• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, karena kesulitan hidup yang dihadapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, karena kesulitan hidup yang dihadapi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kajian-kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya (Kusnadi 2000 dalam Pretty et. al.2003 dan Widodo 2011). Keadaan tersebut disebabkan oleh hubungan antara nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) yang diliputi situasi ketidakpastian (Adriati 1992, dalam Kusnadi, 2000 dan Satria 2009). Nelayan menurut Undang-Undang Perikanan nomor 45 tahun 2009, merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5GT). Batasan ini mengindikasikan bahwa kehidupan nelayan tergantung langsung pada hasil laut (Mulyadi, 2007) dan menjadikan nelayan sebagai komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia (Kusnadi, 2009).

Sebagaimana masyarakat pada umumnya, nelayan menghadapi sejumlah masalah sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks (Kusnadi, 2009; Satria 2009). Salah satunya mengenai isu degradasi sumber daya lingkungan, baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil (Kusnadi 2009). Meskipun World Resources Institute (2002), menempatkan Indonesia berada pada posisi pertama yang memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia, namun pada kenyataannya luas hutan

1

(2)

10

mangrove yang merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem pesisir telah berkurang 120.000 hektar (Ha) dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH, 2009). Selain mangrove, berdasarkan pemantauan Coremap II dan P2O LIPI di 985 lokasi selama tahun 2008, juga menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia 5,51 % diantaranya dalam kondisi sangat baik, 25,48 % dalam kondisi baik, 37,06 % dalam kondisi cukup, dan 31,98 % dalam kondisi kurang.

Kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini tentunya memberikan dampak yang cukup serius bagi kelangsungan hidup nelayan, terutama nelayan-nelayan skala kecil (Satria 2009). Kejadian ini merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya pesisir dan laut (Satria 2009). Selain masalah degradasi lingkungan, nelayan juga dihadapkan pada dampak perubahan iklim. Laporan ke-empat IPCC yang memenangkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2007 lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu dan hal ini berisiko mengubah stabilitas ekosistem, sosial ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi planet bumi sebagai penunjang kehidupan (Kusnadi 2009 dalam Satria 2009).

Kajian Davies (1993), pada sumberdaya yang berbasis lahan, perubahan iklim memicu munculnya shock dan stres akibat gagal panen atau harga yang turun atau sumberdaya lahan yang tidak memadai yang kemudian mempengaruhi dasar dari

2

(3)

11

sumber nafkah rumah tangga. Shock dan stres ini diduga juga terjadi pada nelayan yang diakibatkan oleh rusaknya sumber-sumber mata pencaharian mereka akibat perubahan ekologis. Kondisi ini kemudian menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis. Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah.

Bennet (1976) dan Pandey (1993) (dalam Indra Fitri 2012), memandang adaptasi sebagai suatu prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Perilaku responsif tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975 dalam Barlett 1980). Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat bertahan dan

3

(4)

12

melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya Bennett 1976 (dalam Indra Fitri 2012). Walaupun proses adaptasi pada dasarnya merupakan perubahan tingkahlaku di tingkat individu, akan tetapi dalam bahasan ini proses adaptasi disajikan dalam unit analisis rumah tangga. Adaptasi yang dimaksud adalah bagaimana rumah tangga nelayan di Desa Pematang Kuala melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang ada di wilayahnya.

Secara alamiah laut memang sulit diprediksi. Gelombang tinggi, angin kencang atau badai, serta rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit. Di satu sisi masyarakat nelayan mempunyai kelemahan secara struktural. Kemampuan modal yang lemah, manajemen rendah, kelembagaan yang lemah, di bawah cengkeraman tengkulak, dan keterbatasan teknologi. Kita mengetahui nelayan termasuk warga negara kita yang berekonomi lemah, kontras dengan perannya sebagai pahlawan protein bangsa. Kondisi kultural juga bisa mendorong nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Kekayaan alam yang besar sering meninabobokan kita semua. Ketergantungan pada sumber daya laut mengakibatkan terjadi kepasrahan, dan ini berakibat tidak adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidak mampuan secara finansial dan belum sejahtera. Selain dari faktor yang

