• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN TRANSAKSI JUAL BELI SANDANG DI TOKO JAYA MUKTI ABADI PASAR WAGE PURWOKERTO - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN TRANSAKSI JUAL BELI SANDANG DI TOKO JAYA MUKTI ABADI PASAR WAGE PURWOKERTO - repository perpustakaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Sejenis yang Relevan

Penelitian mengenai alih kode dan campur kode sudah pernah diteliti oleh Resti Wahyu Purwaningsih pada Maret 2012 dengan judul “Alih Kode dan Campur Kode pada Tuturan Transaksi Jual Beli Sandang di toko Pusaka Purwokerto.”. Data yang digunakan adalah tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode pada transaksi jual beli sandang di toko Pusaka Purwokerto yang dilakukan pada Maret 2012. Sumber data dalam penelitian ini adalah penutur (penjual dan pembeli) yang melakukan transaksi jual beli sandang di toko Pusaka Purwokerto. Penyediaan data menggunakan metode simak dengan teknik dasar yaitu teknik sadap. Sebagai teknik lanjutan yaitu teknik Simak Libat Cakap (SLC), teknik rekam, dan teknik catat. Pada tahap analisis digunakan metode agih dengan teknik dasar yaitu Bagi Unsur Langsung (BUL) dan teknik lanjutannya yaitu teknik ganti. Tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode penyajian informal.

Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian Resti Wahyu Purwaningsih. Adapun perbedaannya terletak pada sumber data penelitian dan permasalahan yang dianalisis. Penelitian yang dilakukan oleh Resti Wahyu Purwaningsih hanya menganalisis macam alih kode dan campur kode, dan faktor penyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode pada tuturan transaksi jual beli di toko sandang Pusaka Purwokerto. Sedangkan penelitian selanjutnya selain menganalisis macam alih kode dan campur kode, dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode pada tuturan transaksi jual beli

(2)

sandang di toko Jaya Mukti Abadi, peneliti juga menganalisis jenis tindak tutur yang jenis tindak tutur yang terdapat pada tuturan alih kode dan campur kode dalam transaksi jual beli sandang di toko Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto. Sumber data penelitian Resti Wahyu Purwaningsih yaitu penjual dan Pembeli yang melakukan transaksi di toko sandang Pusaka Purwokerto. Sedangkan sumber data peneliti selanjutnya yaitu penjual dan pembeli yang melakukan transaksi di toko sandang

Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto.

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

Menurut Kridalaksana (2008: 24) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Keraf (2001: 1) mendefinisikan bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah simbol/lambang bunyi bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.

2. Fungsi Bahasa

(3)

Menurut Keraf (2001: 3-6) bahasa memiliki empat fungsi yaitu: (a) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (b) alat komunikasi, (c) alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, (d) alat mengadakan kontrol sosial.

a. Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan tentang segala sesuatu yang ada di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Melalui bahasa dapat diketahui ekspresi senang atau sedih seseorang. Kita dapat mengetahui ekspresi seseorang melalui bahasa yang diucapkan tanpa bertatap muka. Jadi setiap orang dapat berkspresi sesuai dengan bahasa yang digunakannya ketika berkomunikasi.

b. Alat Komunikasi

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan sesama warga. Dalam kelompok masyarakat, alat komunikasi digunakan untuk berinteraksi yang dihubungkan dengan komunikasi. Salah satu alat yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa. Dalam hal ini bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya terjadi dilingkungan masyarakat saja tetapi bahasa sebagai alat komunikasi juga dapat terjadi dikalangan pedagang di pasar.

c. Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial

(4)

dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Bila dapat menyesuaikan dirinya maka ia pun dengan mudah membaur dirinya (integrasi) dengan segala macam tata-krama masyarakat tersebut. Selain itu salah sau unsur kebudayaan memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman bermasyarakat.

d. Alat Mengadakan Kontrol Sosial

Kontrol sosial adalah usaha untuk mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain dan semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan menggunakan bahasa. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Melalui bahasa setiap orang akan berfikir dalam berbahasa di lingkungan sosial. Selain dilingkungan sosial masyarakat control sosial biasanya juga terjadi dikalangan para pedagang di pasar.

3. Variasi Bahasa

Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa menjadi beberapa segi, yaitu: (a) variasi bahasa dari segi penutur, (b) variasi bahasa dari segi pemakaian, (c) variasi bahasa dari segi keformalan, (d) variasi bahasa dari segi sarana.

a. Variasi Bahasa dari Segi Penutur

Variasi bahasa dari segi penutur dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1) idiolek, (2) dialek, (3) kronolek, (4) sosiolek.

1. Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.

2. Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.

3. Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.

4. Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.

b. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian

(5)

jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.

c. Variasi Bahasa dari Segi Keformalan

Variasi bahasa dari segi keformalan dibagi menjadi beberapa macan, yaitu: (1) ragam resmi atau formal, (2) ragam usaha atau ragam konsultatif, (3) ragam santai atau ragam kasual, (4) ragam akrab atau ragam intim.

1. Ragam resmi atau formal, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi.

2. Ragam usaha atau ragam konsultatif, yakni variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi ragam bahasa ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.

3. Ragam santai atau ragam kasual, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat.

4. Ragam akrab atau ragam intim, yakni variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas.

d. Variasi Bahasa dari Segi Sarana

Variasi bahasa dari segi sarana dibagi menjadi dua, yaitu: (1) ragam lisan, (2) ragam tulis.

1. Ragam lisan, yakni dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya.

(6)

Variasi bahasa tersebut dapat dirangkum dalam bagan berikut.

Bagan 1. Jenis Variasi Bahasa

4. Transaksi Jual-Beli Sandang

Transaksi merupakan persetujuan jual beli (dalam perdagangan) antara dua pihak (Depdiknas, 2008: 1484). Dalam dunia perdagangan peristiwa jual beli tentu saja melewati proses transaksi yang merupakan persetujuan antara pembeli dan penjual. Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual (Depdiknas, 2008: 589), sedangkan sandang merupakan bahan pakaian (Depdiknas, 2008: 1356). Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli sandang merupakan persetujuan jual beli dalam dunia perdagangan demi mengikat antara penjual yang menyerahkan barang bahan pakaian, dan pembeli yang membayar barang yang dijual.

Jenis Variasi Bahasa

Dialek Sosial /Sosiolek Dari Segi

Penutur Dari Segi Pemakaian (topic pembicaraan)

Idiolek Dialek Dialek Temporal /Kronolek Dari Segi Keformalan

Dari Segi Sarana (medium)

Ragam Bahasa Niaga/ Perdagangan Ragam Bahasa Umum Ragam Bahasa Sastra Ragam Bahasa Jurnalistik Ragam Bahasa Militer Ragam Resmi/

Formal Lisan

(7)

C. Alih Kode 1. Pengertian Kode

Suwito (1995: 78) mengatakan bahwa istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008: 127) kode diartikan sebagai (a) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (b) sistem bahasa dalam suatu masyarakat, dan (c) variasi tertentu dalam suatu bahasa. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kode merupakan variasi bahasa yang memiliki maksud tertentu untuk digunakan dalam berkomunikasi sesuai dengan kebutuhan penutur dan mitra tutur.

2. Pengertian Alih Kode

Suwito (1995: 80) mendefinisikan alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008: 9) alih kode adalah penggunaan variasi-variasi bahasa atau dua bahasa atau lebih dalam satu tutur sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan suatu peralihan dari variasi bahasa satu ke variasi bahasa yang lain karena berubahnya situasi dan kondisi sehingga harus dapat menyesuaikan diri dengan adanya partisipan lain.

3. Macam-Macam Alih Kode

(8)

bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa-bahasa nasional (bahasa-bahasa Indonesia), atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. Sedangkan Alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing. Dari hal tersebut menurut Poedjasoedarma, dkk. (1979: 45-56) alih kode ekstern dibagi menjadi dua macam yaitu alih kode permanen dan alih kode sementara. Alih kode permanen terjadi apabila seorang pmbicara secara tetap mengganti kode bicaranya kepada lawan bicaranya. Alih kode sementara yaitu alih kode yang dilakukan seorang pembicara pada waktu bicara dengan tingkat tutur yang biasa ia gunakan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa alih kode

intern adalah alih kode yang hanya terjadi antarbahasa sendiri ataupun dialek sendiri. Sedangkan alih kode ekstern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa asli (bahasa nasional, dialek yang ditempati) dengan bahasa asing.

4. Faktor Penyebab Alih Kode

(9)

a. Alih Kode Karena Mensitir Kalimat Lain

Kalimat yang disitir biasanya diucapkan dalam tingkat tutur aslinya. Kata-katanya memang tidak harus selalu persis sama asal saja isinya sama. Intonasinya pun biasanya disamakan dengan intonasi aslinya. Biasanya kita jumpai kata-kata kunci yang menunjukkan bahwa si penutur mensitir kalimat seseorang atau kalimatnya sendiri. Contoh dialog anak yang minta baju baru kepada Ibunya.

Anak : “Bu baju baru punya Reni modelnya bagus Bu.” Ibu : “Biasa bae koh.”

‘Biasa saja kok.’

Anak : “Biasa bae koh. (menirukan ibunya). Apik koh Bu.” ‘Biasa saja kok. Bagus koh Bu.’

