HASIL GENOTYPING MYCOBACTERIUM LEPRAE
PADA SATU KELUARGA
Rita Maria,* Hilman Wildan,* Indropo Agusni,** Hendra Gunawan,* Muljaningsih Sasmojo
*Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin * FK Universitas Padjajaran/RSUP dr. Hasan Sadikin **FK Universitas Airlangga/Lembaga Penyakit Tropis
ABSTRAK
Narakontak serumah merupakan kontak primer penyebaran infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae). Sebagian besar kasus kusta baru yang timbul di beberapa daerah di Indonesia tidak berhubungan dengan kontak lama dengan pasien kusta terdekat berdasarkan genotyping. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan genotyping untuk mempelajari sumber infeksi, pola penularan, dan distribusi geografis M. leprae. Seorang ibu berusia 38 tahun datang dengan makula hipopigmentasi hipestesi pada wajah, kedua lengan, dan tungkai kanan atas. Anak perempuannya yang berusia 6 tahun dengan makula hipopigmentasi yang anestesi pada pipi kiri dan punggung kiri bawah. Suaminya yang berusia 33 tahun dengan makula hipopigmentasi, makula hiperpigmentasi, dan nodus sewarna kulit yang hipestesi pada punggung, kedua lengan, tangan, dan tungkai. Hasil genotyping M. leprae pada ketiganya sama (15 copies TTC
repeat), menunjukkan kemungkinan M. leprae penyebabnya sama. Daerah sumber penularan tidak dapat dipetakan karena 15 copies
TTC repeat ditemukan di beberapa pulau di Indonesia. Maka perlu
dilakukan penelitian guna memverifikasi variasi genom pada M. leprae dengan mendeteksi variasi single nucleotide polymorphisms
(SNPs).
Kata kunci: genotyping, M. leprae, kusta.
ABSTRACT
Household contact is the primary source of
Mycobacterium leprae (M. leprae) transmission. The majority of new cases presenting in some areas in Indonesia are unable to relate any close association with leprosy patient. In order to understand the problems, genotyping would be a great value to study the source of infection, the transmission pattern, and geographical distribution of M. leprae. A 38-year-old mother, presented with hypesthetic hypopigmented macules on face, both arms, and right upper leg. Her 6-year-old daughter, presented with anesthetic hypopigmented macules on left cheek and left lower back. Her 33-year-old husband presented with hypesthetic hypopigmented, hyperpigmented macules, and skin coloured nodules on both arms, back, both legs, and both hands. The same result of their genotyping (15 copies TTC repeat) suggested that they were infected by same species of M. leprae. The source area of transmission can not be mapped because the same result was also found in other islands in Indonesia. Therefore, we need to verify the genome variation of M. leprae by detecting SNP variations.
Keywords: genotyping, M. leprae, leprosy
Korespondensi:Jl Pasteur no 38, Bandung. Tel/Fax. 022-2032426Email:
PENDAHULUAN
Kusta masih merupakan masalah
kesehatan utama di negara berkembang, misalnya di Asia, Amerika Latin, dan Afrika.1 Jumlah kasus kusta baru di dunia yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 sebanyak 219.075 kasus. Indonesia merupakan negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan jumlah kasus baru pada akhir tahun 2012 sebanyak 20.023 kasus.2
Sumber utama penularan adalah pasien kusta yang tidak diobati.1 Narakontak serumah telah terbukti menjadi kontak primer penyebaran infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae), dan perhatian khusus harus diberikan untuk kontak dalam keluarga.3 Penyakit kusta diduga menyebar secara efektif melalui kontak lama dengan individu yang terinfeksi, dan pemeriksaan genotyping dapat
membantu menentukan sumber infeksi.4
Berikut ini dilaporkan satu kasus kusta yang menginfeksi satu keluarga terdiri atas seorang ayah berusia 33 tahun, ibu berusia 38 tahun, dan anak perempuan berusia 6 tahun yang telah
dilakukan pemeriksaan genotyping variable
number of tandem repeats (VNTR).
KASUS
Seorang ibu (pasien 1) berusia 38 tahun, datang ke Poliklinik Morbus Hansen (MH) Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) dengan keluhan utama bercak kemerahan pada hidung yang terasa baal. Dua tahun sebelum berobat, timbul makula hipopigmentasi pada lengan kiri atas dan tungkai kanan atas yang terasa baal. Sejak satu tahun kemudian, makula hipopigmentasi bertambah banyak dan menyebar hingga ke wajah dan kedua lengan bawah. Dua minggu sebelum konsultasi muncul plak eritematosa pada hidung yang baal. Pasien lahir dan besar di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada status dermatologikus ditemukan lesi kulit berupa plak tipis hipopigmentasi multipel berukuran 1 x 1 cm hingga 10 x 6 cm pada wajah, kedua lengan, dan tungkai kanan atas, sebagian besar tidak berbatas tegas. Pada hidung didapatkan plak tipis eritematosa soliter berukuran 2 x 1,5 x 0,2 cm. Pembesaran saraf ditemukan pada kedua saraf (s) aurikularis magnus dan s. peroneus komunis dengan konsistensi kenyal, serta hipestesi pada lesi kulit dan kedua telapak kaki. Hasil pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapatkan indeks bakteriologik (IB) 1,67+ dan indeks morfologik (IM) 28%.
Anak perempuan pasien 1 (pasien 2) berusia 6 tahun, dengan plak tipis hipopigmentasi hipestesi berukuran 3 x 4 cm hingga 6 x 7 cm pada aurikularis magnus kiri dengan konsistensi kenyal.
Suami pasien 1 (pasien 3) berusia 33 tahun, datang dengan keluhan utama bercak kemerahan pada kedua tangan disertai kesemutan pada seluruh ujung jari tangan. Lima tahun yang lalu timbul tiga makula hipopigmentasi di kedua tungkai bawah kanan yang terasa baal. Sejak dua tahun yang lalu, makula hipopigmentasi menyebar ke kedua lengan atas, punggung, dan tungkai yang terasa baal. Satu tahun yang lalu, muncul plak tipis eritematosa pada kedua punggung tangan yang terasa baal disertai rasa baal pada kedua telapak tangan. Sejak satu bulan yang lalu, plak tipis eritematosa tersebut semakin menimbul disertai rasa kesemutan pada semua ujung jari tangan. Beberapa nodus juga timbul pada lengan kanan bawah yang tidak terasa nyeri. Pasien kemudian berobat ke RSUD Bayu Asih dan dirujuk ke RSHS. Pasien lahir dan besar di NTT. Pada kedua cuping telinga didapatkan infiltrat. Lesi kulit berupa plak tipis hipopigmentasi dan plak tipis hiperpigmentasi berukuran 1 x 1,5 cm hingga 8 x 5 cm, berbatas tidak tegas pada kedua lengan atas, tangan, punggung, dan tungkai. Pada kedua tungkai bawah dan lengan bawah, tampak nodus multipel berukuran 0,5 x 0,3 x 0,3 cm. Pada leher dan
punggung atas tampak lesi plak tipis
hipopigmentasi multipel berukuran 0,4 x 0,3 cm hingga 1 x 0,5 cm disertai skuama pitiriasiformis, dengan batas tegas. Pembesaran saraf ditemukan pada kedua s. aurikularis magnus, s. ulnaris kanan, dan kedua s. peroneus komunis dengan konsistensi kenyal, serta hipestesi pada lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA didapatkan IB 1,3+ dan IM 28,6%.
Pasien 1 didiagnosis sebagai kusta tipe
Borderline Lepromatous (BL) dengan kecacatan tingkat I berupa hipestesi pada kedua telapak kaki, pasien 2 sebagai kusta tipe Tuberculoid (TT), dan pasien 3 sebagai kusta tipe BL. Pasien 1 dan 3 adalah suami istri yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), tetapi saat dewasa keduanya merantau ke luar daerah dan sejak tahun 2006 menetap di Purwakarta. Pasien 1 dan 3 mendapatkan regimen ROM (rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, minoksiklin 100 mg), sedangkan pasien 2 mendapatkan terapi multidrug treatment (MDT) pausibasiler (PB) dari WHO. Pada ketiga pasien dilakukan biopsi pada lesi kulit untuk pemeriksaaan genotyping VNTR M. leprae. Hasil pemeriksaaan genotyping menunjukkan ketiganya memiliki hasil yang sama, yaitu 15
Gambar 1. Produk PCR deteksi M. leprae. Keterangan : 1: Pasien 1;
2 : Pasien 2; 3 : Pasien 3; 4 : Kontrol negatif; 5 : Kontrol positif; 6 :100 bp DNA ladderGambar
Gambar 2. Hasil sequencing pasien 1
Tabel 1. Distribusi subyek penelitian berdasarkan spesies Candida penyebab KVV (n=26)
No Pasien Hasil genotyping M. leprae
1. Pasien 1 15 copies TTC repeat
2. Pasien 2 15 copies TTC repeat
3. Pasien 3 15 copies TTC repeat
Gambar 5. Hasil pemeriksaan genotyping M. leprae
