya agar mereka bersungguh-sungguh dalam tugasnya. (Machiavelli, 2005: 79-80)

Bab 23: Penguasa harus bijaksana dalam memilih menterinya dan pembantu-pembantunya, agar tidak ada penjilat yang sangat membahayakan untuk pemerintahannya. (Machiavelli, 2005: 80-82)

Bab 24: Penyebab mengapa para penguasa Italia kehilangan negara mereka adalah karena mereka tidak cakap dalam memimpin. Mereka menyulut rasa permusuhan antara rakyatnya sendiri dan tak sanggup menjalin persahabatan dengan golongan bangsawan. (Machiavelli, 2005: 82-84)

Bab 25: Tidak boleh selalu mengandalkan nasib baik. Nasib baik memang mempengaruhi kehidupan, tetapi hal tersebut tidak boleh mematikan kerja keras. Karena nasib baik hanya mempengaruhi setengah kehidupan, sedangkan yang setengah lainnya diusahakan sendiri. Penguasa yang selalu mengandalkan nasib baik, akan runtuh di saat nasib baik itu berubah. (Machiavelli, 2005: 84-87)

Bab 26: Pada bab terakhir ini merupakan suatu himbauan dan ajakan yang patriotik agar Lorenzo de’ Medici bersedia mengambil inisiatif dan tanggung jawab untuk mempersatukan Italia. (Machiavelli, 2005: 87-90)

Berdasarkan pembahasan mengenai isi buku Il Principe di atas, penulis berkesimpulan tentang teori

politik yang dicetuskan oleh Machiavelli, yakni: Pertama,penguasa haruslah seorang panglima militer. Kedua,

(7)

harus mempunyai sifat baik, tetapi juga sifat yang sebaliknya. Ketiga, bagaimanapun cara penguasa mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya, tujuannya adalah untuk kebaikan negara.

Gagasan Machiavellianisme pada Tokoh Oda Nobunaga dalam Novel Shinsho Taikoki

1. Kekuatan Militer dan Peraturan Oda Nobunaga

Pada awal kemunculan, tokoh Oda Nobunaga digambarkan dari desas-desus yang tersebar di masyarakat umum. Ia merupakan seorang pewaris marga Oda yang memiliki sifat yang kasar, cepat naik darah dan berperilaku bodoh. Dalam cerita, Nobunaga dijuluki dengan sebutan “Si Pandir dari Owari”. Di usia mudanya, Nobunaga terasingkan dari anggota marga Oda yang lainnya. Ini disebabkan karena pada hari kematian ayahnya, Nobunaga melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji, yakni melemparkan abu dupa ke dalam kendi yang berisi abu mendiang ayahnya. Tidak hanya itu, Nobunaga juga mengenakan pakaian yang tidak pantas untuk acara pemakaman. Kelakuan seperti ini dianggap sangat tidak terhormat oleh anggota marga Oda yang lain. Selain itu, perilaku Nobunaga yang seolah-olah acuh tak acuh itu dikhawatirkan akan merusak masa depan Provinsi Owari. Hal tersebut juga tertuang pada pikiran tokoh Hideyoshi dan membuatnya

penasaran dengan karakter Nobunaga yang sebenarnya (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 1, 1967: 326)

Namun, dalam hal kemiliteran, Nobunaga sering memberikan perintah kepada pengikut-pengikutnya untuk berkumpul dan membahas kewajiban para pengikut di masa damai. Kewajiban tersebut adalah agar para pengikutnya selalu memperhatikan perlengkapan tempurnya masing-masing, mempelajari strategi perang dan mengikuti perjalanan inspeksi mengelilingi provinsi. Kemudian, yang paling penting adalah latihan militer dengan menggunakan senjata api dan tombak, pekerjaan perbaikan benteng. Untuk para pelayan, selain mengurus pekerjaan dapur, mereka harus melakukan perawatan terhadap kuda-kuda. Tentu saja Nobunaga bertujuan agar para pengikut dan pelayannya tidak mempunyai waktu untuk bersantai-santai. Nobunaga menjalankan jadwal kegiatan harian dengan ketat. Selain itu, ia juga memerintahkan agar para pelayan perempuan yang menangani pekerjaan rumah tangga menjalani simulasi di mana mereka berpura-pura terkurung dalam benteng yang sedang dikepung pasukan musuh. Dengan demikian, seisi benteng benar-benar tidak memiliki waktu untuk bersantai. Tentu saja latihan-latihan tersebut berlaku untuk Nobunaga sendiri. (Yoshikawa, 1967: 327-328)

Hal mengenai kemiliteran yang dimiliki Nobunaga digambarkan dalam cuplikan berikut:

Setiap tahun, siapapun melihat Nobunaga pergi dari bentengnya pada bulan April hingga bulan September, dan mereka mengira Nobunaga pergi untuk berenang dan memancing di sungai. Sekarang, Hiyoshi yang datang di lokasi dan menyaksikannya sendiri bahwa Nobunaga tidak pergi untuk main air dan bersantai sama sekali, melainkan untuk latihan militer yang ekstrim. (Yoshikawa, 1967, Jilid 1)

Sebagaimana yang digambarkan pada cuplikan di atas, Nobunaga ternyata bukan seperti apa yang masyarakat desas-desuskan. Nobunaga justru selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk latihan militer yang keras. Ini menunjukkan bahwa Nobunaga memiliki perhatian terhadap Provinsi Owari yang dipimpinnya dengan melakukan latihan militer yang semata-mata ditujukan untuk membentuk keamanan wilayahnya itu. Jika dilihat dari sudut pandang Machiavelli, memang, Machiavelli berpendapat bahwa penguasa hendaknya

(8)

tidak mempunyai sasaran atau kesibukan lain, kecuali mempelajari perang dan organisasi militernya. (Machiavelli, 2005: 50-52) Seorang penguasa tidak boleh lengah melepaskan perhatiannya terhadap latihan pasukan perang dalam masa damai daripada harus menunggu masa datangnya perang.

Selain itu, Nobunaga dikisahkan mempunyai banyak kegemaran yang dilakukan pada waktu luangnya seperti: berkuda, gulat sumo, berburu dengan elang, dan upacara minum teh. Tetapi, di antara kegemarannya

tersebut berburulah yang merupakan hiburan favoritnya. (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 6, 1967: 313)

Kegiatan dan kegemaran yang dilakukan oleh Nobunaga, merupakan bagian dari latihan fisik yang memang disarankan Machiavelli untuk Lorenzo di Piero de’ Medici. Menurut Machiavelli, selain mempertahankan pasukannya agar terorganisasi dan terlatih baik dengan latihan yang keras, seorang penguasa juga harus selalu pergi berburu. Tujuannya untuk membiasakan tubuhnya menghadapi kesulitan-kesulitan dan mempelajari lingkungan alam seperti lereng gunung, lembah dan dataran-dataran yang membentang luas, serta mempelajari semua sungai dan rawa-rawa yang berada di daerahnya. Kegiatan yang seperti itu akan berguna

dalam dua hal. Pertama, jika penguasa memiliki suatu pengetahuan yang jelas tentang lingkungan setempat

maka ia akan lebih mengetahui bagaimana harus mengatur pertahanan. Kedua, dengan mengetahui dan

mengenal kondisi setempat akan memudahkannya dalam memahami benar ciri-ciri setiap tempat baru yang ia perlukan untuk membiasakan diri dengan situasi setempat (Machiavelli dalam Aprianto, 2013: 136-137).

Sejak masih kecil, Nobunaga sering menghabiskan waktunya bersama ayahnya di medan perang melawan penguasa wilayah Mino (sekarang merupakan Prefektur Gifu), Saito Dosan yang berada di sebelah utara. Tidak hanya itu, Nobunaga dan ayahnya juga melawan ancaman dari timur, yakni Suruga (sekarang merupakan Shizuoka) yang dikuasai oleh marga Imagawa.

Dengan melakukan latihan-latihan dan pengalaman masa lalunya yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan militernya, Nobunaga menjadi seorang penguasa yang kuat. Sehingga kekuatan inilah yang membuat Nobunaga dapat menerapkan hukum sesuai dengan keinginannya.

Nobunaga juga diceritakan memiliki watak keras dan mudah marah. Namun, dibalik wataknya tersebut, Nobunaga bukanlah orang yang ragu-ragu dalam membuat peraturan kepada bawahannya. Hal tersebut tergambar dari cuplikan berikut:

Dari kemarin, Nobunaga bersikap diam. Pelayan yang menebak-menebak perasaan tuannya itu dan tidak ada yang menyinggung soal Inuchiyo.

Tapi, Nobunaga yang merasa tidak cukup puas berkata, “Jika terjadi pertikaian antar sesama prajurit di dalam kamp, atau pertumpahan darah di benteng ini, tidak peduli apapun alasannya, peraturan menegaskan bahwa hukumannya harus berat. Meskipun, ada seorang pria yang disesalkan karena kelalaiannya. Dan ini adalah kali kedua, ia membunuh sesama pengikutku. Memberikan toleransi itu tidak dibenarkan oleh hukum. Apalagi untuknya.” (Yoshikawa, 1967, Jilid 2, penebalan oleh penulis)

Dalam kutipan di atas, Nobunaga seperti sedang menjelaskan aturan yang ditetapkannya sendiri. Di dalam cerita, tidak nampak bahwa sudah ada peraturan atau hukum yang sedang berlaku, dan juga tidak nampak tokoh lain yang menjelaskan bahwa hukum tidak ada kaitannya dengan toleransi. Di sini sekaligus menunjukkan Nobunaga adalah seorang yang tidak memiliki banyak pertimbangan, semua yang dikatakan olehnya, akan dinilai benar oleh dirinya sendiri. Menurut Machiavelli, suatu negara itu harus diatur dan

(9)

dipimpin dengan langkah yang pasti, tidak plin-plan dan terlalu banyak pertimbangan. Machiavelli berargumen bahwa satu-satunya jalan menuju kehancuran suatu negara ialah keragu-raguan penguasa dalam menentukan arah negaranya. Jika penguasa bermurah hati dan selalu memberikan toleransi maka akan ada banyak pertimbangan untuk mengeluarkan kebijakan. Lebih aman berbuat salah selagi melangkah dengan pondasi kepemimpinan yang kuat, tanpa menunda-nunda, dan dengan pasti daripada kehilangan gagasan dengan penundaan dalam ketidakpastian (Machiavelli dalam Jones, 1947: 44-50).

Peraturan yang ditetapkan oleh Nobunaga terkesan sejalan dengan pernyataan menurut Machiavelli tersebut. Nobunaga tidak peduli entah siapa pun itu, apa pun alasannya, ia akan menjalankan peraturan yang sudah ditetapkannya sendiri tanpa ragu-ragu. Cuplikan di atas merupakan pernyataan Nobunaga yang menegaskan bahwa dirinya adalah seorang yang tegas dan keras.

Salah satu contoh pelanggaran peraturan yang berujung dengan hukuman keras yang diberlakukan Nobunaga terdapat dalam satu adegan di mana Nobunaga dan parjuritnya telah memenangkan suatu pertempuran. Ketika itu, salah satu prajurit Oda pergi ke sebuah kedai untuk minum-minum. Di kedai tersebut, prajurit itu makan hingga kenyang dan minum hingga mabuk. Namun ia tidak mau membayar dan pergi begitu saja, sehingga pemilik kedai tersebut marah dan mengejarnya. Kejadian ini diketahui oleh Hideyoshi dan akhirnya prajurit itu ditangkap dan dibawa ke markas untuk menghadap Nobunaga. Nobunaga memerintahkan agar prajurit itu diberi hukuman, yakni diikat di sebuah pohon besar. Kemudian, keterangan mengenai kejahatan yang dilakukan prajurit itu dicatat pada sebuah papan pengumuman yang ditancapkan di tempat ia diikat, kemudian Nobunaga memerintahkan agar prajurit itu dipertontonkan selama tujuh hari, untuk selanjutnya dipenggal. Orang-orang yang berlalu-lalang berhenti untuk membaca papan pengumuman dan

mengamati orang yang terikat di pohon. (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 3, 1967: 346-347)

Dengan demikian para warga ibukota melihat sendiri dan ketegasan Nobunaga. Mereka melihat bahwa peraturan yang ditetapkan Nobunaga dan telah diumumkan—pencurian sekeping uang akan diganjar hukuman mati—ditegakkan tanpa pandang bulu, dimulai dengan prajurit Nobunaga sendiri.

Nobunaga menjalankan pemerintahannya sekaligus dengan hukuman yang kejam. Nobunaga memang tidak bisa mentoleransi kesalahan-kesalahan yang terbilang sepele. Jika dicermati, perasaan takut warga yang mungkin muncul kepada Nobunaga, akan menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan perintah Nobunaga. Inilah bukti konkret dari pernyataan Machiavelli bahwa penguasa yang baik, adalah penguasa yang bisa menciptakan rasa cinta sekaligus takut masyarakat terhadap dirinya. Tetapi, mempertahankan kedua hal tersebut pada saat yang sama adalah hal sulit, maka akan lebih aman jika penguasa ditakuti oleh masyarakatnya. (Machiavelli, 2005: 57-59).

Papan pengumuman yang memperlihatkan catatan kesalahan dan hukuman yang akan dilaksanakan kepada si prajurit adalah sebuah teror yang dilakukan Nobunaga, agar masyarakat dapat melihat sendiri ketegasan hukum yang diberlakukan Nobunaga tanpa pandang bulu. Masyarakat akan mempunyai perasaan takut dan orang yang mempunyai rasa takut, akan berbuat segaia sesuatu sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya agar terhindar dari kesulitan-kesulitan yang akan menimpa dirinya, seandainya mereka tidak patuh.

(10)

Tiga tahun setelah kematian Takeda Shingen, Provinsi Kai berusaha bangkit dibawah kepemimpinan Takeda Katsuyori yang merupakan keturunan Shingen, sang penguasa provinsi. Provinsi Kai yang saat itu dipimpin oleh Takeda Katsuyori, menyatakan akan kembali menyerang Provinsi Mikawa yang berada di bawah kekuasaan Tokugawa Ieyasu. Sebelumnya, Tokugawa pernah mengalami kekalahan besar dalam pertempuran dengan Shingen. Tokugawa yang kesulitan ini meminta bantuan kepada marga Oda untuk memperkuat kekuatan militernya. Nobunaga meluluskan permohonan bantuan Tokugawa. Disinilah nampaknya Nobunaga menyadari bahwa nasib baik tidak akan selalu datang. Nobunaga tidak bisa mengharapkan bahwa para prajurit Tokugawa sudah cukup untuk meredam penyerbuan prajurit dari Privinsi Kai. Oleh karena itu, Nobunaga mengerahkan kekuatan militernya, dan Nobunaga lah yang menjadi panglima pasukannya itu. Gambaran mengenai pasukan yang dikerahkan Nobunaga dapat dilihat dalam cuplikan berikut:

“Wah! Ada begitu banyak senjata!” seru orang-orang di pinggir jalan yang terkejut dan para prajurit Tokugawa pun tidak bisa menyembunyikan perasaan iri.

Dari ketigapuluh ribu prajurit, hampir sepuluh ribu merupakan pasukan senapan. Kemudian, ada kira-kira lima ribu prajurit yang membawa senjata kecil. Mereka juga menarik meriam raksasa yang terbuat dari besi cor. (Yoshikawa, 1967, Jilid 5)

Seorang penguasa dapat dikatakan membutuhkan perangkat organisasi militer untuk menguatkan negaranya dan melindungi kekuasaannya dari serangan-serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar. Rasa iri yang diperlihatkan oleh prajurit Tokugawa dalam cuplikan di atas, merupakan bukti bahwa para parjurit Nobunaga bukanlah prajurit yang dapat diremehkan. Meskipun Nobunaga dijadikan Tokugawa sebagai sekutu, Nobunaga mempersenjatai prajuritnya sendiri dengan senjata yang lebih hebat. Nampaknya Nobunaga juga sudah memperkirakan kerugian yang akan terjadi jika hanya mengandalkan prajurit dari Tokugawa.

Jika dilihat dari sudut pandang Machiavelli, berperang dengan menggunakan tentara bantuan atau sekutu, sama saja berbahayanya dengan menggunakan prajurit bayaran. Prajurit bayaran adalah prajurit yang licik— yang bisa saja menyerang balik jika ada yang membayar lebih tinggi—akan membahayakan para penguasa yang mengandalkan jasa prajurit bayaran ini. Sementara itu, prajurit bantuan adalah prajurit yang diberi komando langsung dengan panglimanya sendiri. Secara otomatis, prajurit bantuan akan bergerak dan patuh terhadap atasannya sendiri, dan tidak memiliki kesetiaan yang berarti kepada panglima yang menjadi sekutunya, sehingga hal-hal seperti pengkhianatan akan mungkin terjadi.

Sementara itu, cuplikan berikut menunjukkan bagaimana Nobunaga melakukan strategi perangnya: Senjata api pada waktu itu memiliki kelemahan, begitu sekali ditembakkan, amunisi harus diisi ulang kembali sehingga memakan waktu. Jadi, jika ada momen di mana terjadi hujan peluru, maka setelah itu pasti suara letusan tembakan akan berhenti selama beberapa waktu. Pada waktu jeda yang menguntungkan itulah, para komandan Kai tidak menyia-nyiakan strategi “pelindung maut”.

Namun, sebelumnya Nobunaga sudah memikirkan titik lemah itu. Bersamaan dengan penggunaan senjata yang baru, Nobunaga telah mempertimbangkan taktik yang baru pula. Dari ketiga ribu

penembaknya, ia membaginya ke dalam tiga grup. Setelah seribu penembak menembak, dengan segera mereka bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu grup penembak kedua langsung maju dan melepaskan tembakan. Pada saat yang bersamaan, grup kedua membuka barisan dan grup penembak yang ketiga langsung maju. Dengan cara ini, Nobunaga sama sekali tidak memberikan waktu jeda yang diharap-harapkan oleh lawan dalam

(11)

Seorang penguasa, menurut Machiavelli, agar dihargai dan dan dihormati, ia harus membuktikan kemampuan dan keterampilannya yang luar biasa, tentu saja dalam hal memimpin peperangan.

Pada cuplikan di atas, dapat dikatakan sebagai hasil dari pengalaman dan latihan-latihan yang dijalani oleh Nobunaga. Dalam satu perang saja, meskipun Nobunaga menemukan kelemahan strategi pasukannya sendiri, ia mampu dengan cepat untuk membuat strategi yang baru. Taktik baru yang disebutkan, secara tidak langsung menjelaskan Nobunaga adalah orang yang pertama kali membuat strategi yang benar-benar tidak memberikan lawannya kesempatan untuk melakukan serangan balasan. Nobunaga memperlihatkan keterampilannya dengan strateginya mengatur perang.

2. Karakteristik Pemerintahan Oda Nobunaga yang Kejam

Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai karakteristik Oda Nobunaga, yakni seorang yang kejam dan seorang yang memiliki sifat kemanusiaan. Dalam sub bab ini, penulis akan memaparkan bagaimana kekejaman yang dilakukan Oda Nobunaga sebagai representasi gagasan Machiavellianisme.

“Tunggu! Pengkhianat!” Nobunaga menemukan Mimasaka yang berusaha melarikan diri. Dari atas kudanya, Nobunaga menusuknya dengan tombak. Sambil mengibaskan darah yang menempel di tombaknya, ia berpaling pada anak buah Mimasaka dan berkata, “Walaupun dia memberontak terhadap junjungannya, dia takkan pernah menjadi penguasa! Daripada diperalat oleh pengkhianat dan membawa aib untuk waktu yang lama, minta maaflah! Bertobatlah di depan tapal kudaku!” (Yoshikawa, 1967, Jilid 1)

Cuplikan di atas merupakan bagian cerita ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan para pengikut Nobunaga. Para pengikut yang menjadi dalang pemberontakan itu antara lain: Shibata Katsuie, Hayashi Sado beserta saudaranya, Hayashi Mimasaka dan Oda Nobuyuki, yang merupakan adik Nobunaga. Mereka melakukan pemberontakan lantaran merasa tidak puas karena sikap Nobunaga yang dianggap tidak pantas untuk menjadi pewaris marga Oda, dan mengusung Nobuyuki untuk menggantikan posisi Nobunaga. Mengetahui pemberontakan tersebut, Nobunaga justru memperlihatkan sikap kepemimpinannya yang keras. Jika dianalisis menurut gagasan Machiavelli, Nobunaga memainkan perannya sebagai seekor singa yang ganas, yakni membunuh salah satu dari mereka yang memberontak, Mimasaka. Nobunaga membunuh pengikutnya itu bukan tanpa alasan, ia tidak bisa membiarkan kehormatan para pengikutnya yang lain tercemar karena melakukan tindakan yang tidak terpuji.

Dalam cerita, pengikut-pengikut yang tadinya memberontak terhadap Nobunaga, merasa ketakutan dan mengurungkan niat untuk memberontak. Para pengikutnya juga merasa bersalah atas terjadinya pemberontakan ini. Di luar dugaan, Nobunaga bersedia memaafkan perbuatan para pengikutnya, karena ia menyadari peristiwa tersebut merupakan akibat dari kesalahan Nobunaga sendiri. Selain itu, tampaknya Nobunaga berpikir apabila dia membunuh pemberontak yang merupakan jendral seniornya sendiri, tidak akan menguntungkan baginya, karena musuh dari segala arah bisa menyerangnya kapan saja, dan ia membutuhkan orang-orang yang cakap untuk memimpin pasukannya, kehilangan jendral-jendral ini akan menjadi suatu kerugian besar yang tidak bisa

(12)

diterima Nobunaga. Setelah itu, para pengikut yang memberontak bersumpah setia untuk selama-lamanya menjadi pengikut Nobunaga.

Penulis beranggapan bahwa pembunuhan terhadap Mimasaka merupakan simbol dari ancaman Nobunaga yang mengerikan. Nobunaga menggunakan kekejaman yang diperlihatkan untuk meruntuhkan niat pembangkangan yang dilakukan para pengikutnya yang lain. Jika Nobunaga menyadari bahwa pemberontakan ini terjadi karena kesalahannya sejak awal, maka tidak perlu ada pembunuhan terhadap pengikutnya. Tapi, Nobunaga seolah berpikir, kekejaman adalah jalan satu-satunya untuk meredam pemberontakan. Selain itu, Nobunaga berhasil membuat para pengikutnya yang memberontak untuk dapat bersumpah setia, bukan hanya karena kemurahan hati Nobunaga yang memaafkan perbuatan mereka, tapi juga ancaman yang membuat takut para pengikutnya dengan adanya pembunuhan terhadap Mimasaka.

Nobunaga menghela nafas, “Tidak apa-apa membiarkan kejahatan Nobuyuki sebagai kejahatanku, tapi karena itu, mungkin banyak pengikutku yang akan mengkhianati tugas mereka. Walaupun dia adalah darah dagingku, dia harus mati demi kebaikan marga dan pengikut yang lain.” Setelah menemukan dalih, Nobunaga akhirnya menangkap Nobuyuki dan membunuhnya.

“Obatnya agak terlalu mujarab,” Nobunaga terkadang berkomentar sambil tersenyum kecut. Namun Nobunaga telah mengambil langkah-langkah persiapan. Ia sama sekali tidak bermaksud mengelabui para pengikut dan saudaranya dengan berpura-pura memiliki kedok yang buruk. Namun, sejak kematian ayahnya, Nobuhide, Nobunaga bertanggung jawab untuk melindungi provinsinya dari provinsi musuh yang mengelilingi seorang diri, sampai kapanpun.

Ia melakukan penyamarannya demi keamanan. Ia terpaksa mengecoh para pengikut dan sanak saudara untuk mengelabui musuh-musuhnya dan mata-mata mereka. Tapi selama itu Nobunaga mempelajari banyak hal, seperti seluk beluk masyarakat dan orang-orang yang berada di sekitarnya. (Yoshikawa, 1967, Jilid 1, penebalan oleh penulis)

Pada bagian yang ditebalkan, menegaskan bahwa Oda Nobunaga memiliki sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin sesuai dengan pemikiran Machiavelli. Cuplikan di atas menjelaskan bahwa Nobunaga sanggup menghabisi nyawa adiknya sendiri, yakni Oda Nobuyuki. Walau sudah dimaafkan, Nobuyuki kembali menyusun rencana pemberontakan. Tampaknya, Nobunaga tidak bisa mentolerir lagi kelakuan Nobuyuki, apabila ia dibiarkan tetap hidup, hal ini akan mengganggu kestabilan wilayahnya. Jika orang-orang menanggapinya dengan akal sehat, maka akan sulit menerima keputusan Nobunaga tersebut. Nobunaga lebih mementingkan marga Oda dan persatuan Provinsi Owari daripada orang yang memang mempunyai hubungan darah langsung dengan Nobunaga. Namun, bertolak dari pandangan Machiavelli, penulis berpendapat bahwa tindakan yang kejam Nobunaga adalah hal yang tepat. Sejak kematian Nobuhide, Nobunaga harus bersaing dengan adiknya sendiri untuk dapat menjadi penguasa Owari. Persaingan tersebut merupakan salah satu hambatan yang harus dilalui Nobunaga. Kemudian, Nobuyuki yang selalu berkomplot untuk menyingkirkan Nobunaga juga merupakan hambatan untuk terwujudnya persatuan Provinsi Owari di bawah kekuasaan Nobunaga. Nobunaga terlebih dahulu harus memikirkan cara untuk mempersatukan Provinsi Owari sebelum bisa memikirkan ancaman dari luar. Oleh karena itu, Nobunaga mengambil jalan untuk membunuh adiknya sendiri demi terciptanya persatuan di dalam provinsinya sendiri.

Selain kekejaman yang dilakukan Nobunaga terhadap adiknya, Nobunaga ternyata juga mengelabui orang-orangnya dengan memainkan peran dengan kedoknya sebagai “si pandir”. Di sini Yoshikawa memberi

(13)

kesan terhadap pembacanya bahwa Nobunaga adalah seorang pemimpin yang cerdik. Kecerdikan Nobunaga dengan cara menipu pengikut dan saudaranya merupakan jalan agar penguasa-penguasa provinsi yang berada di sekitarnya tidak menganggap dirinya sebagai suatu hambatan yang berarti. Dengan begitu, Provinsi Owari akan dipandang sebelah mata oleh provinsi lain, dan tidak akan mendapat perhatian khusus. Sebaliknya, jika Nobunaga dari awal sudah menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin, maka provinsi lain akan memperhatikan gerak-geriknya dan akan menyusun rencana-rencana untuk menjatuhkannya juga. Hal ini sudah dipikirkan Nobunaga mengingat Provinsi Owari saat itu adalah provinsi yang kecil yang masih memiliki masalah intrik dan belum mempunyai kekuatan militer yang kuat. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Machiavelli, “Ia harus memilih untuk tampil laksana rubah dan laksana singa. Masalahnya, singa tak melindungi dirinya sendiri dari jebakan. Sedangkan, rubah tidak melindungi dirinya dari serigala. Karena itu, pangeran harus seperti rubah dengan melindungi dirinya dari jebakan, dan seperti singa untuk melindungi dirinya dari serigala.” (Machiavelli, 2005: 60-62) Nobunaga menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang kejam, mampu mengubur perasaannya terhadap adiknya demi persatuan Provinsi Owari dan juga memiliki strategi yang cerdik dengan cara menipu sanak saudaranya sendiri untuk menipu para penguasa provinsi yang berada di sekitarnya.

Salah satu peristiwa yang terkenal dalam sejarah Jepang, adalah peristiwa pembakaran Gunung Hiei yang meliputi pemusnahan Kuil Enryakuji yang dilakukan di bawah perintah Oda Nobunaga. Hanya dengan mengetahui peristiwa tersebut secara historis, kita akan menilai bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang kejam. Seperti yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, Jeroen Lamers sudah mengemukakan pendapat mengenai peristiwa yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Enryakuji ini adalah sesuai dengan pemikiran Machiavelli, yakni menumpas penghalang dengan tindakan kejam.

Dalam novel Shinsho Taikoki penulis menemukan representasi pemikiran Machiavelli tersebut

berdasarkan dialog Nobunaga dan suara pengarang yang terkandung pada cuplikan cerita, seperti cuplikan di bawah ini:

“Baiklah!” Nobunaga menggigit bibirnya, hingga giginya berlumuran darah. “Biarlah mereka menyebutku raja setan yang menghancurkan Buddha! Keindahan gunung ini hanyalah daya tarik palsu, dan para biksu bersenjata tak lebih dari badut lawak. Aku akan menghanguskan mereka dengan api peperangan dan akan menunjukkan kebenaran Buddha dan kebangkitan masyarakat dari reruntuhan abu yang tersisa!” (Yoshikawa, 1967, Jilid 4)

Cuplikan tersebut menjelaskan awal mula peristiwa pembakaran Gunung Hiei. Nobunaga menganggap bahwa lembaga keagamaan yang berada di Gunung Hiei sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya dan akan menimbulkan masalah jika dibiarkan. Menurut Nobunaga, para biksu di Kuil Enryakuji tidak melakukan hal-hal yang dilakukan oleh biksu-biksu pada umumnya, mereka tidak bertapa, berdoa atau mencari kesempurnaan diri dan mendekatkan diri kepada sang Buddha, para biksu Kuil Enryakuji malah mengangkat senjata, pergi berperang, membunuh, membuat kerusuhan, dan bahkan menikah. Biksu-biksu itu bukan lagi sebuah kelompok agama yang menyebarkan ketentraman bagi manusia, mereka tidak lebih dari sekelompok penyamun yang terus meneror rakyat. Nobunaga yang melihat hal ini merasa harus berbuat sesuatu, para biksu-prajurit yang sudah

(14)

lama mengganggu usahanya dalam menyatukan Jepang, bukan lagi orang-orang suci, melainkan kelompok yang harus segera dihancurkan. Dengan pemikiran seperti ini, Nobunaga memerintahkan pengikutnya untuk membakar Gunung Hiei.

Ketika Nobunaga memberikan perintah untuk membakar gunung Hiei, para pengikutnya sempat menolak untuk menerima perintah ini, sehingga terjadi perdebatan antara Nobunaga dengan para pengikutnya. Sakuma Nobumori, salah satu pengikut yang berdebat dengan Nobunaga, menyatakan keberatannya dan menganggap junjungannya itu sudah tidak memiliki perasaan dan sudah melebihi batas moral. Jelas pikiran Nobumori masih terbelenggu oleh pandangan sakral tentang Gunung Hiei. Nobumori menganggap Gunung Hiei adalah tempat yang selama berabad-abad dihormati sebagai tempat suci untuk memelihara kedamaian dan ketentraman seluruh negeri, sehingga ia memberanikan diri untuk menentang perintah Nobunaga. Namun Nobunaga menolak mentah-mentah pandangan pengikutnya tersebut. Nobunaga melihatnya dengan sudut pandang lain, ia merasa tidak perlu menggunakan akal sehat untuk menghadapi para biksu Kuil Enryakuji. Nobunaga menganggap para biksu tersebut tidak lagi membawa ketentraman untuk rakyat. Di tengah masa perang saudara ini, para biksu tersebut malah melakukan kegiatan yang menentang ajaran Buddha. (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 4, 1967: 189)

Selain itu, Takei Sekian, pengikutnya yang lain, berusaha untuk menghentikan niat Nobunaga dengan menyinggung soal pandangan rakyat yang akan menilai perbuatan ini sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Seolah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, Nobunaga tetap pada pendiriannya untuk menjadikan Gunung Hiei sebagai lautan api. Ia memerintahkan untuk menghabisi semua orang yang berada di Gunung Hiei, tidak memandang usia maupun jenis kelamin. Tetapi, Nobunaga mempercayai bahwa tindakan penghancuran ini akan membawa keselamatan bagi banyak orang. (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 4, 1967: 190)

“Jangan ragu-ragu, apapun bisa terjadi di waktu seperti sekarang ini. Para pahlawan masa lampau mencemaskan pendapat orang-orang yang membuat mereka ragu-ragu, dan membiarkan kebusukan ini merongrong selamanya. Tapi aku akan menunjukkan cara memberantasnya sampai ke akar-akarnya. Dan kalau aku melakukannya, aku harus melakukannya sampai tuntas. Kalau tidak, tidak ada artinya hari ini aku membawa busur panah dan menuju medan tempur.” (Yoshikawa, 1967, Jilid 4)

Dari cuplikan di atas, dapat dilihat bahwa Nobunaga adalah seorang penguasa yang revolusioner. Dalam cuplikan tersebut, juga dapat diketahui secara implisit bahwa pendapat umum, menjadi suatu batasan yang tidak dapat dilangkahi oleh penguasa-penguasa terdahulu. Pendapat umum di sini rupanya sangat mempengaruhi tindakan yang dilakukan penguasanya. Dapat dikatakan tindakan penguasa selalu mengikuti sesuai apa yang diinginkan oleh kebanyakan orang. Namun menurut Nobunaga, hal tersebutlah yang membuat negerinya terus dilanda kekacauan. Penguasa harus berani untuk membuat keputusan, karena negaralah yang menjadi taruhannya. Jika penguasa hanya melakukan tindakan yang mengikuti arus, maka kekacauan yang sedang terjadi tidak akan teratasi. Ini dibuktikan bahwa Nobunaga berani bertindak menentang pendapat umum. Ia seakan tidak peduli apa yang akan dikatakan orang dan yakin keputusannya itu akan membuahkan hasil yang baik.

(15)

Kekejaman yang akan dilakukan Nobunaga, bukanlah kekejaman yang ia lakukan tanpa alasan. Nobunaga memiliki alasan untuk melakukan penghancuran tersebut. Ia percaya dengan melakukan penghancuran, maka akan ada banyak nyawa yang terselamatkan di kemudian hari. Di sinilah Nobunaga memiliki kesiapan sebagai seorang penguasa, berani untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapa pun tampak tercela oleh rakyat, pada akhirnya Nobunaga hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan umum. 3. Reputasi Kebaikan pada Tokoh Oda Nobunaga

Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan Nobunaga memiliki sifat-sifat yang baik. Namun, penulis menganggap bahwa sifat Nobunaga yang baik ini kurang menonjol, karena penelitian sebelumnya hanya memberikan satu atau dua contoh saja. Dalam subbab ini, penulis akan memaparkan beberapa cuplikan yang membuktikan bahwa Nobunaga memiliki reputasi baik.

Menurut Ahmad Suhelmi (2001:134), Machiavelli menyarankan kalaupun seorang penguasa boleh melakukan pemerintahannya dengan cara yang kejam dan menggunakan ‘cara binatang’ hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Jika penguasa pernah melakukan cara-cara yang kejam, maka setelah melakukan tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi kebahagiaan mereka. Ia harus berusaha agar selalu membuat rakyat mencintainya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata Machiavelli, akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut terhadap pembangkangan sosial. Inilah menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang harus dilakukan seorang penguasa.

Selain sifat-sifat keras yang ditunjukkan, dalam Novel Shinsho Taikoki Nobunaga digambarkan

memiliki kasih sayang terhadap pengikut dan rakyatnya. Hal itu dibuktikan pada cuplikan berikut: “Jarang sekali,” kata Nobunaga dengan lembut.

“Kau terlihat baik-baik saja. Mendekatlah. Ambillah bantal. Pelayan, ambilkan sesuatu yang bisa diduduki Hanbei.” Sambil memperlihatkan simpati yang luar biasa, ia berkata pada Hanbei yang tetap bersujud penuh hormat, “Apakah penyakitmu sudah membaik? Bisa kubayangkan bahwa kau lelah jiwa-raga karena perang yang terjadi di Harima. Menurut dokterku, mustahil untuk megirimmu kembali ke medan tempur sekarang. Dia bilang kau harus beristirahat penuh paling tidak satu-dua tahun lagi.” (Yoshikawa, 1967, Jilid 5)

Berbeda dari ucapan-ucapan yang dikatakan oleh Nobunaga pada saat melakukan penaklukan dan berperang yang terkesan kasar dan tegas, disini nampak Nobunaga mempunyai rasa simpati yang cukup besar mengenai kondisi pengikutnya. Dengan mengetahui hal ini, cukup memberikan kesan bahwa Nobunaga sebenarnya memiliki sifat yang lembut. Namun sebenarnya hal tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa kelembutan yang diperlihatkan Nobunaga adalah suatu hal yang baik. Seperti pada penelitian Nakamura yang telah dibahas pada bab sebelumnya, Nobunaga berusaha untuk menolong pengikutnya, tapi penulis menduga Nobunaga mungkin mempunyai maksud lain dibalik kelembutannya itu.

Dalam novel Shinsho Taikoki dijelaskan bahwa tokoh Hanbei adalah seorang pengikut yang lemah fisik

namun memiliki kemampuan strategi perang yang hebat. Adegan di atas menggambarkan Nobunaga sedang berkunjung untuk melihat keadaan Hanbei yang sedang sakit dan memberikan dukungan moril. Tidak terlepas dari adegan tersebut, Nobunaga mengatakan “...Aku akan mengalami kesulitan besar jika kau tidak menjaga

(16)

kesehatanmu...” (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 5, 1967: 32). Dialog Nobunaga ini jelas membuktikan dugaan penulis bahwa Nobunaga memang mementingkan kekuatan militernya agar tidak berkurang seorangpun.

Jika hanya melihat contoh yang dipaparkan di atas, memang tidak akan cukup membuktikan bahwa Nobunaga mempunyai sisi yang lembut, maka untuk membuktikannya, perhatikan cuplikan berikut:

“Jangan lupa membayar sumbangan! Masing-masing seratus mon, jangan lupa!” Nobunaga berseru. Ia menerima uang itu dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke belakang.

Tentu saja kerumunan orang yang tak terhitung jumlahnya, memberikan jumlah uang yang tak terhitung juga. Dengan cepat tumpukan keping uang di belakangnya mulai menggunung. Uang itu dimasukkan ke dalam kantong-kantong oleh sejumlah prajurit, lalu diberikan kepada pejabat-pejabat yang berwenang dan dibagi-bagikan pada kaum papa di Azuchi. Jadi, dengan hati senang Nobunaga membayangkan bahwa selama Tahun Baru tak ada wajah-wajah yang menahan lapar di Azuchi. (Yoshikawa, 1967, Jilid 5, penebalan oleh penulis)

Cuplikan di atas merupakan salah satu bentuk kepedulian Nobunaga terhadap orang-orang miskin di

Azuchi. Dalam Il Principe, Machiavelli menekankan bahwa penguasa lebih baik terlihat kikir, dalam artian

tidak bermurah hati menggunakan hartanya sendiri untuk dibagi-bagikan kepada orang lain. Hal ini akan membuat penguasa jatuh miskin jika penguasa terus menerus membagi-bagikan hartanya. Karena menurut Machiavelli, uang yang dimiliki sang penguasa haruslah diutamakan untuk membiayai hal yang jauh lebih penting, seperti militer. Jika sang penguasa terlihat kikir, tetapi kekikirannya justru ternyata untuk berhemat dan memperkuat negara, maka rakyat pun akan memaklumi hal ni. (Machiavelli, 2005: 54-56)

Tokoh Oda Nobunaga digambarkan memiliki sifat murah hati, namun kemurahan hatinya ini tidak akan membuatnya jatuh miskin. Uang yang digunakan Nobunaga untuk dibagikan kepada orang lain bukanlah uang yang keluar dari kantongnya sendiri, melainkan uang sumbangan yang diberikan para pengunjung dari seluruh penjuru yang mengunjungi istana kediaman Nobunaga di Azuchi untuk mengucapkan tahun baru. Nobunaga sendiri tidak mengambil bagian apapun dari uang sumbangan itu. Jika melihat kembali cuplikan di atas, terlihat Nobunaga memperlihatkan kesan yang tidak tahu malu ketika ia meminta uang sumbangan tersebut dan menerimanya langsung lalu dilemparkan begitu saja. Meskipun dengan caranya yang dinilai agak sembrono, Nobunaga membuktikan bahwa dirinya memiliki rasa kepedulian terhadap sesama.

Ketika akan berkata lagi, Nobunaga menghentikannya dengan suara tertawa. “Tidak, tidak. Hati seorang perempuan tetap hati seorang perempuan, dan kau tak perlu menyembunyikannya. Dengan merenungkan kesepian kala kau mengurus rumah tangga, kau akan memahami suamimu lebih dalam. Seseorang pernah menulis renga10 mengenai ini; aku sedikit lupa dengan kalimatnya, tapi kira-kira begini ‘tabi ni dete, tsuma arigatashi, yuki no yado.’ Aku bisa membayangkan bahwa Hideyoshi pun sudah tak sabar. Bukan itu saja,

tetapi di Benteng Nagahama juga masih baru. Menanti selama perang berlangsung pasti terasa berat, tapi kalau kalian bertemu nanti, kalian akan merasa seperti pengantin baru lagi.” (Yoshikawa, 1967, Jilid 4)

Cuplikan di atas adalah potongan dialog Nobunaga dengan Nene, istri Toyotomi Hideyoshi. Diceritakan, awalnya Nene merasa gugup dan cemas ketika hendak menghadap Nobunaga secara langsung untuk mengucapkan terima kasih atas penganugerahan benteng yang berada di Odani kepada Hideyoshi. Rasa cemas                                                                                                                          

10Renga adalah salah satu bentuk puisi Jepang yang populer pada abad ke-13 sampai abad ke-16. Biasanya berpola 5-7-5 dan 7-7 on (suku kata), dan dilagukan secara berbalasan. Lihat Alan Campbell (ed). (1993). Japan: An Illustrate Encyclopedia. (1993). Tokyo: Kodansha, hlm 1253.

(17)

ini wajar bagi seseorang yang baru pertama kali menghadap langsung dengan Nobunaga. Namun, kecemasan yang dirasakan Nene sama sekali tidak terbukti. Nobunaga justru memperlihatkan sikapnya yang terbuka dan ramah, kemudian terjadilah dialog antara Nobunaga dan Nene.

Dari dialog Nobunaga di atas, memberikan kesan bahwa Nobunaga, dengan sifatnya yang dikenal identik dengan kejam, ternyata memiliki sifat romantis dan pengertian terhadap perempuan. Nobunaga

memiliki kepedulian teradap karya sastra yang berupa renga, meskipun tidak terlalu hafal isinya. Nobunaga

juga terkesan memahami perasaan yang dirasakan oleh Nene.

Setelah pertemuan itu berakhir, tokoh Nene mengungkapkan keheranannya yang dirasakan terhadap Nobunaga. Nene tidak pernah bisa membayangkan sosok Nobunaga yang selama ini membuat orang ketakutan,

ternyata juga memiliki sisi kelembutan. (Yoshikawa, Shinsho Taikoki 4, 1967: 402)

Hal yang disebut budaya, sesungguhnya menyerupai kabut yang aneh. Pada awalnya, dapat dikatakan ini adalah tindakan penghancuran di bawah kaki Nobunaga, kini tiba-tiba membentuk sebuah budaya baru yang membuka zaman baru. Dalam seni musik, seni teater, seni lukis, kesusastraan, seni minum teh, pakaian, seni memasak, serta arsitektur, sikap dan gaya lama digantikan oleh yang baru dan segar. Pola-pola baru kimono lengan pendek untuk wanita pun saling bersaing dalam budaya Azuchi yang berkembang pesat. (Yoshikawa,1967, Jilid 5)

Cuplikan di atas, merupakan gambaran hasil dari tindakan penghancuran yang dilakukan Nobunaga. Tindakan-tindakan yang dilakukan Nobunaga, seperti penghancuran, penaklukan serta penegakan hukum yang tegas menghasilkan sebuah budaya baru yang notabene sesuatu yang baru akan dinilai lebih baik bagi banyak orang. Gambaran suatu negeri yang mulai terstruktur dan maju, mulai terlihat pada wilayah Azuchi yang berada di bawah kekuasaan Nobunaga. Ini juga memberikan bukti bahwa tindakan penghancuran yang dilakukan Nobunaga selama ini, adalah perjuangannya untuk mensejahterakan rakyatnya.

Kesimpulan

Shinsho Taikoki adalah novel karya Yoshikawa Eiji yang menceritakan Jepang menjelang abad ke-16, dengan tiga tokoh; Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu sebagai tokoh sentral. Dari ketiga tokoh tersebut, tokoh Oda Nobunaga memberikan sebuah gambaran seorang penguasa ideal yang

dikemukakan Niccolo Machiavelli dalam karyanya yang berjudul Il Principe.

