• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria 2.1.1 Pengertian

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang dapat ditandai dengan demam, hepatosplenomegali dan anemia. Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina ( Kemenkes, 2013 ).

2.1.2 Klasifikasi

Kemenkes (2009) mengklasifikasikan Malaria sebagai berikut :

1. Kasus tersangka malaria (malaria suspek) seseorang yang tinggal di daerah endemis malaria atau adanya riwayat bepergian ke daerah endemis (penularan) malaria dalam empat minggu terakhir sebelum menderita sakit, menderita sakit dengan gejala demam atau riwayat demam dalam 48 jam terakhir

2. Kasus malaria konfirmasi atau disebut kasus malaria positif adalah seseorang dengan hasil pemeriksaan sediaan darah positif malaria berdasarkan pengujian mikroskopis ataupun rapid diagnostic test/RDT. Kasus malaria konfirmasi terbagi menjadi :

(2)

a. Kasus malaria indigenous adalah kasus malaria positif yang penularannya terjadi di wilayah setempat dan tidak ada bukti langsung berhubungan dengan kasus impor. Secara teknis, kasus malaria indigenous adalah kasus tersangka malaria yang tidak memiliki riwayat bepergian ke daerah endemis malaria dalam empat minggu sebelum sakit dan hasil pemeriksaan sediaan darah adalah positif malaria

b. Kasus malaria impor adalah kasus malaria positif yang penularannya terjadi di luar wilayah. Secara teknis kasus malaria impor adalah kasus tersangka malaria dengan riwayat bepergian ke daerah endemis malaria dalam 4 minggu terakhir sebelum menderita sakit dan hasil pemeriksaan sediaan darah adalah positif malaria.

c. Kasus introduced adalah kasus penularan setempat generasi pertama yang berasal dari kasus impor.

2.1.3 Gambaran Klinis Malaria

Menurut Harijanto (2012), gejala malaria diawali gejala prodormal sebelum demam yaitu biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual, di ulu hati, atau muntah..

Pola demam pada malaria biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan, yang sering disebut “Trias Malaria” (Malaria paroxysm) terdiri dari stadium dingin, panas dan berkeringat. Gejala–gejala malaria “klasik” seperti diuraikan di atas tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung pada spesies parasit, umur, dan tingkat imunitas penderita. Selain

(3)

pengaruh spesies dan strain, masa inkubasi bisa menjadi lebih lama karena pemakaian obat antimalaria untuk pencegahan (kemoprofilaksis).

2.1.4 Cara Penularan

Menurut Depkes RI (2003), penularan malaria dibedakan menjadi : 1. Penularan secara alamiah

Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi oleh Plasmodium. Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan menjelang malam hari. Beberapa vektor mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang fajar. Pada saat menggigit manusia, parasit malaria yang ada dalam tubuh nyamuk masuk ke dalam darah manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.

Secara sederhana dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1 Cara penularan malaria secara alamiah Sumber : Depkes RI tahun 2003

(4)

2. Penularan yang tidak alamiah a. Malaria bawaan (congenital)

Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan terjadi melalui tali pusat atau plasenta.

b. Secara mekanik

Penularan terjadi melalui transfusi darah melalui jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para morfinis yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril.

c. Secara oral (melalui mulut)

Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P. gallinasium), burung dara (P. relectum) dan monyet (P. knowlesi).

2.2 Faktor Risiko Malaria

Pada model segitiga epidemiologi (epidemiologic triagle), proses timbulnya penyakit dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu Host (penjamu), faktor Agent (penyebab), dan Environment (lingkungan). Ketiga tersebut berinteraksi secara dinamis dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.

2.2.1 Host

2.2.1.1 Manusia (host intermediate)

Penyakit malaria dapat menginfeksi setiap manusia, menurut Harijanto (2003) ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi manusia sebagai penjamu penyakit malaria antara lain,

(5)

a). Umur

Menurut Gunawan (2000), perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan jenis kelamin berkaitan dengan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Orang dewasa dengan berbagai aktivitasnya di luar rumah terutama di tempat-tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap atau malam hari, akan sangat memungkinkan untuk kontak dengan nyamuk.

b). Jenis kelamin

Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin akan tetapi apabila menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat.

c). Ras

Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria, kelompok penduduk yang mempunyai Haemoglobin S (Hb S) ternyata lebih tahan terhadap akibat infeksi Plasmodium Falsiparum. Hb S terdapat pada penderita dengan kelainan darah yang merupakan penyakit keturunan/herediter yang disebut sickle cell anemia, yaitu suatu kelainan dimana sel darah merah penderita berubah bentuknya mirip sabit apabila terjadi penurunan tekanan oksigen udara.

d). Riwayat malaria sebelumnya

Menurut Nicholas J White (2011), bahwa kasus malaria impor pada penduduk Asia Tenggara didominasi malaria Plasmodium vivax. Karena

(6)

Plasmodium vivax hanya menyerang eritrosit muda (reticulocyt), dan tidak dapat menyerang eritrosit yang masak dan segera membentuk cincin setelah invasi kedalam eritrosit. Pada Plasmodium vivax, proses schizogony exoerytrocytic dapat terus terjadi sampai 8 tahun, disertai dengan periode relaps yang disebabkan oleh terjadinya invasi baru terhadap eritrosit. Kejadian relaps cirinya dengan pasien yang terlihat normal (sehat) selama periode laten dan erat hubungannya dengan reaksi imunitas dari individu.

Menurut Arsin (2012), siklus di luar sel darah merah berlangsung dalam hati. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale ada yang ditemukan dalam bentuk laten di dalam sel hati yang disebut hipnosoit. Hipnosoit merupakan suatu fase dari siklus hidup parasit yang nantinya dapat menyebabkan kambuh atau rekurensi (long term relapse). Plasmodium vivax dapat kambuh berkali-kali bahkan sampai jangka waktu 3–4 tahun.

Hasil penelitian Santi (2012) menunjukkan hasil bahwa pekerja migrasi yang pernah menderita malaria sebelumnya akan lebih mudah terkena malaria, terutama jika malaria sebelumnya disebabkan Plasmodium vivax.

e). Pola hidup

Pola hidup seseorang atau sekelompok masyarakat berpengaruh terhadap terjadinya penularan malaria seperti kebiasaan tidur tidak pakai kelambu, dan sering berada di luar rumah pada malam hari tanpa menutup badan dapat menjadi faktor risiko terjadinya penularan malaria.

(7)

f). Status Gizi

Status gizi erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh. Apabila status gizi seseorang baik akan mempunyai peranan dalam upaya melawan semua agent yang masuk ke dalam tubuh. Defisiensi zat besi dan riboflavin mempunyai efek protektif terhadap malaria berat.

2.2.1.2 Nyamuk Anopheles (host definitive)

Menurut Arsin (2012), jenis nyamuk anopheles di Indonesia lebih dari 80 jenis sekitar 16 jenis yang menjadi nyamuk penyebaran malaria di Indonesia. Beberapa vektor mempunyai potensi untuk menularkan malaria, antara lain : a. Anopheles aconitus

Tempat perindukan larva pada persawahan dengan saluran irigasi tepi sungai pada musim kemarau, kolam ikan dengan tanaman rumput di tepinya. Perilaku nyamuk dewasa yakni zoofilik lebih banyak daripada antropofilik menggigit di waktu senja sampai dini hari.

b. Anopheles farauti

Tempat perindukan larva pada kebun kangkung, genangan air hujan, rawa dan saluran air. Perilaku nyamuk dewasa yaitu antropofilik lebih banyak dari zoofilik menggigit di waktu malam tempat istirahat tetap didalam dan diluar rumah.

c. Anopheles balanbacensis

Tempat perindukan larva pada bekas roda yang tergenang air, bekas jejak kaki binatang pada tanah berlumpur yang berair, tepi sungai pada musim kemarau, kolam atau kali yang berbatu atau daerah pedalaman.

(8)

Perilaku nyamuk dewasa yakni antrofilik lebih banyak dari zoofilik, menggigit diwaktu malam hari.

d. Anopheles punclutatus

Tempat perindukan larva pada air di tempat terbuka dan terkena langsung sinar matahari, pantai dalam musim penghujan dan tepi sungai. Perilaku nyamuk dewasa yakni antrofilik lebih banyak dari zoofilik, tempat istirahat tetap diluar rumah.

e. Anopheles barbirostis

Tempat perindukan larva pada kumpulan air yang permanen atau sementara, celah tanah bekas kaki binatang tambak ikan dan bekas galian di pantai. Perilaku nyamuk dewasa yakni antrofilik lebih banyak dari zoofilik, menggigit diwaktu malam tempat istirahatnya tetap diluar rumah.

f. Anopheles sundaicus

Tempat perindukan di pinggir pantai atau air payau menggigit di waktu malam hari tempat istirahatnya diluar rumah.

Di Indonesia ada 80 spesies nyamuk Anopheles dan 22 spesies diantaranya telah ditetapkan menjadi vektor malaria. Nyamuk tersebut hidup di daerah tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang spesifik, seperti daerah pantai, rawa-rawa, hutan dan pegunungan ( Achmadi, 2003). Vektor prodominan di Jawa Timur yaitu An. aconitus, An. maculates, An. sundaicus dan An. balabacensis ( Harijanto, 2000)

(9)

Kehidupan nyamuk sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan sebagainya. Tingginya penularan tergantung dari densitas (kepadatan) frekuensi gigitan, lamanya hidup vektor, lamanya siklus Sporogoni, angka Sporozoit (parasit yang terdapat dalam kelenjar air liur nyamuk) dan adanya reservoir parasit (manusia yang mempunyai parasit dalam darah).

Menurut Arsin (2012), peran nyamuk tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

a). Umur nyamuk

Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh nyamuk untuk menjadi sporozoit. Apabila umur nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni (5 hingga 10 hari) maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak dapat menjadi vektor.

b). Peluang kontak dengan manusia

Harus diwaspadai pula pada nyamuk yang memiliki sifat zoofilik, meskipun lebih suka menggigit binatang, namun bila tak dijumpai ternak maka nyamuk juga akan menggigit manusia. Nyamuk memiliki kebiasaan menggigit di luar rumah pada malam hari maka akan mencoba mencari manusia dan masuk ke dalam rumah. Setelah menggigit beristirahat di dalam maupun di luar rumah

c). Kepadatan nyamuk

Umur nyamuk dipengaruhi oleh suhu, dimana suhu kondusif berkisar antara 25°C - 30°C dan kelembaban 60-80%. Jika populasi nyamuk cukup

(10)

banyak sedangkan populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sedangkan bila pada satu wilayah cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas vektoral yakni kemungkinan tertular akan lebih besar.

d). Kebiasaan menggigit

Nyamuk Anopheles betina menggigit antara waktu senja dan subuh, dengan jumlah yang berbeda-beda menurut spesiesnya. Sedangkan kebiasaan makan dan istirahat nyamuk Anopheles dapat dikelompokan sebagai:

a) Endofilik : suka tinggal dalam rumah/bangunan b) Eksofilik : suka tinggal di luar rumah

c) Endofagik : suka menggigit dalam rumah/bangunan d) Eksofagik : suka menggigit di luar rumah.

e) Antroprofilik : suka menggigit manusia f) Zoofilik : suka menggigit binatang

e ). Perilaku Nyamuk berdasar tempat perindukan

Perilaku nyamuk berdasarkan tempat sangat bervariasi seperti pada nyamuk anopheles betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau tempat untuk berkembang biak sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya. Ada spesies yang senang pada tempat-tempat yang kena sinar matahari langsung dan ada pula yang senang pada tempat-tempat yang teduh. Perilaku nyamuk berdasarkan dataran tinggi terdapat pada rumput-rumput, hutan dan juga tanaman-tanaman yang hidup di tebing yang curam.

(11)

2.2.2 Agent

Agent sebagai penyebab penyakit malaria yang tertera dalam ICD-10 adalah protozoa obligat intraseluler dari genus plasmodium.

Menurut Kemenkes (2013), malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium, pada manusia terdapat 4 spesies yaitu:

1. Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat/malaria otak dengan kematian. Masa inkubasi 9-14 hari, rata-rata 12 hari.

2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana. Masa inkubasi 12-17 hari, rata-rata 15 hari.

3. Plasmodium malariae penyebab malaria quartana. Masa inkubasi 18-40 hari, rata-rata 28 hari.

4. Plasmodium ovale jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat Masa inkubasi 16-18 hari, rata-rata 17 hari.

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam.

2.2.3 Lingkungan 2.2.3.1 Lingkungan fisik

Menurut Yudhastuti (2008), keadaan lingkungan sekitar berupa pantai, lagun, sungai, kolam atau rawa, parit, sawah dan hutan dengan intensitas sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun akan berpotensi sebagai tempat hidup nyamuk Anopheles yang sangat mendukung terjadinya penularan malaria.

(12)

Menurut Arsin (2012), lingkungan fisik meliputi :

1. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan perkembangbiakan nyamuk, yaitu :

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 ºC - 30ºC. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (Sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. a. Kelembaban udara.

Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk, meskipun berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria. b. Curah hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan curah hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas matahari akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.

c. Topografi

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada

(13)

ketinggian di atas 2000 meter jarang ada transmisi malaria, hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino, seperti yang terjadi di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria tapi kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 meter diatas permukaan laut (terjadi di Bolivia).

d. Angin

Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dengan manusia.

e. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, An. hyrcanus spp dan An. pinculatus spp lebih menyukai tempat terbuka. An. barbirostis dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.

f. Arus air

An. Barbirostris lebih menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An. Minimus lebih menyukai aliran yang deras dan An. Letifer lebih menyukai air yang tergenang.

g. Kadar garam

An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12 – 18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% ke

(14)

atas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan An. sundaicus dalam air tawar. suhu udara, kelembaban udara (relative humidity), hujan, ketinggian, angin, kecepatan angin, sinar matahari, arus air,

2. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan tempat tinggal manusia.

Faktor lingkungan fisik yang melibatkan kegiatan manusia yang berpengaruh terhadap penularan penyakit malaria adalah konstruksi rumah, terutama jenis dinding, langit-langit dan penggunaan kasa. Konstruksi dengan dinding rumah yang tidak tertutup rapat memungkinkan terjadinya penularan penyakit malaria. Kualitas dan konstruksi rumah mempunyai hubungan erat dengan kejadian malaria (Yudhastuti, 2008).

Menurut Arsin (2012), tempat tinggal manusia yang tidak memenuhi syarat, dapat menyebabkan seseorang kontak dengan nyamuk, diantaranya: (1) Konstruksi dinding rumah.

Dinding rumah yang terbuat dari kayu atau papan, anyaman bambu sangat memungkinkan lebih banyak lubang untuk masuknya nyamuk kedalam rumah, dinding dari kayu tersebut juga tempat yang paling disenangi oleh nyamuk Anopheles.

(2) Ventilasi rumah.

Keadaan ventilasi rumah yang tidak ditutupi kawat kasa akan menyebabkan nyamuk masuk ke dalam rumah.

(15)

(3) Kondisi/ bahan atap rumah

Tempat tinggal manusia atau kandang ternak terlebih yang beratap dan yang terbuat dari kayu merupakan tempat yang paling disenangi oleh nyamuk.

3. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan tempat perindukan nyamuk

Tempat perindukan nyamuk penular penyakit malaria (Anopheles) adalah di genangan-genangan air, baik air tawar atau air payau tergantung dari jenis nyamuk. Pada daerah pantai kebanyakan tempat perindukan nyamuk terjadi pada tambak yang tidak dikelola dengan baik, adanya penebangan hutan bakau secara liar merupakan habitat yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk An. sundaicus dan banyak aliran sungai yang tertutup pasir (laguna) yang merupakan tempat perindukan nyamuk An.sundaicus.

2.2.3.2 Lingkungan kimia

Lingkungan kimia, seperti kadar garam pada suatu tempat perindukan nyamuk, seperti diketahui nyamuk An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18‰ meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An. sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar. An. latifer dapat hidup ditempat yang asam/ pH rendah. Ketika kemarau datang luas laguna menjadi mengecil dan sebagian menjadi rawa-rawa yang ditumbuhi ilalang, lumut-lumut seperti kapas berwarna hijau bermunculan. Pada saat seperti inilah kadar garam air payau meninggi dan menjadi habitat yang subur bagi jentik-jentik nyamuk.

(16)

2.2.3.3 Lingkungan biologi

Aspek lingkungan biologis yang dapat berpengaruh terhadap penularan malaria adalah keberadaan hewan ternak, vegetasi dan predator alami nyamuk. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi serangan dari makhluk hidup lain. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu wilayah.

Menurut Yudhastuti (2008) adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah, tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah. Ada nyamuk tertentu yang suka menggigit darah hewan daripada darah manusia yaitu An. aconitus dan An. subpictus. Hal ini dapat mengurangi transmisi malaria melalui manusia

2.2.3.4 Lingkungan sosial budaya

Menurut Arsin (2012), sosial budaya (culture) juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan mempermudah kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria, seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada

(17)

ventilasi rumah dan menggunakan obat nyamuk. Sosial budaya ini merupakan faktor eksternal untuk membentuk perilaku manusia.

Beberapa yang terkait dengan lingkungan sosial budaya adalah sebagai berikut:

a) Pendidikan dan pengetahuan

Tingkat pendidikan seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung dengan kejadian malaria, namun pendidikan seseorang dapat mempengaruhi jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Secara umum seseorang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pekerjaan yang lebih layak dibanding seseorang yang berpendidikan rendah dan akan mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

b) Pekerjaan

Seseorang apabila dikaitkan dengan jenis pekerjaannya, akan mempunyai hubungan dengan kejadian malaria. Ada jenis pekerjaan tertentu yang merupakan risiko untuk terkena malaria misalnya pekerjaan berkebun sampai menginap berminggu-minggu atau pekerjaan menyadap karet di hutan, sebagai nelayan dimana harus menyiapkan perahu di pagi buta untuk mencari ikan di laut dan lain sebagainya. Pekerjaan tersebut akan memberi peluang kontak dengan nyamuk.

c) Kebiasaan penduduk dan adat istiadat

Kebiasaan-kebiasaan penduduk maupun adat istiadat setempa sangat tergantung dengan lingkungan tempat tinggalnya. Banyak aktivitas

(18)

penduduk yang membuat seseorang dapat dengan mudah kontak dengan nyamuk. Kebiasaan masyarakat dalam berpakaian, tidur tanpa menggunakan obat anti nyamuk atau menggunakan kelambu, ke luar rumah malam hari atau melakukan aktivitas di tempat-tempat yang teduh dan gelap, misalnya kebiasaan buang hajat, dan lain-lain, sangat berpengaruh terhadap terjadinya penularan penyakit malaria.

Tindakan pencegahan perorangan yang utama adalah bagaimana seseorang tersebut dapat menghindarkan diri dari gigitan nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Babba (2006) menyebutkan penduduk yang mempunyai kebiasaan atau melakukan aktivitas di luar rumah malam hari, mempunyai risiko untuk penyakit malaria sebesar 4,09 kali dibanding dengan penduduk yang tidak melakukan aktivitas di luar rumah malam hari. Hal ini didukung dengan penelitian Harmendo (2008) yang menunjukkan kebiasaan penduduk ke luar rumah malam hari mempunyai risiko 4,69 kali lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang tidak mempunyai kebiasaan keluar rumah malam hari terhadap kejadian malaria.

2.3. Prilaku yang berhubungan dengan Pencegahan Malaria

Menurut Arsin (2012), pencegahan malaria secara garis besar mencakup tiga aspek sebagai berikut:

a. Mengurangi pengandung gametosit yang merupakan sumber infeksi (reservoar).

(19)

Hal tersebut dapat dicegah dengan jalan mengobati penderita malaria akut dengan obat yang efektif. terhadap fase awal dari siklus eritrosit aseksual sehingga gametosit tidak sempat terbentuk didalam darah penderita. Selain itu, jika gametosit telah terbentuk dapat dipakai jenis obat yang secara spesifik dapat membunuh gametosit (obat gametosida).

b. Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria

Memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan menghilangkan tempat-tempat perindukan nyamuk, membunuh larva atau jentik dan membunuh nyamuk dewasa. Pengendalian tempat perindukan dapat dilakukan dengan menyingkirkan tumbuhan air yang menghalangi aliran air, melancarkan aliran saluran air dan menimbun lubang-lubang yang mengandung air.

Jentik nyamuk diberantas dengan menggunakan solar atau oli yang dituangkan ke air, memakai insektisida, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk (ikan kepala timah atau Gambusia Affinis), memelihara Crustacea kecil pemangsa jentik (Genus Mesocyclops) atau memanfaatkan bakteri Bacillus thuringiensis yang menginfeksi dan membunuh jentik nyamuk. Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan menggunakan insektisida, biasanya dengan cara disemprotkan.

c. Melindungi orang yang rentan dan berisiko terinfeksi malaria

Secara prinsip upaya ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut: 1) Mencegah gigitan nyamuk

(20)

3) Memberi vaksinasi (belum diterapkan secara luas dan masih dalam tahap riset atau percobaan di lapangan).

Menurut Nugroho (2012), upaya pencegahan malaria secara umum meliputi 3 hal, yaitu :

1) Edukasi

Faktor terpenting pencegahan malaria yang harus diberikan kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi utama yang diberikan meliputi cara penularan, faktor risiko, gejala dan tanda malaria, pengobatan malaria terutama stand-by emergency self-treatment (SBET), pencegahan malaria dengan kemoprofilaksis serta pencegahan gigitan nyamuk dan upaya untuk menghilangkan tempat perindukan nyamuk. Sebagian besar kasus malaria impor terjadi karena penderita tidak mendapat informasi yang akurat dan lengkap sehingga tidak tahu atau tidak menyadari akan risiko terkena malaria di daerah yang dikunjunginya.

2) Upaya menghindari gigitan nyamuk

Upaya paling efektif mencegah malaria adalah menghindari gigitan nyamuk Anopheles. Upaya tersebut berupa proteksi pribadi, modifikasi perilaku dan modifikasi lingkungan. Proteksi pribadi dengan menggunakan insektisida dan repellant, menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang. Modifikasi perilaku berupa mengurangi aktivitas di luar rumah mulai senja sampai subuh. Menggunakan air conditioning (AC) atau kipas angin untuk mengusir nyamuk yang beterbangan. Jendela dan pintu ditutup

(21)

mulai sore dan diberi kasa dan tidur menggunakan kelambu. Modifikasi lingkungan ditujukan mengurangi habitat pembiakan nyamuk, berupa perbaikan system drainase, menghilangkan tempat pembiakan nyamuk, menghilangkan alang-alang atau semak belukar.

3) Kemoprofilaksis

Upaya pencegahan gigitan nyamuk cukup efektif mengurangi paparan dengan nyamuk, namun tidak menghilangkan sepenuhnya risiko terkena infeksi, oleh karena itu perlu upaya tambahan, yaitu penggunaan kemoprofilaksis untuk mengurangi risiko jatuh sakit jika tergigit nyamuk infeksius.

Beberapa obat antimalaria yang saat ini digunakan sebagai kemoprofilaksis adalah klorokuin, meflokuin, kombinasi atovaquone-proguanil, doksisiklin dan primakuin. Tidak ada regimen kemoprofilaksis yang 100% efektif namun bisa memberikan perlindungan sebesar 75-95% jika digunakan dengan benar dan tergantung pada tingkat resistensi plasmodium dan tingkat kepatuhan. Hal penting lain adalah tingkat keamanan dan efek sampingnya terutama pada penggunaan jangka panjang.

Sesuai Kemenkes (2013), kemoprofilaksis yang dianjurkan pada upaya pencegahan malaria adalah Doksisiklin dengan formula kapsul mengandung 100 mg doksisiklin garam hidroklorid. Doksisiklin 100 mg garam sehari untuk dewasa ekivalen 1,5-2 mg garam/kg sehari. Tidak boleh diberikan untuk anak <8 tahun dan ibu hamil. Doksisiklin diberikan setiap

(22)

hari dengan dosis 2 mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Obat ini diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah tersebut sampai 4 minggu setelah kembali.

Bentuk perilaku ideal yang berkaitan dengan kejadian malaria pada individu atau keluarga disuatu daerah endemis menurut Arsin (2012) antara lain:

a. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai obat anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup.

b. Menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu waktu tidur malam hari. c. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar rumah.

d. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari.

e. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah.

f. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk.

g. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai. h. Menjauhkan kandang ternak dari rumah/tempat tinggal.

i. Membunuh jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik (kepala timah, gupi, mujair) pada mata air, saluran irigasi tersier, sawah, anak sungai yang dangkal, rawa-rawa pantai dan tambak ikan yang tidak terpelihara.

(23)

j. Merawat tambak-tambak ikan dan membersihkan lumut yang ada di permukaan secara teratur

2.4. Mobilitas

2.4.1 Definisi mobilitas

Mobilitas penduduk dilakukan untuk mempertahankan hidup dan disebabkan karena adanya kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Dimana pada dasarnya mobilitas penduduk adalah pergerakan penduduk secara geografis yang melewati batas wilayah dalam periode tertentu dengan tujuan baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan sosial lainnya ( Mantra, 2000 ).

2.4.2 Jenis Mobilitas

Mantra (2000) membagi jenis mobilitas menjadi 2 (dua) yakni; mobilitas permanen dan mobilitas non permanen; perbedaan antara mobilitas permanen dan mobilitas non permanen didasarkan pada ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan. Mobilitas permanen adalah gerak penduduk yang melintasi batas daerah asal ke daerah lain dengan ada niatan untuk menetap di daerah tujuan.

Sebaliknya mobilitas penduduk non permanen adalah gerak penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Namun, jika hanya melihat pada niatan menetap akan muncul permasalahan pada pengukuran jenis mobilitas permanen atau non permanen. Batasan 6 (enam) bulan seseorang menetap pada suatu wilayah secara terus

(24)

menerus tanpa kembali ke daerah asal termasuk dalam mobilitas permanen (long term migration). Sedangkan mereka yang melakukan mobilitas yang tinggal di suatu wilayah tertentu tapi kembali (melakukan kunjungan) ke daerah asal sebelum 6 (enam) bulan masuk dalam kategori mobilitas non permanen.

Mantra (1989) membagi mobilitas penduduk non permanen menjadi 2 (dua) yaitu; (1) ulang alik (commuting) dan (2) menginap atau mondok (circulation) di daerah tujuan. Perbedaan antara ulang alik (commuting) dan menginap atau mondok (circulation) adalah pada batas waktu kembali ke daerah asal. Untuk mobilitas ulang alik (commuting), mendefinisikannya dengan batasan kembali ke daerah asal pada hari itu juga atau pada batas waktu lebih dari 6 (enam) jam dan kurang 1 (satu) hari. Sedangkan definisi mobilitas menginap atau mondok (circulation) adalah dilihat dari lamanya meninggalkan daerah asal lebih dari 1 (satu) hari tetapi kurang dari 6 (enam) bulan (Mantra, 2000). Mobilitas dengan menginap atau mondok (circulation) ini disebut sebagai migrasi sirkuler (circular migrants).

Menurut Mantra (1989) karakteristik mobilitas sirkuler adalah :

a. Kelompok penduduk potensial, dimana umumnya pelaku mobilitas sirkuler terdiri dari kelompok umur yang potensial, kebanyakan berumur antara 20 -40 tahun. Orang orang tersebut masih mempunyai idealis penuh dan semangat dan punya peranan besar dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. b. Dominasi penduduk laki-laki: sebagian besar pelaku mobilitas sirkuler

(25)

kehidupan sosial budaya yang menyangkut kebebasan perempuan untuk bepergian hal ini disebabkan juga karena laki-laki dianggap bertanggung jawab terhadap keluarga, mempunyai peluang yang lebih besar untuk melakukan mobilitas sirkuler untuk mencukupi kebutuhan perkenomian keluarga yang ditinggalkan.

c. Pendidikan rendah: akibat pendidikan yang ditamatkan rendah berdampak pada sektor-sektor utama sebagai tujuan para migran, yakni sektor informal. Pekerjaan di sektor informal tidak memerlukan keahlian khusus. Disamping itu mereka dapat keluar masuk dengan mudah untuk mencari pekerjaan yang cocok dan menguntungkan.

d. Kelompok keluarga miskin: dapat dipahami bahwa keputusan untuk melakukan mobilitas sirkuler banyak dipengaruhi faktor ekonomi. Tidak heran jika kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok keluarga miskin di daerah asalnya.

e. Bersikap hemat: demi mengumpulkan uang yang semaksimal mungkin di daerah tujuan, mereka mengurangi pengeluaran dengan berhemat. Misalnya tempat tinggal seadanya maupun konsumsi yang minimal. Hal ini ditujukan untuk memaksimalkan penghasilan yang diterima di daerah tujuan guna keperluan remitan (pengiriman ke keluarga yang ditinggalkan).

2.4.3 Mobilitas penduduk dan kejadian malaria

Dalam Kemenkes (2009) menyebutkan bahwa mobilitas dan migrasi penduduk dari desa ke kota memungkinkan terjadinya penularan penyakit malaria. Hal ini dimungkinkan terjadi karena :

(26)

1. Penduduk baru membawa penyakit yang ada di daerahnya atau sebaliknya. Daerah yang penduduknya tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit akan tertular penyakit yang dibawa pendatang tersebut atau sebaliknya. 2. Pendatang dari daerah baru kembali ke daerah asal dan membawa penyakit

yang semula di daerah asal tidak ada penyakit tersebut atau dari endemisitas tinggi ke endemisitas rendah, misalnya transmigran atau pekerja migran yang kembali ke daerah asal.

Sebagai penyakit menular, malaria dapat berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain melalui mobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai wahana transmisi (Achmadi, 2005). Perpindahan penduduk menjadi faktor penting dalam peningkatan kasus malaria, meningkatnya perjalanan dengan tujuan daerah endemis mengakibatkan kasus impor ( Gunawan, 2000).

Penduduk yang paling berisiko tertular malaria adalah anak balita, wanita hamil dan penduduk non-imun yang mengunjungi daerah endemis malaria seperti pekerja migran (khususnya kehutanan, pertanian, pertambangan) pengungsi, transmigran, dan wisatawan. Menetapnya transmisi di beberapa daerah di Jawa Bali, kemungkinan disebabkan salah satunya adalah impor malaria dari luar Jawa Bali (Harijanto, 2006).

Masyarakat yang berada di daerah endemis malaria biasanya mempunyai imunitas/kekebalan secara alami dibandingkan masyarakat pendatang, sehingga mempunyai pertahanan alami dan lebih tahan untuk terinfeksi Malaria (Depkes RI, 2003).

(27)

Seperti dilaporkan di Inggris, kasus malaria impor semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan rata-rata setiap tahun ada 10 kasus kematian akibat malaria sepulangnya dari daerah endemis. Di Amerika dilaporkan kira-kira 1.500 kasus malaria setiap tahunnya akibat malaria impor. WHO melaporkan terdapat 30.000 kasus malaria impor setiap tahun di negara-negara industri non endemis (Harijanto, 2012).

Penelitian Siswatiningsih (2003) dan Sand (2013) menunjukkan bahwa mobilitas penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Penelitian Comm di Sabah (2009) menunjukkan frekuensi migrasi musiman dan mobilitas khususnya di lingkungan hutan berpengaruh terhadap kejadian malaria.

Dalam rangka pencegahan malaria khususnya malaria impor akibat dari tingginya mobilitas penduduk ke daerah endemis, maka upaya yang dilakukan adalah Surveilans Migrasi. Menurut Kemenkes (2009), surveilans migrasi adalah kegiatan pengambilan sediaan darah orang-orang yang menunjukkan gejala malaria klinis yang baru datang dari daerah endemis malaria dalam rangka mencegah masuknya kasus impor.

2.5 Kejadian penyakit dan perilaku kesehatan

Menurut Soekidjo Notoatmojo (2007), pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respons terhadap situasi diluar subyek tersebut. Responsi ini dapat

(28)

bersifat pasif (tanpa tindakan) dan dapat juga bersifat aktif (dengan tindakan atau action).

Masalah perilaku merupakan penyebab timbulnya berbagai masalah kesehatan, para ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa untuk mengatasinya diperlukan suatu upaya dalam proses pendidikan kesehatan masyarakat. Melalui proses tersebut diharapkan terjadinya perubahan perilaku menuju tercapainya perilaku sehat. Pada proses perubahan ini, perlu ditunjang perubahan sikap dan pengetahuan.

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan.

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadianya penyakit termasuk penyakit malaria. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Husin, Alamsyah, dkk (2001), yang menyatakan bahwa masyarakat yang berpengetahuan rendah terhadap penyakit malaria menjadi salah satu penyebab tingginya insiden malaria di Gugus Kepulauan Aceh.

b. Perilaku dalam bentuk sikap.

Sikap yang positif akan cenderung membawa masyarakat untuk bertindak dalam mencegah terjadinya penularan penyakit termasuk penyakit malaria.

c. Perilaku dalam bentuk tindakan.

Tindakan adalah suatu respon terhadap rangsangan atau stimulus dalam bentuk nyata yang dapat diobservasi secara langsung melalui kegiatan wawancara dan kegiatan responden. Terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan (tindakan) nyata diperlukan pendukung atau kondisi yang

(29)

memungkinkan, misalnya faktor dukungan dari pihak keluarga, teman dekat ataupun masyarakat sekitarnya.

2.6. Perilaku Pencegahan Kejadian Malaria

Di Indonesia ada berbagai suku bangsa dengan ragam kebiasaan dan perilaku yang merupakan faktor berpengaruh dalam menunjang keberhasilan partisipasi masyarakat dalam program pengendalian malaria. Beberapa perilaku yang tidak menunjang tersebut antara lain adalah kebiasaan mencari pengobatan sendiri dengan membeli obat di warung dan menggunakan obat dengan dosis tidak tepat, kebiasaan berada di luar rumah atau beraktivitas pada malam hari tanpa perlindungan dari gigitan nyamuk, dan adanya penebangan hutan bakau yang mengakibatkan terbentuknya tempat perindukan baru vektor malaria ( Harijanto, 2012).

Penelitian Babba (2006) di Kota Jayapura membuktikan bahwa kebiasaan tidak menggunakan kelambu, tidak menggunakan obat nyamuk dan keluar pada malam hari merupakan faktor perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Penelitian serupa oleh Ahmadi (2008) di Kabupaten Muara Enim menunjukkan faktor perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian malaria adalah tidak menggunakan kelambu dan tidak menggunakan obat nyamuk.

Penelitian Harmendo (2008) di Kabupaten Bangka menunjukkan perilaku yang berpengaruh adalah kebiasaan keluar pada malam hari dan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur. Bahkan penelitian ini membuktikan tidak menggunakan kelambu menjadi faktor yang dominan, dimana masyarakat yang

(30)

tidak menggunakan kelambu memiliki risiko 7,84 kali lebih besar terkena malaria dibandingkan masyarakat yang menggunakan kelambu.

Penelitian Ernawati (2011) di Kabupaten Pesawaran menunjukkan perilaku pemakaian kelambu, penggunaan obat nyamuk, pemakaian baju panjang, aktifitas diluar pada malam hari dan pekerjaan berpengaruh terhadap kejadian malaria. Penelitian Nurfitrianah (2013) di Kabupaten Mamaju menunjukkan aktivitas diluar pada malam hari dan penggunaan obat nyamuk berpengaruh terhadap kejadian malaria.

2.7 Program Eliminasi Malaria

Dalam Kepmenkes Tahun 2009, Eliminasi Malaria adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali.

Tujuan program ini adalah terwujudnya masyarakat yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Melalui beberapa upaya, antara lain :

1. Penemuan dan Tata Laksana Penderita

a. Meningkatkan cakupan penemuan penderita malaria

b. Mengobati semua penderita malaria (kasus positif) dengan obat malaria efektif dan aman yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan

(31)

2. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko

a. Melakukan survei vektor dan analisis dinamika penularan untuk menentukan metode pengendalian vektor yang tepat.

b. Mendistribusikan kelambu berinsektisida secara massal maupun integrasi dengan program/sektor lain di lokasi endemis malaria.

c. Melakukan penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying) atau pengendalian vektor lain yang sesuai di lokasi potensial atau sedang terjadi KLB.

3. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah

a. Meningkatkan kemampuan unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (Puskesmas, poliklinik, rumah sakit) dalam pelaksanaan SKD-KLB. b. Menanggulangi KLB malaria.

c. Melakukan pemetaan daerah endemis malaria dari data rutin dan hasil survei.

4. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)

a. Meningkatkan peran aktif masyarakat antara lain melalui pembentukan Pos Malaria Desa (Posmaldes) di daerah terpencil.

b. Meningkatan promosi kesehatan.

Dalam Kepmenkes Tahun 2007 tentang Pedoman Surveilans Malaria disebutkan wilayah dengan indikator Annual Paracite Incidence (API), dikelompokkan menjadi :

1. HCI (High Case Incidence) API > 5 ‰

(32)

3. LCI (Low Case Incidence) API <1‰

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI no 43 tahun 2007 tentang Pedoman Pelatihan Malaria memuat tugas pengelola program malaria di puskesmas adalah mulai dari perencanaan sampai kegiatan yang dilaksanakan di tingkat kecamatan/Puskesmas. Uraian tugas meliputi penemuan dan pengobatan penderita, membuat peta stratifikasi, promosi kesehatan, analisis data, melaksanakan survey dan pelaporan. Untuk memudahkan tugas diatas, dibantu oleh Juru Malaria Desa dengan kegiatan antara lain :

1. Mengunjungi setiap rumah (penduduk) sesuai jadwal yang ditentukan.

2. Membuat sediaan darah yang baik (memenuhi syarat) dari semua penderita demam

3. Mengirim sediaan darah dengan segera ke Puskesmas

4. Bertanggung jawab terhadap semua bahan, alat dan obat-obatan yang diberikan Puskesmas

5. Membuat laporan harian ke Pengelola program Malaria Puskesmas

Salah satu strategi khusus dalam Peraturan Gubernur Aceh no 40 tahun 2010 tentang Pedoman eliminasi malaria Aceh disebutkan meningkatkan partisipasi masyarakat, LSM dan organisasi lainnya dalam rangka mendukung peningkatan kemampuan masyarakat dalam eliminasi malaria, dengan :

a. Meningkatkan kesadaran, dan partisipasi masyarakat dalam mendukung program eliminasi malaria, baik pada pencegahan, surveilans, maupun pengendalian vektor dan tempat perindukan nyamuk.

(33)

b. Penggunaan tenaga sukarela dari masyarakat sebagai Juru Malaria Desa/Juru Malaria Lingkungan dengan tugas mengajak dan membantu masyarakat dalam pengendalian nyamuk (vektor), mencari kasus demam dan pengawasan minum obat malaria dilingkungan binaannya, mencatat dan mengaktifkan pemakaian kelambu.

Gambar

Gambar 2.1 Cara penularan malaria secara alamiah Sumber : Depkes RI tahun 2003

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan riil yang diamati pada studi ini adalah adanya pembangunan perumahan dan permukiman di Kelurahan Cipageran yang tidak sesuai dengan arahan rencana tata ruang, seperti

negeri. Terdepresiasinya mata uang rupiah menyebabkan Perekonomian Indonesia terguncang dan dilanda krisis ekonomi. Nilai tukar adalah salah indikator ekonomi yang

Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan sumbangan berupa saran serta materi

Estimasi tinggi badan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala berdasarkan panjang tulang ulna perkutaneus pada suku Aceh.. Universitas

Permukiman kembali pasca bencana lumpur Sidoarjo dengan desain perumahan baru yang berbeda dari perumahan lama sebagian besar korban bencana cenderung memberikan dampak positif

Sebab utama dari hal ini adalah pada bangunan simetris perilaku dan respons struktur akibat pengaruh gempa dapat diperkirakan dengan lebih baik serta lebih rendahnya tingkat

Uji heterokedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika

Penelitian yang dilakukan oleh Silverthorne dan Chen (2008) pada para auditor yang bekerja di Taiwan memberikan hasil bahwa kepuasan kerja, kinerja serta tekanan kerja