PEMBAHASAN
Pasien kusta yang teridentifikasi pertama kali dalam satu keluarga disebut sebagai pasien primer (primary leprosy) dan narakontak dalam satu rumah yang kemudian menderita kusta setelah kontak dengan pasien primer disebut sebagai index leprosy.5 Beberapa kasus kusta dapat terjadi pada lebih dari satu anggota keluarga, tetapi biasanya tidak seluruh anggota keluarga menderita dalam waktu bersamaan. Aredath pada tahun 1983 melaporkan kasus kusta yang mengenai satu keluarga, terdiri atas ayah, ibu, dan enam orang anak.6 Gunawan dkk. pada tahun 2001 di Bandung melaporkan kasus kusta pada satu keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, pasien, saudara sepupu, dan
adik perempuan ibu pasien.7 Berdasarkan
anamnesis, pasien 3 diduga merupakan pasien primer karena yang pertama kali mengalami gejala kusta dalam keluarga (sejak 5 tahun lalu), dan index leprosy adalah pasien 1 dan 2. Hal ini sesuai dengan hasil genotyping M. leprae yang sama pada seluruh keluarga. Pasien 1 dan 3 berasal dari NTT yang merupakan daerah endemik kusta. Namun pasien 3 menyangkal adanya kontak dengan pasien kusta, baik sebelum atau sesudah menikah.
Anak-anak keluarga pasien kusta memiliki risiko tinggi untuk tertular kusta.8 Penelitian Jain dkk. terhadap 306 pasien kusta anak menemukan sebesar 36,9% memiliki kontak dengan pasien kusta dalam keluarga.9 Angka penularan kusta di
antara pasangan suami istri lebih rendah
dibandingkan dengan anggota keluarga lain yang memiliki hubungan genetik.3 Beberapa peneliti melaporkan bahwa insidens kusta pada pasangan suami istri berkisar antara 0,3-32%.10 Pasangan suami istri kasus ini telah menikah selama 7 tahun dan tinggal serta tidur bersama, tetapi menyangkal hubungan darah di antara keduanya.
Masa inkubasi yang lama disertai
keterbatasan pemeriksaan diagnosis dini,
menghambat pemahaman kita mengenai penularan kusta.11 Kusta diduga menyebar secara efektif melalui kontak erat dan lama dengan pasien. Tetapi, pada sebagian besar kasus hubungan dengan narakontak terdekat yang menderita kusta tidak dapat ditemukan,12,13 mungkin disebabkan pasien tidak menyadari kontak sebelumnya dan
kusta umumnya memiliki masa inkubasi panjang.13
Identifikasi perbedaan galur M. leprae
dengan polimorfisme gen bernilai tinggi untuk
memahami cara penularan penyakit.14 Genotyping
M. leprae dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mengidentifikasi sumber infeksi, sumber penularan,15 resistensi obat kusta, dan membedakan
relaps dengan reinfeksi setelah kemoterapi
selesai.16
Genotyping VNTR sangat berguna untuk
membedakan galur M. leprae dan dapat digunakan
untuk studi epidemiologi.15
Genotyping VNTR dengan polimorfisme TTC terbukti bermanfaat untuk menganalisis
epidemiologi kusta dan untuk membedakan M.
leprae yang terdistribusi pada daerah endemik kusta, karena variasinya luas dan stabil. Penelitian Shin membuktikan bahwa TTC repeat tidak ditemukan pada M. tuberculosis, M. avium, M. marinum, atau jaringan manusia, mengindikasikan TTC repeat spesifik terhadap M. leprae.16 Penelitian Truman juga membuktikan kestabilan TTC repeat dengan cara mengujikan gen ini pada armadillo dan nude mice selama 121 bulan.15
Hasil analisis sequence lokasi TTC repeat
pada M. leprae menunjukkan hasil yang bervariasi dari 10-37 repeat. Shin dkk. melaporkan bahwa sebagian besar genotip TTC di daerah Asia Tenggara sama seperti galur Thai-53 dari Thailand yaitu TTC-15 copies dan dari Philippines yaitu
TTC-14 copies.16 Penelitian genotyping yang
dilakukan Adriaty dkk. terhadap tulang mandibula purba yang diperoleh dari Pulau Lembata dan pasien kusta di NTT dengan menggunakan kontrol
M. leprae Thai-53, menunjukkan hasil 13 copies
TTC repeat pada tulang mandibula dan 15, 17, 26
copies TTC repeat pada pasien kusta di NTT.17 Prakoeswa dkk. pada tahun 2009 melakukan
genotyping VNTR pada 23 pasien kusta dari RSHS dan 21 pasien kusta dari RS Dr. Soetomo,
didapatkan hasil 15 dan 16 copies TTC repeat pada keduanya.18
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan
genotyping M. leprae pada Pasien 1, 2, dan 3. Hasil
genotyping M. leprae pada ketiganya sama (15
copies TTC repeat) dan dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan M. leprae penyebabnya adalah sama.
Namun, dari hasil genotyping tidak dapat
dipastikan daerah sumber penularan, karena berdasarkan hasil pemetaan beberapa daerah
endemik 5 copies TTC repeat ditemukan pada
beberapa pulau di Indonesia. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memverifikasi variasi genom pada M. leprae dengan mendeteksi variasi
single nucleotide polymorphisms (SNPs). Hasil
genotyping M. leprae pada laporan kasus ini sama dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan di NTT, Bandung, dan Surabaya, sehingga diduga telah terjadi penyebaran galur M. leprae yang sama pada daerah tersebut yang mungkin disebabkan karena perpindahan penduduk. Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah data mengenai
pemetaan molekuler genotyping M. leprae di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Srisungnam S, Rudeeaneksin J,
Wattanpokayakit S, Pasadorn S, Tragoolpua R, Suwanrit S, dkk. Typing of Thai clinical isolates of Mycobacterium leprae and analysis of leprosy transmission by polymorphism of tandem repeats. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007;38(4):714-20.
2. WHO Expert Commitee on Leprosy. Diunduh
darihttp://www.searo.who.int/entity/global_lep rosy_programme/publications/8th_expert_com m_2012. 19 Juli 2014 pukul 13:02 WIB.
3. Joyce MP. Historic aspects of human
susceptibility to leprosy and the 21.
4. Moet FJ, Pahan D, Schuring RP, Oskam L,
Richardus H. Physical distance, genetic relationship, age, and leprosy classification are independent risk factors for leprosy in contacts of patients with leprosy. J Infect Dis. 2006;193:346-53.
5. Job CK, Jayakumar J, Kearney M, Gillis TP. Transmission of leprosy: a study of skin and nasal secretions of household contacts of leprosy patients using PCR. Am J Trop Med anggota keluarganya. Presented at Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Perdoski, 6-8 Juli 2001.
8. Rao AG. Study of leprosy in children. Indian J
9. Jain S, Reddy RG, Osmani SN, Lockwood
DN, Suneetha S. Childhood leprosy in an
urban clinic, Hyderabad, India: clinical presentation and the role of household contacts. Lepr Rev. 2002;73:248-53.
10. Aycock WL. A proposed study of conjugal
leprosy with reference to contagion and hereditary susceptibility. Int J Lepr. 1948;16:1-8.
11. Truman R, Fontes A, Miranda AB, Saffys P, Gillis P. Genotypic variation and stability of four variable-number tandem repeats and their suitability for discriminating strains of Mycobacterium leprae. J Clin Microbiol. 2004;42:2558-65.
Izumi S. Genotyping of Mycobacterium leprae on the basis of the polymorphism of TTC repeats for analysis of leprosy transmission. J Clin Microbiol. 2004;42:741-5.
15. Truman R, Fontes A, Miranda AB, Saffys P, Gillis P. Genotypic variation and stability of four variable-number tandem repeats and their suitability for discriminating strains of Mycobacterium leprae. J Clin Microbiol. 2004;42:2558-65.
16. Shin YC, Lee H, Lee H, Walsh GP, Kim JD, Cho SN. Variable numbers of TTC repeats in Mycobacterium leprae DNA from leprosy patients and use in strain differentiation. J Clin Microbiol. 2000;38:4535-8.
17. Adriaty D, Wahyuni R, Iswahyudi, Aksono B,
Koesbardiati T, Agusni I, dkk. Variation of
TTC repeat pattern in the DNA of
Mycobacterium leprae isolates obtained from archeological bones and leprosy patients from East Nusa Tenggara. J Trop Life Sci. 2012;2:87-91.
18. Prakoeswa CR. Distribution of genotyping