1
ZERO ENERGY BUILDING
PEMANFAATAN SISTEM KOGENERASI DENGAN ABSORPTION CHILLER UNTUK BANGUNAN GEDUNG
Beline (1506696205)
Departemen Teknik Mesin – Universitas Indonesia Email: beline@ui.ac.id, beline.alianto@gmail.com
ABSTRAK
Perkembangan kota Jakarta sebagai kota metropolitan yang melibatkan pembangunan fisik menyebabkan arus urbanisasi semakin meningkat. Sebagai konsekuensi, pembangunan gedung
perkantoran dan hunian bertingkat yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi juga semakin bertambah. Operasional gedung tentunya akan membutuhkan tambahan energi. Untuk meminimalkan
dampak krisis energi di masa depan, pemakaian energi sudah harus diefisienkan mulai saat ini. Selain itu faktor kenyamanan dan keselamatan juga merupakan komponen yang tidak terpisahkan
dalam setiap pembangunan gedung. Peran serta pemerintah menjadi sangat penting. Beberapa peraturan, standar dan undang-undang juga telah dikeluarkan sebagai upaya untuk menjawab
masalah ini.
1. LATAR BELAKANG
Jakarta sebagai kota metropolitan dalam perkembangannya tidak lepas dari pembangunan fisik yang terus menerus meningkat sehingga menjadi salah satu kota paling tinggi nilai pertumbuhan pembangunannya di Asia Tenggara dalam 5 tahun terakhir ini. Dewasa ini banyak bangunan didesain dengan mengutamakan nilai estetika dan keindahan melebihi dari nilai fungsi bangunan itu sendiri. Kota yang sedang berkembang seperti Jakarta merupakan surga bagi para arsitek untuk berkarya dan menghasilkan desain yang kreatif yang diharapkan bisa menjadi ikon dari kota Jakarta.
Dengan kondisi cuaca yang sedemikian panas dan kelembaban yang tinggi di Jakarta sudah semestinya bangunan gedung komersial dilengkapi dengan sistem kontrol iklim (climate control). Dalam pembangunan gedung komersial maupun hunian, kebutuhan pengkondisian udara sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan itu sendiri. Sistem pengkondisian yang bertujuan untuk faktor kenyamanan, masalah energi juga tidak bisa terlepas darinya. Proses pendinginan, ventilasi, pengendalian kelembaban dalam ruangan ini memerlukan tambahan energi. Pada akhirnya keseluruhan upaya ini selain untuk kebutuhan mencapai kenyamanan yang tinggi juga terlepas dari sisi pencapaian tingkat kesehatan yang baik juga.
Dalam rangka konservasi energi, maka konsep zero energi building perlu mulai diterapkan. Beberapa upaya untuk menciptakan bangunan ramah energi diantaranya adalah dengan menggunakan sistem AC yang rendah energi. Beban AC merupakan beban terbesar yang dikonsumsi oleh suatu bangunan. Hampir 60% energi listrik dihabiskan untuk keperluan pengkondisian udara.
Konsep cogeneration untuk AC dengan menggunakan absorption chiller dan gas engine sangat tepat untuk diterapkan. Hasil buangan gas panas dari gas engine yang masih cukup tinggi bisa dimanfaatkan untuk memanaskan generator dari absorption chiller. Selain menggunakan gas engine, alternatif lain adalah menggunakan solar heating. Air yang dipanaskan oleh sinar matahari digunakan untuk memanaskan generator dari absorption chiller. Pada tulisan ini dibatasi pembahasan hanya dengan applikasi gas engine mesin diesel dengan absorption chiller.
2
2. LANDASAN TEORIBagian ini menerangkan dua prinsip jenis plant refrigerasi yang ditemukan di industri: Refrigerasi Kompresi Uap /Vapour Compression Refrigeration dan Refrigerasi
Penyerap Uap/ Vapour Absorption Refrigeration . Kompresi uap menggunakan energi mekanis sebagai energi penggerak untuk refrigerasinya, sementara itu absorption cooling menggunakan energi panas sebagai energi penggerak refrigerasinya.
2.1 Sistim Pendingin Kompresi Uap (Vapor Refrigeration System) 2.1.1 Deskripsi
Siklus pendingin kompresi uap memanfaatkan perbedaan tekanan fluida dalam suatu sistem. Dalam kasus ini, fluida digunakan untuk mendinginkan lingkungan bersuhu rendah dan membuang panas ke lingkungan yang bersuhu tinggi. Sejumlah besar energi panas diperlukan untuk merubah cairan menjadi uap yaitu dengan mengambil banyaknya panas yang dapat dibuang dari ruang yang dikondisikan.
Siklus refrigerasi ditunjukkan dalam Gambar 1 dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan berikut:
1 – 2. Cairan refrigeran dalam evaporator menyerap panas dari sekitarnya melalui udara, air atau cairan proses lain. Selama proses ini, refrigeran berubah fase dari cair menjadi gas, dan saat keluar dari evaporator gas ini diberi pemanasan tambahan/superheated gas.
2 – 3. Uap yang diberi panas tambahan selanjutnya masuk ke kompresor dimana tekanannya dinaikkan. Suhu juga akan meningkat, sebab bagian energi yang menuju proses kompresi dipindahkan ke refrigeran.
3 – 4. Superheated gas bertekanan tinggi lewat dari kompresor menuju kondenser. Bagian awal proses refrigerasi (3-3a) menurunkan panas superheated gas sebelum gas ini dikembalikan menjadi bentuk cairan (3a-3b). Proses pendinginan ini bisa menggunakan udara atau air. Penurunan suhu berikutnya terjadi lintasan (3b - 4), sehingga cairan refrigeran mengalami pendinginan lanjut sebelum menuju ke katup ekspansi.
4 - 1 Cairan yang sudah didinginkan dan bertekanan tinggi akan melewati peralatan ekspansi, dimana tekanan akan turun. Dengan kata lain: (1 - 2) + (2 - 3) harus sama dengan (3 - 4). Pada katup ekspansi ini tidak terjadi kehilangan ataupun perolehan panas.
3
Gambar 1: Siklus Kompresi Uap (sumber Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia – www.energyefficiencyasia.org. (2006))
2.2 Sistim Pendingin Absorption
Sistim refrigerasi penyerapan uap terdiri dari:
Absorber: Penyerapan uap refrigeran oleh absorben dan membentuk larutan refrigeran yang kuat atau kaya dalam absorben/ adsorben
Pompa: Memompa larutan refrigeran yang kuat (strong solution) dengan menaikan tekanannya ke tekanan kondenser
Generator: Destilasi uap dari larutan kaya menyisakan larutan lemah (weak solution) untuk pendaur ulangan (recycle).
Chiller absorpsi merupakan sebuah mesin, yang menghasilkan chilled water dengan menggunakan
panas dari uap, air panas, gas, minyak, dll. Chilled water diproduksi berdasarkan prinsip bahwa cairan (yakni refrigeran, yang menguap pada suhu rendah) menyerap panas dari sekitarnya saat menguap. Air murni digunakan sebagai refrigeran dan larutan lithium bromide digunakan sebagai absorben. Sistem mesin pendingin siklus absorpsi dengan lithium bromide memanfaatkan suhu gas buang diesel yang masih cukup tinggi sebagai bahan bakar dan air sebagai refrigerant dengan lithium bromide sebagai larutan absorben. Sistem terdiri dari flue gas high pressure (HP) generator, low pressure (LP) generator, condenser, evaporator and absorber, high pressure heat exchanger (HTHX), low pressure
4
Gambar 2: Siklus Absorption Chiller (sumber: ShuangLiang – Air Conditioning, Lithium Bromide Absorption Unit)
Adapun nama komponen dari absoprtion chiller dari Gambar 2 seperti di bawah ini:
1. Chilled water inlet temperature
2. Chilled water outlet temperature
3. Cooling water inlet temperature
4. Purging unit pressure
5. LP generator strong solution temperature
6. Condensing temperature
7. HP generator intermediate solution temperature
8. Evaporating temperature
9. Chilled water flow
10. Flue gas outlet temperature
11. Decrystalisation piping temperature
12. HP generator pressure
13. Strong solution spraying temperature
14. Solution level at HP
15. Flue gas inlet temperature
(I)Display, (C)Control, (A)Alarm
2.2.1 Evaporator
Air pendingin (chilled water) bersuhu 12 °C berasal dari beban ruangan yang dikondisikan masuk ke dalam pipa evaporator dan kemudian menguapkan refrigerant water. Chilled water mengalami penurunan suhu karena chilled water ini memberikan panas (transfer heat) untuk menguapkan
refrigerant water. Suhu chilled water turun menjadi 7 °C dan selanjutnya dipompakan ke ruang yang
akan dikondisikan. Refrigerant water yang menyerap panas akan berubah menjadi uap dam masuk ke dalam absorber.
5
2.2.2 AbsorberLarutan kuat (strong solution) lithium bromide memiliki kapasitas yang cukup tinggi untuk menyerap uap air jatuh menetes melalui pipa. Larutan ini menyerap refrigerant vapor dari evaporator dan menjadi larutan lemah (weak solution). Cooling water dari cooling tower dialirkan ke dalam pipa untuk mendinginkan larutan kuat. Larutan kuat yang mengalir di luar pipa ini akan terserap panasnya. Setelah menyerap uap air, larutan kuat ini menjadi encer dan kemudian masuk ke dalam ruang re-absorpsi (reabsorption chamber). Larutan ini juga memiliki suhu tinggi dengan konsentrasi rendah. Larutan ini kemudian dialirkan ke HP generator setelah melewati heat exchanger.
2.2.3 Flue Gas High Pressure Generator
Gas buang dari gas engine akan digunakan untuk memanaskan larutan lemah lithium bromide di dalam HP generator. Setelah dipanasi, konsentrasi dari larutan lemah ini akan menjadi larutan intermediate (intermediate solution) dan mengalir ke dalam low pressure generator melalui HT heat
exchanger. Larutan ini juga menghasilkan uap refrigeran suhu tinggi dan kemudian masuk ke dalam
low pressure generator.
2.2.4 Low Pressure Generator
Larutan intermediate lithium bromide mengalir dari HP generator mengalami penurunan suhu ketika ketika melewati LT heat exchanger. Larutan ini selanjutnya dipanasi oleh uap refrigeran dari HP generator. Karena mendapat panas, maka larutan intermediate ini akan menjadi larutan kuat. Selanjutnya larutan ini masuk ke absorber melalui LT heat exchanger menghasilkan aliran uap menuju ke condenser. Uap refrigeran yang mengalir dari HP generator menuju condenser mengalami penurunan suhu karena terjadi kondensasi ketika melepaskan panas ke larutan kuat ini.
2.2.5 Condenser
Air pendingin mengalir di dalam pipa mendinginkan uap di luar pipa. Refrigerant water yang dihasilkan masuk ke dalam flash chamber melalui pipa-U. Sebagian dari refrigerant water berubah membentuk uap dan mengalir ke dalam reabsorption chamber yang berada di bagian bawah dari
absorber. Pada bagian bawah ini sebagian dari refrigerant water mengalami pendinginan dan
kemudian masuk ke evaporator untuk memberikan pendinginan (cooling effect). 2.2.6 Low Temperature Heat Exchanger
Larutan kuat dari LP generator bertukar panas dengan larutan lemah dari absorber untuk menaikan suhu dari larutan lemah dan mengembalikan (recover) panas dari larutan kuat.
2.2.6 High Temperature Heat Exchanger
Larutan intermediate dari HP generator bertukar panas dengan larutan lemah dari LT heat exchanger
dengan menaikan suhu dari larutan lemah lebih lanjut. Heat exchanger mengurangi kebutuhan panas yang diperlukan oleh HP generator, pada saat bersamaan, terjadi penurunan kebutuhan cooling water. Performa dari heat exchanger menentukan kondisi operasi dari chiller/heaters.
6
Di dalam sistem trigeneration, Sumber panas dari generator bisa dikelompokan menjadi dua yaitu sumber panas dari gas buang dan sumber panas dari air pendingin mesin (engine water jacket). Di dalam sistem diesel dengan turbocharger, sumber panas yang dihasilkan sebagian besar dibuang dalam bentuk gas buang yang masih cukup tinggi suhunya. Jika jumlah gas buang yang dihasilkan engine diesel cukup, maka sewaktu kita menjalankan generator untuk menghasilkan listrik, di saat yang sama kita bisa mendapatkan efek pendinginan dari absorption chiller secara “gratis”. Sistem
absorption chiller hanya memerlukan listrik yang sedikit untuk menjalankan pompa.
Skema sumber panas dari generator diesel bisa dilihat seperti pada Gambar 3 di bawah ini:
Gambar 3: Skema Sistem Trigeneration
Lithium bromide absorption chiller memanfaatkan sumber panas yang diambil dari sisa gas buang diesel yang masih cukup tinggi (400 – 500°C). Skema kerja sistem ini bisa dilihat seperti pada Gambar 4. Bahan bakar yang dibakar di dalam motor bakar memberikan tenaga mekanik untuk menghasilkan listrik. Panas dari water jacket dan gas buang langsung dimasukan ke generator Li-Br
absorption chiller. Panas dari air pendingin generator bisa dialirkan ke dalam heat exchanger yang kemudian bisa digunakan untuk keperluan pemanasan domestik.
Gambar 4: Sistem Kerja Li-Br Absorption Chiller dengan Diesel Gas Engine (sumber: ShuangLiang
7
Gambar 5: Sistem Pemipaan Li-Br Absorption Chiller dengan Panas dari Gas Buang dan Water Jacket Gas Engine (sumber: ShuangLiang – Air
8
Skema aliran dari applikasi sistem Cogeneration untuk bangunan gedung bisa dilihat di Gambar 6
Gambar 6: Skema Flow Aliran Cogeneration (Sumber: Development of District Energy Supply
Business by Introducing Co-generation , MOEJ/GEC JCM Feasibility Study (FS) 2015).
3. PERUMUSAN MASALAH
Tingginya tarif listrik PLN dewasa ini mengharuskan setiap pembangunan kedepannya mengutamakan penghematan energi di segala bidang. Dalam hal ini masalah operasional tentu akan memberikan dampak porsi pemakaian energi yang cukup besar apabila sistem yang dibangun oleh gedung tidak direncanakan dengan benar dari awal. Desain yang tidak memperhatikan aspek
9
penghematan energi akan mengakibatkan operasional gedung menjadi sangat boros. Berikut grafik kenaikan tarif PLN dapat dilihat di Gambar 7.
Gambar 7: Trend Tarif PLN Tahun 2013 – 2015 (Sumber: Development of District Energy Supply
Business by Introducing Co-generation , MOEJ/GEC JCM Feasibility Study (FS) 2015)
4. METODOLOGI
Hubungan antara cooling capacity dan konsumsi gas buang bisa dilihat di Grafik 1 di bawah ini
Grafik 1: Cooling Capacity % versus Flue Gas Consumption % (sumber: ShuangLiang – Air
10
Kurva tersebut berlaku untuk kondisi:Chilled water outlet temperature 7 °C
Chilled water flow 100%
Cooling water temperature bervariasi terhadap beban
100% load 32 °C 80% load 30 °C 60% load 28 °C
40% load 26 °C
20% load 24 °C
Cooling water flow 100%
Scale coefficient 0.086 m2.K/kW
Tabel 1: Hubungan cooling capacity dan suhu gas buang (flue gas temperature)
T flue gas 460 °C T flue gas 490 °C T flue gas 520 °C T flue gas 550 °C Cooling Capacit y % Flue gas Consumptio n % Cooling Capacit y % Flue gas Consumptio n % Cooling Capacit y % Flue gas Consumptio n % Cooling Capacit y % Flue gas Consumptio n % 10 20 20 26 20 22 30 36 30 29 30 22 40 46 40 38 40 30 40 23 50 57 50 47 50 40 50 20 60 68 60 56 60 48 60 40 70 80 70 70 70 58 70 50 80 96 80 80 80 70 80 60 90 97 90 84 90 73 100 100 100 85
Dengan least square method dengan program VBA di Microsoft Excel, diperoleh persamaan polinomial untuk hubungan antara:
Persentase cooling capacity dengan persentase konsumsi gas buang pada suhu 460 °C sebagai berikut:
11
Persentase cooling capacity dengan persentase konsumsi gas buang pada suhu 490 °C sebagai berikut:
CC = 5.38 FG3 + 0.8767 FG2 - 0.00428 FG + 6.56 x 10-5 [2]
Persentase cooling capacity dengan persentase konsumsi gas buang pada suhu 520 °C sebagai berikut:
CC = -10.095 FG3 + 1.322 FG2 - 0.01123 FG + 9.09 x 10-5 [3]
Persentase cooling capacity dengan persentase konsumsi gas buang pada suhu 550 °C sebagai berikut:
12
Hubungan antara cooling capacity dengan kapasitas aliran cooling water:
Grafik 2: Cooling Capacity % versus Cooling Water Flow % (sumber: ShuangLiang – Air
Conditioning, Lithium Bromide Absorption Unit)
Kurva tersebut berlaku untuk kondisi:
Chilled water outlet temperature 7 °C
Chilled water flow 100%
Cooling water inlet temperature 32 °C
Scale coefficient 0.086 m2.K/kW
Dari grafik di atas hubungan antara cooling capacity chiller dengan cooling tower bisa dirumuskan dengan persamaan linear sederhana.
13
Sebuah analisa untuk perbandingan ekonomi antara vapor absorption refrigeration chiller dengan
vapor compression conventional chiller dilakukan oleh V. Marugawel et. al (2010) dengan
membandingkan kapasitas pendingin sebesar 375 TR untuk kedua jenis chiller ini. Absorption chiller
mendapat panas dari gas buang diesel dengan kapasitas listrik sebesar 1.9 MW. Absorption chiller ini memiliki COP 1.15 dengan membuang panas ke cooling tower berkapasitas 2395 kW. Waktu operasional kedua chiller diberi batasan 8760 jam. Chiller konvensional menggunakan water cooled
scroll compressor chiller. Skema sistem kogenerasi bisa dilihat di Gambar 8 seperti di bawah ini.
14
Biaya investasi pembelian mesin chiller dan konstruksi diperoleh seperti pada Tabel 2. Perbandingan konsumsi daya listrik bisa dilihat di Tabel 3 seperti yang disampaikan oleh V. Marugawel.
Tabel 2: Initial Cost untuk vapor absorption dan vapor compression chiller[5]
Initial Cost (USD)
Vapor Absorption Vapor Compression Unit Chiller 278478 112041 Cooling Tower 22826 19565
Cooling Water Pump 5435 4348
Chilled Water Pump 3913 3913
LT Hot Water Pump 1848
HT Hot Water Pump 1848
Total Initial Cost 314348 139868
Tabel 3: Kebutuhan Listrik untuk vapor absorption dan vapor compression chiller[5]
Power Data (kW) Vapor Absorption Vapor Compression Refrigerant Pump 1,5 Solution Pump 7 Compressor Power 335,5
Cooling Water Pump 37 30
Chilled Water Pump 37 37
LT Hot Water Pump 5
HT Hot Water Pump 5
Cooling Tower Fan 15 10
15
Untuk perbandingan annual operational cost bisa dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3: Biaya Operasional Tahunan untuk vapor absorption dan vapor compression chiller[5]
Operating Cost (USD) Vapor
Absorption
Vapor Compression
Refrigerant Pump
Total Use (kWh/tahun) 13140
Annual Cost (USD) 1428
Solution Pump
Total Use (kWh/tahun) 61320
Annual Cost (USD) 6665
Compressor Power
Total Use (kWh/tahun) 2938950
Annual Cost (USD) 383345
Cooling Water Pump
Total Use (kWh/tahun) 324120 262800
Annual Cost (USD) 35230 34278
Chilled Water Pump
Total Use (kWh/tahun) 324120 324120
Annual Cost (USD) 35230 42277
LT Hot Water Pump
Total Use (kWh/tahun) 43800
Annual Cost (USD) 4761
HT Hot Water Pump
Total Use (kWh/tahun) 43800
Annual Cost (USD) 4761
Cooling Tower Fan
Total Use (kWh/tahun) 131400 87600
Annual Cost (USD) 14283 11426
Total Annual Operating Cost (USD) 102359 471326
5. KESIMPULAN
Perbedaan biaya operasional tahunan antara absorption chiller dengan scroll compressor water cooled
chiller adalah sebesar USD 368,967 dikarenakan konsumsi listrik untuk absorption chiller jauh lebih
kecil. Namun demikian biaya investasi untuk absorption chiller adalah lebih mahal dari chiller
konvensional dengan selisih sekitar USD 174.480.
Batasan dari studi ini hanya membandingkan kelebihan investasi dengan menggunakan absorption chiller dengan penhematan biaya listrik dan operasional yang bisa diperoleh dibandingkan dengan conventional scroll water cooled chiller. Dengan kelebihan investasi sebesar USD 368,967 dan penghematan biays operasional selama USD 174.480 per tahun, maka break even point (BEP) bisa dicapai dalam waktu kurang dari tiga tahun.
16
REFERENSI DAN DAFTAR PUSTAKA1. American Society Heating Refrigeration and Air Conditioning. ASHRAE Hand Book. 2001 2. Arora, C.P. Refrigeration and Air Conditioning. Second edition. Tata McGraw-Hill
Publishing Company Ltd. 2000.
3. Bureau of Energy Efficiency, Ministry of Power, India. HVAC and Refrigeration Systems. In Energy Efficiency in Electrical Utilities, chapter 4. 2004
4. US Department of Energy, Energy Efficiency and Renewable Energy. www.eere.energy.gov 5. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia – www.energyefficiencyasia.org. (2006). 6. ShuangLiang – Air Conditioning, Lithium Bromide Absorption Unit, Technical Brochure
2010.
7. Life Cycle Cost Analysis Of Waste Heat Operated Absorption Cooling Systems For Building Hvac Applications, V. Murugavel And R. Saravanan, Proceedings Of The Tenth International Conference Enhanced Building Operations, Kuwait, October 26-28, 2010