4

(5)

13

telah dijelaskan sebelumnya, Hal ini juga dikarenakan bagitu banyaknya kendala yang dihadapi oleh nelayan (dalam konteks ini adalah para nelayan tradisional), kendala-kendala tersebut meliputi kurangnya modal untuk melakukan usaha nelayan, penggunaan alat tangkap yang masih tradisional, dan perubahan cuaca (cuaca ekstrim) yang tidak menentu yang menyebabkan para nelayan sulit beroperasi. Sehubungan dengan itu semua, komunitas nelayan bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.

Cuaca menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam penyebab melemahnya ekonomi nelayan tradisional. Dimana untuk melakukan aktifitas melaut, sangat ditentukan oleh baik atau tidaknya keadaan cuaca. Karena keadaan cuaca yang tidak menentu ini akan menyebabkan hasil tangkap para nelayan makin turun dan bahkan tidak mendapat sama sekali, selain itu dengan keadaan ini juga dapat mengancam keselamatan nelayan yang sedang melaut. Jika para nelayan sedang melaut dan disaat itu pula terjadi perubahan cuaca yang sangat buruk, maka selain berpengaruh pada pendapatan ikan, juga berpengaruh pada keselamatan para nelayan, misalnya mereka akan terdampar disuatu pulau, tidak bisa pulang karena tidak bisa melawan ombak atau angin untuk pulang, dan bahkan bisa membuat kapal atau perahu mereka tenggelam dan sebagainya. Berdasarkan dari berbagai penjelasan sebelumnya sudah sangat terlihat jelas bahwa dampak perubahan cuaca (cuaca ekstrim) akan memperburuk keadaan dan mempersulit para nelayan untuk melaut dan

5

(6)

14

hal ini akan menyebabkan kebutuhan rumah tangga nelayan tidak terpenuhi dan membuat mereka tetap berada dalam kubang kemiskinan dan masa paceklik sangat rentan terjadi seiring dengan terjadinya cuaca ekstrim.

Menurut data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik).Jumlah penduduk Indonesia hasil sensus 10 tahun terakhir tepatnya pada mei 2010 mencapai 237.641.326 jiwa Sedangkan menurut menteri dalam negeri Gunawan Fauzi, tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 desember 2010 mencapai 259.940.857 jiwa, jumlah ini terdiri dari 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Diantara ratusan juta jiwa penduduk Indonesia masih banyak terdapat masyarakat miskin dan salah satunya adalah pada kalangan masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir, dimana masyarakat nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara penangkapan ikan maupun dengan cara budidaya ikan. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatan. Kehidupan nelayan sampai saat ini belum dapat dikatakan layak bahkan jauh dari kata sejahtera. Jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapat 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Jumlah 7,87 juta orang tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan pesisir di berbagai daerah di tanah air (hasil sensus penduduk terakhir adalah pada mei 2010, pada tahun 2013 BPS tidak memiliki kegiatan updating data penduduk, karena sensus diadakan tiap 10 tahun sekali).

6

(7)

15

Sementara itu di Wilayah Sumatera Utara berdasarkan BBPSEKP (Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan) memutuskan data jumlah penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional dalam beberapa tahun terakhir yaitu: pada tahun 2003 tercatat (120.717) jiwa, tahun 2004 (123.932) jiwa, pada tahun 2005 (36.088) jiwa dan pada tahun 2006 terdapat (131.745) jiwa yang bekerja sebagai nelayan dan data tersebut merupakan hasil sensus BBPSEKP tujuh tahun terakhir. Sedangkan data jumlah penduduk nelayan serdang bedagai berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) berdasarkan sensus pada tahun terakhir yaitu pada tahun 2005 (12.590) jiwa yang terdiri dari (9.778) jiwa sebagai nelayan penuh, dan (2.812) jiwa sebagai nelayan sambilan. Sementara produksi ikan di Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2005 adalah mencapai (23.873,5) ton yang terdiri dari (21.821,8) ton merupakan hasil tangkapan perikanan laut, (111,4) ton perikanan perairan umum, dan (1.940,3) ton merupakan perikanan darat.

Sementara itu, data jumlah penduduk yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun terakhir yang diadakan pada desember 2011 yang terdiri dari 5 dusun mencapai 2.510 jiwa yang terdiri dari 1.258 jiwa penduduk laki-laki dan 1.252 jiwa penduduk perempuan. Dari 2.510 jumlah penduduk yang ada di Desa Pematang Kuala terdapat 304 jiwa masyarakat yang bekerja sebagai nelayan yang terdiri dari nelayan lepas dan nelayan pinggiran pantai.

Konsep nelayan tradisional yang dimaksud untuk para nelayan yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai ini

7

(8)

16

merupakan nelayan tradisional yang memiliki sampan milik sendiri (sampan milik keluarga, milik kelompok atau milik koperasi), atau nelayan yang menyewa sampan pada juragan, dengan kata lain dalam penyewaan sampan tersebut, para juragan tidak menggaji nelayan berdasarkan sistem gaji bulanan namun, nelayan ini digaji berdasarkan besaran pendapatan tangkap ikan mereka dalam sekali melaut, mereka bukan merupakan anak buah kapal yang bekerja untuk para nelayan dengan kapal yang besar dan dengan alat tangkap yang modern, dan nelayan tradisional yang hanya menggunakan mesin robin atau mesin tempel sebagai alat penggerak sampan serta dengan menggunakan alat tangkap tradisional seperti jala, pancing dan jaring.

Nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini merupakan nelayan tradisional yang sudah turun-temurun dari generasi ke genarasi sudah menjadi nelayan. Di Desa Pematang Kuala ini terdapat 4 jenis kategori nelayan yaitu: Pertama. Nelayan juragan (nelayan ini adalah nelayan yang hanya menyediakan sampan dan modal untuk para pekerjanya atau untuk para nelayan, Kedua. Nelayan toke (nelayan yang bertugas hanya menjadi awak sampan pada saat melaut, artinya nelayan toke ini tidak ikut menangkap ikan melainkan hanya menjadi pengemudi sampan yang mereka gunakan pada saat melaut. ketiga. Nelayan pekerja yang merupakan nelayan tradisional yang bekerja untuk para pemilik sampan atau pemilik modal dan mereka beroperasi di tengah lautan atau nelayan lepas yang menghabiskan waktu hingga 4 sampai 5 hari dan mereka digaji oleh juragan berdasarkan pendapatan hasil tangkap mereka dalam sekali melaut, dan Keempat. Nelayan pinggiran (biasanya nelayan pinggiran menggunakan sampan milik pribadi dan hanya beroperasi disekitar pinggir pantai).

8

(9)

17

Sebagai nelayan, mereka harus meninggalkan rumah pada saat penduduk yang bukan nelayan sedang menikmati istirahatnya. Mereka harus berada di tengah laut pada malam hari, sementara mereka yang bukan nelayan sedang tidur nyenyak di malam hari. Belum lagi adanya badai yang datang secara tiba-tiba, perahu dan jaringnya tersangkut karang, serta tidak jarang terguyur air hujan yang sangat lebat, sehingga mereka selalu diliputi dengan kedinginan, kekhawatiran dan kewaspadaan ketika bekerja di tengah laut. Pagi hari, ketika mereka sudah berada ditengah-tengah keluarganya kembali dengan keadaan lelah karena kurang tidur, sementara itu warga masyarakat yang bukan nelayan kondisinya lebih sehat karena istirahat yang cukup pada waktu malam harinya. Dengan demikian, dapat dipahami begitu besar kerja keras para nelayan untuk mencari nafkah keluarganya. Namun kerja keras tersebut belum tentu dapat membuahkan hasil yang memuaskan dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik, karena begitu banyak faktor penyebabnya dan salah satu faktor penyebab yang tidak bisa dihindari yaitu saat terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim saat mereka sedang berada di tengah laut yang menjadi faktor penyebab melemahnya pendapatan nelayan tradisional dan membuat kondisi ekonomi mereka masih berada dalam kondisi belum sejahtera.

Kehidupan ekonomi dari sebagian besar nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala ini dapat dikatakan berada di posisi menengah kebawah. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan primer dan sekunder mereka, misalnya keadaan rumah, keberadaan dan kelayakan dari sarana dan prasarana air bersih dan toilet, perabot rumah tangga, pendidikan anak dan sebagainya. Tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi nelayan tradisional ini secara tidak memadai dikarenakan begitu banyak

9

(10)

18

masalah dan persoalan yang mereka hadapi dalam menjalankan rutinitas pekerjaan mereka, cuaca ekstrim merupakan kendala yang paling tidak bisa dihindari dan ditolerir oleh para nelayan. Dalam kondisi cuaca stabil saja belum tentu mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak apalagi saat terjadi cuaca ekstrim yang jelas-jelas membuat nelayan ini harus berhenti melaut karena selain membuat hasil tangkap mereka menurun bahkan juga dapat membahayakan bagi keselamatan nelayan.

Penghasilan dari rata-rata nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala ini masih berada dibawah gaji yang sewajarnya, dari rata-rata penghasilan nelayan ini masih rendah dibanding dengan kebutuhan rumah tangga yang semakin mendesak. Rata-rata penghasilan berkisar diantara Rp.200.000,- kebawah dalam sekali melaut selama 4-5 hari melaut, sangat jarang sekali mereka bisa mendapatkan penghasilan diatas pendapatan rata-rata tersebut, dengan pendapatan rata-rata sebesar RP.200.000,- ini masih merupakan penghasilan kotor belum dikurangi untuk membayar hutang kepada juragan yang biasanya sebesar Rp.50.000,- setiap pergi melaut dan uang ini merupakan pinjaman untuk kebutuhan makan anak dan istri mereka selama ditinggal melaut, pendapatan rata-rata sebesar Rp.200.000 tersebut untuk kategori nelayan tengah. Sementara untuk para nelayan pinggiran yang melaut hanya setengah hari atau pergi pagi pulang sore memiliki penghasilan yang berkisar antara Rp.50.000 kebawah bahkan lebih sering kurang dari Rp.50.000 dan bahkan terkadang tidak mendapat sama sekali. Kehidupan ekonomi rumah tangga nelayan yang termasuk kategori tercukupi dan terpenuhi kebanyakan hanya dirasakan para nelayan juragan. Dengan penghasilan yang tidak menentu pola kehidupan yang boros

10

(11)

19

juga dapat membuat para nelayan kesulitan dalam menghadapi terjadinya masa paceklik yang dikarenakan terjadinya perubahan cuaca yang harus menuntut mereka untuk tidak melaut. Pada saat pendapatan agak memadai mereka tidak bisa hidup hemat dan menabung untuk keperluan mendesak di kemudian hari. Pada saat mendapat penghasilan yang memadai justru malah boros dan tanpa memikirkan hari esok misalnya penghasilan tersebut digunakan untuk beli baju, parabot rumah tangga, makan enak dan mewah dan sebagainya tanpa memikirkan besok ada rejeki melaut lagi atau tidak.

Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di daerah Indonesia, data prakiraan terjadinya musim hujan yang berpotensi menyebabkan angin dan badai adalah: Awal Musim Hujan 2011/2012 diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Oktober dan November 2011 data ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu. Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Hujan terjadi pada Agustus, September, dan Desember 2011, Maret, April, dan Mei 2012. Sementara itu untuk Awal Musim Kemarau 2013 diprakirakan umumnya mulai bulan Mei dan April 2013, dan data ini juga hanya berlaku di beberapa daerah tertentu saja, Sedangkan beberapa daerah lainnya awal Musim Kemarau terjadi pada Pebruari, Maret, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember 2013.

diakses

pada tanggal 18 juli 2013, pukul 22:35 WIB).

Di Desa Pematang Kuala Perubahan iklim yang sering terjadi dan dialami oleh para nelayan tradisional biasanya seperti gelombang tinggi di laut, angin kencang atau bahkan terjadi badai, hujan dan sebagainya. Cuaca ekstrim ini terjadi

11

(12)

20

hampir di setiap bulan dan datang tidak menentu terkadang datang pada saat para nelayan lagi tidak melaut dan mereka dapat menunda keberangkatan melautnya dan kadang kalanya cuaca ekstrim tersebut datang ketika para nelayan masih berada di tengah lautan yang membuat mereka sulit untuk kembali ke daratan. Nelayan di sini mayoritas menggunakan sampan yang berukuran sedang dan kecil dengan menggunakan mesin sebagai penggerak sampan sehingga dengan terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan mengganggu aktivitas melaut para nelayan tradisional, dan akan berdampak pada merendahnya hasil tangkap para nelayan. Dengan terjadinya cuaca ekstrim dan dibarengi dengan menurunnya penghasilan nelayan, akan sangat mudah terjadi musim pacekli, yang terjadi hampir setiap terjadinya perubahan cuaca yang ekstrim.

Seiring dengan seringnya terjadi masa paceklik yang dialami oleh para nelayan tradisional yang ada di Desa Pematang Kuala, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai ini, peneliti lebih tertarik dan fokus untuk melihat bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi para nelayan tradisional ini dalam menghadapi perubahan cuaca yang berdampak pada terjadinya masa paceklik. Dengan kondisi pekerjaan yang penuh dengan tantangan dan dengan penghasilan yang sangat minim yang belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak tercukupi karena kebutuhan hidup yang mendesak, misalnya mulai dari kebutuhan sandang dan pangan hingga pendidikan anak-anak yang semakin mahal bagaimana bisa mereka tetap bertahan dengan pekerjaan sebagai nelayan dan jarang ada para nelayan di desa ini yang memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai nelayan. Strategi seperti apa yang mereka lakukan dalam situasi paceklik tersebut.

12

(13)

21

1.2.Rumusan Masalah

Sebuah penelitian harus memiliki batas-batas permasalahan yang harus diamatai atau diteliti agar penelitian tersebut dapat terfokus dalam satu permasalahan dapat diselesaikan dan penelitian tidak lari dari jalur yang telah ditetapkan. Oleh karena itu berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan para masyarakat nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala, Kec. Teluk Mengkudu, Kab. Serdang Bedagai dalam menghadapi masa paceklik.

1.3.Tujuan Penelitian

Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti pada sebuah penelitian, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan penelitian yang sejalan dengan rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah diatas adalah untuk mengetahuai bagaimana strategi adaptasi sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan tradisional di Desa Pematang Kuala dalam menghadapi masa paceklik.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah penelitian telah selesai dilaksanakan. Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk perbandingan atas

13

(14)

22

masalah yang sama terutama dalam bidang ilmu Sosial, masyarakat, khususnya mengenai masyarakat pesisir.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah melalui penelitian ini dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam melihat keadaan masyarakat pesisir khususnya dari aspek ekonominya.

14

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang bisa dilakukan oleh perusahaan agar produk yang dihasilkan sukses dan diterima oleh konsumen antara lain dengan melakukan perencanaan penetapan harga

Hal tersebut sejalan dengan pendapat menurut Sari dan Murwatiningsih (2015) yang menyatakan bahwa model Inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa dikarenakan

Kenangan masa lalu yang dimiliki oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan diwariskan kepada generasi baru melalui jalur keluarga dan masyarakat dengan proses

Hasil belajar siswa menggunakan nilai post test dengan teknik analisis data statistik uji-t satu sampel (one sample t-test). Hasil penelitian ini menunjukan penuntun

Hasil uji laboratorium menunjukkan rugi-rugi daya yang lebih besar dan efisiensi yang lebih rendah diperoleh untuk kondisi pembebanan non-linier.Semakin tinggi kandungan

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Operator Menara Perawatan

Sig (2-tailed) < 0,05 yaitu 0,007 bahwa Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan dalam pemberian penyuluhan mengggunakan media power

Gary Roberts dan Michael Pregitzen (2007), meneliti tentang mengapa karyawan tidak menyukai sistem penilaian kinerja yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan