• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah single-blind randomized controlled trial dengan membandingkan efek suplementasi vitamin D antara 2 kelompok, dimana kelompok I diberi OAT dan vitamin D dengan dosis 2,5 mg, dan kelompok ke II diberikan OAT dan plasebo.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa puskesmas dan rumah sakit wilayah Medan. Penelitian direncanakan selama 7 bulan dan untuk pengumpulan data dilakukan selama 4 bulan.

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah penderita TB paru adalah penderita TB paru yang berobat ke puskesmas dan rumah sakit wilayah Medan.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

1. Penderita TB paru kasus baru yang belum diobati, dengan kuman BTA positif dalam dahak dengan cara pemeriksaan hapusan langsung.

2. Usia > 18 tahun.

3. Bersedia untuk mengikuti penelitian yang dinyatakan secara tertulis setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian ini (informed consent).

(2)

Kriteria eksklusi

1. Menderita HIV, Diabetes Melitus, penyakit ginjal dan penyakit hati serta penyakit berat lainnya.

2. Sedang mengkonsumsi suplemen vitamin D, obat imunosupresif seperti kortikosteroid dan kemoterapi kanker.

3.3.3. Besar sampel n1 =n2 = ((Zα√P(1-P) + Zβ√p1(1-p1)+p2(1-p2))2 (p1-p2)2 dimana: n = Besar sampel Zα = Deviat baku α (α = 0,05, Zα = 1,960) Zβ = Deviat baku β (β = 10%, Zβ = 0,842) P = p1+p2/2

p1 = Nilai proporsi kelompok perlakuan = 0,63 (Siswanto dkk. (2009)) p2 = Nilai proporsi kelompok kontrol =0,33 (Siswanto dkk. (2009))

Maka di dapatkan besar sampel satu kelompok (n) sebesar 34 orang. Dengan perhitungan drop out 10% maka jumlah total sampel keseluruhan adalah 75 sampel, untuk memudahkan pembagian kelompok dibuat menjadi 76 sampel. 3.4. Metode pengambilan sampel

Pemilihan sampel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip non probability sampling dengan tehnik consecutive sampling, sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dipilih dan dilakukan secara acak. TB aktif yang memenuhi kriteria inklusi akan digunakan sebagai sampel dan dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I diberikan vitamin D dan kelompok 2 diberikan plasebo. Masing-masing kelompok diikuti sampai 2 bulan untuk dilihat konversi sputum dan perbaikan foto toraks setelah pengobatan Oral Anti Tuberculosis (OAT).

(3)

3.5. Kerangka Operasional

Meminta persetujuan Majelis Komite Etik Penelitian (Ethical Clearance)

n=76

Pasien TB Paru BTA (+) Menentukan sampel penelitian

Mencatat data sampel penelitian dari rekam mendik hasil anamnesis, hasil Pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan BTA

Mengumpulkan data sampel penelitian

 Pengambilan sputum sebelum perlakuan  Foto RO toraks sebelum perlakuan

Mengambil sampel darah

OAT + Vitamin D (0,2,4,6) Sentrifugasi OAT + Plasebo (0,2,4,6) Analisa Data

Kadar vitamin D setelah 2 bulan perlakuan

Pemeriksaan kadar vitamin D dengan tehnik ELISA sebelum perlakuan

 Pemeriksaan sputum dilakukan pada minggu ke 2, 4, 6, dan 8  Foto toraks setelah 2 bulan

(4)

1. Variabel tergantung (dependen) : - Konversi sputum

- Perbaikan radiologis

2. Variabel bebas (independen) : Pengobatan supportive suplemen vitamin D

3.6. Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara dan alat ukur Kategori Skala

ukur 1. Konversi dahak/sputum BTA Perubahan (konversi) hasil hapusan sputum BTA penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negative setelah menjalani masa intensif. Pemeriksaan dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):  S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, Suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P(Pagi): Dahak dikumpulkan di Cara dan Alat Ukur

 Terjadi perubahan (konversi)  Tidak terjadi perubahan (konversi) Nominal

(5)

No Variabel Definisi Kategori Skala Ukur rumah pada pagi

hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.  S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. 2. Radiologis Perubahan hasil foto toraks setelah 2 bulan pemberian vitamin D. Dilihat berapa zona paru yang mengalami kerusakan dan Definisi

Foto Rontgen dengan melakukan foto toraks posisi PA

Melihat berapa zona

paru yang

terlibat/mengalami kerusakan, dengan hasil:

0=Tidak ada yang terlibat/bersih 1= Ada 1 zona yang terlibat

2= Ada 2 zona yang terlibat

3= Ada 3 zona yang terlibat

4= Ada 4 zona Kategori

(6)

No Variabel Cara dan Alat Ukur Skala Ukur perbaikan setelah pemberian vitamin D atau perlakuan yang dinilai oleh dokter spesialis paru dan spesialis radiologi. yang terlibat 5=Ada 5 zona Kategori yang terlibat

6= Ada 6 zona yang terlibat 3. Kadar Vitamin D Kadar 25(OH) vitamin D dalam serum

ELISA kit dengan melakukan pemeriksaan vitamin D

Insufisiensi Defisiensi

Nilai kadar Vitamin D dalam (ng/ml)  Optimal (>30)  Sufisiensi (20-30)  Insufisiensi (10-20)  Defisiensi (<10) Kategorik Dan Nominal

(7)

3.7 Prosedur Pengumpulan Data

1. Sebelum penelitian dimulai, peneliti meminta keterangan lolos kaji etik (ethical clearance) kepada Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian Fakultas Kedokteran USU.

2. Setiap penderita yang diikutsertakan dalam penelitian harus dibuat surat informed consent, yang harus ditandatangani oleh penderita dan peneliti 3. Penderita TB paru yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

klinis, pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak kuman Basil Tahan Asam (BTA) positif melalui hapusan langsung serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikut sertakan dalam penelitian.

4. Dilakukan pemeriksaan test HIV dan kadar gula darah. Pasien yang menderita HIV dan Diabetes Melitus tidak diikut-sertakan dalam penelitian.

5. Kemudian diambil darah penderita TB (kasus) dari vena mediana kubiti untuk pemeriksaan kadar vitamin D.

6. Hasil data yang didapat dicatat dan dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisa.

3.7.1 Prosedur pemeriksaan sediaan hapus langsung kuman bakteri tahan asam dari sputum

a. Persiapan pasien

1) Pasien dianjurkan untuk mengosok gigi dan berkumur sebanyak 3 kali dengan menganti air hangat setiap kali berkumur.

2) Jika pasien belum dapat mengeluarkan sputum dapat diberikan tablet gliseril guaicolat 200 mg.

3) Jika dahak kental dan sulit dikeluarkan dapat diberikan obat mukolitik atau ekspektoransia.

b. Waktu pengumpulan dahak

1) Sewaktu hari 1 pada saat pasien dating kunjungan pertama 2) Pada hari ke 2 penderita mengumpulkan dahak setelah hari

(8)

3) Sewaktu ke 3 pada saat mengumpulkan dahak dihari kedua. 4) Sputum di periksa pada minggu ke 2, 4, 6 dan 8.

c. Pengecatan sputum dengan pewarnaan Ziehl Neelsen 1) Ambil sputum kental dengan lidi

2) Hapuskan specimen pada kaca objek dengan ukuran 2x3cm 3) Keringkan pada suhu kamar

4) Difiksasi 3x

5) Lumuri dengan karbol fucsin 6) Lalu fiksasi preparat

7) Biarkan selama 5 menit Cuci dengan air mengalir

8) Tuangkan preparat dengan asam alcohol 3 % selama 2 menit 9) Bilas dengan air lalu tuangkan methylen blue 0,3 % selama

10-30 dtk

10) Cuci dengan air mengalir sampai bersih lalu keringkan. 11) Preparat siap dibaca

3.7.2 Prosedur pembacaan foto toraks

Peneliti mencatat hasil foto toraks sampel yang dibacakan oleh dokter spesialis radiologi dan spesialis paru. Pasien akan di foto toraks sebelum perlakuan dan pada akhir minggu kedelapan.

3.7.3. Prosedur pemberian vitamin D dan plasebo

Peneliti memberi vitamin D 2,5 mg (100.000 IU) secara oral sebanyak 4 kali pemberian yaitu pertama pada saat sampel di diagnosis TB, selanjutnya pada minggu ke-2, ke-4, dan ke-6. Kelompok kontrol akan diberi plasebo. Masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol akan dibedakan berdasarkan dijumpainya kavitas pada foto toraks.

3.7.4. Pemeriksaan vitamin D (25-OH vitamin D ELISA assay kit)

Untuk pemeriksaan vitamin D, diambil darah 2cc sebelum dilakukan perlakuan. Pada akhir minggu ke delapan, sampel akan diambil lagi darahnya sebanyak 2cc untuk diperiksa kadar vitamin D setelah perlakuan. Hitung jumlah

(9)

cawan ELISA pada setiap individu yang diperlukan untuk pengujian tersebut. Biarkan semua reagen yang disediakan, termasuk jumlah yang tepat dari strip paket untuk mencapai suhu kamar (setidaknya 30 menit), hapus sejumlah strip wadah yang diperlukan dan sesuaikan dengan tepat dan kencang ke dalam bingkai yang disediakan. Kontrol harus selalu dilakukan dalam setiap uji coba berlangsung.

1) Pipet masing-masing 200 μl dengan standar pengenceran 1-6, pengenceran pada kontrol 1 dan kontrol 2 ke cawan yang sesuai.

2) Pipet masing-masing 200 μl sampel pasien yang diencerkan dalam biotin / sampel penyangga ke masing-masing wadah untuk digunakan dalam pengujian tersebut.

3) Inkubasi pada suhu kamar (18 ° C hingga +25 ° C) selama 2 jam.

4) Setelah 2 jam inkubasi, aspirasi atau buang sampel dari wadah, tambahkan 300 ml Wash Buffer dan aspirasi atau buang lagi. Ulangi cuci dengan masing-masing 300 ml Wash Buffer dua kali lebih banyak untuk total tiga kali pencucian. Tekan wadah terbalik dengan lembut pada permukaan dengan penyerap yang bersih dan kering untuk menghilangkan tetesan Wash Buffer.

5) Pipet 100 ml enzim konjugasi ke masing-masing wadah dan inkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (18 ° C hingga +25 ° C).

6) Setelah 30 menit inkubasi, aspirasi atau buang reagen dari wadah, tambahkan 300 μl Wash Buffer dan aspirasi atau buang lagi. Ulangi cuci dengan masing-masing 300 μl Wash Buffer dua kali lebih banyak untuk total tiga kali pencucian. Tekan sumur terbalik dengan lembut pada permukaan dengan penyerap yang bersih dan kering untuk menghilangkan tetesan Wash Buffer.

7) Pipet 100 ml larutan chromogen / substrat ke masing-masing wadah dan inkubasi selama 15 menit pada suhu kamar tanpa dikocok (melindungi dari sinar matahari langsung).

(10)

8) Hentikan reaksi substrat dengan penambahan 100 μl Stop Solution ke masing-masing wadah (ini akan menyebabkan warna biru menjadi kuning).

9) Pengukuran Photometric dari intensitas warna harus dilakukan pada panjang gelombang 450 nm dan referensi panjang gelombang antara 620 nm dan 650 nm dalam waktu 30 menit dari penambahan Stop Solution. Sebelum mengukur, sedikit goyangkan lempeng untuk memastikan distribusi homogen dari larutan.

3.8. Pengolahan Data

Pengolahan data hasil penelitian ini diformasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut:

- Editing : untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara kriteria yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

- Coding : untuk mengkuatifikasi data kualitatif atau membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.

- Cleaning : pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data

3.9. Analisa data

Data yang berhasil dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan mempergunakan program komputer dengan menggunakan perangkat lunak statistik. Data akan dianalisa secara deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi variabel serta karakteristik. Kemudian dilanjutkan dengan uji tidak berpasangan untuk melihat perbedaan masing-masing variabel pada kedua kelompok.

(11)

3.10. Jadwal Penelitian Tabel 3.2. Jadwal Penelitian

Jadwal Bulan

Uraian I II III IV V VI VII VIII IX X XI

Persiapan √ Pengumpulan √ √ √ Data √ Penulisan √ Laporan √ Seminar √

3.11. Perkiaraan Biaya Penelitian

a. Pengumpulan kepustakaan Rp. 500.000,-

b. Pembuatan proposal Rp. 500.000,-

c. Seminar proposal Rp. 1.500.000,-

d. Radiologi Rp. 5.000.000,-

e. Pemeriksaan kadar vitamin D Rp. 31.000.000,- f. Pembuatan dan penggandaan laporan Rp. 700.000,- g. Biaya tim penelitian Rp. 1.500.000,- h. Seminar hasil penelitian Rp. 1.500.000,-

(12)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Deskripsi Hasil Penelitian

Penelitian analitik dengan desain single blind randomized controlled trial telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin D terhadap konversi sputum dan foto toraks terhadap pasien TB Paru. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan USU. Penelitian ini dilakukan bulan Mei 2016 sampai dengan Oktober 2016. Subyek penelitian ini adalah pasien TB paru dewasa kasus baru BTA + yang datang berobat ke Puskesmas dipilih secara purposive sampling dan terdapat 76 orang sebagai subjek penelitian yang diikuti selama 2 (dua) bulan.

4.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian

Subyek Penelitian yang telah memenuhi syarat inklusi tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama mendapat intervensi vitamin D sebanyak 36 orang dan kelompok kedua pembanding mendapat plasebo sebanyak 36 orang. Berdasarkan karakteristik pasien distribusi subyek penelitian dikelompokkan menjadi kelompok usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, diagnose BTA awal, gambaran foto toraks awal, dan kadar vitamin 25(OH)D, seperti pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi subyek penelitian berdasarkan karakteristik pasien

Vitamin D Plasebo

n= 38 n= 38

Umur (Tahun) Mean±SD 35,8 tahun ± 15,47 38,07 tahun ± 13,4 Jenis Kelamin: Laki-laki 29 (76,3%) 25 (65,7%)

BB (kg) Mean ± SD 51 kg ± 8,14 52,1 kg ± 8,3

IMT Mean ± SD 18,9 ± 2,3 19,7 ± 2,15

Foto Toraks minimal 2 ( 5,2%) 4 (10,5%)

moderate 12 (31,6%) 14 (36,8%) far advanced 24 (63,2%) 20 (52,6%)

(13)

Sambungan Tabel 4.1.

Vitamin D Plasebo Zona yang terlibat Mean

±SD 4,63 ± 1,51 4,28 ± 1,75

Hapusan dahak 1+ 26 (68,4%) 25 (65,8%)

secara Mikroskopi 2+ 8 (21,05%) 10 (26,3%)

3+ 4 (10,55%) 3 (7,89%)

Kadar 25(OH)D Defisiensi 0(0%) 0(0%)

Insufisiensi 2(5,3%) 2(5,3%) Sufisien 13(34,2%) 10(26,3%) Optimal 23(60,5%) 26(68,4%)

Berdasarkan hasil tabel diatas tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok vitamin D dan plasebo terhadap umur (35,8 tahun vs 38,07 tahun) , berat badan (51 kg ±8,14 vs 52,1 kg ±8,3 ), index masa tubuh (18,9 ±2,3 vs 19,7±2,15). Untuk jenis kelamin, pada dua kelompok didapati lebih banyak laki-laki dibanding wanita (71,05%). Kadar vitamin D awal pada kedua kelompok menunjukkan lebih banyak dengan nilai sufisien (20-30 ng/ml pada 23/76 orang) dan hampir sebagian besar dengan nilai optimal (>30 ng/ml pada 49/76 orang). Terdapat 51 orang (67,1%) memiliki hasil BTA +1 pada pemeriksaan dahak secara mikroskopi. Penilaian awal foto toraks pada kedua kelompok, sebagian besar menunjukkan lesi far arvanced (44/76 orang, 57,89%).

4.1.3 Kadar vitamin D sebelum dan sesudah pemberian vitamin D

Rerata kadar vitamin 25(OH)D sebelum dan sesudah pengobatan OAT selama 2 bulan kelompok tanpa vitamin D berurutan 30,03± 6,36(ng/ml) dan 42,08±22,8 (ng/ml) dengan p value 0,822. Rerata kadar vitamin 25(OH)D sebelum dan sesudah pengobatan OAT selama 2 bulan kelompok dengan vitamin D berurutan 33,51± 7,98(ng/ml) dan 68,19±23,7 (ng/ml) dengan p value 0,001. Pada grup vitamin D menunjukkan hasil yang bermakna kadar 25(OH)D. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.

(14)

Tabel 4.2 Status vitamin D sebelum dan sesudah intervensi

Kelompok Kadar Sebelum Sesudah

p - value Vit. D n % n % Plasebo Defisiensi 0 0.0 0 0.0 0.822 Insufisiensi 2 5.3 3 7.9 Sufisien 10 26.3 9 23.7 Optimal 26 68.4 26 68.4 Vitamin D Defisiensi 0 0.0 0 0.0 0.001* Insufisiensi 2 5.3 1 2.6 Sufisien 13 34.2 0 0.0 Optimal 23 60.5 37 97.4

*) Terdapat perbedaan signifikan status vitamin D antara pre dan post intervensi pada kelompok yang mendapat vitamin D dengan uji Wilcoxon

Tabel 4.3 Kadar vitamin D sebelum dan sesudah intervensi

Kelompok Sebelum Sesudah mean ∆ p-value

Mean SD Mean SD

Plasebo 30.03 6.36 42.08 22.8 7.46

0.000* Vitamin D 33.51 7.98 68.19 23.7 31.75

*) Terdapat perbedaan signifikan kadar vitamin D antara pre-post intervensi pada kelompok plasebo dibandingkan kelopok vitamin D dgn uji Mann Whitney

4.1.4 Perbandingan kecepatan waktu konversi sputum kelompok intervensi dan pembanding

Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna atara pemberian vitamin D dengan waktu konversi sputum pada bulan pertama pengobatan OAT. Pada kelompok vitamin D, rerata waktu konversi sputum pada 3,3 minggu dan 4,6 minggu pada kelompok kontrol. Proporsi pasien dengan konversi sputum negative solid pada minggu ke 4 untuk kedua kelompok. Untuk menganalisa perbandingan kecepatan konversi sputum antara kelompok intervensi dan placebo digunakan uji Mann Whitney Hal ini dapat dilihar pada tabel 4.4. dan gambar 4.1.

Tabel 4.4 Waktu konversi sputum pada kelompok intervensi dan pembanding

Vitamin D plasebo p-value

(15)

100% 44.70% 21.05% 7.89% 0% 100% 86.80% 44.70% 15.70% 0% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8

Vit D Placebo

Gambar 4.1 Perbandingan waktu konversi sputum

4.1.5 Perbandingan foto toraks pada kelompok intervensi dan pembanding

Secara foto radiologis toraks, rerata zona paru yang terlibat pada kelompok vitamin D lebih banyak (0,76±0,63) mengalami pengurangan dibanding dengan kelompok tanpa vitamin D (0,55±0,82). Pada lesi kelainan, kelompok vitamin D lebih banyak (39,4%) mengalami perbaikan dibanding kelompok tanpa vitamin D (26,31%). Namun secara statistik, perbandingan antara kedua kelompok tidak memiliki nilai yg signifikan antara keterlibatan zona paru (p value 0,057) dan perbaikan lesi paru (p value 0,222). Untuk menalisanya digunakan dengan uji Chi Square. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5 Pengurangan zona dan perbaikan luas lesi pada toraks pada kelompok intervensi dan pembanding

Vitamin D Plasebo p-value

Pengurangan Zona 0,76 ± 0,8 0,55 ± 0,6 0,057

Perbaikan luas lesi 15 (39.4%) 10 (26,31%) 0,222

Sm e ar P o si ti f (% )

(16)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik subyek penelitian

Berdasarkan karakteristik penelitian untuk usia subyek penelitian tidak berbeda antara dua kelompok dengan nilai median kelompok intervensi 35,8 tahun dan 38,07 tahun. Dari data ini menunjukkan pasien TB paru rata-rata pada orang dewasa. Hal ini sejalan dengan data WHO tahun 2012 yang melaporkan bahwa di Indonesia untuk presentase kelompok umur penderita TB paru BTA positif terbanyak adalah usia 14-44 tahun sebesar 58,45%, diikuti kelompok umur 45-64 tahun sebesar 34,06%, ≥ 65 tahun sebesar 6,6 %, dan sisanya umur 0-14 tahun. (WHO,2012).

Jumlah pasien TB lebih tinggi pada kelompok usia tertentu kemungkinan disebabkan proses fisiologis tubuh yang berbeda pada setiap tingkatan usia, seperti peranan interaksi hormon terhadap infeksi TB. Penelitian Donald dkk, 2010 menyatakan adanya interaksi antara dehydroepiandrosterone (DHEA) dan glukokortikoid yang mempengaruhi beberapa fungsi limfosit. Hormon ini mulai diproduksi pada usia 7 tahun dan akan meningkatkan setelah masa pubertas. Konsentrasi DHEA berkorelasi dengan kadar interferon gamma. Penyakit TB aktif ditandai dengan peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar DHEA. Gangguan rasio kortisol terhadap DHEA mengakibatkan perubahan konsentrasi sitokin kunci pada TB yaitu interferon gamma.

Berdasarkan jenis kelamin pasien TB yang menjadi subyek penelitian pada kelompok intervensi dan pembading dimana jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Selvaraj (2008) dan Haddad (2014) menyatakan TB pada jenis laki-laki lebih rentan dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh faktor resiko seperti merokok, konsumsi alkohol, pekerjaan, polusi udara, serta paparan industry. Allotey dkk (2008) membuktikan faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan teradinya TB paru.

4.2.2. Kadar Vitamin D

Kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang diberi vitamin D mengalami peningkatan. Rerata kadar vitamin D sebelum dan

(17)

sesudah perlakuan pada kelompok yang diberikan vitamin D adalah 33,51 ± 6,36 dan 68,19±31,75, rerata perbedaan setelah diberikan vitamin D adalah 31,75 ng/ml.

Kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok yang diberikan plasebo juga mengalami peningkatan. Rerata kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok vitamin D adalah 30,03±6,36 dan 42,08±228. Rerata perbedaan vitamin D 7,46 ng/dl.

Analisa data dengan uji statistik kadar vitamin D sebelum dan sesudah perlakuan terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah 2 bulan pemberian vitamin D dengan jumlah pasien 38 orang nilai p=0,001 (p<0,05). Kelompok perlakuan yang diberikan placebo dengan subyek peneltian berjumlah 38 orang nilai p=0,822.

Peningkatan kadar vitamin D pada kedua kelompok terjadi dari asupan makanan sehari-hari dan paparan sinar matahari yang cukup. Perbedaan kenaikan kadar vitamin D antara kelompok intervensi dan pembanding disebabkan kelompok intervensi diberi perlakuan konsumsi vitamin D dosis 100.000 IU per 2 (dua) minggu selama 2 bulan. Sedangkan pada kelompok pembanding tidak. Vitamin D2 dan D3 mengikuti jalur metabolism yang sama, sedangkan paparan sinat matahari dianggap sama karena berada dalam demografi dan iklim yang sama.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian diluar negeri (Gao dkk, 2010 dan Kelfie dkk, 2015), Pakistan (Junaid dkk, 2015) dan Inggris (Martineau, 2011) dimana kadar vitamin D kelompok yang diberi perlakuan vitamin D lebih tinggi dibandingkan placebo. Perbedaan kadar vitamin D terjadi akibat perbedaan paparan sinar matahari dan faktor asupan makanan yang berbeda. Penelitian lain di Indonesia yang dilakukan oleh Nursiyam dkk (2001) dan Siswanto dkk (2009), sejalan dengan penelitian ini dimana terdapat perbedaan bermakna kadar vitamin D pada kelompok intervensi dan placebo, dimana kelompok intervensi lebih tinggi.

Vitamin D memiliki peranan penting dalam peningkatan produksi cathelicidine dan aktivitas makrofag dalam menghambat pertumbuhan kuman M.

(18)

tuberculosis. Kadar vitamin D pada setiap pasien TB paru akan berkurang karena digunakan untuk aktivitas sistem imun ini. Dari hasil penelitian ini status vitamin D sebelum dan sesudah pemberian sangat berbeda antara kelompok intervensi dan kelompok pembanding. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2 dan tabel 4.3.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang sebelumnya melaporkan bahwa secara independen defisiensi vitamin D memiliki hubungan dengan kerentanan terhadap TB. Penelitian Junaid dkk, (2016) pada pasien TB di Pakistan melaporkan bahwa defisiensi vitamin D pada pasien TB terjadi karena aktivitas dalam melawan kuman TB dan secara independen berhubungan dengan kerentanan terhadap TB aktif.

4.2.3 Konversi sputum pasien TB paru

Hasil penelitian ini diperoleh nilai rata-rata waktu konversi sputum subyek penelitian pada kelompok intervensi adalah (3,3 ± 1,7 minggu) sedangkan kelompok pembanding 4,6±1,5 minggu). Konversi sputum kelompok intervensi lebih cepat secara bermakna dibandingkan kelompok pembanding (p value 0,001)

Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Coosens dkk (2012) di inggris dimana waktu konversi sputum pada kelompok intervensi 23 hari dan kelompok placebo 36 hari. Penelitian lain oleh Martineau dkk (2011) yang juga dilakukan di Inggris, ditemukan bahwa nilai tengah konversi sputum 36 hari pada kelompok intervensi dan 43,5 hari pada kelompok plasebo. Perbedaan waktu konversi pada kedua kelompok penelitian ini membuktikan vitamin D mempengaruhi kecepatan konversi sputum.

4.2.4 Zona pada Foto Toraks

Pada penelitian ini ditemukan adanya perbaikan jika dilihat dari jumlah pengurangan zona yang sesuai dengan tabel 4.5. Pada penelitian Salahuddin (2012) dijumpai perbedaan zona yang terlibat setelah pengobatan 12 minggu, dimana rerata kelompok vitamin D yaitu 1,35±1,13, sedangkan kelompok placebo 1,82±1,35 dengan p value 0,004. Pada penelitian Martineau (2011) dari 126 pasien TB paru, dijumpai rerata zona yang terlibat sesudah pengobatan pada

(19)

kelompok vitamin D 2,3±1.29, dan kelompok placebo 2,28±1,18, p 0,062. Dibandingkan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, memang terdapat pengurangan zona sedikit lebih banyak pada grup intervensi disbanding grup placebo. Namun secara statistic tidak bermakna. Hal ini mungkin dapat menjadi alasan bahwa proses penyembuhan penderita tuberkulosis dapat dipengaruhi banyak faktor selain vitamin D, diantaranya faktor imunitas tubuh, virulensi kuman dan pada pola hidup atau kebiasaan (merokok dan alkohol).

4.2.6 Perbaikan luas lesi pada foto toraks

Berdasarkan luas lesi foto toraks, sesuai dengan tabel 4.5, terjadi pengurangan lesi dibanding saat awal. Setelah 2 bulan, kelompok vitamin D mengalami total perbaikan sebanyak 15 orang (39,4%) dan kelompok placebo 10 orang (26,31%). Secara statistik perbaikan luas lesi pada kedua grup tidak terlalu bermakna (p 0,222). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Martineau dkk (2011), berdasarkan pengurangan zona yang terlibat antara kedua kelompok, sesuai dengan keterangan sebelumnya tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p0,062). Pada penelitian Siswanto dkk (2009), dari 43 pasien TB paru dijumpai perbedaan bermakna untuk perbaikan radiologis pada bulan pertama dimana kelompok vitamin D sebanyak 67% dan kelompok placebo 18%, p 0,02. Namun pada 2 bulan pengobatan, perbedaan perbaikan antara ke dua grup tidak bermakna. Dimana kelompok vitamin D 76% dan kelompok placebo 45%, p 0,06. Bila dibandingkan hasil perbaikan luas lesi foto toraks pada bulan kedua, maka penelitian ini sejalan dengan penelitian Siswanto dimana secara statistik hasil 2 bulan pengobatan tidak terlalu bermakna. Jika dilihat dengan seksama, hasil penelitian Siswanto sejalan dengan waktu konversi sputum pada penelitian yang ini dimana terjadi percepatan konversi dibawah 1 bulan, namun setelah 2 bulan tidak ada perbedaan antara grup vitamin D dan placebo. Seandainya pada penelitian ini juga melakukan pemeriksaan foto toraks pada bulan pertama, mungkin hasilnya tidak jauh berbeda. Namun jika dibandingkan dengan penelitian Salahuddin, hal ini mungkin terjadi karena perbedan pemberian dosis. Karena penelitian Salahuddin memberikan sebanyak 600.000 IU dan penelitian ini hanya

(20)

100.000 IU. Sehingga dosis pada penelitian ini belum cukup memperbaiki keadaan radiologis pasien. Secara keseluruhan pada penelitian ini dianggap, pemberian vitamin D tidak mempengaruhi perbaikan foto toraks ada subjek penelitian dan secara tunggal foto toraks tidak bisa diajukan sebagai tanda kemajuan pengobatan pada pasien tuberkulosis paru.

(21)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Kadar vitamin D pasien TB paru pada sebelum dan sesudah intervensi berbeda bermakna pada kelompok intervensi dengan rerata kenaikan 31,75 ng/dl.

2. Kadar vitamin D pasien TB paru pada sebelum dan sesudah intervensi berbeda bermakna pada kelompok pembanding dengan rerata kenaikan 7,46 ng/dl.

3. Kecepatan konversi sputum pasien TB lebih cepat secara bermakna (p=0,001) pada kelompok intervensi dengan rerata waktu 3,3±1,7 minggu dibandingkan dengan kelompok pembanding dengan rerata waktu 4,6±1,5 minggu.

4. Perbaikan secara radiologis dari pengurangan zona tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi (0,76±0,8) dan kelompok pembanding (0,55±0,6), dengan p value 0,057.

5. Perbaikan secara radiologis dari luas lesi juga tidak menunjukkan perbedaan makna antara kelompok intervensi (39,4%) dan kelompok pembanding 26,31%, dengan p value 0,222

5.2 Saran

Perlu penyusunan program untuk memberikan penyuluhan kemsyarakatan untuk meningkatkan konsumsi vitamin D pada pasien.

Gambar

Tabel 4.1 Distribusi subyek penelitian berdasarkan karakteristik pasien
Tabel 4.2 Status vitamin D sebelum dan sesudah intervensi
Gambar 4.1 Perbandingan waktu konversi sputum

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan keberhasilan yang dilihat dari sisi hasil yaitu dimana jika anak sudah berhasil dalam mencapai indikator-indikator yang telah ditentukan oleh peneliti yang berkaitan

Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi Yulianto (2007) pada anak SD Rowosari 01, yang menyatakan ada hubungan yang bermakna

Uji heteroskedastisitas metode Glejser dilihat dari nilai signifikansi dimana jika nilai signifikansi antara variabel independent dengan absolut residu &gt; 0,05 maka dapat

Pengukuran daya rosot CO2 dilakukan dengan metode karbohidrat, dimana massa CO2 diketahui dari konversi massa karbohidrat hasil fotosintesis.. Massa karbohidrat

Dimana dalam penelitian ini, luas area di bawah kurva dihitung dengan menggunakan rumus trapesium yang terbentuk di daerah bawah kurva antara waktu (jam) dengan

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen berupa nontes atau bukan tes yakni dalam bentuk kuesioner atau angket, karena penelitian

Kaidah analisis pengaruh simvastatin pada penelitian ini adalah rerata penurunan kadar MMP-9 serum, persentase neutrofil sputum, skor CAT, dan nilai %VEP 1

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Skema Diagram Layout jarak dan waktu Terdapat beberapa tahapan dalam menganalsis layout asli, tahapan – tahapannya dapat dilihat pada