• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pengobatan Sendiri

Beberapa definisi pengobatan sendiri menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut:

a. Menurut World Health Organization (WHO), pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat modern dan obat tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. b. Menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP), pengobatan

sendiri adalah penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri.

c. Menurut World Self Medication Industry (WSMI), pengobatan sendiri adalah pengobatan untuk masalah kesehatan yang umum terjadi menggunakan obat yang dapat digunakan tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan serta aman dan efektif untuk penggunaan sendiri.

d. Pengobatan sendiri berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Tan dan Rahardja, 1993).

Pengobatan sendiri adalah salah satu elemen dari self-care. Self care adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah dan menghadapi penyakit. Pengobatan sendiri biasa dilakukan untuk mengatasi penyakit ringan (Depkes RI, 2006). Menurut Winfield dan Richards (1998), kriteria suatu masalah kesehatan yang termasuk penyakit ringan adalah memiliki durasi penyakit yang terbatas dan tidak

(2)

mengancam bagi diri pasien. Beberapa penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, antara lain demam, nyeri, batuk, flu, diare, cacingan dan maag (Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat dalam menjaga kesehatan dan menjadi alternatif yang banyak dipilih oleh masyarakat karena dapat menanggulangi keluhan secara cepat dan efektif. Pengobatan sendiri merupakan sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan, karena mengurangi beban pelayanan kesehatan serta meningkatkan keterjangkauan obat oleh masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan.

Keuntungan dari pengobatan sendiri adalah aman apabila digunakan sesuai petunjuk, efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% dari penyakit ringan bersifat self- limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi sarana dan profesi kesehatan serta berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi untuk diri sendiri (Supardi dan Notosiswoyo, 2006).

Sebaliknya, pengobatan sendiri yang dilakukan secara tidak tepat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam penggunaan obat dan kurangnya kontrol pada pelaksanaannya (Association of Real Change, 2006). Dampak lainnya yaitu dapat menyebabkan bahaya serius terhadap kesehatan, seperti reaksi obat yang merugikan, perpanjangan masa sakit, resiko kontraindikasi dan ketergantungan obat. Oleh karena itu, upaya untuk membekali masyarakat agar

(3)

mempunyai keterampilan untuk mencari informasi obat secara tepat dan benar perlu dilakukan (Holt, 1986).

2.2 Pengobatan Sendiri yang Sesuai Aturan

Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang tepat. Definisi penggunaan obat rasional menurut hasil konferensi WHO dalam “Conference of Experts on the Rational Use of Drugs” di Nairobi 1985 adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu, mendapatkan obat dalam jangka terapi yang cukup dan biaya pengobatan yang terjangkau bagi masyarakat (Depkes RI, 2006).

Pengobatan sendiri harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami. Pelaksanaannya sedapat mungkin harus memenuhi kriteria pengobatan sendiri yang sesuai aturan. Pengobatan sendiri yang sesuai dengan aturan mencakup 4 kriteria antara lain: (a) tepat golongan obat, yaitu menggunakan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, (b) tepat kelas terapi obat, yaitu menggunakan obat yang termasuk dalam kelas terapi yang sesuai dengan keluhannya, (c) tepat dosis obat, yaitu menggunakan obat dengan dosis sekali dan sehari pakai sesuai dengan umur dan (d) tepat lama penggunaan obat, yaitu apabila berlanjut segera berkonsultasi dengan dokter (Depkes RI, 2006).

2.3 Pengobatan Sendiri yang Tidak Sesuai Aturan

Pemakaian obat yang tidak tepat merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan yang menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Kesalahan penggunaan obat dalam pengobatan sendiri ternyata masih terjadi terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat. Apabila

(4)

kesalahan terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Kesalahan pengobatan (medication error) menurut National Coordinating Council Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) adalah setiap kejadian yang dapat dihindari yang menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat sehingga membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga kesehatan, pasien atau konsumen.

Kejadian medication error terdiri dari 4 fase, yaitu: a. Prescribing phase (fase penulisan resep)

Kesalahan yang terjadi pada fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai.

b. Trancribing phase (fase pembacaan resep)

Kesalahan yang terjadi fase ini meliputi: kekeliruan saat membaca resep sehingga berdampak pada kesalahan pada obat yang diberikan, kesalahan pada pembacaan perintah pada resep yang disengaja atau tidak disengaja dan adanya perintah pada resep yang terlewatkan sehingga tidak dikerjakan.

c. Dispensing phase (fase peracikan atau penyiapan resep)

Fase ini meliputi peracikan, penyiapan sampai penyerahan resep kepada pasien oleh petugas apotek. Kesalahan yang dapat terjadi pada fase ini meliputi: kesalahan pengambilan obat karena adanya kemiripan nama atau kemiripan kemasan, kesalahan pemberian obat kepada pasien karena tidak teliti membaca identitas pasien, kesalahan pemberian label obat sehingga aturan dan

(5)

cara pakai obat tidak sesuai lagi, kesalahan pada penyampaian informasi obat kepada pasien.

d. Administration phase (fase penggunaan)

Kesalahan pada fase ini meliputi: kurangnya kepatuhan pasien terhadap cara dan aturan pakai obat yang digunakan.

Menurut National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) kategorisasi medication error adalah sebagai berikut:

Kategori A: Keadaan atau kejadian yang memiliki kapasitas untuk menyebabkan menyebabkan kesalahan, tetapi tidak ada kesalahan yang sebenarnya terjadi. Kategori B: Terjadi kesalahan tetapi kesalahan tidak mencapai pasien

Kategori C: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien tetapi tidak membahayakan pasien

Kategori D: Terjadi kesalahan yang mencapai pasien dan pemantauan yang diperlukan untuk mengkonfirmasikan bahwa kesalahan tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi pasien dan/atau intervensi yang diperlukan untuk mencegah bahaya.

Kategori E: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan kerusakan sementara untuk pasien dan ada intervensi yang diperlukan.

Kategori F: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan kerusakan sementara terhadap pasien dan diperlukan rawat inap berkepanjangan di rumah sakit.

Kategori G: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan kerusakan pasien secara permanen.

(6)

Kategori H: Terjadi kesalahan dan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan hidup.

Kategori I: Terjadi kesalahan yang mungkin telah berkontribusi atau menyebabkan kematian pasien.

Medication error dapat terjadi dimana saja dalam rantai pelayanan obat kepada pasien, mulai dari industri, dalam peresepan, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Setiap tenaga kesehatan dalam rantai ini dapat memberikan kontribusi terhadap kesalahan (Cohen, 1991).

Faktor penyebab terjadinya medication error antara lain: a) komunikasi yang buruk baik secara tertulis dalam bentuk kertas resep maupun secara lisan (antara pasien, dokter dan apoteker), b) sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat), c) sumber daya manusia (kurangnya pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan), d) kurangnya edukasi kepada pasien, e) kurangnya peran pasien dan keluarga (Cohen, 1991).

Pencegahan terjadinya medication error dapat didekati dengan konsep-konsep human error (Anonim, 2011).

1. Error awareness. Setiap individu harus menyadari bahwa medication error dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Jika terjadi medication error maka akibat yang dapat timbul sangat beragam dari yang ringan/tanpa gejala hingga menyebabkan kematian. Pemahaman yang baik mengenai medication error perlu diterapkan di unit-unit pelayanan yang langsung berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, perawat, apoteker, asisten apoteker dan petugas administrasi obat.

2. Pengamatan Sistematik. Penyebab medication error dapat berasal dari individu ataupun dari sistem. Petugas yang lelah, ceroboh, atau dalam situasi psikologis

(7)

yang buruk dapat mengawali terjadinya medication error. Selain itu, sistem yang buruk yang tidak mendukung mekanisme kerja yang baik, atau tidak dijalankan atas dasar prosedur yang standar juga dapat menjadi sumber medication error. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan secara sistematik apakah system tersebut ikut berperan terhadap penyebab terjadinya medication error. Sebagai contoh, buruknya sistem kerjasama antara dokter, perawat, dan apoteker akan selalu menjadi penyebab timbulnya medication error.

3. Evaluasi Kinerja Petugas. Perlu dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang sistematik dan komprehensif untuk mengetahui kinerja petugas. Kinerja ini kemudian dievaluasi secara terus menerus sehingga masing-masing petugas mengetahui hal-hal yang berpotensi menimbulkan medication error.

4. Antisipasi Kesalahan Melalui Sistem Koding dan SOP. Standard Operational Procedure (SOP) untuk prescribing, transcribing, dispensing dan administration perlu dibuat untuk meminimalkan risiko medication error. Sebagai contoh, jika ada bagian resep yang tidak terbaca, maka konsultasi langsung ke penulis resep haruslah menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Pencatatan nama dan alamat pasien sebenarnya merupakan satu SOP yang baik, tetapi selama ini tidak pernah ada evaluasi harian bagi apotek untuk selanjutnya segera menghubungi pasien pada hari yang sama jika terbukti terjadi kekeliruan.

5. Computerised Prescribing. Metode ini telah dilakukan di berbagai rumah sakit di Amerika, khususnya untuk pasien rawat inap. Penulisan resep oleh dokter tidak dilakukan di secarik kertas resep tetapi melalui komputer. Suatu

(8)

perangkat lunak (software) kemudian menerjemahkan dan menginformasikan mengenai ketepatan dosis, frekuensi, dan cara pemberian obat serta kemungkinan interaksi obat yang terjadi dalam peresepan yang dituliskan oleh dokter. Melalui cara ini resiko medication error dapat dikurangi hingga 75%.

2.4 Faktor- Faktor Pengobatan Sendiri

Tindakan pengobatan sendiri cenderung akan meningkat. Faktor- faktor yang memepengaruhi tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut: pengetahuan masyarakat tentang penyakit ringan dan berbagai gejala serta pengobatannya, motivasi masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit ringan tersebut, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan obat-obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dokter atau obat OTC (over the counter) secara luas dan terjangkau untuk mengatasi penyakit ringan (Supardi, 1997).

Menurut Sukasediati (1996), faktor lain yang berperan pada tindakan pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat antara lain:

a. Persepsi sakit

Persepsi seseorang mengenai berat ringannya penyakit yang dirasakan dapat menentukan alternatif pengobatan yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Untuk penyakit ringan, pasien akan memilih beristirahat saja atau membeli obat ditempat terdekat sesuai dengan keperluan pengobatan penyakit.

b. Ketersediaan informasi tentang obat

Ketersediaan informasi obat dapat menentukan keputusan pemilihan obat. Sumber informasi yang sampai ke masyarakat sebagian besar berasal dari media elektronik dan sumber-sumber lain seperti petugas kesehatan.

(9)

c. Ketersediaan obat di masyarakat

Ketersediaan obat di masyarakat merupakan faktor penentu yang memungkinkan masyarakat mendapatkan dan menggunakan obat. Obat yang digunakan oleh masyarakat biasanya diperoleh di apotek, toko obat, warung dan minimarket.

d. Sumber informasi cara pemakaian obat.

Sumber informasi cara pemakaian obat dapat diperoleh dari kemasan atau brosur yang menyertai obat serta dapat menanyakannya langsung kepada petugas apotek atau penjaga toko.

2.5 Obat-Obatan Pada Pengobatan Sendiri

Obat-obatan yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri sering disebut sebagai over the counter drugs (OTC). Bagi sebagian orang, obat-obat OTC dapat berbahaya ketika digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain. Tetapi bagi sebagian lainnya, obat-obat OTC sangat bermanfaat dalam pengobatan sendiri untuk mengatasi penyakit ringan hingga sedang (Fleckenstein, 2011).

Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO. 2380/1983).

2.5.1 Obat Bebas (OB)

Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: vitamin atau mulitivitamin, dan beberapa obat analgetik-antipiretik (parasetamol).

(10)

Obat bebas terbatas disebut Daftar W (Waarschuwing = peringatan) masih termasuk golongan obat keras tetapi dapat dibeli tanpa resep dokter sehingga penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker Penanggung Jawab. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: obat batuk, obat flu, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), obat antimabuk (antimo), klorfeiramin maleat (CTM).

Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Label “P” ada beberapa macam, yaitu:

a. Tanda peringatan nomor 1 (P1) adalah Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. Contoh: OBH Combi®, Decolsin® dan Saridon®

b. Tanda peringatan nomor 2 (P2) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh: Betadineobat kumur.

c. Tanda peringatan nomor 3 (P3) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh: Kalpanax®, Daktarin® dan Canesten®

d. Tanda peringatan nomor 4 (P4) adalah Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.

e. Tanda peringatan nomor 5 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. Contoh: Dulcolax®

f. Tanda peringatan nomor 6 (P5) adalah Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh: Superhoid®

Semua obat yang termasuk dalam golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pakai dan pernyataan lain yang

(11)

diperlukan. Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan ‘apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter’ (SK Menkes No. 386/1994).

2.5.3 Obat Wajib Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/ MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Apoteker dalam melayani pasien yang memerlukan obat diwajibkan untuk:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang termasuk Obat Wajib Apotek.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia

(12)

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri

2.5.4 Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisonal secara turun-temurun telah digunakan untuk kesehatan berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat. Obat tradisional banyak digunakan masyarakat karena mudah didapat, harga terjangkau dan berkhasiat untuk pengobatan, perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).

Golongan obat yang tidak diperbolehkan penggunaannya pada pengobatan sendiri adalah golongan obat keras tetapi pada prakteknya golongan obat tersebut masih banyak digunakan oleh masyarakat. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Obat keras mempunyai tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini antara lain: obat jantung, obat antihipertensi, obat antidiabetes, hormon, antibiotika dan obat ulkus lambung (Ditjen POM, 2008).

2.6 Penyakit dan Pilihan Obat Pada Pengobatan Sendiri

Penyakit-penyakit yang banyak diatasi dengan pengobatan sendiri antara lain: demam, batuk, flu, nyeri, diare dan maag (Supardi, 2006; Abay, 2010). 2.6.1 Demam

(13)

Demam adalah keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau diatas 37o C dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Demam dapat disebabkan

karena faktor infeksi dan non infeksi.

a. Faktor infeksi antara lain: kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain. b. Faktor non infeksi antara lain: dehidrasi, alergi, stress, trauma, kelainan kulit

yang luas, penyakit keganasan seperti kanker.

Pada demam karena infeksi kemungkinan dapat disertai menggigil. Menggigil bukan merupakan suatu gejala infeksi karena menggigil juga dapat terjadi karena demam yang disebabkan alergi atau penyakit keganasan. Keringat yang berlebihan umumnya terjadi pada saat temperatur tubuh turun secara tiba-tiba dan sering terjadi pada dini hari.

Penanggulangan dengan terapi non obat untuk mengatasi demam ringan dapat diatasi dengan banyak minum, kompres, alkohol di daerah lipatan tubuh atau permukaan tubuh atau memakai pakaian yang tipis. Terapi obat yaitu dengan menggunakan obat penurun panas (antipiretik) dan hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara terapi non obat demam tidak dapat diatasi. Obat penurun panas (antipiretik) yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal. Kedua obat ini mempunyai efek penurun panas dan pereda nyeri yang setara.

Dosis pemakaian obat penurun panas untuk dewasa umumnya tiga hingga 4 kali sehari. Batas waktu pemakaian obat penurun panas pada pengobatan sendiri tidak lebih dari 2 hari. Obat penurun panas tidak boleh diminum bersamaan dengan obat flu karena umumnya obat flu sudah mengandung bahan obat yang sama dengan obat penurun panas. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya diminum

(14)

setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut berisiko mengiritasi lambung (Depkes RI, 2006).

Hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat penurun panas adalah: a. Obat penurun panas hanya mengurangi gejala penyakit, tetapi tidak mengobati

penyakit yang mendasarinya atau penyebab penyakit.

b. Penderita demam harus berkonsultasi dengan dokter atau unit pelayanan kesehatan bila:

- demam berlanjut lebih dari 2 hari

- demam disertai gejala lain seperti kaku kuduk, pingsan, bintik merah pada kulit, nyeri hebat, mata kuning, diare hebat, kejang dan menggigil.

2.6.2 Nyeri

Nyeri adalah suatu gejala subyektif yang kompleks berupa emosional yang tidak menyenangkan dan pengalaman sensoris yang terjadi karena adanya rangsangan pada ujung-ujung saraf yang sangat peka pada jaringan tubuh. Bila terjadi rangsangan pada ujung-ujung saraf maka senyawa kimia prostaglandin akan terbentuk. Zat inilah yang bekerja pada ujung-ujung saraf jaringan yang rusak dan akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak sehingga timbul rasa nyeri tersebut (Depkes RI, 1997).

Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan pada ujung-ujung saraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara lain: trauma akibat benda tajam, benda tumpul, bahan kimia dan juga karena proses infeksi atau peradangan.

Obat nyeri (analgetik) adalah obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Beberapa obat nyeri yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri merupakan obat golongan NSAIDs atau analgetik-antipiretik,

(15)

antara lain ibuprofen, asetosal dan parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan untuk menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol efek penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes RI, 2006).

Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari lima hari (Depkes RI, 2006).

2.6.3 Batuk

Batuk adalah refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru-paru dari aspirasi yaitu masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Saluran pernapasan dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkus, bronkhioli sampai ke jaringan paru-paru. Penyebab batuk ada dua, yaitu: faktor infeksi oleh bakteri dan virus, misalnya tuberkulosis, influenza, campak, batuk rejan. Faktor non infeksi oleh debu, asap, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan (Depkes RI, 2006).

Batuk dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Batuk berdahak, yaitu batuk yang terjadi karena adanya dahak di tenggorokan. Batuk berdahak lebih sering terjadi pada saluran napas yang peka terhadap paparan debu dan lembab berlebih.

b. Batuk tak berdahak (batuk kering), yaitu batuk yang terjadi apabila tidak ada sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan , sehinga timbul rasa sakit.

(16)

a. Sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal.

b. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang meragsang tenggorokan dan udara malam hari.

Penanggulangan dengan terapi obat adalah dengan menggunakan obat batuk. Sesuai dengan jenis batuk, maka obat batuk dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ekspektoran (pengencer dahak), antitusif (penekan batuk). Banyak obat batuk dipasaran beredar dalam bentuk kombinasi yang tidak lebih unggul dari bentuk tunggal.

a. Ekspektoran (Pengencer Dahak)

Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi cairan saluran napas,

sehingga mempermudah perpindahan dahak dan ekspektoransinya (pengeluarannya). Beberapa ekspektoran yang dapat diperoleh tanpa resep

dokter adalah: gliserilguaiakolat, ammonium klorida, bromheksin, dan succus liquiritiae.

b. Antitusif (Penekan Batuk)

Obat-obat kelompok ini bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk. Antitusif yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah: dekstrometorfan HBr, noskapin dan difenhidramin HCl

Dikenal juga istilah mukolitik, yaitu obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum. Beberapa contoh mukolitik yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri antara lain bromheksin dan asetilsistein (Estuningtyas, 2007). Dosis pemakaian obat batuk untuk dewasa umumnya tiga hingga empat

(17)

kali sehari. Batas waktu penggunaan obat batuk pada pengobatan sendiri tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat batuk adalah:

a. Apabila batuk berlangsung lebih dari 3 hari atau setelah pengobatan sendiri tidak ada perbaikan atau batuk menjadi lebih berat, dahak bercampur darah atau berwarna hijau/kuning, sesak maka segera konsultasi ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.

b. Obat-obat batuk yang beredar di pasaran dimaksudkan untuk meringankan gejala batuk (Depkes RI, 1997).

2.6.4 Flu

Flu adalah penyakit yang menyerang bagian hidung, tenggorokan dan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi virus influenza. Penyakit ini dapat menyebar dengan mudah dari satu orang ke orang lain. Umumnya, penyebaran terjadi melalui udara, dari batuk atau bersin. Virus flu juga dapat disebarkan melalui kontak langsung dengan penderita atau kontak dengan benda-benda yang digunakan oleh penderita (WHO, 2012).

Gejala yang dialami pada saat flu, antara lain demam, menggigil, batuk, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi, malaise parah (rasa tidak enak badan), sakit tenggorokan dan hidung berair. Gejala tersebut dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu satu minggu tanpa perlu menggunakan obat-obatan. Akan tetapi, gejala dapat muncul lebih parah pada orang-orang dengan sisitem imun yang rendah atau pada penderita penyakit kronis (WHO, 2012).

(18)

Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:

a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan menurunkan demam. b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau reaksi alergi

lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat efek histamin yang dapat menyebabkan alergi . Contoh: CTM dan difenhidramin HCl.

c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh: fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.

d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang menyertai flu.

Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat mengandung kombinasi yang sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan berbagai merek obat flu pada saat bersamaan. Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas waktu penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih dari tiga hari (Depkes RI, 2006).

2.6.5 Maag

Gastritis adalah radang selaput lendir lambung, dapat disertai tukak lambung usus 12 jari, atau tanpa tukak dan dikenal juga sebagai sakit maag. Selain karena infeksi bakteri Helicobacter pylori, gastritis disebabkan oleh rangsangan kelebihan asam lambung. Adapun kelebihan asam lambung dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

a. Faktor kecemasan, emosi atau stress

(19)

c. Makanan atau minuman yang merangsang produksi asam lambung

Gejala berupa rasa nyeri dan panas pada perut bagian atas atau ulu hati, mual, muntah dan banyak gas (kembung). Penanggulangan dengan terapi non obat adalah dengan makan secara teratur, hindari makanan/minuman yang merangsang lambung dan hindari stress.

Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati dengan antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan asam lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung. Antasida yang beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam aluminium dan garam magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun diare. Kandungan lain antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat membantu pengeluaran gas yang berlebih di dalam saluran cerna.

Dosis pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari. Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2 minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu sebelum ditelan b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan terbaiknya adalah

saat gejala timbul pada waktu lambung kosong dan menjelang tidur malam. c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya antibiotik.

Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.

d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka panjang. 2.6.6 Diare

(20)

Diare adalah keadaan dimana terjadi peningkatan frekuensi buang air besar (BAB) lebih dari biasanya (3 - 4 kali dalam 24 jam) dan terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi melembek sampai mencair. Wujud tinja merupakan ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi buang air. Meski sering buang air tapi wujud tinja lunak dan berisi tidak dapat dikatakan diare.

Diare dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: diare akut dan diare kronik. a. Diare akut (mendadak) adalah diare yang berlangsung kurang dari 2 minggu.

Gejalanya berupa: tinja cair, biasanya terjadi mendadak, disertai rasa lemas, kadang-kadang demam atau muntah, biasanya berhenti/berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat terjadi akibat infeksi virus, infeksi bakteri, akibat obat-obatan dan makanan tertentu.

b. Diare kronik adalah diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu lama. Umumnya berlangsung lebih dari 2 minggu atau bahkan beberapa bulan.

Diare merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh. Umumnya diare merupakan gejala dari adanya infeksi di saluran cerna yang disebabkan oleh virus, bakteri dan mikrooganisme parasit lain. Namun banyaknya cairan tubuh yang dikeluarkan bersama tinja akan mengakibatkan dehidrasi.

Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan yang dapat berakibat kematian, utamanya pada anak/bayi bila tidak segera diatasi. Oralit merupakan satu-satunya obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare karena kehilangan cairan tubuh. Oralit tidak menghentikan diare, tetapi mengganti cairan tubuh yang hilang bersama tinja. Dengan mengganti cairan tubuh tersebut,

(21)

terjadinya dehidrasi dapat dihindari. Oralit merupakan campuran gula, garam kalium dan natrium yang tersedia dalam bentuk serbuk untuk dilarutkan.

Pilihan obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi diare pada pengobatan sendiri adalah karbo adsorben dengan dosis pemakaian untuk dewasa adalah 3 sampai 4 tablet tiga kali sehari dan juga kombinasi kaolin-pektin attapulgit dengan dosis pemakaian untuk dewasa satu tablet tiap buang air besar dan maksimal 12 tablet selama 24 jam (Depkes RI, 2006).

2.7 Pengetahuan dan Sikap Pengobatan Sendiri

Pengetahuan kesehatan merupakan pengetahuan tentang berbagai jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan penggunaan obat, penyebab penyakit dan cara menanggulanginya. Peningkatan pengetahuan dari pasien untuk dapat mendiagnosis dirinya sendiri menjadi bagian yang sangat penting. Pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar adalah:

a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya, dalam hal ini mengetahui bahan aktif yang terdapat dalam obat yang digunakan. b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat yang digunakan, biasa disebut indikasi. c. Mengetahui penggunaan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama

pemakaian). Tahu batas kapan mereka harus menghentikan pengobatan sendiri dan segera meminta pertolongan petugas kesehatan jika penyakit tidak juga membaik.

d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan apakah suatu keluhan yang timbul adalah penyakit baru atau efek samping obat.

(22)

e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut, biasa disebut kontraindikasi.

f. Mengetahui efek penggunaan obat jika diminum bersama dengan obat lain. Untuk melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif, diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam memilih obat. Salah satu cara memperoleh pengetahuan adalah melalui informasi obat. Informasi obat yang paling banyak dijumpai masyarakat sehari-hari adalah yang berasal dari indusrti farmasi yang bersifat komersil dalam bentuk iklan (Suryawati, 1997).

Peningkatan pengetahuan masyarakat dalam masalah kesehatan, khususnya dalam masalah penggunaan obat-obatan, harus didukung dengan sikap pengobatan sendiri yang baik. Sikap adalah respon atau prilaku seseorang terhadap tindakan yang akan dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan masyarakat ketika akan melakukan pengobatan sendiri (Depkes RI, 2008; Atmoko dan Kurniawati, 2009) adalah:

a. Kenali gejala penyakit atau keluhan kesehatan yang diderita

b. Gunakan obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek

c. Obat dapat diperoleh di apotek atau toko obat berizin

d. Sebelum menggunakan obat, bacalah sifat, cara pemakaian, tanggal kadaluarsa pada etiket, brosur dan kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman. e. Tentukan obat yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan yang dialami seperti:

- Pilih obat dengan formula yang paling sederhana dengan memperhatikan komposisi dan dosis. Secara umum komposisi tunggal lebih dianjurkan.

(23)

- Pilih obat yang mengandung dosis efekif, serta mencantumkan komposisi dan jumlahnya.

- Dianjurkan untuk menggunakan produk generik bila tersedia

- Berhati-hatilah terhadap iklan yang melebihkan efek obat dibanding produk lain yang sejenis.

- Perhatian khusus harus diberikan untuk pemberian pada anak-anak, terutama mengenai dosis, bentuk sediaan dan rasa.

f. Perhatikan waktu penggunaan obat dengan kesembuhan atau berkurangnya keluhan penyakit, bila dalam beberapa hari tidak terdapat perubahan sebaiknya meminta bantuan dokter atau tenaga medis lainnya.

g. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut: - Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus

- Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur obat

- Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan obat dan tanyakan kepada dokter atau apoteker

- Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala penyakit sama

- Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lengkap tanyakan kepada apoteker

h. Gunakan obat tepat waktu sesuai dengan aturan penggunaan

i. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena praktis, mudah dan aman. Cara terbaik adalah dengan meminum obat dengan segelas air putih matang.

(24)

- Simpan obat dalam wadah kemasan asli dan tertutup rapat

- Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung atau seperti yang tertera pada kemasan

- Simpan obat pada tempat yang tidak panas dan tidak lembab karena dapat merusak obat

- Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak - Jauhkan dari jangkauan anak-anak

2.8 Masalah-Masalah Pada Pengobatan Sendiri

Di Indonesia tercatat bahwa ada 30% konsumen yang pernah dan biasa melakukan pengobatan sendiri dan diantaranya adalah untuk jenis obat-obatan antibiotik. Dari data World Health Organization (WHO) pada tahun 2010, terdapat sekitar 25 ribu orang di Eropa yang meninggal karena infeksi bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Jika dilakukan studi di Indonesia, ada kemungkinan ditemukan indikasi yang sama karena keberadaan antibiotik yang selama ini sangat mudah diperoleh sehingga penggunaannya menjadi cenderung tidak rasional. Antibiotik selama ini dianggap sebagai obat segala penyakit yang dapat dibeli bebas dengan harga terjangkau (Kartajaya, 2011).

Adapun dalam fenomena pengobatan sendiri, peresepan sendiri (termasuk pembelian obat tanpa resep) ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perkembangan teknologi informasi, dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat akan lebih mudah dalam mengakses informasi termasuk didalamnya informasi mengenai kesehatan. Masyarakat menjadi terbuka dengan adanya informasi di internet mengenai pengobatan, termasuk juga pengobatan alternatif.

(25)

Masyarakat menjadi lebih berani untuk melakukan pengobatan berdasarkan informasi yang diperoleh dari internet.

Informasi melalui media cetak dan elektronik juga memudahkan masyarakat memakai obat seperti analgetik atau antipiretik yang tidak tepat indikasi pemakaiannya. Seperti karena adanya beban pekerjaan, maka seseorang dengan mudah menggunakan analgetik karena merasa sakit kepala ringan. Begitu pula pada ibu rumah tangga yang cepat merasa khawatir apabila anaknya demam, maka segera memberikan antipiretik. Hal tersebut tidak semata-mata dapat menjadi acuan terhadap pengobatan sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Karena dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk mendiagnosa penyakit agar diperoleh pengobatan yang lebih efektif (Kartajaya, 2011).

Selain itu, banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan media-media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk memilih obat tanpa resep (Kartajaya, 2011).

Kemudahan mendapatkan obat juga mendukung peningkatan jumlah pengobatan sendiri di masyarakat. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat. Selain itu, juga terjadi perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan

(26)

semacam ini juga mempunya kontribusi dalam pengobatan sendiri (Kartajaya, 2011).

Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko obat modern seperti minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat over the counter (OTC) yang biasa digunakan untuk pengobatan sendiri. Survei yang dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket dan minimarket merupakan tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat (Kartajaya, 2011).

Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002), salah satu kriteria wajib pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai persyaratan wajib, keberadaan apoteker juga menjadi salah satu keunggulan apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen untuk pengobatan sendiri. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi pengobatan sendiri karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan pengobatan sendiri yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya seringkali sebuah apotek tidak memilki apoteker yang selalu siap siaga melayani konsumen yang membutuhkan (Kartajaya, 2011).

Jika apotek sudah memiliki keunggulan dibandingkan jenis outlet obat lain, maka apotek juga perlu memiliki keunggulan dibanding apotek lainnya. Dewasa ini, bisnis apotek tidak hanya dituntut untuk mengedepankan sisi produk saja melainkan juga pelayanan. Pelayanan dalam hal ini tidak hanya menyangkut

(27)

bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi yang istimewa dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat (Kartajaya, 2011).

Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, apoteker memiliki peran dan tanggung jawab yang besar pada pengobatan sendiri. Peran dan tanggung jawab apoteker ini didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care, dimana kegiatan apoteker yang sebelumnya berorientasi pada obat menjadi berorientasi pada pasien. Didasarkan pada filosofi ini, maka tanggung jawab apoteker adalah mengidentifikasi, memecahkan dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat (drug-related-problem), sehingga dapat tercapai terapi yang optimal.

Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no.51 Pasal 21 ayat 2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.

Tanggung jawab ini tidak hanya muncul pada pelayanan namun juga pada pengobatan sendiri. Secara lebih spesifik, tanggung jawab apoteker terhadap prilaku pengobatan sendiri masyarakat telah dirumuskan oleh FIP dan WSMI dalam suatu kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut dikatakan bahwa tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah memberikan saran dan mendampingi pasien dalam pemilihan obat, menginformasikan efek samping yang

(28)

muncul pada industri farmasi, menyarankan rujukan kepada dokter, dan memberitahu cara penyimpanan obat yang benar (FIP, 1999).

Menurut WHO, fungsi atau tanggung jawab apoteker dalam pengobatan sendiri adalah sebagai komunikator (communicator), penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier), pengawas dan pelatih (trainer and supervisor) dan promoter kesehatan (health promoter) (WHO, 1998).

a. Komunikator (communicator)

Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh apoteker adalah memberikan informasi yang objektif tentang obat kepada pasien agar pasien dapat menggunakan obat secara rasional. Informasi yang harus diberikan oleh apoteker meliputi informasi mengenai bentuk sediaan obat, efek terapi, cara penggunaan, dosis, frekuensi penggunaan, dosis maksimum, lama penggunaan, efek samping yang mungkin timbul dan memerlukan penanganan dokter, kontraindikasi obat, makanan dan aktivitas yang harus dihindari selama penggunaan obat tersebut dan penyimpanan obat (WHO, 1998; Jepson, 1990; Rudd, 1983).

b. Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)

Seseorang farmasis harus menjamin bahwa obat yang tersedia berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik. c. Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)

Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru untuk meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan berkelanjutan. Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh

(29)

staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf yang bukan farmasis. d. Kolaborator (collaborator)

Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah (Lokal/Nasional), klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam pelayanan pengobatan sendiri.

e. Promotor Kesehatan (Health promotor)

Farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.

Referensi

Dokumen terkait

Suatu obat dimasukkan dalam golongan obat bebas bukan karena khasiatnya rendah, tapi karena memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Menteri Kesehatan untuk

Penggunaan obat yang rasional yaitu pasien menerima pengobatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan klinis, dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individual mereka sendiri,

Beberapa perilaku yang tidak menunjang tersebut antara lain adalah kebiasaan mencari pengobatan sendiri dengan membeli obat di warung dan menggunakan obat dengan dosis tidak

Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih. dari lima hari (Depkes

11,21-2 Pengobatan sendiri ini diharapkan dapat mengatasi nyeri odontogenik dan dalam penggunaannya seharusnya mengikuti aturan yang berlaku seperti menggunakan sesuai

Tujuan dari penggunaan obat secara tepat yaitu guna menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang efektif dengan

Obat generik berlogo adalah golongan obat yang dikenal sebagai obat tiruan atau obat imitasi dari obat yang telah melebihi siklus hidupnya (mature drugs)

Obat herbal terstandar juga harus memenuhi kriteria diantaranya : Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik,