• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam berada pada bagian petrosus tulang temporal yang bertanggung jawab pada proses pendengaran dan keseimbangan. Telinga dalam atau labirin terdiri dari bagian membran dan bagian tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe yang tinggi kalium dan rendah natrium, sedang labirin bagian tulang berisi cairan perilimfe yang tinggi natrium dan rendah kalium (Moller 2006; Dhingra 2007; Gacek 2009).

2.1.1 Koklea

Koklea merupakan struktur tulang yang berbentuk spiral menyerupai rumah siput dengan 2,5 sampai 2,75 kali putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus. Dasar dari modiolus secara langsung menuju telinga bagian dalam dan terdapat pembuluh darah dan saraf.

Bagian atas adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris (Gambar 2.1). Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Rongga koklea dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi cairan endolimfe (Moller 2006; Dhingra 2007; Gacek 2009).

Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Korti (Hall & Antomelli 2006; Moller 2006; Dhingra 2007; Gacek 2009).

Terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ Korti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Korti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000 sampai 3500), tiga baris sel rambut luar (12000) dan sel penunjang (Gambar 2.1). Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang

(2)

cenderung datar, bersifat gelatinosa, dikenal sebagai membran tektoria (Hall & Antomelli 2006; Moller 2006; Dhingra 2007; Gacek 2009).

Di bagian tengah membran tektoria disokong oleh limbus, suatu lempeng sel yang tebal yang terletak pada lamina spiralis oseus. Limbus ini juga bertindak sebagai tempat perlengkatan membran Reissner. Tepi bebas membran tektoria melekat erat dengan sel-sel Hansen, membentuk suatu ruang diantara sel-sel rambut dengan membran tektoria yang berisi silia sel-sel rambut (Liston & Duvall 1996; Gacek 2009).

Sel-sel rambut menerima beberapa ujung-ujung neuron yang membentuk suatu anyaman disekitar basis. Dijumpai dua tipe ujung saraf, satu berfungsi eferen dan yang lain aferen. Satu neuron akan membagi diri dan berakhir pada sejumlah sel-sel rambut. Neuron-neuron berjalan melalui kanalikuli pada lamina spiralis oseus (Liston & Duvall 1996; Moller 2006; Gacek 2009).

Setiap bagian disepanjang koklea memiliki struktur dasar yang sama, namun didapati perbedaan karakter berdasarkan fungsinya yang berkembang mulai dari basis koklea sampai apeks. Yang pertama, bagian yang kira-kira sepuluh kali lebih lebar pada basis dibandingkan di apeks. Kedua, bagian yang memiliki massa lebih banyak di basis dibandingkan di apeks dan berfungsi untuk meningkatkan ukuran dan jumlah sel penunjang di organ Korti. Terakhir, bagian dimana basis lebih kaku dibanding dengan apeks, lebih besar oleh karena sifat yang dimiliki membran basilaris (Liston & Duvall 1996; Hall & Antomelli 2006).

(3)

Gambar 2.1. Koklea, penampang melintang koklea dan organ Korti (Arch1 Design,2010)

2.1.2 Fisiologi pendengaran

Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ Korti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Moller 2006; Gacek 2009).

Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan

(4)

ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Moller 2006).

2.1.3 Mekanisme aktif koklea

Koklea yang terletak pada telinga dalam memiliki mekanisme aktif yang dapat kita bagi menjadi 3 langkah yang terpisah sebagai berikut:

• Langkah pertama: tekanan pada dinding ovale menimbulkan getaran terhadap perilimfe, menghasilkan pergerakan membran basilaris dan organ Korti. Pergerakan ini menggeser stereosilia yang berhubungan dengan membran tektorial. Stimulasi ini merupakan stimulasi yang tergantung terhadap frekuensi, getaran membran basilaris berbeda pada frekuensi tinggi (puncak getaran terjadi dekat pada basal koklea) dan frekuensi rendah (puncak getaran terjadi pada apeks koklea). Pergerakan dari stereosilia membuka channel potassium pada membran sel, menghasilkan potensial reseptor elektrik atau potensial cochlear microphonic (Al-mana et al. 2008). • Langkah kedua: potensial yang dihasilkan menciptakan perubahan

konsentrasi secara cepat pada sel rambut luar sesuai dengan stimulus frekuensinya. Mekanisme kontraksi yang cepat adalah proses awal dari amplifikasi aktif koklea, getaran pada sel-sel yang menghubungkan antara membran basilaris dan tektoria mengakibatkan amplifikasi dari frekuensi sumber bunyi (Al-mana et al. 2008).

• Langkah ketiga: getaran sel rambut luar yang teramplifikasi dari gerakan membran basilaris dan tektorial juga menggerakkan longer silia (yang berhubungan dengan membran tektoria) dari sel rambut dalam yang terletak sesuai dengan frekuensinya. Pergerakan ini menimbulkan potassium masuk ke dalam sel, menghasilkan sebuah potensial reseptor yang membebaskan neurotransmitter, membentuk stimulus listrik yang berhubungan dengan pesan suara. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada saraf akustikus dan ke sistem saraf pusat (Al-mana et al. 2008).

(5)

2.2 Kehamilan 2.2.1 Defenisi

Kehamilan adalah suatu keadaan fisiologis yang terjadi pada wanita usia subur, yang disertai adanya bukti presumtif kehamilan, bukti kemungkinan kehamilan dan tanda positif kehamilan.

Bukti presumtif kehamilan umumnya didasarkan pada gejala subyektif kehamilan, berupa :

1. Mual dengan atau tanpa muntah 2. Ganggguan berkemih

3. Fatigue

4. Persepsi adanya gerakan janin

Yang termasuk tanda presumtif adalah : 1. Terhentinya menstruasi

2. Perubahan warna mukosa vagina 3. Perubahan pada payudara

Tanda-tanda kemungkinan kehamilan mencakup : 1. Pembesaran abdomen

2. Perubahan bentuk, ukuran dan konsistensi uterus 3. Perubahan anatomi serviks

4. Kontraksi Braxton Hicks

5. Ballotement

6. Kontur fisik janin

7. Adanya gonadotropin korionik di urin atau serum

Tiga tanda positif kehamilan adalah :

1. Identifikasi kerja jantung janin yang terpisah dan tersendiri dari kerja jantung wanita hamil

(6)

3. Pengenalan mudigah dan janin setiap saat selama kehamilan dengan teknik sonografik atau pengenalan janin yang lebih tua secara radiografis pada paruh kedua kehamilan (Cunningham et al. 2004).

2.2.2 Fisiologi kehamilan

Adaptasi anatomis, fisiologis dan biokimiawi terhadap kehamilan sangat besar. Banyak dari perubahan-perubahan tersebut segera terjadi setelah fertilisasi dan berlanjut sepanjang kehamilan, sebagian besar adaptasi yang luar biasa ini terjadi sebagai respon terhadap rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh janin.

A. Perubahan metabolik

Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin yang cepat dan plasenta serta kebutuhannya yang semakin meningkat, wanita hamil mengalami perubahan metabolik yang banyak dan intens. Perubahan tersebut berupa:

1. Pertambahan berat badan

Pertambahan berat badan selama kehamilan sebagian besar diakibatkan oleh uterus dan isinya, payudara dan peningkatan volumme darah serta cairan ekstraseluler ekstravaskular.

2. Metabolisme air

Peningkatan retensi air adalah suatu perubahan fisiologis yang normal pada kehamilan. Hal ini diperantarai, sekurang-kurangnya sebagian, oleh penurunan osmolalitas plasma sebesar kurang lebih 10 mOsm/ kg yang diinduksikan oleh pengaturan kembali ambang osmotik untuk rasa haus dan sekresi vasopresin (Lindheimer & Davidson 1995).

3. Metabolisme protein

Dari penelitian mengenai balans protein pada wanita hamil, tampak bahwa penggunaan nitrogen yang sebenarnya hanya 25 persen. Karena itu, kebutuhan harian asupan protein selama kehamilan meningkat cukup besar untuk mengoreksi hal ini.

4. Metabolisme karbohidrat

Meningkatnya kadar insulin basal dalam plasma yang ditemui pada kehamilan normal berhubungan dengan beberapa respon unik terhadap ingesti glukosa.

(7)

Tujuannya adalah memastikan suplai glukosa postprandial ke janin yang terus-menerus atau dipertahankan.

5. Metabolisme lemak

Pada penelitian terdahulu ditemukan korelasi positif antara konsentrasi lipid dengan konsentrasi estradiol, progesteron dan laktogen plasenta.

6. Metabolisme mineral

Kebutuhan besi selama kehamilan cukup besar dan sering melebihi jumlah yang tersedia. Selain itu, sepanjang kehamilan, kadar kalsium dan magnesium plasma menurun. Pada kehamilan, ambang ekskresi fosfat inorganik diginjal meningkat berdasarkan peningkatan kalsitonin.

7. Keseimbangan asam-basa

Pada kehamilan dapat terjadi alkalosis respiratorik, dimana ditandai dengan penurunan PCO2

8. Elektrolit plasma

akibat meningkatnya ventilasi permenit. Penurunan sedang bikarbonat plasma mengkompensasi alkalosis respiratorik secara parsial.

Pada kehamilan normal, hampir 1000mEq natrium dan 300 mEq kalium tertahan pada tubuh. Meskipun filtrasinya oleh glomerulus meningkat, ekskresi natrium dan kalium tidak berubah selama kehamilan. Dengan demikian. Ekskresi fraksional elektrolit-elektrolit ini menurun, dan telah dianggap bahwa progesteron melawan efek natriuretik dan kaliuretik dari aldosteron (Cunningham et al. 2004; Sulin 2008).

B. Perubahan hematologis 1. Volume darah

Volume darah ibu meningkat secara nyata selama kehamilan. Pada penelitian sebelumnya, terjadi peningkatan 40-45 persen diatas volume sewaktu tidak hamil. Selain itu juga terjadi peningkatan eritropoiesis, namun konsentrasi hemoglobin dan hematokrit sedikit menurun. Akibatnya, viskositas darah menurun.

2. Fungsi leukosit dan imunologis

Kehamilan dianggap berkaitan dengan supresi berbagai macam fungsi imunologis yang diperantarai secara humoral dan selular untuk menyesuaikan diri dengan tandur janin semialogenik “asing”.

(8)

Selain itu, pada kehamilan normal, kaskade koagulasi berada dalam keadaan teraktifasi. Ini ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi seluruh faktor pembekuan darah, kecuali faktor XI dan XIII, disertai peningkatan kadar kompleks fibrinogen berberat molekul tinggi. Kehamilan juga mengakibatkan perubahan berupa ukuran dan volume pada trombosit (Koos & Moore 2003; Cunningham et al. 2004; Sulin 2008).

C. Perubahan sistem kardiovaskular 1. Jantung

Karena diafragma semakin terangkat selama kehamilan, jantung tergeser ke kiri dan ke atas, dan pada saat yang sama juga sedikit terputar.

2. Curah jantung

Selama kehamilan normal, tekanan darah arteri dan resistensi vaskuler menurun, sementara volume darah, berat badan ibu dan laju metabolisme basal meningkat. Biasanya, curah jantung pada kehamilan lanjut jelas lebih tinggi pada posisi terlentang.

3. Sirkulasi

Postur wanita hamil mempengaruhi tekanan darah arteri. Biasanya, tekanan darah arteri menurun sampai ke titik terendah selama trimester kedua atau ketiga awal kemudian meningkat (Cunningham et al. 2004).

D. Perubahan traktus respiratorius

Pada semua tahap kehamilan normal, banyaknya oksigen yang dalirkan ke paru melalui peningkatan volume tidal melebihi kebutuhan oksigen yang ditimbulkan oleh kehamilan. Frekuensi pernapasan hanya mengalami sedikit perubahan selama kehamilan tetapi volume tidal, volume napas satu menit dan ambilan oksigen satu menit meningkat cukup besar seiring dengan kemajuan masa kehamilan

Pada kehamilan juga terjadi mekanisme dispnea fisiologis yang diperkirakan berupa peningkatan volume tidal yang sedikit menurunkan kadar PCO2. Meningkatkannya usaha untuk bernapas yang berakibat pada berkurangnya PCO2,

(9)

selama kehamilan kemungkinan diinduksi sebagian besar oleh progesteron dan sisanya oleh estrogen (Koos & Moore 2003; Cunningham et al. 2004; Sulin 2008).

E. Perubahan sistem urinaria 1. Ginjal

Ukuran ginjal sedikit bertambah besar selama kehamilan. Laju filtrasi glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal (RPF) meningkat pada awal kehamilan, GFR sebanyak 50 persen pada awal trimester kedua, dan RPF tidak cukup banyak.

2. Vesika urinaria

Thorp et al (1999) pada penelitiannya menemukan bahwa kehamilan berkaitan dengan peningkatan inkontinensia urin. Losif et al (1980) pada penelitiannya dengan menggunakan uretrosistometri menemukan tekanan kandung kemih pada primigravida meningkat dari 8cmH2O pada awal kehamilan menjadi 20cmH2

F. Perubahan sistem gastrointestinal

O saat aterm (Cunningham et al. 2004).

Seiring dengan kemajuan kehamilan, lambung dan usus tergeser oleh uterus yang membesar. Karena faktor hormonal dan mekanis, terjadi penurunan pengosongan lambung dan wakti transit di usus halus pada kehamilan. Pirosis (nyeri ulu hati) sering terjadi pada kehamilan dan kemungkinan besar disebabkan oleh refluks sekret-sekret asam ke esofagus bagian bawah. Hal yang berperan diantaranya kemungkinan adalah perubahan posisi lambung, juga penurunan tonus sfingter bawah esofagus.

Hemorrhoid cukup sering terjadi pada saat kehamilan. Kelainan ini sebagian besar disebabkan oleh konstipasi dan peningkatan tekanan vena-vena dibawah uterus yang membesar (Cunningham et al. 2004; Sulin 2008).

G. Perubahan sistem endokrin

Pada masa kehamilan kelenjar hipofisis membesar 135 persen dibandingkan semasa tidak hamil. Namun, kelenjar ini tidak berperan pada pemeliharaan kehamilan.

(10)

Terdapat beberapa perubahan pada regulasi tiroid selama kehamilan. Diantaranya, sebagai respon atas tingginya kadar estrogen terjadi peningkatan kadar protein transpor tiroksin mayor dan globulin pengikat tiroksin dalam sirkulasi. Adanya hormon gonadotropin korionik yang berasal dari plasenta dapat menjadi perangsang tiroid. Selain itu, dapat terjadi defisiensi iodida dikarenakan meningkatnya bersihan ginjal dan ini juga dapat menyebabkan menurunnya asupan ke unit fetoplasenta sehingga menyebabkan defisiensi iodida relatif (Cunningham et al. 2004; Sulin 2008).

H. Perubahan sistem lainnya 1. Sistem muskuloskeletal

Lordosis progresif merupakan gambaran yang khas pada kehamilan normal. Terdapat peningkatan mobilitas sendi sakroiliaka, sakrokoksigeal dan sendi pubis selama kehamilan, kemungkinan akibat perubahan hormonal.

2. Mata

Tekanan intraokular menurun selama kehamilan, sebagian besar karena peningkatan aliran vitreous, sebagian besar karena penignkatan aliran vitreous humor. Sensitivitas kornea juga berkurang, dan perubahan terbesar terjadi pada kehamilan lanjut.

3. Sistem saraf pusat

Wanita hamil sering melaporkan adanya masalah pemusatan perhatian, konsentrasi, dan memori selama kehamilan dan masa nifas awal. Namun, penelitian yang sistematis tentang memori pada kehamilan masih terbatas dan sering kali bersifat anekdot. Keenan et al (1998) pada penelitiannya mendapatkan adanya penurunan memori pada kehamilan pada trimester ketiga (Cunningham et al. 2004).

2.2.3 Pengaruh kehamilan terhadap sistem pendengaran

Selama kehamilan kedua hormon estrogen dan progesteron lebih tinggi daripada biasanya, dan terdapat perubahan fisiologis lainnya (Hadley 2000). Perubahan ini dapat menyebabkan retensi cairan dan sirkulasi hiperdinamik, yang mana dapat

(11)

memberi dampak pada sirkulasi koklea dan homeostasis cairan koklea (Al-Mana et al. 2008).

Gejala gangguan pendengaran seperti telinga terasa penuh, penurunan pendengaran dan tinnitus telah dilaporkan pada beberapa penelitian (Al-Mana et al. 2008).

Retensi garam dan cairan yang berlebihan merupakan hal yang biasa terjadi pada kehamilan, ketidakseimbangan elektrolit dapat menyebabkan peningkatan volume cairan intraselular, yang berdampak pada terbentuknya edema perineural (Sennaroglu & Belgin 2001). Peningkatan tekanan perilimfatik selalu dihubungkan dengan variasi kadar hormon pada menstruasi yang tidak teratur, kehamilan dan menopause serta anggapan terhadap patensi duktus koklearis (Reid, Cottingham & Marchbanks 1993).

Fluktuasi hormon mengubah pengaturan komposisi kimiawi dari perilimfe dan endolimfe pada telinga dalam, dan proses transport ion. Hubungan antara perilimfe dan endolimfe diatur oleh tekanan hidrostatik melalui duktus koklearis. Oleh karena itu, patensi duktus koklearis merupakan kunci, apakah efek pendengaran akan meningkat atau menurun, dengan adanya perubahan komposisi dan tekanan cairan serebrospinal selama kehamilan (Kenny, Patil & Considine 2010).

Selain itu, peningkatan kadar hormon estrogen selama kehamilan dapat menimbulkan perubahan lainnya seperti, adanya resiko thrombosis, dimana meningkatnya aktivasi koagulasi darah dan fibrinolisis. Ini dapat memberikan dampak oklusi vaskular pada mikrosirkulasi telinga dalam (Kenny, Patil & Considine 2010; Hou & Wang 2011).

Perubahan juga terjadi pada sistem kardiovaskular, dimana terjadi deformabilitas eritrosit, peningkatan viskositas plasma, begitu juga agregasi eritrosit akibat dari peningkatan fibrinogen. Wang & Young (2006), pada penelitiannya mendapatkan adanya perbaikan ambang dengar pada wanita hamil yang diberikan plasma expander. Dimana tujuannya adalah untuk menurunkan viskositas darah dan mengurangi terjadinya hipoksia koklea dengan meningkatkan sirkulasi mikro.

(12)

2.3 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu pemeriksaan sensitivitas/ ketajaman pendengaran dengan menggunakan stimulus nada murni (hanya satu frekuensi bunyi). Secara umum ada 3 metode yang digunakan yaitu (a) manual audiometry

(conventional audiometry); (b) automatic audiometry (Bekesy audiometry); dan (c)

computerized audiometry (ASHA 2005; Margolis & Morgan 2008).

Prinsip dari suatu audiometer memberikan siynal bunyi pada intensitas yang bervariasi dengan frekuensi yang berbeda (250Hz, 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz, dan 8000Hz) ke dalam headphones yang digunakan untuk pemeriksaan pendengaran (HSA 2007). Hal yang harus diperhatikan adalah kalibrasi peralatan, dan digunakan pada ruangan yang sesuai sehingga didapat hasil tes yang akurat (ASHA 2005).

2.3.1 Penentuan ambang dengar Persiapan

Pasien perlu diberitahu terlebih dahulu rencana pemeriksaan audiometri, sehingga pasien dapat memiliki waktu istirahat untuk menghindari lingkungan bising (kelab malam, konser musik dan lain-lain) minimal 16 jam sebelum pemeriksaan. Tetapi pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan. Sebelum melakukan tes audiometri secara umum dilakukan wawancara ada tidaknya riwayat kelainan pada telinga, kemudian pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan dimulai pada telinga yang lebih baik pendengarannya (ASHA 2007).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap penilaian ambang dengar manual antara lain (a) instruksi kepada pasien, (b) respon terhadap arahan, dan (c) interpretasi audiologis terhadap sikap respon pasien selama pemeriksaan.

2.3.2 Prosedur pemeriksaan ambang pendengaran Prosedur dasar untuk menentukan ambang terdiri dari:

(13)

Hal ini bertujuan untuk memastikan pemeriksa bahwa pasien mengerti dan dapat merespon arahan yang diberikan dengan cara memberikan sinyal dengan intensitas yang cukup menimbulkan respon yang jelas (ASHA 2005).

(b) Penentuan ambang dengar

Prosedur standar yang direkomendasikan pada pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni secara adalah bertahap yang dimulai dengan signal yang tidak dapat didengar. Stimulus nada murni diberikan selama 1 – 2 detik. Ambang dengar didapat dengan menentukan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuenasi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga pasien (ASHA 2005). Derajat gangguan pendengaran dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) =

4

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + 2000 Hz + 4000 Hz

Dalam menentukan derajat gangguan pendengaran (Tabel 2.1), yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja (Soepardi 2007).

Tabel 2.1 Derajat gangguan pendengaran menurut ISO (Soepardi 2007):

Ambang dengar Derajat gangguan pendengaran

0-25 dB Normal

>25-40 dB Tuli ringan

>40-55 dB Tuli sedang

>55-70 dB Tuli sedang berat

>70-90 dB Tuli berat

>90 dB Tuli sangat berat

2.4 Timpanometri

Timpanometri adalah suatu metode pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi telinga tengah. Dimana hasil dari pengukuran ini berupa grafik yang menggambarkan hubungan antara tekanan udara pada liang telinga luar terhadap impedans ( ketahanan dalam bergerak) dari gendang telinga dan sistem

(14)

telinga tengah. Pengukuran impedans ini dapat menilai ketahanan akustik dari telinga tengah. Ketika gendang telinga terpapar oleh suara, sebagian suara tersebut akan diabsorbsi dan dikirim melalui telinga tengah ke telinga dalam sementara sebagian suara lainnya direfleksikan. Informasi yang dapat diperoleh dari hasil timpanometri adalah mengenai fungsi dari telinga tengah pasien(Mikolai, Duffey & Adlin 2006).

Mekanisme kerja timpanometri adalah dengan memberikan tekanan yang berubah-ubah dengan rentang +200mmH2O sampai dengan -400mmH2O pada liang telinga luar, kemudian menilai perubahan compliance gendang telinga, tekanan telinga tengah (Mean Ear Pressure) dan ear canal volume, digambarkan dalam bentuk grafik (Katz 1994). MEP (Mean Ear Pressure) atau tekanan telinga tengah dinyatakan dalam mmH2O maupun dalam deka Pascal (daPa). Satu deka Pascal = 1,02 mmH2O. Jerger menyampaikan postulatnya bahwa nilai rentang normal untuk telinga tengah adalah -100 mmH2O sampai +100 mmH2

Kelenturan (compliance) membran timpani mencapai nilai maksimum saat tekanan udara pada kedua sisi membran timpani sama, puncak dari grafik pada posisi 0 mmH

O, diluar rentang tersebut dianggap kondisi yang patologis (Katz 1994).

2

O. Artinya pada telinga yang sehat, transmisi bunyi mencapai tekanan di telinga tengah negatif, puncak grafik akan berada di daerah negatif dari timpanogram. Begitu juga jika tekanan telinga tengah positif, artinya puncak dari suatu grafik akan mengindikasikan tekanan di telinga tengah (Katz 1994).

Jerger-Liden mengklasifikasikan gambaran timpanogram sebagai tipe A,B, dan C. Tipe A ditemukan pada keadaan telinga tengah normal, memiliki puncak kurva dengan ketelitian normal, pada atau sekitar tekanan atsmosfer yaitu 0 daPa (Gambar 2.2). Tipe ini memiliki variasi yaitu tipe Ad dan As (Mikolai, Duffey & Adlin 2006)

Tipe A .

d (’d’ = discontinuity), bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A tetapi dengan puncak yang lebih tinggi dari nilai normal, misalnya ditemukan pada keadan disartikulasi tulang pendengaran, segala sesuatu yang menyebabkan rangkaian

(15)

tulang pendengaran menjadi sangat lentur akan menyebabkan masuknya energi bunyi secara berlebihan (Gambar 2.2). Tipe As

Tipe B memiliki gambaran kurva dengan puncak yang menghilang atau sedikit melengkung bahkan sampai datar (Gambar 2.2) misalnya pada otitis media efusi atau oklusi akibat serumen (Mikolai, Duffey & Adlin 2006).

(’s’= stiffness atau shallowness) memiliki kelenturan membran timpani dibawah nilai normal (Gambar 2.2) misalnya ditemukan pada keadaan fiksasi tulang pendengaran sehingga terjadi penurunan aliran energi bunyi yang melewati telinga tengah. Bentuk kurva menyerupai gambaran tipe A, tetapi dengan puncak yang lebih rendah (Mikolai, Duffey & Adlin 2006).

Tipe C juga puncak kurva berada pada daerah tekanan negatif (Gambar 2.2), ditemukan pada keadaan disfungsi tuba auditiva, yaitu saat tuba tidak membuka, maka udara yang terperangkap di telinga tengah akan diserap oleh mukosa telinga tengah. Hal ini akan mengakibatkan turunnya tekanan udara di telinga tengah terhadap tekanan di liang telinga luar. Perbedaan tekanan yang terjadi akan menyebabkan membran timpani retraksi dan terdorong ke medial dan pengaruh terhadap gambaran timpanometri adalah puncak grafik akan terdorong ke area negatif menjauhi nilai 0 (Mikolai, Duffey & Adlin 2006).

(16)

2.5 Otoacoustic Emission(OAE)

Otoacoustic emission pertama kali ditemukan oleh Gold pada tahun 1948 dan

diperkenalkan oleh Kemp pada tahun 1978. Otoacoustic emission adalah suara yang terdapat pada kanalis akustikus eksternus dimana merupakan suatu proses yang terjadi didalam koklea. Selain menerima suara, koklea juga menghasilkan suara dalam intensitas yang rendah. Otoacoustic emission dihasilkan hanya bila organ korti dalam keadaan mendekati normal, dan hanya dapat timbul dengan jelas bila telinga tengah berfungsi dengan baik (Robinette & Glattke 1997; Kemp 2002; Campbell 2006).

Hal yang penting dalam OAE adalah stimulus bunyi tertentu yang diberikan melalui probe dan tidak memerlukan elektroda, dimana yang digunakan adalah mikrofon untuk mendeteksi OAE kemudian diubah menjadi elektrik sehingga lebih mudah diproses (Kemp 2002).

Otoacoustic emission dibentuk dari transmisi yang berasal dari koklea baik secara spontan atau dengan stimulus ke telinga tengah sehingga terjadi getaran pada membran timpani. Menutup liang telinga merupakan bagian yang sangat penting agar pergerakan membran timpani efisien lebih padat, dan sedikit udara yang bisa keluar masuk liang telinga (Robinette & Glattke 1997; Kemp 2002).

2.5.1 Tujuan pemeriksaan

Tujuan utama pemeriksaan otoacoustic emission adalah untuk menilai keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006)

a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, infan atau individu dengan gangguan perkembangan).

:

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.

c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan pendengaran sensorineural.

(17)

Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon tingkah laku.

2.5.2 Syarat – syarat untuk menghasilkan otoacoustic emission a. Tidak ada obstruksi pada liang telinga

b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe

c. Posisi optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah e. Sel rambut luar masih berfungsi f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang (Campbell 2006)

Pemeriksaan otoacoustic emission sering digunakan untuk skrining menentukan ada atau tidaknya fungsi koklea, meskipun sebenarnya pemeriksaan dapat dilakukan pada daerah koklea dengan frekuensi tertentu. (Robinette & Glattke 1999; Campbell 2006).

Otoacoustic emission dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada telinga normal,

tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah evoked otoacoutic

emissions (Mainley, Ray & Popper 2008).

2.5.3 Pembagian otoacoustic emission

Otoacoustic emission dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara tanpa

adanya rangsangan bunyi ( secara spontan).

b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked otoacoustic

emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang dihasilkan oleh rangsangan

bunyi menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.

c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi suara

(18)

d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan (kontinyu) (Robinette & Glattke 1999; Campbell 2006; Mainley, Ray & Popper 2008).

2.5.4 Transient evoked otoacoustic emission (TEOAEs)

Stimulus pada TEOAEs adalah click yang onsetnya sangat cepat (milidetik) atau toneburst, yang dapat merangsang seluruh partisi koklea sehingga menghasilkan respons yang melibatkan beberapa frekuensi. Stimulus diberikan sekitar 60-80 dB. Secara spontan akan diperiksa 4 sampai 6 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi (Gambar 2.3) yang dapat diperiksa TEOAEs adalah 500 sampai 4500 Hz untuk orang dewasa dan 5000 sampai 6000 Hz pada bayi (Prieve & Fitzgerald 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan level TEOAEs pada neonatus lebih besar dari pada anak dan pada anak lebih besar dari pada orang dewasa. Level TEOAEs juga menunjukkan adanya perbedaan pada jenis kelamin dan sisi kedua telinga kanan atau kiri. Perempuan cenderung memliki level TEOAEs yang lebih besar dibandingkan laki-laki dan telinga kanan cenderung memiliki level TEOAEs yang lebih besar dibanding telinga kiri (Prieve & Fitzgerald 2002).

(19)

2.5 Kerangka Teori

(20)

2.6 Kerangka Konsep

= variabel penelitian

Gambar 2.5. Kerangka Konsep

KEHAMILAN Telinga ↑ viskositas l Perubahan Fisiologis ↑ koagulasi darah dan fibrinolisis Gangguan keseimbanga n natrium dan cairan

Gangguan mekanisme aktif koklea Hipoksia koklea Regulasi estrogen Gangguan pendengaran Audiometri Timpanometri OAE Gangguan Fungsi Koklea

(21)

Pada kehamilan, sebagai adaptasi terhadap pertumbuhan janin menyebabkan adanya peningkatan hormon estrogen sehingga terjadi perubahan fisiologis terhadap setiap sistem didalam tubuh wanita. Salah satu sistem yang diduga mengalami perubahan adalah sistem auditori terutama pada telinga dalam, dimana terjadi beberapa perubahan berupa gangguan keseimbangan natrium dan cairan yang berdampak pada gangguan mekanisme aktif koklea. Selain itu, peningkatan fungsi koagulasi darah dan fibrinolisis dan peningkatan viskositas plasma dapat memberi dampak adanya hipoksia pada koklea. Kedua dampak ini diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi koklea dan jika keadaan ini bertambah berat dapat menyebabkan adanya gangguan pendengaran, dimana gangguan fungsi ini dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan audiometri dan TEOAE (dengan syarat hasil pemeriksaan timpanometri dilakukan sebelumnya adalah normal atau dengan grafik tipe A).

(22)

2.7 Hipotesa Penelitian

Terdapat hubungan antara kehamilan dengan gangguan pendengaran dan fungsi koklea berdasarkan pemeriksaan audiometri nada murni dan transient

Gambar

Gambar 2.1.  Koklea, penampang melintang koklea dan organ Korti (Arch1  Design,2010)
Tabel 2.1 Derajat gangguan pendengaran menurut ISO (Soepardi 2007):  Ambang dengar  Derajat gangguan pendengaran
Gambar 2.2 Gambaran timpanogram (Redeyespy,2011)
Gambar 2.4 Kerangka Teori
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian oleh Avallone (2015) menggunakan ikan Zebra (Danio rerio) jantan dewasa yang dipapar CdCl2 dengan konsentrasi (0.3 dan 3 mg/L) selama tiga puluh

Bahkan model perancangan program yang menitik beratkan pada aspek keterpaduan dan keberlanjutan (sinkronisasi dan integrasi program antar SKPD) telah menjadi model

Dari hasil percobaan yang dilakukan maka didapatkan hasil pada kadar albumin dalam serum pada probandus kelompok III adalah dalam 5,076 g/dl dan pada probandus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan membaca permulaan anak usia dini dalam mengeja suku kata terbuka dan tertutup pada anak Kelompok B di Gugus 1

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil

Anjuran Produsen Pewangi Laundry Terwangi di Wilayah anda Jikalau Kakak Membutuhkan Berbagai Varian Produk Kimia di wilayah Kalimantan Dan Hendak Cari Agen Bibit Pewangi Laundry

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah