• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuak

Tuak juga dikenal sebagai minuman tradisional yang berasal dari fermentasi nira aren dengan bantuan jamur Saccharomyces tuac dari kelas Ascomicotina dan telah menjadi minuman tradisional di Sumatera Utara khususnya penduduk yang berasal dari daerah Batak Toba. Tuak diolah secara konvensional, dan dipasarkan secara bebas di Sumatera Utara dengan kadar alkohol 7 % yaitu pada hari pertama (menurut uji laboratorium).

Tuak memiliki rasa yang sangat khas, hal ini dikarenakan penambahan raru kedalam minuman tradisional ini. Raru merupakan sebutan untuk jenis-jenis kulit kayu yang ditambahkan pada nira yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol serta mengawetkan tuak (Pasaribu, 2009).

Komponen utama dari nira berupa air, karbohidrat dalam bentuk sukrosa, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kerusakan nira dapat disebabkan oleh aktifitas khamir Saccharomyces sp yang dapat menfermentasi sukrosa menjadi alkohol maupun asetat. Sadapan dari tandan bungan aren jantan dapat dilakukan setelah tanaman berumur 5-12 tahun. Setiap pohon tanaman aren ini dapat disadap selama 3 tahun, dan setiap tahun dapat dilakukan sadap 3-4 tangkai bunga,dan dalam seharinya aren dapat menghasilkan 3-10 liter nira (Halim, 2008).

Tanpa disadari tuak salah satu minuman alkohol yang kerap dikonsumsi secara berlebihan, dampak yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi tuak secara kronis tidak begitu signifikan namun memerlukan waktu yang lama untuk melihat gangguan-gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol ini. Alkohol akan menginduksi sitokrom P450 sehingga enzim tersebut meningkat. Enzim sitokrom P450 dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan membentuk radikal superoksid (Bacman dan Ames, 1998).

(2)

Di Amerika Serikat, sekitar 75 % dari populasi dewasa mengkonsumsi minuman beralkohol secara teratur, hal tersebut terjadi dikarenakan faktor lingkungan dan kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Beberapa dari pengkonsumsi alkohol, bertujuan untuk melupakan sesaat masalah yang dihadapi, tanpa memperdulikan adanya konsekuensi yang merugikan baik secara medis maupun sosial, mereka akan menderita alkoholisme, yakni suatu gangguan kompleks yang tampaknya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan (Masters, 2002). Alkoholisme sulit untuk menentukan jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi dapat diketahui jika kebiasaan tersebut dibiarkan dalam beberapa waktu, akan mempengaruhi kehidupan seseorang secara bertolak belakang. Alkoholisme menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, meningkatkan toleransi terhadap efek alkohol, dan ketergantungan fisiologik (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Terdapat 200.000 orang kematian di dunia yang berhubungan dengan alkohol setiap tahunnya. Kelompok usia dengan presentasi pengguna alkohol tertinggi adalah usia antara 20 - 35 tahun. Sedangkan jenis kelamin, laki-laki secara bermakna lebih banyak menggunakan alkohol dari pada wanita (Harimurti,

2009).

2.1.1. Pengaruh Alkohol Terhadap Sistem Endokrin dan Fungsi Seksual

Walaupun banyak orang percaya bahwa alkohol dapat meningkatkan aktivitas seksual, tetapi efek yang sebaliknya lebih sering teramati. Banyak obat yang disalah gunakan termasuk alkohol mempunyai efek disinhibisi yang pada awalnya dapat meningkatkan libido. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang dan berlebihan sering menyebabkan penurunan fungsi seksual. Alkohol dapat menyebabkan disfungsi ereksi pada pria setelah penggunaan akut maupun kronis. Insidensi disfungsi ereksi dapat terjadi sampai pada 50% pasien alkoholisme kronis (Fleming et al., 2007). Van Thiel et al, (1974) mencatat bahwa disfungsi ereksi sangat sering terjadi di antara pasien dengan kerusakan hati yang lebih parah.

(3)

Selain itu, banyak pecandu kronis alkohol akan mengalami atrofi testikular dan penurunan fertilitas (Fleming et al., 2007) serta pengurangan ciri seksual sekunder pria (misalnya, pengurangan rambut wajah dan dada, pembesaran payudara, dan pergeseran posisi lemak dari perut ke daerah pinggul) (Emanuele, 1998). Laporan klinis berupa ginekomastia dan atrofi testis pada pecandu alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam keseimbangan hormon steroid (Masters, 2002).

Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi testosteron dan penyusutan testis (atrofi testis) (Adler, 1992). Atrofi testis terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel

et al., 1974). Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan kemungkinan melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik alkohol langsung pada sel Leydig (Fleming et al., 2007). Produk metabolisme alkohol yaitu asetaldehida memiliki sifat toksik ke sel Leydig daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al., 1983).

Kadar testosteron dapat menurun, tetapi banyak pria yang ketergantungan alkohol mempunyai kadar testosteron dan estrogen normal (Fleming et al. 2007). Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan dengan mengeluarkan hipofisis anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya alkohol. Hasilnya menunjukkan alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan hipofisis yang sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van Thiel et al., 1983). Hal ini selaras dengan penelitian Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu salah satunya adalah efek alkohol pada LH dan FSH yang merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle, 1998).

(4)

Konsumsi alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007). Alkohol menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan

Gonadotrophine Releasing Hormon (GnRH), FSH, dan LH (Wright, 1991; Rees, 2005), selanjutnya akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk mensintesis testosteron dan sel Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell

(Nugroho, 2007).

Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).

2.2. Mekanisme Kerja Radikal Bebas, Peroksidasi Lipid, dan Malondialdehyde (MDA)

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro

didalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa

(5)

terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membrane sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membrane menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membrane sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyunsaturated dinding sel. Radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel. Peroksidaperoksida lipid akan terbentuk dalam rantai yang makin panjang dan dapat merusak organisasi membran sel. (Sikka et al., 1995). Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984; Powers and Jackson, 2008).

Mekanisme kerusakan sel atau jaringan akibat serangan radikal bebas yang paling awal diketahui dan terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid paling banyak terjadi di membran sel, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting penyusun membran sel. Pengukuran tingkat peroksidasi lipid diukur dengan mengukur produk akhirnya, yaitu

malondialdehyde (MDA), yang merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh dan yang bersifat toksik terhadap sel. Pengukuran kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal bebas secara tidak langsung sebagai indikator stress oksidatif. Pengukuran ini dilakukan dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive

Substances (TBARS test) (Slater, 1984; Powers and Jackson, 2008).

(6)

2.3. ANTIOKSIDAN DAN STRES OKSIDATIF

Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian selular yang berbeda.

Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dan meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007).

Antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu: 1. Antioksidan enzimatis

2. Antioksidan non enzimatis 2.3.1. Antioksidan Enzimatis

Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di dalammya adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-PX), serta glutation reduktase (GSH-R). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioksidant (Winarsih, 2007).

Enzim katalase dan glution peroksidase bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2 (Winarsih, 2007). 2.3.2. Antioksidan Nonenzimatis

Antioksidan non- enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini bekerja secara preventif, dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat

(7)

dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya ( Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa di dapat dari komponen nutrisi sayuran, buaah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, flavon, antosianin, katekin dan isokatekin ( Winarsih, 2007).

Untuk mencegah stres oksidatif akibat latihan fisik, tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan ada yang berupa enzim maupun non enzim. Antioksidan enzim yaitu superoksida dismutase (SOD), glutathion peroksidase, dan katalase. Antioksidan non-enzim yang utama adalah glutation (GSH), vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Cara kerja antioksidan dapat melalui pemecahan reaksi berantai, yang meliputi fase lipid (vitamin E) dan fase air (vitamin C), mengurangi konsentrasi ROS (glutation), menangkap radikal bebas (SOD), dan khelating transition metal (transferin dan seruloplasmin). Antioksidan enzimatik diaktivasi secara selektif selama latihan fisik berat tergantung pada stress oksidatif jaringan dan kapasitas pertahanan antioksidan. Otot skelet mengalami stres oksidatif lebih besar dibandingkan hati dan jantung karena peningkatan produksi ROS. Oleh karena itu, otot membutuhkan perlindungan antioksidan melawan kerusakan oksidatif yang mungkin terjadi selama daan sesudah latihan fisik. SOD, katalase, dan glutation peroksidase merupakan pertahanan primer melawan pembentukan ROS selama latihan fisik, dan aktivitas enzim-enzim ini diketahui meningkat sebagai respons terhadap latihan fisik baik pada penelitian binatang maupun manusia (Ji, 1999).

2.4. Vitamin E

Istilah vitamin E sering digunakan untuk menyatakan setiap campuran dari tokoferol yang aktif secara biologis. Tokoferol adalah suatu antioksidan yang sangat efektif, yang dengan mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus hidroksil (OH) dari struktur cincin ke radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif. Vitamin E adalah vitamin yang larut baik dalam lemak yang melindungi tubuh dari radikal bebas (Silalahi, 2006).

(8)

Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas (Hariyatmi 2004).

Jumlah vitamin E yang dianjurkan setiap hari (recommended daily allowance; RDA) adalah 8-10 mg. Dosis yang lebih tinggi (36-100 mg/hari) dianjurkan untuk mencegah PJK dan kanker. Sumber vitamin E yang utama adalah minyak nabati dan margarin yang dibuat dari minyak nabati (Silalahi, 2006).

2.5. Vitamin C

Vitamin C (L-asam askorbat) merupakan suatu antioksidan penting yang larut dalam air. Vitamin C secara efektif menangkap radikal bebas dan juga berperan dalam regenerasi vitamin E (Silalahi, 2006). Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat (vitamin C). Vitamin C merupakan donor elektron, yang mendonorkan dua elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lain teroksidasi. Bagaimanapun akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan menghilang dan digantikan oleh radikal bebas semidehydroaskorbic acid atau radikal ascorbyl, yang merupakan zat yang terbentuk akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya. Hal inilah yang menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan, karena radikal bebas yang reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat, lalu direduksi dan radikal ascorbyl yang kemudian terbentuk menggantikannya ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut. Bila radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid sudah dibentuk maka dia akan dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang

(9)

terpisah dengan cara mereduksi komponen yang terdapat di sistem biologi seperti glutation, akan tetapi pada manusia hanya sebagian yang direduksi kembali menjadi asam askorbat yang lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat. Dehydroascorbic acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme dengan cara hidrolisis (Iswara, 2009).

2.6.Efek Protektif Vitamin C dan Vitamin E Terhadap Sperma

Secara fisiologis vitamin C adalah pemakan radikal bebas yang kuat hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma, jaringan mata, otak, paru–paru, hati, jantung, sperma dan berperan melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif (Li dan Schellorn, 2007).

Dalam suatu penelitian membuktikan pemberian vitamin C dosis tertentu selama 15 hari dapat meningkatkan jumlah spermatozoa pada mencit yang dipapar gelombang ultrasonik. Paparan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 30 kHz daya 3.5 watt/cm2 selama 20 menit dan frekuenzi 60 kHz daya 0.5 watt/cm2 selama 15 menit dapat menyebabkan munculnya radikal bebas. Pemberian vitamin C sampai dosis 0.20 mg/gram berat badan/hari dapat mengurangi jumlah spermatozoa yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas karena vitamin C mampu menetralisir radikal bebas (Wibisono, 2001).

Pemberian vitamin C 0,2 mg/g BB secara oral selama 36 hari pada mencit jantan mampu berperan sebagai antioksidan untuk melindungi efek senyawa radikal bebas yang ditimbulkan oleh senyawa plumbum asetat 0,1 % yang ditandai oleh berkurangnya kadar malondialdehyde di dalam sekresi epididimis (Fauzi, 2008).

Iswara (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa antioksidan vitamin C dan vitamin E dapat menangkal radikal bebas dari allethrin dalam obat nyamuk elektrik terhadap kualitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar jantan.

(10)

Penelitian yang dilakukan pada testis tikus yang dipaparkan cadmium (Cd) 10 mg/g BB memperlihatkan bahwa pemberian vitamin C 10 mg/kg BB secara intraperitoneal mampu mengurangi kadar MDA dalam testis dan peningkatan jumlah sperma disertai penurunan persentase sperma yang berbentuk abnormal, pada pemberian vitamin E 100 mg/kg BB secara intraperitonial memperlihatkan efek yang mirip pada pemberian vitamin C, akan tetapi efek dari vitamin E lebih rendah (Acharya dan Mishra, 2006).

Asmarawati (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan vitamin E dalam pengencer sperma ayam dapat menjaga tingkat motilitas, viabilitas, dan spermatozoa normal setelah disimpan selama 72 jam pada suhu 4ºC, sedangkan vitamin C cenderung menurunkan motilitas spermatozoa, pH sperma dan viabilitas spermatozoa.

Pada penelitian untuk menguji efek suplementasi vitamin E dan selenium terhadap lipid peroksidasi dengan parameter sperma, didapati peningkatan kualitas semen dan pemakaiannya dianjurkan untuk penanganan infertilitas pada pria, dan ditemukan juga bahwa durasi maksimum fertlitas dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi vitamin E pada usia 49 minggu pada ayam jantan. (Lin dan Chang, 2005).

Dalam beberapa studi in vitro disebutkan bahwa vitamin E merupakan antioksidan pemutus rantai yang utama dalam membran sperma dan efektivitasnya tergantung dari dosis (Huszar dan Vigue, 1994). Dalam randomized double-blind controlled trial, pasien asthenospermia mendapatkan vitamin E oral (300 mg/hari), perlakuan ini menurunkan konsentrasi malondialdehyde dalam spermatozoa dan meningkatkan motilitas secara signifikan (Ken, 1992).

Vitamin E yang berperan sebagai antioksidan dilaporkan juga mampu melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas (Therond dan Auger, 1996). Regina dan Traber (1999), menyatakan bahwa defisiensi vitamin E pada testis tikus menyebabkan degenerasi epitel tubulus seminiferus dan menghentikan produksi spermatozoa. Pemberian vitamin E secara oral pada pasien astenospermia dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa secara signifikan (Suleiman dan Ali, 1996).

(11)

2.7. Pengaruh ROS Terhadap Spermatozoa

Ada dugaan bahwa stres oksidatif akibat dari ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan, adalah salah satu penyebab dari infertilitas (Dahlan, 2002). Dalam kondisi fisiologis, spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS toxic terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma melalui kerusakan DNA dan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis sehingga dapat menyebabkan adanya kelainan pada morfologi dari sel spermatozoa (Widodo, 2009).

Stres oksidatif pada spermatozoa merupakan penyebab utama disfungsi spermatozoa dengan menghambat proses oksidasi fosforilasi. Oksidasi fosforilasi yang terganggu menyebabkan peningkatan reactive oxygen species (ROS) spermatozoa. Kadar ROS yang tinggi dalam sel dapat mengoksidasi lipid, protein, dan DNA. Lipid membran plasma spermatozoa memiliki fosfolipid dengan kadar yang tinggi sehingga menyebabkan spermatozoa sangat rentan terhadap ROS. Hal ini menunjukkan bahwa membran spermatozoa adalah target utama ROS dan lipid merupakan sasaran yang potensial oksidasi lipid (lipid peroksidase) pada membran spermatozoa menghasilkan senyawa malondialdehyde (MDA), yang bersifat toksik pada sel sehingga menyebabkan kerusakan membran spermatozoa. Membran spermatozoa yang rusak akan menyebabkan penurunan integritas membran spermatozoa, sehingga pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas sperma (Lamarinde, 1997).

2.8.Organ Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem eksretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, uretra dan penis. Selain uretra dan penis semua

(12)

Testis merupakan organ kelamin jantan yang berfungsi sebagai tempat sintesis hormon androgen (terutama testosteron) dan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Kedua fungsi testis ini menempati lokasi yang terpisah didalam testis. Biosintesis androgen berlangsug dalam sel leydig dijaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus seminiferus. Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga menjadi sperma (Syahrum, 1994).

Tubulus seminiferus adalah bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa perhari selama masa produksi (Saryono, 2008). Pada tubulus seminiferus mengandung banyak sel epitel germinativum yang berukuran kecil, dinamakan spermatogenia menjadi spermatosit membelah diri membentuk dua spermatosit yang masing-masing mengandung 23 kromosom. Setelah beberapa minggu menjadi spermatozoa spermatid, pertama kali dibentuk masih mempunyai sifat umum sel epiteloid. Kemudian sitoplasma menghilang memanjang menjadi spermatozoa terdiria atas kepala, leher, badan dan ekor (Syaifuddin, 2006)

Sel sperma yang normal terdiri dari kepala, leher, bagian tengah dan ekor. Kepala ditutupi oleh tulang protoplasmic (galea kapitis). Galea kapitis biasanya larut bila sperma diberi pelarut lemak yang biasanya digunakan untuk pengecatan. Bila bergerak sperma berenang dalam cairan suspensinya seperti ikan dalam air. Bila mati sperma akan terlihat datar dengan permukaan. Pada mencit ujung kepala sperma berbentuk kait. Leher dan ekor tersusun dari flagellum tunggal yang padat tetapi dari 9-18 fibril yang dibungkus oleh satu selubung. Pada ujung ekor selubung menghilang. Fibril menyembul dalam bentuk sikat yang telanjang (Siregar, 2009).

2.8.1. Spermatogenesis

Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan, dengan jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan sperma yang akan diproduksi

(13)

dan masih berada di daerah ekstra gonad. Karena sel germinal kaya akan alkalin fosfatase untuk mensuplai energi pergerakannya melalui jaringan embrio, maka sel germinal dapat dikenal dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke 9 dan 10 kehamilan sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke 11 dan 12) ke daerah genitalia. Pada saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan. Proses proliferasi dan differensiasi berlangsung di daerah medulla testis. Pada kasus steril, kehilangan sel germinal berlangsung selama perjalanan dari bagian ekstra gonad menuju daerah genitalia. Menuju akhir masa fetus, aktivitas mitosis sel germinal primordial dalam bagian genitalia berkurang dan beberapa sel mulai degenerasi menjelang hari ke-19 kehamilan. Tidak berapa lama setelah kelahiran, sel tampak lebih besar, yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada spermatogonia dalam testis mencit sepanjang hidupnya. Ada 3 jenis spermatogonia : tipe A, tipe intermediate dan tipe B (Rugh, 1968).

Tipe A adalah induk stem cell yang mampu mengalami mitosis sampai menjadi sperma. Spermatogonia tipe A yang paling besar dan mengandung inti kromatin yang mirip partikel debu halus dan nukleolus kromatin tunggal terletak eksentrik. Kromosom metafasenya panjang dan tipis. Dapat meningkat, melalui spermatogonia intermediate menjadi spermatogonia B yang lebih kecil, lebih banyak, dan mengandung inti kromatin serpihan kasar di atas atau dekat permukaan dalam membran inti. Terdapat plasmosom mirip nukleolus yang terletak di tengah. Kromosom metafase biasanya pendek, bulat, dan mirip kacang. Spermatogonia tipe B membelah dua untuk meningkatkan jumlahnya atau berubah menjadi spermatosit primer, lebih jauh dari membran dasar. Diperkirakan lamanya dari metafase spermatogonia menjadi profase meiosis sekitar 3 sampai 9 hari, menuju metafase kedua selama 4 hari atau kurang, dan menuju sperma imatur selama 7 hari atau lebih. Maka, waktu dari metafase spermatogonia menjadi sperma imatur paling sedikit 10 hari (Rugh, 1968).

Sel tipe A pertama kali muncul 3 hari setelah kelahiran. Ketika jumlahnya meningkat, sel germinal primordial yang merupakan asalnya dan kemudian berada

(14)

meiosisdalam testis mulai 8 hari setelah kelahiran. Tanda pertama bahwa spermatogonia B akan metamorfosis menjadi spermatosit primer adalah pembesaran dan bergerak menjauhi membran dasar. Spermatosit primer membelah menjadi 2 spermatosit sekunder yang lebih kecil, yang kemudian membelah menjadi 4 spermatid. Mereka mengalami metamorfosis radikal menjadi sperma matur dengan jumlah yang sama, kehilangan sitoplasmanya dan berubah bentuk (Rugh,1968)

Antara tahap spermatosit primer dan sekunder, materi kromatin harusmembelah. Sintesa premeiotik DNA terjadi di spermatosit primer selama fase istirahat dan berakhir sebelum onset profase meiosis, rata-rata selama 14 jam. Tidak ada pembentukan DNA terjadi pada tahap akhir spermatogenesis. Proses spermatogenesis mencit pada dasarnya sama dengan mamalia lain. Satu siklus epitel seminiferus selama 207±6 jam, dan 4 siklus yang mirip terjadi antara spermatogonia A dan sperma matur. Testis dan khususnya sperma matur, merupakan sumber hyaluronidase terkaya, dan enzim ini efektif membubarkan sel cumulus sekitar ovum matur pada saat fertilisasi. Setiap sperma membawa enzim yang cukup untuk membersihkan jalan melalui sel cumulus menuju matriks sel ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung bergabung ke sel granulosa selcumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan enzim melimpah (Rugh, 1968).

2.8.1. Spermiogenesis

Tahap akhir dalam spermatogenesis adalah diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa matang, disebut spermiogenesis. Dalam proses ini terjadi perubahan dramatis pada sperma yaitu perubahan bentuk sperma, namun tidak terjadi lagi pembelahan sel. Sel sperma mencapai karakteristik morfologinya dengan jelas dalam proses spermiogenesis. Adanya defek pada proses ini dapat mengakibatkan abnormalitas morfologi sperma (Yavetz et al., 2001).

Sperma matang memiliki sebuah kepala, akrosom, bagian tengah dan ekor. Bagian kepala, terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi genetic sperma. Akrosom, suatu vesikel berisi enzim di ujung kepala, digunakan sebagai “bor

(15)

enzimatik” untuk menembus ovum. Akrosom dibentuk dari agregasi vesikelvesikel yang dihasilkan oleh kompleks Golgi/retikulum endoplasma sebelum organel-organel ini dibuang. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh ekor yang panjang. Pergerakan ekor dijalankan oleh energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma (Sherwood, 2007).

Gambar 2.1. Morfologi sperma mencit (Hayati et al., 2005). Gambar A adalah sperma normal dengan kepala seperti kait pancing, gambar B, C dan D adalah sperma abnormal (B= sperma dengan kepala seperti pisang, C= sperma tidak beraturan, dan D= sperma terlalu bengkok).

Ciri sperma normal yaitu mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing dan ekor panjang lurus, Sedangkan sperma abnormal mempunyai bentuk kepala tidak beraturan, dapat berbentuk seperti pisang, atau tidak beraturan (amorphous), atau terlalu bengkok, dan ekornya tidak lurus bahkan tidak berekor, atau hanya terdapat ekornya saja tanpa kepala.

Pada manusia, spermatogenesis memerlukan waktu sekitar 64 hari, dari spermatogonia menjadi sperma matang dengan produksi sperma sekitar 30 juta sperma per hari sedangkan pada mencit proses ini berlangsung sekitar lima minggu (Rugh, 1968; Sherwood, 2007). Robb et al. (1978) melaporkan bahwa

(16)

tikus jantan yang telah mencapai kematangan seksual memproduksi sekitar 24 x 106 sperma per gram testis per hari. Efisiensi spermatogenik pada mamalia, yang diukur melalui produksi sperma harian per gram testis bervariasi dari 2,65 x 107 pada kelinci, hingga lebih dari 1,9 x 107 sperma per gram testis per hari pada kebanyakan spesies lainnya (Peirce and Breed, 2001).

Gambar

Gambar  2.1.  Morfologi  sperma  mencit  (Hayati  et  al.,  2005).  Gambar  A  adalah  sperma normal dengan kepala seperti kait pancing, gambar B, C dan  D  adalah  sperma  abnormal  (B=  sperma  dengan  kepala  seperti  pisang,  C=  sperma  tidak  beratur

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan antara lain melalui cara kimia dengan melisis tallus rumput laut dengan campuran enzim komersial, kemudian enzim yang berasal dari viscera keong mas baik

Sehingga sesuai dengan apa yang dipaparkan pada analisis data yang menyatakan bahwa jenis campur kode yang memperoleh persentase tertinggi adalah campur kode yang

BNI TabunganKu iB Hasanah ialah produk simpanan dana dari Bank Indonesia yang dikelola sesuai dengan prinsip syariah dengan akad Wadiah dalam mata uang Rupiah

secang dengan menambahkan gula pasir (sukrosa) dikarenakan pengukuran menggunakan metode Folin Ciocealteu yang dapat mengakibatkan terjadinya reaksi reduksi kimia yang sama

Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar pada pembelajaran pengecoran logam.. 1.6 Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan

Sapariyah, 2011, Pengaruh Good Governance Dan Independensi Auditor Terhadap Kinerja Auditor Dan Komitmen Organisasi (Survey Pada Kantor Akuntan Publik Di Surakarta), STIE

Untuk peningkatan kuantitatif organisasi pemerintahan ( Desa dan Kelurahan ), dapat berarti berkurangnya jumlah masyarakat yang berada dalam kondisi tidak sehat

Dalam proses mendidik, Al-Ghazali menggunakan sistem keseimbangan antara kemampuan akal (rasional) dan kekuasaan ( taqdir ) Tuhan, antara kemapuan nalar manusia dan