• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian - KAJIAN HUKUM TRANSFER PRICING (PENENTUAN HARGA TRANSFER) PAJAK PENGHASILAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian - KAJIAN HUKUM TRANSFER PRICING (PENENTUAN HARGA TRANSFER) PAJAK PENGHASILAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA - repository perpustakaan"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Pengaturan Praktik Transfer Pricing di Indonesia

a. Undang-undang 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Dalam Hukum Positif di Indonesia ketentuan Transfer Pricing secara umum diatur dalam Pasal 18, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPH). Dalam Undang-undang 36 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (3) menyebutkan Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya‐plus, atau metode lainnya.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

(2)

dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

(3)

sebuah analisis. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

(4)

sebagai pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyatakan bahwa Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

e. Peraturan dan Prinsip lainya terkait Transfer Pricing.

Pengaturan tentang Transfer Pricing di Indonesia tidak lepas dari prinsip yang mendasari praktik pengaturan Transfer Pricing yang telah menjadi kebiasaan umum untuk diterapkan di banyak negara. Prinsip utama yang dianut dalam pengaturan Transfer Pricing adalah diacunya konsep dalam kerangka teoritikal akuntansi yaitu prinsip Arm’s Length Principle. OECD dalam pernyataan resminya yang dituangkan di Pasal 9

The OECD Model Tax Convention menyatakan sebagai berikut:

“[When] conditions are made or imposed between the two

[associated] enterprises in their commercial or financial relations which

differ from those which would be made between independent enterprises,

then any profits which would, but for those conditions, have accrued to

one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so

accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed

(5)

Pernyataan di paragraf 1 Pasal 9 dari Model OECD inilah yang menjadi basis pola hubungan bilateral dalam konteks tax treaty antara negara-negara anggota OECD dan beberapa negara non-OECD.

Argumentasi utama yang dibangun oleh OECD dalam penerapan prinsip Arm’s Length ini adalah prinsip Arm’s Length memberikan keseimbangan yang luas dalam perlakuan pajak untuk Multinational Enterprises (MNEs) dan Independent Enterprises. Arm’s Length

Principle menempatkan Multinational Entreprises dan Independent Enterprises pada keadaan yang lebih adil dalam penghitungan beban

untuk tujuan perpajakan, sehingga hal itu dapat menghindari upaya-upaya terjadinya keuntungan pajak yang mengubah posisi relatif kompetitif dari kedua jenis entitas tersebut. Sejalan dengan itu, meninjau kembali posisi pajak-pajak dalam transaksi tersebut dari keputusan ekonomi, prinsip Arm’s Length meningkatkan pertumbuhan perdagangan internasional dan investasi.

Sekalipun pendekatan ini membawa kemajuan yang sangat berarti dalam pengaturan transaksi yang melibatkan adanya hubungan istimewa, namun dalam praktik pelaksanaannya ditemui beberapa kesulitan sebagai berikut:

(6)

tidak dimotivasi oleh kepentingan penghindaran pajak tetapi dalam transaksional bisnis antar perusahaan affiliasi tersebut menghadapi kondisi-kondisi bisnis atau komersial berbeda dengan yang dihadapi oleh anggota suatu perusahaan non-affiliasi.

2) Penerapan prinsip ini mungkin akan menimbulkan beban administratif baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dalam mengevaluasi jumlah yang signifikan dan tipe-tipe transaksi-transaksi cross-border. Meskipun perusahaan affiliasi umumnya menetapkan syarat-syarat bagi sebuah transaksi affiliasi pada saat transaksi terjadi, namun pada titik tertentu perusahaan diminta menunjukkan bahwa perusahaan affiliasi konsisten dengan prinsip Arm’s Length Transaction. Disisi lain, fiskus akan berupaya melakukan verifikasi dalam beberapa tahun ke depan setelah terjadinya transaksi-transaksi affiliasi tersebut. Fiskus kemudian akan mencoba mengumpulkan informasi transaksi sejenis, kondisi pasar pada saat transaksi affiliasi terjadi untuk sekian banyak dan ragam transaksi. Aktivitas ini biasanya akan menjadi lebih sulit seiring dengan berlalunya waktu.

(7)

affliliasi. Hal ini memunculkan permintaan akan sejumlah data yang subtansial. Informasi yang dapat diakses kemungkinan tidak lengkap dan sulit diinterpretasikan. Informasi lain, jika itu ada, mungkin akan sangat sulit diperoleh dengan sejumlah alasan. Kebutuhan akan informasi terkait transaksi perusahaan non affiliasi, dengan alasan kerahasiaan maka tidak mudah memperolehnya. Pada titik ini harus disadari bahwa Transfer Pricing bukan ilmu pasti tetapi membutuhkan penggunaan pertimbangan pada setiap bagian di kedua belah pihak, Wajib Pajak dan Fiskus (Roy Martfianto: 2011).

2. Usaha mengatasi Transfer Pricing untuk memaksimalkan Pajak Penghasilan Perusahaan Multinasional

a. Melalui Rencana Aksi (Action Plan) BEPS

Untuk mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan Perusahaan Multinasional melalui skema Tax Planning yang didalamnya dapat dilakukan praktik Transfer Pricing, negara-negara anggota G20 mendeklarasikan aksi bersama dengan Organizations Economics for Co-orperations and Development dalam 15 Rencana Aksi atas isu Based

Erosion and Profit Shifting(BEPS). 15 Rencana Aksi tersebut didasarkan

(8)

1) Membentuk koherensi internasional terhadap pajak penghasilan badan usaha (Action Plan 2,3,4,5).

2) Memperbaiki standar perpajakan internasional dengan cara menyelaraskan hak pemajakan dengan subtansi ekonomi (Action Plan 6,7,8,9,10).

3) Menjamin transparansi sekaligus meningkatkan kepastian dan prediktabilitas (Action Plan 11,12,13,14) untuk membentuk instrument multilateral dalam merespon isu BEPS dan memonitor Rencana Aksi BEPS (Plan 15). Selain itu terdapat Rencana Aksi lainya yang membahas perlakuan pajak atas ekonomi digital (Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014: 4).

Terkait kesiapan Indonesia untuk mengimplementasikan Rencana Aksi tersebut, Pusat Kebijakan Penerimaaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal menyatakan beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia telah sejalan dengan Rencana Aksi BEPS tersebut. Dari 15 Rencana Aksi BEPS tersebut terdapat 6 Aksi yang fokus pada penanganan Transfer Pricing, yaitu Rencana Aksi ke 8,9,10,12,13, dan 14 ( Ichda Rizqoh

Karomatunnisa. 2016: 316).

Hasil dari Rencana Aksi tersebut dapat berupa report, rekomendasi, dan revisi atas OECD Model Convention atau Transfer Pricing Guideliness. Dari 6 Rencana Aksi tersebut yang fokus pada penanganan

(9)

1) Rencana Aksi 8,9,10 : Assure that Transfer Pricing Outcomes are in the with Value Creation.

Penghindaran pajak oleh Perusahaan Multinasional saat ini menempatkan Transfer Pricing sebagai instrumen yang paling sering paling digunakan untuk menggeser laba. Arm’s Length Principle yang selama ini mencerminkan konsensus internasional dianggap memiliki kelemahan. Kelemahan yang dimaksud tidak terlepas dari asumsi dasar dalam Arm’s Length Principle bahwa semakin besar fungsi, asset, dan resiko dari salah satu pihak bertransaksi, maka semakin besar pula remunerasi diharapkan akan diperoleh pihak tersebut. Hal ini mendorong Perusahaan Multinasional untuk memindahkan fungsi, asset, resiko ke Yurisdiksi yang mengenakan pajak rendah. Dalam Rencana Aksi ke 8, 9, 10 menempatkan isu asset tidak berwujud, resiko dan modal, serta transaksi beresiko tinggi lainya.

Rencana Aksi ke Sembilan mengidentifikasi isu alokasi resiko oleh OECD berdasarkan kontrak dibanding realitas ekonomi dari grup perusahaan secara terintegrasi. Rencana Aksi ini mempertimbangkan seberapa besar substansi ekonomi yang diperlukan dalam kaitanya dengan alokasi resiko.

Rencana Aksi ke Sepuluh, pada dasarnya OECD Transfer Pricing Guideliness mengakui bahwa transaksi afiliasi yang tidak atau jarang

(10)

OECD berupaya mengklarifikasi kondisi yang memungkinkan dilakukan rekarakterisasi suatu transaksi. Pada dasarnya, OECD memperbolehkan otoritas pajak untuk melakukan rekarakterisasi transaksi afiliasi dalam kasus-kasus tertentu.

2) Rencana Aksi ke 12 : Require Taxpayers to Disclose their Aggressive Taxpalning Arrangements.

OECD Menekankan bahwa dasar dari tiap upaya untuk mengatasi Aggressive Tax Planning adalah ketersediaan informasi. Dengan

ketersediaan informasi yang tepat sasaran, teapat waktu dan komprehensif, maka otoritas pajak dapat melakukan deteksi awal atas skema Aggressive Taxplanning. OECD mendefinisikan manfaat pajak serta transaksi yang dikategorikan aggressive atau abusive terkait dengan upaya OECD untuk memonitor skema Aggressive Taxplanning. 3) Rencana Aksi ke 13: Re-examine Transfer Pricing Documentation.

Sebagai bagian dari transparasi dan untuk menghindari informasi asimetris antara wajib pajak dan otoritas pajak, OECD dalam Rencana Aksi ke 13 ini menganggap perlu untuk melakukan revisi atas persyaratan dokumentasi Transfer Pricing.

(11)

Multinasional, dan local file yang memuat informasi secara spesifik tentang transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan.

4) Rencana Aksi ke 14: Make Dispute Resolution Mechanism more Effective.

(12)

b. Melalui Pertukaran Sistem Informasi Otomatis (Automatic Exchange of Information).

Guna mengimplementasikan keterbukaan informasi perpajakan atau automatic exchange of information (AEoI) pemerintah melalui Kementrian

Keuangan telah meresmikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 tahun 2017 sebagai aturan turunan dari Perppu No. 1 Tahun 2017. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Perppu ada untuk mengakomodasi kesepakatan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis (Automatic Exchange of Information) yang akan mulai berjalan tahun 2018.

Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah kerja sama di

antara 139 negara (per 17 Januari 2017) yang tergabung dalam Global Forum untuk saling membuka data finansial di negara masing-masing. Tujuan pelaksanaan AEoI adalah untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak. Ketika akses data terbuka, suatu negara dapat melacak wajib pajaknya yang menaruh uang di luar negeri.

(13)

Pertama, beratnya hukuman apabila melanggar aturan (tidak membayar pajak) dan besarnya peluang dia akan tertangkap. Hal ini menjadi indikasi bahwa besarnya denda dari tidak membayar pajak, serta kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum dan melakukan pengawasan, menjadi pertimbangan individu dalam membayar pajak. Jika hukuman ringan dan peluang tertangkapnya kecil, individu akan cenderung melaporkan pendapatan yang lebih rendah (cenderung untuk mengemplang pajak).

Kedua, detection shock. Model yang dikembangkan oleh Bayer, Oberhofer, Winner menjadi menarik karena memasukkan variabel ini. Detection shock adalah satu kejadian yang secara mendadak dapat

menyebabkan peluang pengemplang pajak tertangkap menjadi lebih besar. Mereka mengambil contoh kebocoran data di Jerman. Mereka berargumen bahwa ketika detection shock semakin besar, individu akan cenderung lebih patuh dalam membayar pajak, mendeklarasikan pendapatan lebih besar di periode pertama.

Pada konteks AEoI, 16 negara yang tergabung dalam AEoI melaporkan terdapat kenaikan jumlah pelaporan harta di luar negeri sebesar 17 persen pada periode 2011-2015.

(14)

Contohnya, pada periode 2010-2014 Swedia membuat 396 permintaan pertukaran informasi (EoI request) dengan jumlah total pendapatan pajak yang bisa dipungut (tax effect) mencapai 330 juta euro. Australia juga melaksanakan hal yang sama, mengajukan 400 EOI request pada 2013, dan pajak yang berhasil diselamatkan (tax recovered) mencapai 326 juta euro (OECD, 2015). Data tersebut menunjukkan, pertukaran informasi antarnegara sangat efektif untuk mendongkrak penerimaan pajak negara. Oleh sebab itu, keberadaan AEoI menjadi sangat penting.

AEoI membawa perubahan baru dalam dunia perpajakan. Guna mendukung pelaksanaannya, pada tahun 2014 OECD menyusun apa yang disebut sebagai Common Reporting Standard (CRS). Pada CSR diatur sejumlah hal yang harus dipersiapkan oleh negara-negara yang berkomitmen menjalankan AEoI.

(15)

Undang-undang tersebut dibutuhkan agar mekanisme pertukaran informasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan institusi keuangan dapat berjalan.

Setiap negara peserta AEoI diharuskan memenuhi tenggat 30 Juni 2017 untuk menyiapkan kerangka peraturannya, dan mustahil bagi Indonesia melakukan revisi empat UU dalam tenggat sependek itu. Dari empat UU tersebut, hanya UU KUP yang masuk prioritas legislasi pada tahun 2017. Undang-undang Pasar Modal masuk longlist Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019, sedangkan Undang-undang Perbankan Syariah bahkan tidak masuk longlist Prolegnas. Lebih lanjut, Undang-undang Pasar Modal dan Undang-undang Perbankan Syariah, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, belum ada draf revisinya.

Ketidakpatuhan Indonesia dalam memenuhi tenggat dapat berakibat fatal ke depan. Forum global sudah menetapkan langkah-langkah defensif (defensive measures) bagi negara-negara yang gagal memenuhi komitmen waktunya.

(16)

Kedua, opportunity loss atau potensi yang hilang dari terhambatnya pelaksanaan AEoI di Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, dana ilegal (illicit fund) yang berasal dari warga negara Indonesia mencapai Rp 4.000 triliun. Kebijakan amnesti pajak terbukti belum berhasil membawa dana-dana tersebut pulang sehingga keberadaan AEoI diharapkan dapat membawa dana tersebut kembali (Muhammad Syarif Hidayatullah. 2017: 6).

Dalam aturan Peraturan Menteri Keuangan No 70 tahun 2017 ini, pemerintah menentukan jenis lembaga keuangan yang menjadi subjek pelapor dan pemberi informasi perpajakan, di antaranya adalah Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perbankan, Pasar Modal dan Perasuransian di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya selain sektor perbankan, seperti pasar modal dan perasuransian di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

(17)

Eleketronik yang dimaksud adalah melalui Otoritas Jasa Keuangan Online. Data nasabah juga dapat diajukan berdasarkan permintaan, terutama terkait kebutuhan akses informasi perpajakan, sistem “By request” ini bukanlah hal baru.

Menurut ketentuan KUP (ketentuan umum perpajakan) saat ini dengan permintaan maka Direktur Jendral Pajak bisa meminta informasi kepada pemilik atau wajib pajak bersangkutan. Perbedaannya, kondisi sekarang permintaan harus melalui Menteri Keuangan dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan, baru ke lembaga keuangan. Dalam Perppu ini permintaan tidak lagi oleh Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan, namun langsung Direktur Jendral Pajak ke lembaga keuangan pemilik rekening. Terkait dengan elemen yang diminta, dalam aturan ini jelas terlihat yakni mengenai data identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo dari rekening, serta penghasilan terkait rekening (Suheriadi. 2017).

B.Pembahasan

1.Pengaturan Transfer Pricing di Indonesia

(18)

(Prinsip Kewajaran dan Kelayakan Usaha), namun dengan berbagai celah aturan dan perkembangan teknologi yang cepat memudahkan Perusahaan Multinasional melakukan penghindaran pajak. Pengaruh globalisasi menjadikan banyak perusahaan baru terutama yang bergerak di bidang komunikasi dan informasi sangat mudah melakukan Profit Shifting melalui praktik Transfer Prcing. Berikut adalah pembahasan mengenai perturan Transfer Pricing,

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Dalam peraturan perpajakan Indonesia, untuk mengatasi Trasnfer Pricing pada penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan, menyatakan bahwa Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak‐pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.

(19)

grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas

perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya (Yudi Ardianto. 2009: 189).

b. Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 dan Peraturan Direktur Pajak Nomor 32/PJ/2011 sebagai Perubahan Nomor 43/PJ/2010.

Menurut Taripar Dolly (Nusa Tax Consulting) perbandingan ketentuan Transfer Pricing dalam peraturan ini (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) dengan peraturan sebelumnya (Peraturan Direktur Pajak Nomor PER-32/PJ/2011) adalah sebagai berikut:

1) Jenis Dokumen

Peraturan Sebelunya, Wajib Pajak hanya mempersiapkan dokumen lokal (local file), adapun dokumen lokal tersebut berupa informasi :

a) Identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

b) Informasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan Wajib Pajak.

c) Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. d) Informasi keuangan.

(20)

Peraturan sekarang, Wajib Pajak wajib mempersiapkan dokumen lokal (local file), dokumen induk (master file) dan Laporan per negara (country by country report). Dokumen Induk tersebut berupa informasi :

a) Struktur dan bagan kepemilikan grup usaha serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota grup usaha.

b) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh grup usaha. c) Harta tidak berwujud yang dimiliki grup usaha.

d) Aktivitas keuangan dan pembiayaan dalam grup usaha.

e) Laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi perpajakan terkait transaksi afiliasi.

Untuk laporan per negara (country by country report) berisikan informasi berupa:

a) Alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan yang telah dipotong/ dipungut/ dibayar sendiri, Pajak Penghasilan terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas.

(21)

2) Batasan Transaksi (Threshold Transaction)

Peraturan sebelumnya, batasan transaksi yang Wajib membuat Transfer Pricing Document adalah transaksi hubungan istimewa minimal Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar) dalam 1 (satu) tahun pajak.

Peraturan sekarang, dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu pertama, yang wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal kedua, yang wajib membuat dokumen induk, dokumen lokal dan laporan per negara.Yang wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal meliputi :

a) nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih dari Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) ; b) nilai transaksi afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun

pajak :

i) lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau

ii) lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau

c) Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif Pajak Penghasilan lebih rendah dari pada tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

(22)

a) Wajib Pajak yang merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto konsolidasi pada Tahun Pajak bersangkutan paling sedikit Rp 11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah)

b) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota Grup Usaha dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan laporan per negara sepanjang negara atau yurisdiksi tempat Entitas Induk berdomisili:

i) Tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara.

ii) Tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai perpajakan.

c) Memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut.

3) Ikhtisar dan Kertas Kerja

Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban membuat Ikhtisar dan Kertas Kerja.Sekarang, salah satu kelengkapan Transfer Pricing Document adalah adanya lampiran Ikhtisar (lampiran huruf B) dan Kertas

(23)

menyediakan dokumen induk dan dokumen lokal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Cakupan Transaksi

Peraturan sebelumnya, transaksi mencakup lintas negara (cross border) dan transaksi dalam negeri yang spesifik (specific domestic

transaction). Peraturan sekarang, transaksi mencakup lintas negara (cross

border) dan transaksi dalam negeri (domestic transaction).

5) Perspektif Waktu Analisa Penerapan Prinsip Kewajaran

Peraturan sebelumnya, keduanya baik ex-ante approach maupun ex-post approach. Ex-ante approach adalah suatu pendekatan penetapan

harga dilakukan sebelum transaksi atau kontrak dilakukan. Ex-post adalah suatu pendekatan penetapan harga setelah transaksi/kontrak dilakukan.

Peraturan sekarang, Ex-ante approach dilakukan bagi yang menyelenggarakan dokumen induk dan lokal sementara ex-post bagi yang menyelenggarakan laporan per negara.

6) Bahasa Transfer Pricing Document

Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam menyelenggarakan dokumentasi penentuan harga transfer, sehingga rata-rata dilakukan dengan bahasa negara pemilik induk perusahaan.

(24)

7) Surat Pernyataan Ketersediaan Dokumen

Sebelumnya, tidak ada kewajiban. Sekarang. Wajib membuat surat pernyataan ketersediaan dokumen. Dalam pasal 4 ayat 3 PMK 213 disebutkan bahwa dokumen Penentuan Harga Transfer harus dilampiri dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut ditandatangani oleh pihak yang menyediakan dokumen Penentuan Harga Transfer.

Di Indonesia, konsep Arm’s Length Principle yang diusung OECD ini diadopsi di dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 32/PJ/2011 Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, untuk menjelaskan klausul kewajaran dan kelaziman usaha yang disebutkan di Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 sebagai pengganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2011 terdapat beberapa perubahan dalam pengaturan ketentuan praktik Transfer Pricing.

(25)

penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi. Selanjutnya dalam ayat (5) menjelaskan Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:

1) Gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha. 2) Kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya.

3) Hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.

4) Pembanding yang terpilih.

5) Catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.

Sementara dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016, pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Dokumen Harga Transfer terdiri atas:

1) Dokumen Induk. 2) Dokumen Lokal. 3) Laporan per negara.

(26)

tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaanya, seperti yang telah tertulis dalam hasil penelitian, terdapat beberapa perubahan maupun penambahan dengan peraturan sebelumnya (Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER- 32/PJ/2011).

Menurut Detroit Tax Solutuions, dalam peraturan terbaru ini (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) mengenalkan pendekatan dokumentasi tiga tingkat yang sejalan dengan BEPS Action Plan-13, penggunaan ambang batas (threshold) untuk pengelolaan

dokumen, dan mewajibkan dokumen dibuat dengan bahasa Indonesia. Peraturan ini juga mengatur petunjuk pihak yang wajib menyelenggarakan dokumen, hal yang harus tercangkup dalam dokumen, dan kapan dokumen harus tersedia. Peraturan ini diterbitkan sehubungan dengan ketentuan atas penentuan dokumen Harga Transfer, dan tidak menggantikan peraturan yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

(27)

tetapi menyelenggarakan dan menyimpan 3(tiga) tingkat dokumen yang berupa :

1. Dokumen induk. 2. Dokumen lokal.

3. Laporan per Negara (Deloitte Tax Solutuions. 2017:1)

Menurut Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jendral Pajak, John Hutagaol (2017) Dokumen lokal berisikan data dan informasi mengenai identitas Wajib Pajak dan kegiatan usahanya, transaksi ubungan istimewa dan transaksi independen, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, informasi keuangan, dan kejadian non-keuangan yang berdampak pada pembentukan harga.

Dokumen Induk berisikan data dan informasi mengenai struktur dan organisasi grup usaha mencakup negara dan jurisdiksi dimana anggota-anggota perusahaan grup berdomisili, kegiatan usaha, harta tidak berwujud yang dimiliki, aktivitas keuangan dan pembiayaan, laporan keuangan konsolidasi, dan informasi perpajakan terkait dengan transaksi Transfer Pricing.

Country by Country Report berisikan daftar anggota perusahaan grup

usaha dan jenis usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi, alokasi penghasilan bruto, pajak yang dibayar, aktivitas usaha dari masing-masing anggota grup usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi.

(28)

bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi Hubungan Istimewa di antara anggota grup usaha. Penentuan kewajaran harga transaksi tersebut merupakan hal penting bagi ketentuan perpajakan di Indonesia khususnya Institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam peraturan lama yaitu Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER 43/PJ/2010, disebutkan dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode Penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih. Dengan tidak ditentukan secara jelas jenis dokumen Transfer Pricing yang harus dipenuhi Perusahaan Multinasional dalam menyiapkan dokumen Transfer Pricing, hal tersebut menyebabkan pembuatan dokumen hanya terpacu

pada syarat yang disebutkan pada Pasal 18 ayat (3) PER 43/PJ/2010 yaitu, gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha,kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya, dan lain sebagainya dimana dapat disimpulkan bahwa hal tersebut hanya memuat Dokumen Lokal.

(29)

dengan transaksi harga wajar di negara Perusahaan Multinasional tersebut berada. Perusahaan Multinasioanl memiliki sifat dasar lintas negara, dengan hanya menggunakan dokumen dengan cangkupan kualitas lokal maka hal tersebut tidak akan menjadi halangan bagi suatu Perusahaan Multinasional untuk melakukan Transfer Pricing dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa di wilayah yurisdiksi lain.

Dengan adanya Dokumen Induk yang memuat data tentang Perusahaan yang berafiliasi dengan Perusahaan Multinasional di suatu negara, maka pihak pemerikasa pajak akan mendapat informasi lebih tentang struktur, intensitas kegiatan, harta tidak berwujud, maupun pembiayaan keuangan suatu perusahaan secara global yang berhubungan dengan Perusahaan Multinasional tersebut khususnya terkait Harga Transfer yang ditetapkan dari suatu transaksi yang dilakukan.

CbCR (Country by Country Report) adalah jenis dokumen/laporan yang sangat penting dalam mengedepankan transparansi. Dalam diokumen ini akan didapat informasi lebih alokasi laba maupun aktivitas perpajakan Perusahaan Multinasional di negara lain. Hal tersebut mendorong keterbukaan informasi dan memudahkan pemerikasaan pajak terkait dengan kewajaran Harga Transfer yang dilakukan dengan pihak lain yang mempunyai Hubungan Istimewa di negara lain. Dengan Country by Country Report dan Dokumen Induk masing-masing negara tempat

(30)

keutungan perusahaan tersebut di berbagai negara melalui laporan aktivitas pajaknya, sehingga dapat diminimalan praktik Transfer Pricing diluar dari harga wajar.

(31)

C.Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/MPK.03/2016 dengan Rencana Aksi Based Erosion and Profit Shifting ke 13.

Globalisasi adalah faktor pendorong Perusahaan Multinasional berkembang dengan cepat di seluruh dunia. Peraturan penghindaran pajak yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional mendorong negara-negara yang tergabung dalam forum negara G-20 bersama dengan Organization of Economics Co-operation and Development (OECD) untuk melakukan

Rencana Aksi untuk mengatasi penggerusan basis pajak yang disebabkan praktik Transfer Pricing. Beberapa Rencana Aksi tersebut diadopsi ke dalam peraturan perpajakan di masing-masing negara termasuk dalam peraturan perpajakan dan keuangan di Indonesia.

Menurut M. Darmawan Saputra, Danny Darussalam Tax Center Consulting, Selain Dokumen Harga Transfer ada beberapa hal dari PMK Nomor 213/PMK.03/2016 yang merupakan penerapan dari rekomendasi BEPS Action Plan khusus aksi BEPS-13 pada forum negara-negara G-20, yaitu sebagai berikut: :

Tabel 3

Tabel Perbandingan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dan Aksi BEPS-13

Hal yang Diatur

Rekomendasi BEPS Action Plan 13 Peraturan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 Jenis Dokumen yang digunakan

Menggunakan pendekatan 3 tingkat, yaitu Master File; Local File; dan Country by Country Reporting.

(32)

(Country by Country Reporting)

Pasal 2 ayat (1) PMK 2013

Jenis data dan informasi yang digunakan

Menganut prinsip

“Contemporaneous

Documentation”, atau dengan kata lain menggunakan data

pembanding yang tersedia pada saat terjadinya transaksi dengan tujuan wajib pajak akan menetapkan harga transfer menggunakan data pembanding, sesuai dengan

arm’s length principle .

BEPS 13 juga

merekomendasikan bahwa otoritas pajak juga harus mempertimbangkan beban kepatuhan wajib pajak.

Menggunakan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan transaksi afiliasi untuk

Dokumen Induk dan Dokumen Lokal dan Menggunakan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak untuk Laporan Per Negara.

Wajib pajak dianggap tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha jika tidak memenuhi ketentuan di atas. (Pasal 3 PMK 213) Batas Waktu

Pelaporan

Paling lambat dilaporkan saat batas waktu pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pada tahun pajak yang bersangkutan.

Khusus untuk laporan per negara, paling lambat

dilaporkan satu tahun setelah batas waktu pelaporan SPT pada tahun yang

bersangkutan.

Wajib melampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan berupa ikhtisar atas Dokumen Induk dan Dokumen Lokal dan harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.

Laporan per Negara wajib dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan pada tahun pajak berikutnya dan harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak.

(33)

Penggunaan Bahasa

Tidak dijelaskan secara pasti, namun menggunakan

terminologi “commonly used

language” atau bahasa yang biasa digunakan agar tidak mengurangi kegunaan atas dokumen tersebut.

Jika dibutuhkan

penerjemahan lebih lanjut atas suatu dokumen, otoritas pajak harus secara spesifik meminta bagian yang ingin diterjemah dan menyediakan waktu yang cukup untuk wajib pajak.

Harus dibuat oleh wajib pajak dalam Bahasa Indonesia, kecuali mendapat izin untuk

menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah. Jika menggunakan bahasa asing, wajib disertai dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. (Pasal 11 PMK 213) Ketidakpatuhan

dan Sanksi

BEPS ke 13 menjelaskan mengenai peristiwa yang dianggap sebagai

ketidakpatuhan oleh wajib pajak, yaitu:

1) Tidak memenuhi ketentuan dokumentasi Transfer Pricing sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

2) Tidak memberikan dokumentasi sesuai dengan jangka waktu yang diberikan. Atas ketidakpatuhan tersebut,

direkomendasikan agar wajib pajak dikenakan sanksi sebagai berikut: i) Sanksi administratif berupa denda (dapat menggunakan jumlah tetap atau sesuai proporsi).

ii)Sanksi non-moneter seperti pengalihan beban pembuktian.

PMK 213 tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi. Namun, ketentuan mengenai sanksi merujuk pada Undang

– Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah diubah Terakhir dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Cara Perpajakan) Wajib pajak akan dikenakan sanksi apabila tidak

memenuhi kewajiban sebagai berikut: 1) Tidak menggunakan

data dan informasi sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan (2) pada PMK 213. 2) Tidak

(34)

diminta oleh otoritas pajak atau

menyampaikan dokumen melebihi jangka waktu yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 5 PMK 213.

3) Tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1), (2), (3), dan (4) pada PMK 213. Kerahasiaan

Informasi

Otoritas pajak harus dapat memastikan informasi yang terdapat didalam seluruh dokumen (Master File, Local File, Country by Country Reporting).

PMK 213 tidak mengatur mengenai kerahasiaan informasi, tetapi tunduk pada ketentuan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KUP.

Sumber: (M. Saputra Darmawan. 2017)

2. Upaya untuk mengatasi Transfer Pricing

(35)

Selain Rencana Aksi ke 13, upaya dalam Rencana Aksi lainya untuk mengatasi Transfer Pricing adalah sebagai berikut:

a. Rencana Aksi ke 8,9, dan 10.

Terkait asset tidak berwujud, terdapat empat upaya yang dikembangkan. Pertama, mengadopsi definisi secara luas dan jelas terkait asset tidak berwujud terpiash dari pengertian dalam standar akutansi maupun hukum atas properti. Yang kedua, memastikan laba yang timbul dari penggunaan dan pengalihan aset tidak berwujud sesuai dengan value creation. Ketiga, mengembangkan aturan Transfer Pricing atas pengalihan asset tidak berwujud yang sulit diukur nilainya. Hal ini mencerminkan suatu asset tidak berwujud yang belum bisa ditetapkan seberapa besar nilai laba dan manfaatnya, sehinggga pada saat aset tidak berwujud ini dialihkan terdapat perbedaan signifikan nilai laba yang diharapkan dan nilai laba aktual yang diperoleh dari aset tidak berwujud. Keempat, memperbarui aplikasi Cost Contribution Arrangements (CCA). CCA dalam OECD Trasnfer Pricing Guideliness dapat diaplikasikan dalam setiap pembagian biaya untuk memperoleh jasa maupun mengembangkan aset berwujud meskipun pada umumnya CCA ini digunakan pada pengembangan aset tidak berwujud.

b. Rencana Aksi ke 12.

(36)

dapat menghindari ketidakpastian ada atau tidaknya manfaat pajak dari suatu transaksi.

c. Rencana Aksi ke 13.

Pada Aksi ke 13 ini yaitu terkait dengan keharusan dokumen induk dan laporan pajak per negara yang diadopsi dalam Peraturan menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016. Tujuan dari master file documentation ini adalah untuk memberikan gambaran yang lengkap

tentang bisnis perusahaan multinasional secara global, laporan keuangan, struktur utang, beban pajak, dan alokasi penghasilan, aktivitas ekonomi dan pembayaran pajak sehingga dapat membantu otoritas pajak mengevaluasi resiko Transfer Pricing yang signifikan. Informasi yang diperlukan dalam master file adalah blue print dari perusahaan Multinasional dan memuat informasi yang dikelompokan ke dalam lima kategori:

1) Struktur organisasi grup Perusahaan Multinasional 2) Deskripsi Perusahaan Multinasional

3) Aset tidak berwujud Perusahaan Multinasional.

4) Aktivitas pendanaan internal Perusahaan Multinasional. 5) Kondisi keuangan dan pajak.

Yang kedua adalah menyusun Country by Country Reporting (CbCR). Country by Country Reporting adalah sebagai respon untuk

(37)

Untuk tujuan perpajakan konsep CbCR didasarkan pada keterbukaan informasi bisnis, seperti laba dan pajak yang dibayarkan di setiap negara tempat Perusahaan Multinasional beroperasi. Informasi yang dimuat dalam CbCR diantaranya adalah informasi yang berhubungan dengan alokasi laba Perusahaan Multinasional secara global, jumlah pajak yang dibayar, jumlah aset berwujud, jumlah pegawai dan total biaya remunerasi pegawai di setiap negara tempat Perusahaan Multinasional beroperasi. OECD menekankan bahwa informasi yang dimuat dalam CbCR ini merupakan bukti bahwa Transfer Pricing yang dilakukan Perusahaan Multinasional adalah wajar atau tidak wajar.

d. Rencana Aksi ke 14

Untuk melengkapi Rencana Aksi BEPS lainya maka OECD meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa perpajakan internasional sehingga dapat meningkatkan kepastian dan prediktabilitas bagi dunia usaha. Untuk itu OECD memasukan upaya meningkatkan efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) dan arbitrase sebagai salah satu aksi dalam proyek BEPS (Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014: 14-20).

(38)

diantaranya adalah pemeriksaan dokumen terhadap Wajib Pajak yang diluar ketentuan umum peraturan Pajak Penghasilan, biaya pelaksanaan yang mahal, dan masing- masing negara harus melakukan kesepakatan dengan negara lain terkait Advance Pricing Agreement. Menurut pandangan Penulis, bercermin dari perjanjian Tax Treaty antara Indonesia dan Singapura tentang attraction of rule yang tidak disepakati Singapura terkait keuntungan Perusahaan

Multinasional di Indonesia yang berpusat di Singapore, hal teresebut dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain.

Namun dengan adanya program Automatic Exchange of Information, secara otomotis keterbukaan informasi antar negara yang melakukanya dapat dilakukan untuk mendapatkan data dokumen Transfer Pricing suatu Perusahaan Multinasional, ditambah dengan dokumen laporan per negara (CbCR) dan master file. Penarikan pajak penghasilan Perusahan Mutinasional dapat dilakukan dengan merubah Advance Pricing Agreement dengan negara lain, sebagai contoh Singapura terkait dengan kasus Google Asia Pasific Ltd. sesuai standar AEoI dan ketentuan Rencana Aksi BEPS.

Dengan ikut serta menerapkan Aautomatic Exchange of Information, yang merupakan sebuah rencana dari negara G20 dan diinisiasi oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)

(39)

akan berguna untuk mengurangi peluang pengemplang pajak untuk menghindari pembayaran pajak.

Menurut Kwik Kian Gie dalam Seminar Nasional berjudul “Automatic

Exchange of Information, The end Tax Evasion?” menyebutkan bahwa para

pemimpin negara-negara G-20 mengumumkan inisiatif untuk memberlakukan AEoI. Maksudnya adalah untuk menggalang kesepakatan dalam menciptakan aturan-aturannya, guna pertukaran data keuangan secara otomatis. Yang dipertukarkan adalah harta yang disimpan di bank-bank di negara-negara peserta AEOI.

Di samping AEOI juga ada kesepakatan yang dinamakan “Standard for Exchange of Information on Request (EOIR). Negara-negara yang

bersepakat dalam bentuk EOIR memperoleh informasi atas permintaan. Dikatakan bahwa EOIR merupakan complement (kelengkapan) dari AEOI. Kewajiban bank-bank dari negara-negara peserta AEOI terdiri dari tiga langkah, yaitu :

a. Pengumpulan data (Collection). Bank-bank harus melakukan

penelitian/audit mendalam (due diligence) tentang nasabahnya, dengan maksud memperoleh data yang relevan dari account-nya yang harus dilaporkan.

b. Pelaporan (Reporting). Setiap lembaga keuangan harus melaporkan

(40)

c. Pertukaran (Exchange). Setiap aparat perpajakan harus melakukan

pertukaran informasi dengan partner AEOI.

Negara-negara peserta AEOI mengirimkan dan menerima informasi setiap tahun tanpa melakukan permintaan. Maka disebut pertukaran datanya secara otomatis (Kwik Kian Gie. 2017).

Menurut Direktur Jendral Pajak, Sigit Priadi Pramudito, sistem kerja AEoI yaitu pertukaran data keuangan warga negara asing yang tinggal di sebuah negara. Pertukaran data keuangan tersebut tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan dilakukan antar otoritas pajak yang berwenang di setiap negara. Singkatnya, setiap negara yang telah bergabung dengan sistem AEOI akan mengirimkan dan menerima informasi awal (pre-agreed information), setiap tahunnya tanpa harus mengajukan permintaan khusus

(Rizki Abadi. 2017).

Direktorat Jenderal Pajak dapat melihat informasi keuangan setiap warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yang berada di dalam negeri. Misi utamanya, untuk mengungkap kepatuhan para wajib pajak. Termasuk, mengintip dana para deposan yang disimpan di luar negeri.

(41)

identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Menurut Direktur Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Ken Dwijugeastiadi Beberapa manfaat yang akan diperoleh jika Indonesia menerapkan AEoI adalah antara lain.

a. Melalui AEoI akan menjaga kredibilitas komitmen Indonesia untuk AEoI dan menjadi bagian jaringan pertukaran informasi keuangan global.

b. Memperoleh informasi keuangan wajib pajak Indonesia di luar negeri yang masif dan akurat.

c. Memperluas dan memperkuat database informasi wajib pajak Indonesia. Keempat mencegah dan mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

d. Mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang menggunakan offshore financial center.

e. Menegakkan Undang-undnag pengampunan pajak, dan memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang belum ikut program pengampunan pajak dan terakhir mendorong repatriasi dana milik wajib pajak Indonesia dari luar negeri (Muhammad Iqbal. 2017).

(42)

Dari perubahan-perubahan peraturan di atas menunjukan peraturan perpajakan dan keuangan global mengarah kepada keterbukaan. Hal terbsebut harus mampu dimaksimalkan Indonesia dengan cara melandasi menggunakan peraturan-peraturan domestik yang sesuai dengan perkembangan peraturan Internasional.

Menurut Dikertur Global Tax Policy Center, Dr. Jeffrey Owens berpendapat bahwa tantangannya adalah bagaimana otoritas pajak dapat menjaga manfaat era globalisasi, namun di sisi lain harus memastikan bahwa perusahaan- perusahaan multinasional membayar pajak mereka dengan benar. Selain itu, otoritas pajak juga harus bekerja keras untuk menutup peluang dari kelemahan globalisasi itu sendiri.

(43)

Gambar

Tabel 3 Tabel Perbandingan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dan Aksi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini akan melakukan desain model High-Pass Damped Filter dengan menggunakan data yang didapatkan dari hasil pengukuran dan simulasi menggunakan ETAP

Pada tindakan higienitas personal sebesar 90% responden melakukan tindakan dengan baik dan 10% responden melakukan tindakan yang cukup baik, sedangkan pada tindakan

Untuk dapat memahami dasar-dasar fisika radiasi dengan lebih baik, terlebih dahulu perlu dikenal beberapa macam pengertian yang sangat dasar, seperti perihal atom,

Analisis Rasio Keuangan adalah proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa lalu, dengan tujuan

Penggunaan yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan ini tidak mewakili kesepakatan pada kualitas bahan / campuran atau penggunaan yang tercantum sesuai dalam kontrak.

Penelitian bertujuan untuk menduga populasi pesut yang berada di Resort Sungai Perlu SPTN Wilayah II Taman Nasional Tanjung Puting yang dilakukan pada bulan februari yang

Penelitian ini membahas pengolahan data gaji dengan pendekatan data warehouse di STMIK Pradnya Paramita Malang yang dimulai dari tahapan pengumpulan data, analisis

Berdasarkan perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan metode alokasi biaya bersama pada produk sampingan, maka terdapat kesimpulan yang berguna bagi pabrik Tahu