Dalam novel Shinsho Taikoki, tokoh Oda Nobunaga digambarkan sebagai individu yang memiliki

paralelisme dengan gagasan Machiavelli. Jika sebelumnya pernah disebutkan bahwa Nobunaga adalah seorang

Machiavellian, sebuah istilah yang lahir dari kesalahpahaman dalam penafsiran Il Principe, maka di dalam

penelitian ini penulis menekankan bahwa Nobunaga justru merepresentasikan seorang penguasa yang ideal

sebagaimana yang tertulis di dalam Il Principe.

Penguasa ideal menurut Machiavelli, adalah penguasa yang mampu menjadi panglima militer. Nobunaga berhasil menjadi panglima militer, memimpin sendiri angkatan perangnya dan memenangkan pertempuran dengan strategi yang dibuatnya sendiri. Kemudian, penguasa harus mampu memiliki sifat baik dan sebaliknya sekaligus. Tokoh Nobunaga membuktikan bahwa ia memiliki sifat kejam, keras dan tak kenal

(18)

ampun sebagai perwakilan sifat buruknya, serta ia juga memiliki simpati terhadap pengikutnya, kepedulian terhadap orang miskin dan rasa pengertian terhadap perempuan sebagai perwakilan sifat baiknya. Terakhir, semua cara yang ditunjukkan Nobunaga untuk mendapatkan kekuasaan atas sebagian besar wilayah Jepang, meskipun terlihat kasar dan kejam, semua berujung kepada kesejahteraan rakyatnya, persis seperti apa yang

Machiavelli kemukakan di dalam Il Principe.

Pada akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa gagasan Machivellianisme tercermin secara jelas melalui

tindakan dan tuturan tokoh Oda Nobunaga. Refleksi konkret yang digambarkan pada Shinsho Taikoki adalah

tindakan penghancuran dalam upaya menyatukan Jepang yang dipimpin oleh Oda Nobunaga, serta hubungan dengan rakyatnya.

DAFTAR ACUAN

Sumber Buku dan Jurnal

Ahmad Suhelmi. (2007) Pemikiran Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap

Dunia ke - 3. Jakarta: Bumi Aksara.

Burhan Nurgiyantoro. (1995). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Campbell, Alan (ed). (1993). Japan: An Illustrate Encyclopedia. (1993). Tokyo: Kodansha.

H. Inu Kencana Syafiie. (2010). Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta.

Hall, John Whitney. (1991). The Cambridge: History of Japan, vol. 4, Early Modern Japan. New York:

Cambridge University Press.

Hart, Michel H. (1982). Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. (H. Mahbub Djuanaidi,

penerj.) Jakarta: Pustaka Jaya.

J.H. Rapar (2001). Filsafat Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Lamers, Jeroen. (1997). “A Japanese Tyrant”. Diakses dari:

http://old.iias.asia/iiasn/13/Regional/13ceca03.html pada 11 Februari 2014, pukul 11.11.

Low, Albert. (2006). Hakuin on Kensho. The Four Ways of Knowing. Boston & London: Shambhala.

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. (1992). Pengantar Ilmu Sastra. (Dick Hartoko,

penerj.) Jakarta: Gramedia.

M. Mac Iver, Robert. (1961). The Web of Government. New York: The Macmillians Company.

Machiavelli, Niccolo. (2005). THE PRINCE. (Peter Bondanella, penerj.) New York: Oxford University Press

Inc.

Nakamura Naokatsu. (1973). “Hito Toshite Oda Nobunaga”. Diakses dari:

http://ci.nii.ac.jp/els/110000046396.pdf?id=ART0000381598&type=pdf&lang=en&host=cinii&order _no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=1403262697&cp= pada 28 Februari 2014, pukul 20.26.

(19)

Ramlan Surbakti. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo

Robson, W.A. (1954). The University Teaching of Social Sciences: Political Science. Paris: Unisco.

Sansom, George. (1961). A History of Japan: 1334-1615. Stanford: Stanford University Press.

Sapardi Djoko Damono. (1979). Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Thrall, William Flint dan Addison Hibbard. (1986). A Handbook to Literature. California: Arden Library.

Varley, H. Paul. (1970). Samurai. (Dwi Istiani, penerj.) Depok: Komunitas Bambu.

Watanabe Daimon. (2013). “Chuusei Kouki Ni Okeru Settsu no Kuni Yamada-Sou”. Diakses dari:

http://archives.bukkyo-u.ac.jp/repository/baker/rid_DB004100007402 pada 3 Maret 2014, pukul 09.58.

Yoshikawa Eiji. (1967). Shinsou Taiko Ki 1. Tokyo: Kodansha Ltd.

---. (1967). Shinsou Taiko Ki 2. Tokyo: Kodansha Ltd.

---. (1967). Shinsou Taiko Ki 3. Tokyo: Kodansha Ltd.

---. (1967). Shinsou Taiko Ki 4. Tokyo: Kodansha Ltd.

---. (1967). Shinsou Taiko Ki 5. Tokyo: Kodansha Ltd.

---. (1967). Shinsou Taiko Ki 6. Tokyo: Kodansha Ltd.

Sumber Elektronik http://kbbi.web.id/ http://www.britannica.com/EBchecked/topic/372353/Lorenzo-di-Piero-de-Medici-duca-di-Urbino http://www.japan-guide.com/e/e3911.html http://www.buddhanet.net/nippon/nippon_partI.html http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art74/baca.php?com=1&id=174

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan faktor internal konsumen yang terbukti berpengaruh terhadap kepuasan adalah jenis kelamin, usia, dan pendidikan.. Sedangkan untuk

Di sisi lain, pelaku usaha mengapresiasi penerbitan PP 22 Tahun 2021 meskip hanya berlaku bagi FABA yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),

Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat SPdORD, adalah surat yang dipergunakan oleh Wajib Retribusi untuk melaporkan data objek

Dalam melaksanakan pembahan nama WNI keturunan Tionghoa berpedoman pada kemiripan bunyilsuara, menggunakan nama bulanhari besar, adanya unsur harapan, nama dari

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda karena penelitian ini dirancang untuk melihat apakah Gaya Kepemimpinan Kepala

Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar

Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak Muhammad Husni, S.H.,

Persalinan normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada kehamilan cukup bulan (aterm, 37-42 minggu), pada janin letak memanjang, presentasi belakang kepala yang disusul