DALAM PENDIDIKAN ANAK
MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM
u
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana adalam Ilmu Tarbiyah
Oleh:
ANI RAHMAWATI
NIM. 11406190
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar No. 02 Telp. (0298) 323706, 323433 Fax. (0298) 323433 Salatiga 50721 e -m a il: muna [email protected]
NOTA PEMBIMBING
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama
ini kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : ANI RAHMAWATI
NIM : 11406190
Jurusan/Program : Tarbiyah / Ekstensi
Judul : KONSEP KESETA RAAN TANGGUNG JAWAB
S E K O L A H T I N G G I A G A M A IS L A M N E G E R I (S T A IN ) S A L A T IG A Tentara P elajar 02 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ani Rahmawati
NIM :11406190
Jurusan : Tarbiyah-PAI
Program : Ekstensi
Alamat : Kaliwaru RT 28/05 Tengaran
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar-benar asli karya saya
sendiri.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Tengaran, Agustus 2008
Yang menyatakan,
NIM. 11406190
i
\
U
ja
I
i
gt
1
a
JiL
j
gii* U
uih
“Dunia adalah tempat kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah
isteri yang salihah” (HR. Muslim)
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Suami tercinta Muhyidin bin Ahmad Soemyani
2. Ananda Nufeisa Sakhiya binti Muhyidin
3. Ayahanda Muhammad Sholeh bin Munjahid
4. Ibunda Sudaryati binti H. Muhyidin
5. Ibu Mertua Machsunah binti Sanusi
6. Keluarga Besar Muhammad Sholeh
7. Keluarga Besar Ahmad Soemyani
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayahNya. Sholawat serta salam mudah-mudahan
tercurahkan ke pangkuan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarganya dan segenap
pengikutnya.
Selanjutnya kepada pihak-pihak yang telah turut membantu sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya, terutama kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Imam Sutomo, M. Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Ibu Muna Erawati, S.Psi., M.Si. yang dengan penuh lapang dada membimbing, memberi
nasihat dan arahan sejak awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu Dosen STATN Salatiga serta segenap civitas akademika khususnya kepada
Bapak Muhtarom Effendhi, S.H. dan staf perpustakan STAIN Salatiga yang telah
memberikan layanan perpustakaan dengan ramah dan baik, dan terutama membantu
penulis memperoleh data dan literatur yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
4. Ayahanda Muhammad Sholeh dan Ibunda Sudaryati yang ridla dan doa restunya
senantiasa penulis harapkan.
5. Suami tercinta Muhyidin Abu Nufeisa yang telah membantu dalam banyak hal selama
perkuliahan terutama dalam proses pembuatan dan pengetikan skripsi ini.
6. De Mus, Mbak Pah dan Mbah Putri yang telah membantu pengasuhan putri penulis,
sehingga penulis mempunyai kesempatan lebih banyak dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Kepada semuanya, penulis berdoa jazakumullahu khairal jaza
kesempurnaan. Oieh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya dan semoga mendapatkan ridla dari Allah
SWT. Amin.
Salatiga, Agustus 2008
P e n u l i s
ANI RAHMAWATI (NIM 11406190) KONSEP KESETARAAN TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri
dalam pendidikan anak menurut perspektif feminisme Islam. Penelitian ini merupakan
penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan menggali informasi dan
teori dari buku, internet, dan sumber-sumber lain yang relevan.
Untuk mendapatkan gambaran tentang tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan
anak menurut perspektif feminisme Islam, penelitian ini menggunakan wawasan teori
feminisme. Selanjutnya, wawasan teori feminisme tentang tanggung jawab suami-isteri dalam
pendidikan anak tersebut dianalisis dengan pandangan Islam. Langkah tersebut dilakukan
dengan menggali teks-teks keagamaan yang membahas tentang topik bersangkutan.
Akhirnya disimpulkan bahwa menurut perspektif feminisme Islam, suami-isteri
mempunyai tanggung jawab yang setara dalam pendidikan anak meskipun kesetaraan tersebut
bukan kesetaraan 50/50. Hal ini disebabkan isteri mempunyai keistimewaan kodrati dalam
pendidikan anak, seperti mengandung dan menyusui, yang tidak dimiliki oleh suami. Suami-
isteri merupakan dwi tunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan anak dalam
keluarga, yang mana dibutuhkan adanya kerja sama dan saling pengertian diantara keduanya.
HALAMAN SAMPUL... i
LEMBAR LOGO... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN...iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v
MOTTO... vi
PERSEMBAHAN... vii
KATA PENGANTAR... viii
ABSTRAK... x
DAFTAR IS I... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah... 1
B. Rumusan masalah... 5
C. Tujuan penelitian... 5
D. Kegunaan penelitian ... 5
E. Metode penelitian... 6
F. Definisi istilah ... 6
G. Sistematika penelitian ... 9
BAB II : PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Konsep keluarga L Pengertian keluarga ... 10
2. Fungsi keluarga ... 14
3. Syarat-syarat pembentukan keluarga ... 18
B. Konsep anak... 23
SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK
A. Teori feminisme... 43
B. Kesetaraan jender dalam feminisme ... 49
C. Ekofeminicme sebagai teori 3ltematif feminisme dalam tanggung
jawab pendidikan anak ... 51
BAB IV : TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI DALAM PENDIDIKAN ANAK
MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME ISLAM
A. Tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut
feminisme Islam... 54
B. Perspektif feminisme Islam tentang kesetaraan tanggung jawab
suami-isteri dalam pendidikan a n a k ... 57
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran... 75
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. L atar B^iakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia dengan tabiat suka mempunyai anak sebagai
salah satu perhiasan hidup dan sumber kebahagiaan jika anak-anaknya saleh. Dalam hal
ini, Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran 3 :1 4 :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.1
Juga dalam Surah Al Kahfi 18 : 46:
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan”. *
'Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
Keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang
terdiri dari seorang suami dan seorang isteri.2 Pembentukan keluarga dalam Islam
bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dan seorang
perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sahnya. Dengan kata lain, keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki
dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tenteram
dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat.
Suami-isteri merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Ketika kedua suami
isteri tersebut dikaruniai seorang anak atau lebih maka anak-anak tersebut menjadi unsur
utama ketiga pada keluarga melengkapi dua unsur sebelumnya. Suami, isteri dan anak
mempunyai peranan penting dalam membina dan menegakkan keluarga. Suami
berfungsi sebagai tongkat utama keluarga, pencari rejeki, pimpinan,teladan yang baik
dan sumber terpenting dalam pendidikan dan bimbingan. Isteri berfungsi sebagai sumber
utama bagi ketenteraman, ketenangan dan kasih sayang dal&m keluarga. Sedangkan anak
merupakan sumber kebahagiaan suami-isteri sebagai penerus generasi.
Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama.3 Dalam keluarga,
tiap individu berkembang dan disitulah terbentuknya tahap-tahap awal proses
pemasyarakatan (.socialization), dan melalui interaksi dengannya ia memperoleh
pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup dan
dengan itu ia memperoleh ketenteraman dan ketenangan.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, PT. Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2004, him. 290
3 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, him.
Islam memandang keluarga sebagai lembaga hidup manusia yang dapat memberi
kemungkinan celaka atau bahagianya anggota-anggota keluarga selama hidup di dunia
dan akhirat. Allah SWT memerintahkan setiap manusia untuk menjaga diri dan
keluarganya dari api neraka sebagaimana firmanNya:
^ l i i t ijii 135 I p ; 3 - j j f
, ' , t S S * S * * s s l — X ' ■** ^
C) 3 j A l ^ l Qj) v'! »j V ^ I N-p
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengeijakan apa yang diperintahkan”.4
Penjagaan tersebut dilakukan dengan ketaatan kepada Allah SWT dan menuruti
segala perintahNya serta menjauhi laranganNya. Rasulullah SAW menjadikan
pendidikan anak sebagai tanggung jawab penuh kedua orang tua.5 Diriwayatkan oleh
Bukhori dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
AjI AJl^»*nn Aji J « l Vj ^ lia
“Tidak ada seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci). Kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, atau Nasrani, atau
Majusi”.6
4 QS. At Tahrim 66 : 6
5 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, M endidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Kuswandani, Al Mizan, Bandung, 1997, him. 36 - 37
suami/bapak dalam pendidikan anak, karena Islam menitikberatkan pendidikan anak atas
dasar cinta kasih sayang, sedang yang paling besar cin*? kasihnya dalam keluarga
terhadap anak adalah kaum ibu.7 Namun begitu, bapak pun juga mempunyai pengaruh
dari kekuasaannya dalam keluarga.
Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan kehidupan masyarakat di sekeliling
kita telah mengalami perubahan yang banyak dalam berbagai bidang kehidupan. Salah
satu diantaranya adalah meningkatnya keterlibatan perempuan di dunia publik. Sebagai
contoh dalam bidang ekonomi banyak perusahaan yang mempekeijakan perempuan,
yang mana hal ini akan mempengaruhi berkurangnya lapangan keija bagi kaum lelaki.
Sebagai akibatnya adalah munculnya fenomena wanita karir dan bapak rumah
tangga sehingga isteri lebih banyak berada di luar rumah dan sebaliknya suami lebih
banyak berada di rumah. Dengan demikian, tanggung jawab pendidikan anak yang
semula lebih dibebankan kepada isteri berubah kepada suami.
Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat (30) menyebutkan bahwa suami isteri
memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agama.8 Dengan
demikian, suami-isteri memiliki tanggung jawab yang setara dalam pendidikan anak.
Uraian di atas mendorong dan menjadi latar belakang penelitian bagi penulis
untuk menggali dan mempelajari serta mewujudkannya dalam sebuah penelitian dengan
memilih judul : “KONSEP KESETARAAN TANGGUNG JAWAB SUAMI-ISTERI
DALAM PENDIDIKAN ANAK MENURUT PERSPEKTIF FEMINISME
ISLAM”.
7 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama : di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, him. 80
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini pokok masalah dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah hakikat keluarga menurut Islam?
2. Bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri dalam perspektif ekofeminisme?
3. Bagaimanakah tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan 'anak menurut
perspektif feminisme Islam?
C. Tujuan penelitian
Penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak
menurut konsep feminisme Islam ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui hakikat keluarga menurut Islam.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab suami-isteri dalam perspektif ekofeminisme.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut
perspektif feminisme Islam.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak
menurut konsep feminisme Islam ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis
maupun secara praktis.
1. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak menurut
konsep feminisme Islam.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif dan pelurusan
E. Metode Penelitian 1. Metode Kajian
Yang dimaksud metode kajian dalam penelitian ini adalah semua rangkaian
kegiatan sebagai upaya menarik kesimpulan dari hasil kajian teori yang mendukung
penelitian ini. Untuk menganalisa kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam
pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam, penulis menggunakan metode,
pertama metode deskriptif yaitu dengan seteliti mungkin seluruh perkembangan,
dengan peralihan-peralihan dan pengaruh-pengaruh satu sama lain antara arti-arti,
diuraikan secara lengkap dan teratur. Kedua metode penalaran yang meliputi:
a. Deduktif, yaitu berpikir dari dalil yang umum kepada peristiwa khusus.
b. Induktif, yaitu pemakaian konsep yang ada dipelajari sebagai case-study, untuk
menginventarisasikan segala arti, mengikuti semua hubungannya dan membentuk
suatu sintesis.9
F. Definisi Istilah
Penelitian dalam skripsi ini merupakan studi eksploratif - deskriptif yang akan
menggambarkan serta mengecek prinsip- prinsip atau pernyataan {proporsi) umum dan
menambah isi himpunan pengetahuan mengenai kesetaraan tanggung jawab suami-isteri
dalam pendidikan anak menurut feminisme Islam.
Di sini perlu dikemukakan penegasan masalah sesuai dengan topik penelitian ini
dengan menjelaskan definisi konseptual dan definisi secara operasional agar diperoleh
kesatuan konseptual dan pemahaman masalah.
Adapun kata kunci dari penelitian ini yang perlu dijelaskan adalah kesetaraan,
tanggung jawab, suami, isteri, dan pendidikan anak.
1. Kesetaraan
Kesetaraan berarti keadaan yang sebanding, seimbang dan sederajat.10
2. Tanggung jawab
Tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau
te»jadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan."
3. Suami
Suami berarti lelaki yang menjadi pasangan hidup seorang' perempuan.10 11 12
Suami yang telah mempunyai anak selanjutnya disebut bapak.
4. Isteri
Isteri berarti perempuan yang telah menikah atau yang bersuami.13 Isteri yang
telah mempunyai anak selanjutnya disebut ibu.
5. Pendidikan Anak
Terdapat sejumlah formulasi pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh
para ahli pendidikan Islam dengan batasan yang sangat variatif. Diantara batasan
yang sangat variatif tersebut antara lain:
a. Ahmad Tafsir : pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar
ia berkembang secara maksimal sesuai ajaran Islam.14
b. Samsul Nizar : pendidikan merupakan proses membimbing dan membina fitrah
peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta
didik sebagai muslim paripurna {insan kamit). Melalui sosok pribadi yang
demikian, peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi iman, ilmu,
dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis bagi dunia
maupun akhirat.15
10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, him. 820 11 Ib id , him. 899
12 Ibid, him. 860 13 Ib id , him. 420
14 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, him. 32
c. Abdul Hamid : pendidikan adalah proses pembentukan kepribadian yang
seimbang dan sempurna dalam segenap aspek baik kejiwaan, akal, hati nurani,
tingkah laku, sosial, dan jasmani serta kemampuan untuk berakomodasi dengan
lingkungan hidupnya.16
d. M. Sahlan Syafei : pendidikan adalah proses membimbing anak iintuk mencapai
kedewasaan.17
Anak berarti turunan yang kedua atau manusia yang masih kecil.18 Anak
menjadi generasi penerus bagi orang tua. Jadi pendidikan anak berarti proses
pemberian bimbingan kepada generasi penerus agar ia tumbuh dan berkembang
menjadi manusia yang mempunyai kepribadian seimbang dan sempurna dalam
segenap aspek.
5. Feminisme Islam
Feminisme adalah suatu aliran yang mendasarkan pemikirannya pada upaya
untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya penindasan dan ketidakadilan terhadap
perempuan dalam masyarakat serta adanya tindakan secara sadar yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang, baik perempuan maupun laki-laki untuk
mengubah keadaan tersebut.19 Dalam Islam, feminisme merupakan alat analisis
maupun gerakan yang selalu bersifat historis-kontekstual dalam menjawab masalah-
masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan, dan ketidaksejajaran
dipandang dari perspektif agama.
Dengan demikian konsep feminisme Islam tentang kesetaraan tanggung jawab
suami-isteri dalam pendidikan anak berarti bagaimana cara pandang/perspektif
feminisme Islam mengenai kesamaan atau kesederajatan tugas dan kewajiban suami-
isteri sebagai orang tua dalam mendidik anak.
16 Abdul Hamid Ash-Shoeid, U susu At-Tarbiyah Al-Islamiyah f i As-Sunnah An-Nabawiyah, Dar al- Arabiyah, Kairo, Tanpa Tahun, him. 25
17 M. Sahlan Syafei, Bagaimana Mendidik Anak, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, him. 2 18 W J,$. Poerwadarminta, op.cit., him. 38
G. Sistematika Penelitian
Pembahasan dalam penelitian tentang kesetaraan tanggung jawab suami-isteri
dalam pendidikan anak menurut konsep feminisme Islam ini menggunakan sistematika
penelitian yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagian muka terdiri dari halaman sampul, lembar logo, lem bu persetujuan
pembimbing, lembar persetujuan dan pengesahan, pernyataan keaslian tulisan, motto,
persembahan, kata pengantar dan daftar isi.
Bagian isi terdiri dari:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, definisi istilah dan
sistematika penelitian.
A. Tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak
B. Kesetaraan tanggung jawab suami-isteri dalam pendidikan anak
Bab V : Penutup
PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA
A. Konsep Keluarga 1. Pengertian keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan pernikahan.
Di dalamnya hidup bersama sepasang suami-isteri secara sah karena pernikahan.
Mereka sehidup semati, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan
damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan
sejahtera lahir dan batin.
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan
sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan yang diikat
oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan
darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Sedangkan
dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh
adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, walaupun di antara mereka tidak terdapat hubungan darah.1
Pada dasarnya keluarga adalah sebuah komunitas dalam “satu atap”.
Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami-isteri dan saling
berinteraksi dan berpotensi untuk mempunyai anak dan pada akhirnya membentuk
komunitas baru yang disebut keluarga. Karenanya keluarga pun dapat diberi batasan 1
1 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga : Sebuah perspektif Pendidikan Islam, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, him. 16
sebagai sebuah “grup” yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita yang
sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.
Jadi, keluarga dalam bentuk yang mumi merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri
dari suami, isteri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat
tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia.2 3
Batasan keluarga di atas merupakan batasan keluarga secara umum. Teijadinya
pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang wanita tidak selalu diikuti dengan
lahirnya seorang anak. Keluarga adalah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya
terdiri dari pasangan suami-isteri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir
dari mereka. Jadi setidak-tidaknya keluarga adalah pasangan suami-isteri, baik
mempunyai anak atau tidak sama sekali.
Sifat-sifat keluarga yang terpenting adalah hubungan suami-istri, bentuk
pernikahan dimana suami-isteri diadakan dan dipelihara, susunan nama-nama dan
istilah termasuk cara menghitung keturunan, milik atau harta benda keluarga, dan pada
umumnya keluarga mempunyai tempat tinggal bersama (rumah bersama).4
Ketika sebuah keluarga terbentuk, komunitas baru karena hubungan darah pun
terbentuk pula. Di dalamnya ada suami, isteri dan anak sebagai penghuninya. Saling
berhubungan, saling berinteraksi di antara mereka melahirkan dinamika kelompok
karena berbagai kepentingan, yang terkadang bisa memicu konflik dalam keluarga.
Misalnya, konflik antara suami-isteri, konflik antara ayah dan anak, konflik antara ibu
dan anak, dan konflik antara anak dan anak, bahkan konflik antara ayah, ibu dan anak.
2 Hartono dan Amicum Aziz, Ilmu Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, him. 79
3 Marsudi Sukamo, Buku Pintar Keluarga Muslim, Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 2001, him. 2
Ketika konflik lahir, keluarga bahagia dan sejahtera sebagai suatu cita-cita bagi
pasangan suami-isteri sukar diwujudkan. Penyebabnya bisa karena perbedaan
pandangan, perbedaan latar belakang kehidupan, masalah ekonomi, harga diri,
intervensi orang ketiga dalam masalah keluarga, dan sebagainya. Setiap orang tidak
ingin ada konflik dalam keluarganya, karena hal itu disadari atau tidak dapat
mengancam keutuhan keluarga. Tetapi pada umumnya, konflik ringan dalam keluarga
selalu saja ada dan hal itu sukar untuk dihindari. Namun yang terpenting adalah
berusaha agar konflik tersebut tidak sampai memicu kehancuran keutuhan keluarga.
Oleh karena itu, konflik dalam keluarga harus diminimalkan untuk
mewujudkan keluarga seimbang. Keluarga seimbang ditandai dengan adanya
keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dan ibu, antara ayah dan anak, serta
antara ibu dan anak. Setiap anggota keluarga tahu tugas dan tanggung jawab masing-
masing uan dapat dipercaya.
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pemikiran sosial modem yang
mengatakan bahwa keluarga adalah unit pertama dan institusi pertama dalam
masyarakat dimana hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian
besarnya, bersifat hubungan-hubungan langsung.5 Dalam keluarga tiap individu
tumbuh dan berkembang dan disitulah tahap-tahap awal proses pemasyarakatan mulai
terbentuk. Melalui interaksi-interaksi dalam keluarga tiap individu memperoleh
pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan sikapnya dalam hidup.
Menurut pandangan individu, keluarga merupakan simbol bagi ciri-ciri yang
mulia seperti keimanan yang teguh kepada Allah, pengorbanan, kesediaan berkorban
untuk kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan, kesetiaan dan lain-lain yang
dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya pada dirinya.
Keberadaan keluarga diperlukan individu bukan hanya pada tingkat awal hidupnya
dan pada masa kanak-kanak, tetapi ia memerlukannya sepanjang hidupnya, sebagai
kanak-kanak, remaja, dewasa, orang tua, dan orang tua bangka untuk menanamkan
pada dirinya rasa kasih sayang, rasa tenteram dan ketenangan.
Pentingnya keluarga tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat.
Keluarga menjadi ukuran ketat atau lemahnya suatu masyarakat, yakni jika keluarga
kuat masyarakat pun kuat, dan jika lemah maka masyarakat pun lemah. Jika susunan
dan struktur keluarga sehat, maka struktur masyarakat pun sehat, sedang kalau sakit
maka masyarakat pun sakit, selanjutnya kehidupan akhlak dan sosialnya sendiri akan
runtuh sebab runtuhnya dasar-dasar dan unsur-unsurnya yang terpenting.
Oleh sebab kepentingan yang berganda yang dimiliki oleh keluarga inilah
maka Islam berusaha keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan
segala jalan untuk menolong keluarga untuk menjadi kuat dan berpadu. Islam
memberi perhatian kepada keluarga sebelum terbentuknya. Perhatian ini berterusan
sesudah keluarga terbentuk, memberi petunjuk kepada anggotanya tentang cara-cara
bekeija sama antar anggotanya untuk menguatkan dan mengokohkannya supaya dapat
memikul tanggung jawab besar yang dipikulnya, yakni pendidikan, bimbingan dan
2. Fungsi keluarga
Allah SWT memerintahkan setiap orang yang beriman untuk menjaga diri dan
keluarganya dari api neraka sebagaimana firmanNya:
^ GJ l
U t ijS j1 j l
5
1 j
fa1 1^5 i
y**\e.' -y f s ^ s % -y '
i
< 1 t t *•O O ^ a I L« ajjl (jj -fa*> il J-ii Ji»*^Lp
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.6
Menjaga diri berarti bahwa setiap orang yang beriman harus dapat melakukan
se ’f education, dan melakukan pendidikan terhadap anggota keluarganya untuk
mentaati Allah dan RasulNya.7 Dalam pandangan Islam, seseorang yang tidak berhasil
mendidik diri sendiri mustahil akan dapat melakukan pendidikan kepada orang lain.
Oleh karena itu, untuk dapat menyelamatkan orang lain, seseorang harus terlebih
dahulu menyelamatkan dirinya dari api neraka. Tidak ada seorang yang tenggelam „
yang mampu menyelamatkan orang lain yang sama-sama tenggelam.
Rasulullah SAW pun menjadikan pendidikan anak sebagai tanggung jawab
penuh kedua orang tua. Tentang hal ini beliau bersabda:
AJJC-J <jc- £ \ j
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”.
(HR. Bukhori Muslim)8
6 QS. AtTahrim 66 : 6
Dengan adanya tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap anak
tersebut, maka fungsi dan tugas orang tua adalah sebagai berikut:9
a. O rang tua sebagai pendidik keluarga
Orang tua adalah pendidik yang pertama dsan utama yang paling
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak.10 11Pendidikan
dalam rumah tangga bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang
lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan
strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan.11
Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergav.lan dan hubungan pengaruh
mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.
Para orang tua pada umumnya merasa bertanggung jawab atas segalanya
dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan lagi
bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar terpikul kepada orang tua baik
diakuinya secara sadar atau tidak, diterima dengan sepenuh hatinya atau tidak. Hal
itu merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua.
Mereka tidak bisa mengelakkan tanggung jawab tersebut karena telah merupakan
amanahNya yang dibebankan kepada mereka.
Orang tua dengan pengaruhnya yang besar dapat membimbing jiwa
anaknya yang sedang berkembang ke arah cita-cita yang mereka inginkan. Seorang
ibu dipandang mempunyai pengaruh lebih terhadap anak karena rasa cinta
kasihnya lebih besar dibanding ayah. Walaupun demikian, ayah pun mempunyai
pengaruh dari kekuasaannya dalam keluarga. Ayah dan ibu merupakan dwi
9 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, him. 74 - 83
10 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, him. 42
tunggal yang bersama-sama menjalankan tugas pendidikan dalam keluarga. Di
antara keduanya harus ada kerja sama dan saling pengertian sebaik-baiknya agar
tidak timbul kontradiksi dalam menunaikan tugas tersebut baik yang bersifat
pedagogis maupun psikologis.
b. Orang tua sebagai pelindung/pemelihara keluarga
Disamping kekuasaan pendidikan, orang tua mempunyai tugas/kekuasaan
kekeluargaan, yakni orang tua harus memelihara keselamatann kehidupan
keluarganya baik moral maupun materialnya.
Jaminan material bagi kelangsungan hidup keluarga antara lain berupa
nafkah, baik sandang, pangan, maupun papan. Hal ini bertujuan agar keluarga
dapat hidup sejahtera dan bahagia.
Sebagai realisasi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, ada
empat aspek yang sangat penting untuk diperhatikan orang tua.12 Empat aspek
yang menjadi tiang utama dalam pendidikan anak tersebut adalah:
1) Pendidikan ibadah
Dalam pendidikan ibadah, orang tua memberikan bimbingan tentang kaifiyah
untuk menjalankannya yang lebih bersifat fiqhiyah. Disamping itu, orang tua
perlu menanamkan nilia-nilai yang terkandung dalam ibadah tersebut,
b) Pokok-pokok ajaran Islam dan membaca Al Qur’an
Pendidikan dan pengajaran Al Qur’an serta pokok-pokok ajaran Islam yang
lain telah disebutkan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ali bin
Abi Thalib:
4-aIc.j ( ji jS Il
“Sebaik-baik dari kamu adalah orang yang belajar Al Qur’an,
kemudian mengajarkannya”. (HR. Bukhori)13
Penanaman nilai-nilai yang baik yang bersifat universal kapan pun dan dimana
pun dibutuhkan oleh manusia. Penanaman nilai-nilai baik tersebut tidak hanya
berdasarkan pertimbangan waktu dan tempat. Penanaman pendidikan ini harus
disertai dengan contoh konkret yang masuk fikiran anak, sehingga
penghayatan mereka disertai dengan kesadaran rasional, sebab dapat
dibuktikan secara empirik di lapangan.
c) Pendidikan akhlakul karimah
Tekanan utama pendidikan keluarga dalam Islam adalah pendidikan akhlak,
dengan jalan melatih anak membiasakan hal-hal yang baik, menghormati
kedua orang tua, bertingkah laki yang sopan, baik dalam perilaku sehari-hari
maupun dalam bertutur kata. Pendidikan akhlah tidak hanya dikemukakan
secara teoritik melainkan disertai contoh-contoh konkret untuk dihayati
maknanya.
d) Pendidikan aqidah Islamiyah
Aqidah merupakan inti dari dasar keimanan yang harus ditanamkan kepada
anak sejak dini. Hal ini telah disebutkan dalam Al Qur’an:
j J J a J ^ • j! 4 iitj j j / dS ^ j i j L u 3 ^ 3 <-4~jS [ d r * - ^ 3!3
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".14
Praktek pendidikan Islam inilah yang dapat dipedomani bagi umat Islam,
yang menyangkut empat aspek utama tersebut, yakni pendidikan ibadah,
pendidikan nilai dan pengajaran Al Qur’an, pendidikan akhlakul karimah, serta
pendidikan aqidah Islamiyah.
3. Syarat-syarat Pembentukan Keluarga
Islam menyadari akan pentingnya sebuah keluarga, oleh karena itu ia berusaha
keras untuk mengukuhkan, menguatkan dan mengusahakan segala jalan untuk
menolong keluarga untuk menjadi kuat dan berpadu. Dalam pembentukan sebuah
keluarga yang berfungsi sebagai wadah yang akan mendidik anak, Islam memberikan
syarat-syarat yang telah ditentukan Allah SWT seperti persyaratan keimanan,
persyaratan akhlak dan persyaratan tidak adanya hubungan darah.15 Persyaratan
tersebut sebagaimana termaktub di dalam beberapa ayat di antaranya:
a. Persyaratan keimanan
Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang berbeda agama,
seperti tersebut dalam firmanNya:
14 QS. Lukman 31 : 13
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu, dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.16
b. Persyaratan akhlak
Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang berzina, seperti
tersebut dalam firmanNya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
c. Persyaratan tidak ada hubungan darah
Allah SWT melarang pernikahan dengan orang yang masih dalam
hubungan kekerabatan, seperti tersebut dalam firmanNya:
yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.17
✓
" ' s .^ J'* x 'j ^
9X
s ^ ~~ j’^ ^ ^
^ y
^
_ ■
*" X
*
£ ) L £ = -*4
jI <^J
lL « j J L* ^ f l ^ L l o J l ^ ,
y *j* j£ = = » jl
jU
r c ^ j L4
I
^ L*j Lij2-4^
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.19
Setelah syarat-syarat tersebut di atas terpenuhi, maka dilaksanakanlah
pernikahan menurut ketentuan yang diwajibkan Allah SWT. Setelah adanya ikatan
pernikahan, maka masing-masing pasangan suami-isteri mempunyai hak dan
kewajiban yang ditentukan. Mereka dibekali dengan beberapa petunjuk dalam
mendayungkan bahtera kehidupan dengan kasih sayang dan kepatuhan kepada
ketentuanNya, agar mereka dapat meraih ketentraman dan kebahagiaan (sakinah).
Firman Allah SWT:
ZSjA
* , s ' s s s9'
.
s 'ȣ >
f ^ s * s ' s ' s,
i _IfcJ! t»-'jjl I W * c m
viAJ’3 j o ! 4“* ^ J j
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.20
‘ Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk doa ketika akan melakukan
hubungan intim suami-isteri sebagai berikut:
L
a(jU a A u ill
L ' ' ' yj j^jU sU uuih L iu a»
»11 A li!
“Dengan nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah
setan dari karunia (anak) yang Engkau berikan kepada kami”. (HR. Bukhori
Muslim)
Setelah terbentuknya keluarga muslim yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan Allah SWT, dan keluarga tersebut telah siap untuk mendapatkan keturunan,
beberapa petunjuk dan pedoman yang membantu tercipianya kehidupan sakinah pun
telah dipahami dan dilaksanakan, maka selanjutnya keluarga muda itu memohon
kepada Allah SWT supaya mereka dikaruniai anak/keturunan yang saleh. Allah SWT
memberi petunjuk doa yang baik diucapkan:
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku,
berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau
Maha Pendengar doa".21
Dengan doa di atas keluarga tersebut memohon perlidungan Allah SWT dari
godaan setan, baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi anak atau keturunannya.
Demikianlah, Islam memberi perhatian kepada keluarga sebelum terbentuknya.
Perhatian ini berterusan sesudah keluarga terbentuk, memberi petunjuk kepada
anggotanya tentang cara-cara bekeija sama antar anggotanya untuk menguatkan dan
mengokohkannya supaya dapat memikul tanggung jawab besar yang dipikulnya, yakni
pendidikan, bimbingan dan pemeliharaan. Tidak ada suatu undang-undang keluarga
dalam Islam yang akan membahayakan kemasalahatan keluarga termasuk talak dan
berpoligami. Sebab kedua hal ini dibenarkan untuk menghadapi masalah-masalah
yang tidak dapat dihadapi selain dari cara itu.
B. Konsep Anak
Kejadian anak merupakan kehendak Allah SWT semata, yang menciptakan semua
manusia serta segala sesuatu yang ada.22 Pandangan terhadap ar.ak sering ditentukan oleh
cara seseorang dalam mengajar dan mengasuh mereka. Dalam kaitannya dengan hal itu
maka perlu dibahas beberapa pandangan mengenai hakikat anak.
1. Anak sebagai orang dewasa mini
Anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk mini, terutama di Eropa
pada abad pertengahan. Yang membedakan anak dengan orang dewasa hanya ukuran
dan usianya saja. Anak justru diharapkan bertingkah laku sebagai orang dewasa.
Bahkan ai berbagai dunia ketiga, yakni di Amerika Latin dan Asia, anak-anak
diharapkan produktif secara ekonomi.23 Anak-anak menjadi anggota keluarga yang
ikut bekerja sebagaimana orang dewasa yang lain, walupun usia mereka masih empat,
lima, atau enam tahun.
Mendorong anak bertingkah laku seperti orang dewasa dapat menimbulkan
konflik antara harapan dan kemampuan. Apabila pendidik menuntut anak bertingkah
laku seperti orang dewasa, berarti hal itu berbeda dari kenyataannya sebagai anak,
sehingga harapan para pendidik seperti itu tidak realistis.
2. Anak sebagai orang yang berdosa
Pandangan anak sebagai orang berdosa yang berarti bahwa tingkah lakunya
yang menyimpang merupakan dosa keturunan terjadi pada abad ke-14 sampai abad
ke-18. Orang tua menganggap perbuatan anak yang bersalah sebagai dosa. Pandangan
tersebut terus menetap dan muncul dalam kepercayaan orang tua, sehingga tingkah
anak harus selalu dikontrol dengan keras, melalui pengawasan yang sangat keras
(kaku). Anak tidak boleh membantah kata-kata orang tua dan harus patuh. Institusi
pendidikan pada saat itu adalah sebagai tempat untuk mengajarkan tingkah laku yang
benar. Orang tua sangat berminat untuk memasukkan anaknya ke sekolah karena
orang tua merasa kurang mampu menghindarkan anak dari godaan minuman keras dan
bentuk kriminalitas lainnya. Pada masa itu banyak sekolah milik perorangan yang
berorientasi pad agama dibuka, pada prinsipnya menekankan penanaman rasa hormat,
patuh dan bertingkah laku yang baik.
3. Anak sebagai tanaman yang tumbuh
Dalam pandangan ini, orang dianggap dan berperan sebagai tukang kebun, dan
sekolah merupakan rumah kaca dimana anak tumbuh dan matang sesuai dengan pola
pertumbuhannya yang wajar. Orang tua sebagai tukang kebun berkewajiban uantuk
menyirami, memupuk, merawat, dan memelihara tanaman yang ada dalam kebun.
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa pendidik harus melaksanakan proses
pendidikan agar mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik.
Suatu konsekuensi alami dari pertumbuhan dan kematangan ibarat pohon, banyak
miripnya dengan mekarnya bunga dalam kondisi yang tepat. Dapat dikatakan, bahwa
apa yang akan teijadi pada anak tergantung pada pertumbuhan secara wajar dan
lingkungan yang memberikan perawatan. Adapun pertumbuhan yang alami adalah
kegiatan bermain dan kesiapan atau proses kematangan. Isi dan proses belajar
terkandung dalam kegiatan bermain dan materi serta aktivitas dirancang untuk
kegiatan bermain yang menyenangkan dan tidak membahayakan. 24
Pada masa anak-anak umurnya yang siap untuk belajar adalah melalui motivasi
dan bermain. Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak akan siap untuk dikembangkan
keterampilannya apabila telah mencapai suatu tingkatan dimana mereka dapat
mengambil keuntungan dari suatu instruksi yang tepat. Setiap anak mempunyai jadwal
kematangan berbeda dan merupakan faktor bawaan. Masing-masing anak berbeda
waktunya, maka sebaiknya orang tua dan guru tidak memaksakan anak untuk belajar
sesuatu apabila belum siap (matang).25 Apabila anak belum siap belajar menunjukkan
bahwa anak belum matang, proses yang alami belum teijadi. Oleh karena itu orang tau
hendaknya selalu memberi motivasi dalam kegiatan bermain untuk mengembangkan
keterampilan anak.
4. Anak sebagai makhluk independen
Walaupun anak dilahirkan oleh orang tua, namun pada hakikatnya anak
merupakan individu yang berbeda dengan siapa pun, termasuk dengan kedua orang
tuanya. Bahkan anak juga memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan
orang tua.26 Dengan demikian maka jelaslah bahwa anak pada hakikatnya adalah
makhluk independen. Hal ini perlu disadari sehingga orang tua tidak berhak
memaksakan kehendaknya kepada anak. Anak dibiarkan tumbuh dewasa sesuai
dengan suara hati nuraninya, orang tua hanya memantau dan mengarahkan agar jangan
sampai menyusuri jalan hidup yang sesat.27 Orang tua hanya berkewajiban berusaha,
yakni mengusahakan agar anak tumbuh dewasa menjadi pribadi saleh dengan
merawat, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan yang benar.
25Ib id , him. 50
5. Anak sebagai nikmat, am anat dan fitnah orang tua
Sepasang suami-isteri akan merasa sangat prihatin manakala telah berpuluh-
puluh tahuh atau bahkan hingga akhir hayatnya tidak dikaruniai anak. Bagi pasangan
suami-isteri yang tidak dikaruniai anak,niscaya sangat terasa betapa berhajatnya
mereka akan kehadiran anak dalam rumah tangga yang dibinanya.28 Tiada tangis bayi,
tiada tawa anak-anak, tak pernah dimintai uang jajan, tiada yang meminta dibelikan
pakaian seragam, tidak pemak memikirkan anaknya hams kemana dan tak pernah
memberikan bimbingan agar anak-anak kelak hams begini atau begitu. Suasana
keluarga terasa sangat hampa dan kurang lengkap, maka kebahagiaan keluarga terasa
ada saja yang kurang.
Dengan hadirnya anak di tengah-tengah pasangan suami-isteri, maka jalinan
kasih sayang di antara mereka akan semakin tambah kuat. Tidak sedikit pasangan
suami-isteri yang berpisah di tengah jalan, kemudian tersambung kembali lantaran
masing-masing teringat akan anak mereka. Sebaliknya tidak jarang pula pasangan
suami-isteri yang demikian rukun dan penuh kasih sayang, tiba-tiba bercerai lantaran
*
tidak hadirnya satu anak pun di tengah-tengah mereka. Buah hati yang merekadambakan tak pernah hadir dalam kenyataan.29 Anak memang benar-benar merupakan
sumber kebahagiaan keluarga, buah hati yang memperkuat kehangatan tali kasih
kedua orang tuanya dan mampu membahagiakan segenap sanak saudara. Dapat
dikatakan bahwa anak laksana wewangian surga yang menyemarakkan suasana
kebahagiaan sebuah keluarga. Oleh karena itulah hendaknya orang tua menyadari pula
akan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap anak. Anak memerlukan perawatan,
asuhan, bimbingan dan pendidikan yang benar demi kelangsungan hidupnya.
Anak hanya akan terlahir dari pasangan suami-isteri manakala Allah SWT
menciptakan dan berkehendak untuk mengaruniakan kepada pasangan yang
bersangkutan. Jika Dia tidak menciptakan dan tidak berkehendak untuk
mengaruniakan kepada sebuah pasangan suami-isteri, mereka tidak akan
menghasilkan keturunan untuk selama-lamanya.30 Maka, bagi pasangan suami-isteri
yang mampu melahirkan anak hendaknya menyadari betul bahwa anaknya semat-mata
merupakan karuniaNya. Banyak orang yang sudah lama menikah dan ingin
mempunyai anak, tetapi tidak dikaruniai olehNya. Jadi, anak merupakan nikmat Allah
SWT yang begitu tinggi nilainya yang harus disyukuri dengan membina dan mendidik
anak sebaik-baiknya. Allah SWT berfirman:
i*
i T o - ^ 'l j T j L iiiT i S 3 'i - j j b ^ 2 1 }
%
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan”.31 32
Disamping anak sebagai nikmat, orang tua harus menyadari pula bahwa anak
juga merupakan fitnah baginya jika tidak mampu menjaganya. Anak akan menjadi
fitnah bagi orang tuanya manakala terdapat kekuarangan atau kelemahan pada anak
terlebih jika tidak dilandasi iman dan takwa. Banyak orang tua menjadi sengsara dan
malu akibat ulah dan perilkau anak-anaknya. Oleh karena itu orang tua hendaknya
30 Mansur, Pendidikan Anak Usia D ini dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, him. 6 - 7 31 QS. Al Kahfi 16: 46
mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar tidak menjerumuskan orang tua dan anak
itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di
sisi Allah-lah pahala yang besar”.33
Setiap orang tua muslim hendaknya juga menyadari bahwa anak merupakan
amanat Allah SWT yang dipercayakan kepadanya. Dengan demikian maka orang tua
muslim pantang mengkhianati amanatNya berupa dikaruniakannya anak kepada
mereka. Di antara sekian perintah Allah SWT berkenaan dengan amanatNya yang
berupa anak adalah bahwa setiap orang tua muslim wajib mengasuh dan mendidik
anak-anak dengan baik dan benar. Mendidik anak dengan baik agar menjadi generasi
yang berkulaitas merupakan salah satu cara mensyukuri karunia Allah SWT yang
berupa anak.34 Hal itu dilakukan agar tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan
lemah kehidupan duniawinya, namun agar dapat tumbuh dewasa menjadi generasi
yang saleh, sehingga terhindar dari siksa api nereka. Jika para orang tua benar-benar
menempuh jalan yang benar dalam mengemban amanat Allah SWT, yakni mendidik
anak-anak mereka dengan baik dan benar, niscaya fitrah Islamiyah anak akan tumbuh
dan lebih bisa diharapkan dapat masuk surga. Sebaliknya jika para orang tua lengah
dalam mengemban amanatNya, niscaya fitrah Islamiyah anak akan tercoreng atau
bahkan hilang sama sekali dan tergantikan oleh akidah lain. Dengan demikian yang
harus ditata dan ditingkatkan adalah kadar iman dan takwanya kepada Allah SWT.
6. Anak sebagai milik orang tua dan investasi masa depan
Pandangan anak sebagai investasi telah ada sejak abad pertengahan. Banyak
orang tua mempunyai pandangan bahwa setelah mereka tua atau meninggal dunia,
maka anak adalah penggantinya. Pada tahun 60-an berbagai program yang berlatar
belakang pentingnya anak sebagai investasi, berkembang di berbagai negara bagian
Amerika, yakni program kesejahteraan anak berdasarkan pandangan anak sebagai
investasi. Umumnya program-program tersebut berpandangan bahwa investasi yang
paling berharga bagi negara adalah anak-anak.35 Anak adalah milik orang tua atau
institusi, sehingga orang tua mempunyai hak atas diri anak. Hukum melindungi anak-
anak dari hukuman fisik dan perlakuan salah secara emosional. Orang tua harus
memasukkan anak ke sekolah sesuai undang-undang wajib belajar bagi anak. Orang
tua seringkah menganggap bahwa dia boleh melakukan apa saja terhadap anaknya
karena berpendapat bahwa anak adalah miliknya. Namun Islam memandang bahwa
anak milik Allah SWT, sedangkan orang tua adalah yang dipercaya dan diberi amanat
olehNya untuk mendidik sehingga tidak boleh memperlakukan seenaknya sesuai
kehendak dirinya, apalagi tidak sesuai dengan ajaran Islam.
7. Anak sebagai generasi penerus orang tua dan bangsa
Dengan hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang akan
meneruskan garis keturunannya. Garis keturunan tidak akan terputus dan
kelangsungan hidup manusia pada umumnya akan lebih teijamin.36 Sebagai orang tua
muslim, tentu menyadari betul akan pentingnya garis keturunan. Dengan
berlangsungnya garis keturunan, berarti lebih bisa diharapkan kemuslimannya akan
35 Soemantri, op.cit., him. 51
berlangsung terus. Anak keturunannya lebih bisa diharapkan menjadi generasi
perjuangan dalam menegakkan kalimat al-haqq. Allah SWT berfirman:
:'3 j\ (j* ^ cr? ^13
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”3
Disamping itu, setiap orang tua tentu menyadari betul bahwa anak adalah
pelestari pahala. Jika anak tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh, maka anak
dapat mengalirkan pahala walaupun orang tuanya telah meninggal dunia. Berarti jika
anak tidak menjadi generasi yang saleh, maka siksaan akan mengalir pula walaupun
orang tuanya telah meninggal dunia.
Dengan demikian apabila para orang tua muslim benar-benar menyadari
hakikat anak mereka yang dapat melestarikan pahala dan juga melestarikan siksa,
niscaya akan bangkitlah semangat untuk lebih waspada terhadap pendidikan anak-
anak mereka.37 38 Orang tua harus mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa
depan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari orang tuanya, minimal sejajar atau
sama dengan orang tuanya. Dengan demikian orang tua perlu mempersiapkan anak
sejak dini agar menjadi manusia unggul.
37 QS. An Nahl 16:7 2
C. Pendidikan Anak dalam Keluarga
Tahap-tahap perkembangan anak telah diakui tidak dapat dipastikan batas-
batasnya dengan tegas.39 Masing-masing ahli mengemukakan tahap-tahap perkembangan
anak berbeda-beda akibat perbedaan segi tinjauan mereka.
Pentingnya pengetahuan akan tahap-tahap perkembangan anak berkaitan dengan
keberhasilan pendidikan anak pada tahap tertentu. Para pendidik sangat berkepentingan
untuk mengetahui perkembangan anak didiknya baik secara fisik maupun psikologis.
Sebab, dengan tidak mengetahui hal ihwal anak Gidiknya, pendidik tidak akan mengetahui
tugas yang harus diusahakan, bahkan lebih dari itu dapat memungkinkan teijadinya
kegagalan kedua belah pihak yakni kegagalan cita-cita pendidik dan kegagalan hidup
psikis anak didik.
Mohammad Fauzil Adhim membagi tahap perkembangan anak menjadi 6 masa
yakni masa dalam kandungan, masa perkembangan bayi, masa kanak-kanak (thufulah),
masa tamyiz, masa amrad, dan masa taklif.40
1. Masa dalam kandungan
Pada masa dalam kandungan yang pada umumnya berlangsung selama kurang
lebih 9 bulan, kebutuhan yang paling penting bagi anak adalah kerahiman (kasih-
sayang tulus yang searah) dari ibunya.
39 M. Arifin, op.cit., him. 45
2. Masa perkembangan bayi
Masa perkembangan bayi dimulai sejak lahir hingga usia 2 tahun. Pada masa
ini anak memerlukan kasih-sayang dan perhatian dirinya untuk menuju kehidupan
berikutnya. Ibu diharapkan membimbingnya untuk mulai mengenali lingkungan
sosialnya. Ibu sudah perlu mengembangkan kasih-sayang dua arah. Selama
menumpahkan kasih-sayangnya, ibu juga merangsang anak untuk mengembangkan
kemampuannya untuk menanggapi ajakan ibunya.
c. Masa kanak-kanak (thufulah)
Masa kanak-kanak berlansung antara usia 2 - 7 tahun. Pada masa ini anak buth
dikembangkan potensinya dengan sebesar-besarnya. Anak pada masa ini sedang
berada pada tahap aktif-aktifnya, cerdas-cerdasnya, peka-pekanya, gemes-gemesnya
(cerewet-cerewetnya). Inilah masa untuk memberikan dasar-dasar tauhid kepada anak
yang akan mendorongnya untuk bergerak melakukan sesuatu yang baik.
d. Masa tamyiz (kemampuan awai membedakan baik dan buruk serta benar dan salah melalui penalarannya.
Pada usia 7 tahun, anak memasuki tahap perkembangan tamyiz. Pada tahap ini,
anak perlu mendapatkan pendidikan pokok syariat. Diharapkan pendidikan syariat dan
Al Qur’an bisa tuntas pada usia 10 atau 12 tahun.
e. Masa proses pendewasaan (amrad)
Masa amrad berlangsung mulai usia 1 0 - 1 5 tahun. Pada masa ini anak
memerlukan pengembangan potensi-potensinya untuk mencapai kedewasaan dan
kemampuan bertanggung jawab secara penuh. Ia membutuhkan latihan dan
membutuhkan dorongan, peluang-peluang dan ketersediaan ruang (terutama ruang
psikis) untuk melakukan eksperimentasi yang memungkinkan ia kelak mencapai
tanggung jaw ab dalam makna yang praktis dan tidak sekedar tuntutan formal fiqih.
Pada masa amrad ini anak mencapai apa yang lazim disebut ‘aqil-baligh
(akalnya sampai). Salah satu tuntutan atas seorang anak yang mencapai ‘aqil-baligh
adalah sifat rasyid (kecendekiaan) yang dicirikan oleh kemampuan mentasharujkan
harta (manajemen ekonomi/anggaran) yang berawal dari manajemen anggaran untuk
dirinya sendiri.
f. Masa taklif (tanggung jawab)
Menginjak usia 15 tahun, semestinya, seorang manusia sudah mencapai tahap
taklif. Selambat-lambatnya 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, seorang
manusia sudah bisa bertanggung jawab dalam lingkup ibadah, muamalah, munakahah
dan jinayah (peradilan). Keluasan tanggung jawab meliputi tanggung jawab kepada
diri sendiri, keluarga, tetangga, komunitas masyarakat dan dunia.
Bagi seorang wanita, tanggung jawab ekonomi msih berada di tangan orang
tua sampai ia menikah. Sedang bagi laki-laki, ia seharusnya sudah mampu membiayai
hidupnya sendiri, baik untuk kepentingan hidup sehari-hari maupun untuk kepentingan
pendidikan.
Dalam hubungannya dengan pendidikan anak menuju dewasa, Abdul Mustaqim
membagi tahap perkembangan anak menjadi 4 tahap yakni tahap pranatal (sebelum bayi
lahir), tahap kelahiran bayi, tahap anak-anak dan tahap remaja.41
41Abdul Mustaqim,
a. Tahap pranatal (sebelum bayi lahir)
Tahap ini berlangsung sejak proses pembuahan hingga anak lahir, yakni
sekitar sembilan bulan. Meskipun relatif singkat, proses perkembangan pada tahap
ini begitu penting. Sebab, pada saat hamil itulah seorang ibu mulai berperan dalam
mendidik anak. Ketika hamil sang ibu sebaiknya tidak boleh stres, panik, atau
marah-marah. Yang perlu dilakukan ibu adalah banyak berdoa, membaca Al
qur’an, atau bersholaawat kepada Nabi Muhammad SAW. Menumbuhkan sikap
tawakkal yang tinggi kepada Allah SWT sangat membantu kesehatan ibu dan
janinnya. Begitu juga menjaga pola makan yang sehat dan berolah raga. Dengan
begitu, insyaallah janin yang dikandung akan menjadi sehat jasmani-ruhani.
b. Tahap kelahiran bayi
Proses pendidikan selanjutnya adalah setelah anak lahir. Sejak itulah fitrah
keTuhanan mulai ditumbuhkembangkan secara bertahap. Fitrah yang dimaksud
adalah kecendrungan beragama dalam diri anak. Kecenderungan ini harus benar-
benar dijaga agar tetap lurus, sehingga anak tetap memiliki sikap tauhid yang
kukuh. Allah SWT berfirman:
^ J^a3 ( jJ l 4jjl C Jjjad Jksli
C. i'
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.42
42
Berdasarkan ayat di atas, sangat dianjurkan, ketika bayi lahir, untuk
mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Hal ini
dimaksudkan agar kalimat-kalimat yang pertama kali direkam bayi adalah kalimat
tauhid dan kalimat yang mengandung kebesaran Allah SWT.
Sejak lahir anak dibekali Allah SWT seperangkat kebutuhan jasmani dan
ruhani. Untuk itu sang ibu diperintahkan untuk menyusui anak dengan ASI-nya.
Menyusui anak dengan ASI dapat memenuhi kebutuhan jasmani anak, juga
kebutuhan ruhani dan emosinya. Sebab, dengan menetek dan melekat dengan sang
ibu, anak akan merasa aman dan nyaman, serta akan tumbuh menjadi pribadi yang
mantap, kuat dan sehat. Oleh karena itu, sebaiknya sang ibu menyusui anaknya
dengan keikhlasan dan kasih sayang.
Tentang anjuran menyusui anak dengn ASI, Allah SWT berfirman:
J p j S131 CJ^y~
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya, janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian, apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya, dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.43
Dengan memahami betapa berat perjuangan ibu dalam mendidik anak,
kelak akan dapat mengerti ihwal keajibannya untuk berbakti kepada kedua orang
tuanya. Inilah konteks pesan Allah SWT kepada manusia dalam firmanNya:
h
j i*jk 1 Aj jJ'^ J
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu”.44
c. Tahap anak-anak
Bayi yang begitu kecil mungil dapat bertumbuh-kembang dan akhirnya
menjadi anak-anak berkat asuhan orang tua. Perkembangan fisik dan mentalnya
pun mendekati kesempurnaan. Pada saat itulah muncul berbagai perkembangan
secara pesat, misalnya kemajuan dalam hal keterampilan fisik, emosi, sosialisasi,
pengertian, dan minatnya.
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama memililki
tanggung jawab untuk mengoptimalkan seluruh aspek perkembangan anak. Orang
tua harus mengarahkan pendidikan dalam lingkungan keluarga ke arah
keteladanan yang positif. Pola pendidikan berbasis keteladanan dalam keluarga
sangat menentukan kepribadian anak pada masa yang akan datang.
Luqman Al Hakim adalah sosok pendidik yang patut kita contoh
keteladanannya. Untaian hikmah Luqman sangat layak kita renungkan
sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’an:
, i=£ ^
j y s i ju l » ^ ^ a i O li l i j
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”.
cj j ' j i i r ^ 5 ( j o ? 3 ^ - ^ o ) t f !
n j)
J * r y > - 1- °
<&)l (2)1 <U)l llj- d - > U
^ 1
“(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
i _
o!
10
j
I
JO-
OjjOOJb J^lj 3 ^ > 5 1
© r > o *
“Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengeijakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
J l i i - s ^ - " ^ OIjI o j _/• ^ V T ( j 'J j ,iiu
Dari beberapa ungkapan hikmah Luqman tersebut, ada beberapa aspek
yang harus ditanamkan kepada anak, yakni:
1) Penanaman akidah atau tauhid.
Akidah atau tauhid dapat diibaratkan sebagai fondasi. Karena itu, ia harus
kukuh dan kuat. Landasan keimanan yang kuat mengantarkan anak tumbuh
menjadi pribadi yang mantap dan memiliki komitmen moral yang tinggi.
2) Penanaman kesadaran bertindak (berakhlak)
Kesadaran bertindak (berakhlah) berarti kesadaran yang didasarkan pada
keyakinan bahwa setiap gerak dan langkah manusia selalu berada dalam
pengawasan Allah SWT. Dengan keyakinan ini, manusia akan selalu sadar
bahwa setiap tindakan akan bernilai dan berimplikasi pad sebuah hasil (baik
atau buruk).
3) Perintah untuk mengerjakan shalat dan amar ma’ruf nahi munkar
Shalat harus mulai ditanamkan sejak kecil, sehingga ketika dewasa, anak telah
terbiasa dan disiplin dalam menjalankan shalat.
4) Pelatihan kesabaran
Kesabaran perlu ditanamkan sejak dini. Sebab, hidup ini penuh dengan
tantangan, hambatan dan rintangan. Tanpa kesabaran, seseorang akan mudah
putus asa dan patah semangat dalam meraih cita-citanya.
5) Larangan bersikap sombong dan angkuh
Kesombongan perlu dihindari karena akan mengantarkan pada kehinaan dan
kerendahan martabat, baik di mata Allah SWT maupun di mata manusia. Oleh
karena itu, sikap sombong, meremehkan orang lain dan pongah harus dibuang
jauh-jauh. Sebaliknya, sikap tawadlu’ dan rendah hati harus kita tanamkan
pada pribadi kita dan anak-anak kita.45