Pada contoh tersebut terjadi peristiwa alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa . Hal tersebut diseababkan karena si penutur yaitu anak yang menyitir atau mengucapkan dalam ragam asli tuturan lawan tutur yaitu ibu. Penutur yaitu anak tidak dapat mengendalikan diri karena marah tidak dibelikan baju baru sehingga tidak dapat bertutur dalam ragam yang tetap dan akhirnya beralih kode dengan menyitir tuturan yang dilakukan oleh ibunya yaitu menggunakan bahasa Jawa.

b. Berbicara Secara tidak Langsung kepada Lawan Bicara

(10)

Ngga, Den mang unjuk, toya bening mingan. (Ha ra ana nyamikane kok ya). ‘Silakan, Den, minum, tetapi hanya air tawar. (Memang saya tidak punya makanan kecil, mau apa lagi).’ (Poedjasoedarma dkk. 1979)

Pada cotoh tersebut merupakan alih kode yang disebabkan berbicara secara tidak langsung kepada lawan bicara. Pada kalimat pertama yang tidak dalam kurung penutur menggunakan bahasa krama karena tertuju pada lawan tutur yaitu tamunya. Lalu kalimat selanjutnya penutur menggunakan bahasa ngoko seolah-olah apa yang dikatakannya tertuju kepada dirinya sendiri atau paling tidak seolah-olah tidak tertuju pada lawan bicaranya, tetapi sebetulnya kalimat tersebut ditujukan juga pada lawan bicaranya.

c. Relasi Tidak Pasti Antara Si Penutur dengan Lawan Bicara

Orang akan beralih kode jika relasi tidak pasti antara si penutur dengan lawan bicaranya telah berubah dari segi ekonomi maupun pendidikan. Berikut salah satu contoh bagaimana seorang bekas murid bertemu dengan bekas guru. Si bekas murid itu sekarang sudah menjadi seorang dosen, sedangkan guru itu masih tetap menjadi guru. Ketika masih menjadi guru, guru tersebut selalu berbicara dalam ngoko kepada muridnya semasa masih menjadi murid. Kini dengan berubahnya relasi bekas muridnya menjadi seorang dosen, maka guru itu berbicara menggunakan krama atau paling tidak madya.

Guru : “Roni priwe kabare?” ‘Roni gimana kabarnya?’ Bekas murid : “Sae Pak.”

‘Baik Pak.’

Guru : “Seniki sampun dados dosen nggih?” ‘Sekarang sudah jadi dosen ya?’

d. Ketidakmampuan Menguasai Kode Tertentu

(11)

bahasa yang diucapkan lawan bicaranya. Dengan demikian akan terjadi alih kode. Contoh alih kode karena ketidakmampuan menguasai kode tertentu. Misalnya Adi yang berasal dari Jakarta pindah ke Jawa namun baru beberapa bulan. Suatu hari Adi berbicara menggunakan bahasa Jawa kepada Roni tetapi Adi kebingungan karena keterbatasan kosa kata Adi dalam bahasa Jawa. Oleh sebab itu, Adi beralih ke bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan Roni.

Adi : “Ron bengkel tambal ban neng ndi ya?” ‘Ron bengkel tambal ban di mana ya?’ Roni : “Niku teng prapatan Di.

‘Itu di perempatan Di.’ Adi : “Oke terima kasih Ron.”

e. Pengaruh Kalimat-kalimat yang Mendahului Penutur

Sering orang melakukan alih kode karena kalimat-kalimat ataupun kata-kata yang mendahuluinya. Dalam mensitir kalimat, orang sering menggunakan tingkat tutur yang bukan merupakan tingkat tutur tetapnya. Jadi di sini dia menggunakan dua tingkat tutur sekaligus. Kadang-kadang tingkat tutur sitiran ini mempengaruhi tingkat tutur tetapnya.

contoh :

Penjual : “Monggo badhe mundhut napa?” ‘Silahkan mau ambil apa?’

Pembeli 1 : “Badhe mundhut teh wonten napa boten?” ‘Mau ambil the ada atau tidak?’

Penjual : “Oh teh wonten.” ‘Oh teh ada.’

Pembeli 2 : “Tuku kopi ana apa ora?” ‘Beli kopi ada atau tidak?” Penjual : “Kopi ya ana.

‘Kopi ya ada.’

(12)

akhirnya penjual tersebut terpengaruh oleh kode pembeli 2 yang menggunakan ngoko. Jadi penjual tersebut menggunakan dua kode sekaligus pada saat melakukukan transaksi jual beli di tokonya.

f. Pengaruh Situasi Bicara

Dalam suatu pertemuan sering kali terjadi peristiwa tutur (speech event). Pada pertemuan halalbihalal atau acara kenduri, orang sering beralih dari situasi santai ke situasi resmi. Bersamaan dengan berubahnya situasi tadi, terjadi pula adanya alih kode. Contoh seorang anak berhalalbihalal dengan ayahnya. Anak tersebut biasanya bicara dalam tingkat tutur madya terhadap ayahnya, tetapi kini menggunakan krama. Ayahnya juga menjawab dengan kode yang resmi pula.

Anak : Wis saged dimulai Pak?

‘Sudah bisa dimulai Pak?’ Ayah : “Saged.”

‘Bisa.’

Anak : ”Njih pareng matur Bapak, sowan kula ngaturaken bekti kula saha ngaturaken sedaya kalepatan kula lan sakwayahipun sedaya mugi-mugi Bapak maringi pangapunten dhateng kula.

‘Kiranya sekarang izinkan saya berkata kepada Bapak. Kedatangan saya ini untuk menyampaikan hormat saya kepada Bapak. Semoga Bapak berkenan memaafkan saya.’

Ayah :”Celathu lan lakuku sing ora keduga ditampa menyang anak, ya dingapura karo sing kuwasa.

‘Ucapan dan tindakan saya yang tidak baik diterima oleh anak hendaknya dimaafkan Tuhan yang Maha Kuasa.’ (Poedjasoedarma dkk. 1979)

g. Alih Kode karena Kendornya Penguasaan diri

Orang yang tak dapat menguasai diri sering tidak bisa berbicara dalam madya

(13)

Contoh :

Anak : “Bu, tumbas leptop malih Bu?” ‘Bu, beli laptop lagi Bu?’ Ibu : “Leptopmu bodhol apa?

‘Laptop kamu rusak apa?’

Anak : “Boten tapi sampun ketinggalan jaman Bu.” ‘Tidak tapi sudah ketinggalan zaman Bu.’ Ibu : “Ya tukune nek leptope wis bodhol.

‘Ya belinya kalau laptopnya sudah rusak.’ Anak : “Lah pelit temen Bu, leptope wis ala koh.

‘Lah pelit sekali Bu, leptopnya suadah jelek kok.’

Pada contoh tersebut kalimat yang bercetak tebal menunjukkan bahwa alih kode disebabkan karena kendornya penguasaan diri. Anak yang pada awalnya menggunakan ragam krama kepada ibunya beralih menjadi ngoko karena si anak tidak dapat mengendalikan diri sehingga si anak tersebut beralih ke dalam ragam

ngoko. Hal tersebut terjadi karena si anak tidak dapat mengendalikan dirinya yang marah karena tidak dibelikan laptop baru. Maka dari itu kendornya penguasaan diri dapat mengakibatkan peristiwa alih kode.

h. Pengaruh Materi Percakapan

Sudah banyak kita singgung bahwa materi percakapan sangat memungkinkan terjadinya berbagai alih kode. Bila orang berbicara ilmu pengetahuan, masalah politik atau pemerintahan, orang sering beralih ke bahasa Indonesia. Sebaliknya jika orang tersebut berpindah ke topik santai misalnya cerita pengalaman pribadi maka bahasa mereka beralih ke ragam santai. Contoh bagaimana seorang kakak mau menguji pengetahuan adiknya. Kode tetapnya adalah bahasa Jawa ngoko, sedangkan kalimat yang bertautan dengan ilmu sejarah diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Kakak : “ Saiki tak bedheki. Ibu kota kerajaan Majapahit di mana?” ‘ Sekarang coba tebak. Ibu kota kerajaan Majapahit di mana?’ Adik : “Ibu kota kerajaan Majapait di Singosari.”

Kakak : “Ooo, bodho.” ‘ Ooo, bodoh.’

(14)

i. Pengarauh Hadirnya Orang Ketiga

Ketika sedang terjadi pembicaraan antara dua orang dengan menggunakan bahasa daerah, kemudian muncul pihak ketiga yang menggunakan bahasa Indonesia, maka kedua orang yang menggunakan bahasa daerah akan beralih kode ke bahasa Indonesia. Contoh antara dua orang Jawa yang sedang saling bicara kemudian datang orang ketiga yang berasal dari Jakarta sehingga terjadi alih kode ke dalam bahasa Indonesia karena hadirnya orang ketiga.

Orang Jawa 1 : “Kudhunge regane piraan?” “Kerudungnya harganya berapa?’ Orang Jawa 2 : “Pitulas ewu.

‘Tujuh belas ribu.’

Orang Jakarta :”Kerudungnya bagus sekali.” Orang Jawa 1 :”Iya emang bagus.”

Orang Jawa 2 :”Ah, biasa saja kok.”

j. Pengaruh Keinginan untuk Menyesuaikan Diri dengan Kode yang Dikuasai Lawan Bicara

Orang dewasa yang berbicara kepada anak kecil biasanya berusaha menggunakan dialek anak kecil. Orang dewasa bermaksud agar si anak lebih mengerti apa yang dikatakannya atau pun lebih merasa dekat terhadapnya. Persamaan kode ini akan lebih mendekatkan lawan bicara dengan si penutur. Misalnya ketika orang dewasa menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya sedangkan si Rani bercicara menggunakan bahasa Jawa pada saat orang dewasa tersebut ingin berbicara dengan Rani orang dewasa tersebut menggunakan bahasa Jawa karena ingin menyesuaikan diri dengan kode yang dikuasai Rani.

Contoh :

Orang dewasa :”Rani, tadi sudah mandi belum?” Rani :”Urung!

‘Belum!’

Orang dewasa :”Sak iki maem dhisik, njur pakpung!

(15)

k. Keinginan Mendidik Lawan Bicara

Para ibu di rumah dan guru di sekolah tingkat rendah (taman kanak-kanak dan kelas terbawah sekolah dasar) sering menyelipkan kalimat-kalimat krama dalam berbicara kepada anak asuh mereka. Kalimat-kalimat krama tersebut dimaksudkan untuk membiasakan si anak pada tingkat tutur krama. Dengan kalimat krama yang secara langsung ditujukan kepada anak tersebut, diharapkan bahwa si anak akan menjawab dalam krama pula. Maka hal tersebut jelas menunjukkan kalau alih kode terjadi karena keinginan mendidik lawan bicara.

Contoh :

Guru : “Bocah-bocah, saiki Ibu Guru kagungan cangkriman. cangkrimane gampang banget. sego sekepel dirubung tinggi iku apa? Hayo sapa kang ngerti? Sinten ingkang ngertos? Anton sampun ngertos?” ‘Anak-anak, sekarang Ibu Guru mempunyai teka-teki. teka-teki ini mudah sekali. Nasi sekepal dikerumuni kutu busuk itu apa? Ayo, siapa tahu? Siapa yang tahu? Anton tahu?’ (Poedjasoedarma dkk. 1979)

l. Pengaruh Praktik Berbahasa

Bahasa merupakan kecakapan yang hanya bisa dikuasai melalui praktik-praktik serta latihan yang bertubi-tubi. Untuk mempraktik-praktikkan langsung pada situasi yang cocok tidak selalu tersedia cukup kesempatan, maka biasanya orang akan melatih berbicara dalam bahasa yang mereka pelajari dengan kawan dan teman sejawat. Tidak jarang dijumpai anak-anak muda berbicara satu dan yang lainnya dalam bahasa Inggris sekedar untuk latihan. Ada juga anak-anak kecil yang berbicara satu sama lain dalam bahasa Indonesia dan krama. Semua ini sekedar melancarkan kemampuan bicara mereka.

m. Bersandiwara dan Berpura-Pura

(16)

bertamu, sekolah. Dalam permainan mereka menirukan kode yang lazim dipakai orang dalam aktivitas jual beli, bertamu ataupun mengajar/bersekolah. Sebelum permainan ini dimulai mereka berbicara satu sama lainnya dalam ngoko, tetapi bila mereka sudah masuk dalam permainan, mereka juga akan memakai madya atau

krama. Bila bermain sekolah, tidak jarang mereka akan memakai bahasa Indonesia.

n. Frasa-Frasa Basa-Basi, Pepatah dan Peribahasa

Dalam hubungan komunikasi sehari hari kita jumpai berbagasi basa-basi yang tidak pernah tertinggal. Frasa-frasa ataupun kalimat-kalimat basa-basi ini selalu tetap dan tidak pernah diubah. Frasa atau kalimat semacam itu, misalnya kula nuwun, mangga, nuwun sewu, nyuwun pangapunten, nyuwun pamet, dan matur nuwun.

Meskipun ini semua masuk dalam tingkat tutur krama, tapi dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah diubah menjadi ngoko walaupun keseluruhan peristiwa tutur terjadi dalam ngoko. Juga bila orang mengucapkan pepatah “Kebo kaboten sungu”, ‘Kerbau yang bertanduk terlalu berat’ tidak pernah orang mengucapkan dalam krama atau

madya. Tetapi bila orang ingin memberi keterangan atas peribahasa maupun pepatah tersebut, dia akan menggunakan kodetetapnya. Jadi, kalau sebagai kode tetapnya

krama, dia akan memberi keterangan dalam krama pula.

o. Pengaruh Maksud-Maksud Tertentu

(17)

beberapa pendapat di atas terdapat kesamaan penyebab alih kode antara lain pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, perubahan topik pembicaraan. Berdasarkan beberapa teori tersebut peneliti akan menggunakan teori Poedjasoedarma karena teori tersebut lebih rinci dalam memaparkan sebab- sebab alih kode. Peneliti juga beranggapan teori tersebut tepat digunakan dengan data yang diperoleh peneliti.

D. Campur Kode

1. Pengertian Campur Kode

Menurut Kridalaksana (2008: 40) campur kode ialah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sebagainya. Menurut Suwito (1995: 88) campur kode ialah unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 87). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan pencampuran dua bahasa antara bahasa satu dengan bahasa lain atau variasi bahasa dalam sebuah situasi tuturan.

2. Macam-Macam Campur Kode

(18)

berwujud frasa, (c) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, (d) penyisipan unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, (e) penyisipan unsur-unsur berupa klausa.

a. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata.

Menurut Kridalaksana (2008: 110) kata adalah (1) morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas; (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal; (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis.

Contoh :

(10) Pembeli 1 :”Ini yang larang ya?” (B. 1. 10) ‘Ini yang mahal ya?’

Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Jawa berwujud kata ke dalam tuturan bahasa Indonesia. kata tersebut terdapat pada kata : “…larang…”. Hal tersebut disebabkan karena pembeli 1 tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia secara tetap sehingga pada saat melakukan transaksi pembeli 1 menyelipkan bahasa Jawa pada tuturannya karena pembeli tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa Indonesia.

b. Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa.

Menurut Chaer (2007: 222) frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

Contoh :

(19)

Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Jawa berwujud frasa yang dilakukan oleh pembeli 1 ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Frase tersebut, yaitu “…butuhe ireng...”. yang bermakna ‘butuhnya hitam’. Pada kutipan tersebut pembeli 1 dalam berbahasa Indonesia menyelipkan bahasa Jawa. Hal tersebut disebabkan pembeli 1tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa Indonesia pada saat melakukan tuturan.

c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata.

Menurut Muslich (2009: 48) perulangan kata merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak.

Contoh :

(27) Penjual A : “Oh itu lagi dicari yang ijo-ijo dulu kali Bu haji.” (B. 1. 27) ‘Oh itu lagi dicari yang hijau-hijau dulu kali Bu haji.’

Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsure berwujud perulangan kata yang dilakukan oleh penjual A dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Penyisipan itu berupa perulangan kata, yaitu “…ijo-ijo…”. yang bermakna “hijau-hijau’. Hal tersebut disebabkan karen penjual A tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa Indonesia sehingga penjual A menyelipkan bahasa Jawa pada saat melakukan tuturan.

d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.

(20)

Contoh :

“Bapak saben dina membanting tulangnganti wengi.”

Pada contoh tersebut terdapat unsur penyisipan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur yang berwujud idiom yaitu, membanting tulang ke tuturan bahasa Jawa. Tuturan tersebut bermakna kalau seoarang bapak yang setiap harinya selalu bekerja keras dalam bekerja. Idiom tersebut sering digunakan oaring pada saat mereka bekerja dengan semangat.

e. Penyisipan unsur-unsur berupa klausa.

Menurut Chaer (2007: 231) klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkontruksi predikatif. Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan dan di bawah satuan kalimat, berupa tuturan kata-kata berkonstruksi predikat (Chaer, 2009: 41). Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari S P baik disertai O, PEL, dan KET ataupun tidak (Ramlan, 2005: 79).

Contoh :

Zaki : “Baju kamu bagus ya?”

Nurul : “Iya bagus neng kene urung ana modhel kaya kiye.” ‘Iya bagus. Di sini belum ada model kayak ini.’

Pada contoh tersebut terjadi campur kode berupa unsur bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Nurul yang berwujud klausa. yaitu ”neng kene urung ana model kaya kiye.” yang maknanya ‘disini belum ada model seperti ini’. Hal tersebut dilakukan oleh Nurul yang akan memberitahu pada Zaki mengenai baju yang ditanyakan oleh Zaki kalau ditempat mereka melakukan tuturan tidak ada yang model seperti yang dipakai Nurul.

3. Faktor Penyebab Campur Kode

(21)

a. Identifikasi Peranan

Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Ukuran sosial berhubungan dengan peranan penutur dan mitra tutur dalam interaksi sosial. Misalnya untuk identifikasi peranan penutur sebagai direktur dan mitra tutur sebagai pegawai bersih-bersih. Ukuran identifikasi registral berkaitan dengan ruang lingkup bidang pekerjaan. Misalnya di Pasar, pedagang dan pembeli pasti mempunyai register sendiri untuk berkomunikasi. Mereka mencampur istilah-istilah dalam bidang perdagangan dengan bahasa Indonesia. Ukuran edukasional berkaitan dengan tingkat pendidikan penutur dan mitra tutur. Misalnya di kalangan orang yang berpendidikan tinggi mampu mengerti berbagai bahasa / kode-kode yang dicampur tidak terbatas pada bahasa Indonesia atau bahasa daerah tetapi bisa juga bahasa asing. Sebaliknya di kalangan orang yang berpendidikan rendah kode-kode yang dicampur cenderung ragam bahasa daerah.

b. Identifikasi Ragam

Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya. Misalnya antara orang tua dan anak di lingkungan masyarakat Jawa. Seorang anak berkomunikasi dengan orang tua menggunakan krama yang bercampur madya. Walaupun harus bercampur kode tetapi seorang anak akan menggunakan bahasa yang lebih tinggi dari pada orang tuanya. Sebaliknya orang tua akan berbicara pada anak dengan ragam madya atau ngoko.

c. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan

(22)

orang lain terhadapnya. Misalnya pada proses belajar mengajar khususnya pada pelajaran bahasa Inggris. Pada saat menjelaskan materi guru mencampur bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia karena guru beranggapan jika dijelaskan dengan bahasa Inggris saja siswa tidak dapat memahaminya. Jadi menjelaskan dengan cara campur kode bertujuan agar pembelajaran dapat dipahami.

E. Peristiwa Tutur

Menurut Hymes (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya, 2010: 32-33), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang diakronimkan menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah Setting and Scene, Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalities, Norms of Interaction and

Interpretation, dan Genres.

1. S : Setting and Scene, settingberhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung, sementara scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu terjadinya pertuturan. Waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola, pada saat ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi.

(23)

digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibnding kalau dia berbicara terhadap teman-teman seusianya.

3. E : Ends, mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun cara partisipan di dalam peritiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

4. A : Act Sequences, berkenaan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk berkaitan dengan kata-kata yang digunakan, sementara isi berkaitan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapannya biasa, dan dalam pesta tentunya berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

5. K : Key, berhubungan dengan nada suara (tone), penjiwaan (spirit), sikap atau cara (manner) saat sebuah tuturan diujarkan, misalnya dengan gembira, santai, dan serius. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan gestur/gerak tubuh/ekspresi dan isyarat.

6. I : Instrumentalities, berkenaan dengan saluran (channel) dan bentuk bahasa (the form of speech) yang digunakan dalam pertuturan. Saluran misalnya oral, tulisan, isyarat, baik berhadap-hadapan maupun melalui telepon untuk saluran oral, tulisan bisa juga dengan telegraf. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan bahasa, dialek, fragmen atau register.

(24)

cara yang berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

8. G : Genres, mengacu pada bentuk penyampaian, seperti puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. Misalanya ketika tuturan dilakukan pada saat melakukan lomba baca puisi. Pada saat melakukan tuturan orang yang akan membaca puisi akan mengaju pada peristiwa tutur yang termaksuknya yaitu pada genres.

F. Tingkat Tutur

1. Pengertian Tingkat Tutur

Rahardi, (2001: 52) mengatakan bahwa tingkat tutur dapat dikatakan merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya adalah relasi antara si penutur dengan si mitra tutur. Sedangkan Chaer dan Leonie Agustina, (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial dikenal dalam bahasa dengan istilah undha usuk. Soepomo (dalam Poedjosoedarma, dkk 1979: 3) mengatakan tingkat tutur adalah variasi – variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara orang pertama (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat tutur merupakan sistem kode dalam suatu masyarakat.

2. Tingkat Tutur Bahasa Jawa

(25)

ada rasa yang demikian, maka tingkat ngoko yang dipakai di dalam bertuturan. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di antara tingkat tutur

krama dan tingkat tutur ngoko. Tingkat tutur madya ini menunjukkan perasaan sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Sedangkan tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan penuh sopan-santun antara sang penutur dan sang mitra tutur. Dengan perkataan lain, tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan atau ‘pakewuh’ di antara keduanya. Hal demikian barangkali disebabkan karena relasi antara penutur dengan mitra tutur ini belum terjalin dengan baik.

G. Jenis Tindak Tutur

Searle (dalam Wijana, 1996: 17-20) mengemukakan bahasa secara praktis setidak-tidaknya ada tiga bentuk tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni: tindak tutur lokusi (locutronary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act).

1. Tindak Lokusi (locutronary act)

(26)

Berdasarkan kategori gramatikal, jenis lokusi dibedakan menjadi tiga bentuk: yaitu bentuk pernyataan/ berita (deklaratif), perintah (imperatif), dan pertanyaan (interogatif) (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2010: 28).

a. Lokusi Pernyataan/ Berita (Deklaratif)

Tipe pernyataan juga merupakan lokusi, yakni menyatakan sesuatu kepada pendengar. Lokusi dalam tipe pernyataan ini merupakan lokusi tidak langsung karena hanya merupakan berita agar pendengar percaya dengan apa yang dituturkan oleh pembicara. Lokusi pernyataan dinyatakan dengan kalimat berita, dalam kalimat berita tidak terdapat kata-kata Tanya seperti apa, siapa, dimana, mengapa, kata-kata ajakan seperti mari, ayo, kata persilahan silahkan, serta kata larangan seperti jangan

(Ramlan, 2005: 26-27).

b. Lokusi Perintah (Imperatif)

Bentuk perintah mengandung cirri utama bahwa tipe ini merupakan cara mengungkapakan lokusi yang bersifat perintah atau larangan. Ciri-ciri bentuk perintah: (1) intonasinya keras (terutama perintah biasa dan larangan)pola intonasinya yaitu [2] 3# atau 2 3 2#, (2) kata kerja yang mengandung isi perintah biasanya merupakan kata dasar, (3) dapat pula menggunakan partikel –lah (Ramlan 2005: 39-43).

c. Lokusi Pertanyaan (Interogatif)

(27)

pertanyaan dan perintah, tetapi keduanya merupakan jenis permintaan. Perbedaan keduanya adalah pertanyaan meminta tindakan verba dan meminta tindakan non verbal. Ciri-ciri bentuk pertanyaan: (1) intonasi yang digunakan adalah intonasi Tanya yaitu [2] 3 // [2] 3 2 #dan digambarkan dengan tanda Tanya, (2) sering menggunakan kata Tanya seperti: apa, siapa, mengapa, kenapa, bagaimana, man, bilamana, kapan, bila, dan berapa, (3) dapat pula menggunakan partikel tanya –kah

(Ramlan, 2005: 28-39).

2. Tindak Ilokosi (Ilicutionary Act)

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucap terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan (Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 53). Sedangkan Rohmadi, (2004: 31) mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Menurut Searle (dalam Rohmadi, 2004: 32) kategori ilokusi dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisif, deklaratif.

a. representatif, ialah tindak ujaran yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukan dan menyebutkan.

b. direktif, ialah tidak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu, misalnya: menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. c. ekspresif, ialah tindak tutur yang dilakunan dengan maksud agar ujarannya

diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran itu, misalnya: memuji, mengucapkan terimakasih, mengkritik, dan mengeluh. d. komisif, ialah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan

(28)

e. deklaratif, ialah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengijinkan, dan meminta maaf.

3. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)

Rohmadi, (2004: 31) menjelaskan bahaw tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraanya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistikdari lain (Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 53). Menurut Leech (1993: 323) menyebutkan macam-macam tindak tutur perlokusi:

a. bring h to learn that (membuat t mengetahui bahwa), b. persuade (membujuk),

c. deceive (menipu), d. encourage (mendorong), e. irritate (menjengkelkan), f. frighten (menakuti), g. amuse (menyenangkan),

h. get h to do (membuat t melakukan sesuatu), i. inspire (mengilhami),

j. impress (mengesankan),

k. distract (mengalihkan perhatian),

l. get h to think about (membuat t berpikir tentang), m.relieve tension (melegakan),

n. embarrass (mempermalukan), o. attract attention (menarik perhatian), p. bore (menjemukan).

(29)

33

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN TRANSAKSI JUAL BELI SANDANG DI TOKO JAYA MUKTI ABADI PASAR WAGE PURWOKERTO

a.Mensitir Kalimat Lain

b.Berbicara Secara Tidak Langsung c.Relasi Tidak Pasti

d.Ketidakmampuan Menguasai Kode e.Pengaruh Situasi Bicara

f.Pengaruh Kalimat yang Mendahului g.Kendornya Penguasaan Diri h.Pengaruh Materi Percakapan i.Hadirnya Orang Ketiga

j.Keinginan Mendidik Lawan Bicara

k.Menyesuaikan Diri dengan Kode yang Dikuasai Lawan Bicara l.Pengaruh Praktik Bahasa

m. Bersandiwara dan Berpura-pura

n.Frasa-Frasa Basa-Basi, Pepatah dan Peribahasa o.Pengaruh Maksud-Maksud Tertentu

Bahasa

Komunikasi

Lisan

Penjual Pembeli

Variasi Bahasa

Transaksi Jual beli

Macam Pengertian

Campur Kode

Alih Kode

Faktor Penyebab

a.Intern b.Ekstern

Pengertian Macam Faktor Penyebab

a. Penyisipan Unsur-Unsur yang Berwujud Kata b. Penyisipan Unsur-Unsur Berwujud Frasa c. Penyisipan Unsur Berwujud Perulangan Kata d. Penyisipan Unsur Berwujud Ungkapan atau

Idiom

e. Penyisipan Unsur Berupa Klausa

a.Identifikasi Peranan b.Identifikasi

Ragam

Jenis Tindak Tutur

menurut Searle

Lokusi Ilokusi Perlokusi

Pernyataan

Perintah

Pertanyaan

a. representatif

b. direktif

c. ekspresif

d. komisif

e. deklaratif

a. bring h to learn that (membuat t

mengetahui bahwa),

b. persuade (membujuk),

c. deceive (menipu),

d. encourage (mendorong),

e. irritate (menjengkelkan),

f. frighten (menakuti),

g. amuse (menyenangkan),

h. get h to do (membuat t melakukan

sesuatu),

i. inspire (mengilhami),

j. impress (mengesankan),

k. distract(mengalihkan perhatian),

l. get h to think about (membuat t berpikir

tentang),

m.relieve tension (melegakan),

n. embarrass (mempermalukan),

o. attract attention (menarik perhatian),

p. bore (menjemukan).

3

Referensi

Dokumen terkait

Melakukan penyuluhan pendidikan karakter anak dalam keluarga di Dusun Dermojuranga. 1 x 200” BERSAMA

Selanjutnya dilakukan analisa kadar air, β -karoten, analisa warna, dan tekstur terhadap sampel yang diambil dari satu pengumpul di pasar Jetis Bandungan yang menjual wortel

Untuk menentukan apakah uang kertas tersebut asli atau palsu maka ditetapkan sebuah konstanta (up = 12000000 ) nilai dasar kemiripan / matching yang pas dengan uang asli,

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR SERI SISWA KELAS III SD KANISIUS SENGKAN TAHUN AJARAN 2009/2010.. Dengan demikian saya memberikan

Dengan demikian, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk

H0 adalah hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pada kadar profil lipid pada pasien penyakit ginjal diabetik dan penyakit ginjal non-diabetik

Musim tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dalam usaha budidaya tanaman padi, penggunaan varietas unggul baru yang adaptif merupakan salah satu

Kontribusi langsung yang diberikan fokus pada konsumen terhadap kepuasan kerja karyawan ini menjelaskan bahwa perubahan kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh