• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN GEDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN GEDUNG"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAW Menimbang : a. b. Mengingat : 1. 2. 3

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAW NOMOR 9 TAHUN 2014

TENTANG

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT,

a. bahwa bangunan gedung harus diselenggarakan secara

tertib, diwujudkan sesuai dengan fungsinya,

dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis

bangunan gedung agar dapat menjamin keamanan dan keselamatan penghuni dan lingkungannya

pengendalian pemanfaatan ruang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk

Bangunan Gedung.

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Peneta Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820);

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang

Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT TAHUN 2014

TENTANG

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT,

bangunan gedung harus diselenggarakan secara

wujudkan sesuai dengan fungsinya, dan

dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis

bangunan gedung agar dapat menjamin keamanan dan keselamatan penghuni dan lingkungannya serta untuk emanfaatan ruang sesuai Rencana Tata

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud membentuk Peraturan Daerah tentang

Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820);

Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik

Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik

SALINAN

bangunan gedung harus diselenggarakan secara dan

dipenuhinya persyaratan administratif dan teknis

bangunan gedung agar dapat menjamin keamanan dan serta untuk emanfaatan ruang sesuai Rencana Tata

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud tentang

pan Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara

Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik

Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik

(2)

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3955);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Jasa Konsruksi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pembinaan dan Peran Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3957);

11. Peraturan Pemerintah Tahun Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3957);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

(3)

14. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;

16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan;

17. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi;

18. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;

19. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan;

20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung;

21. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan Gedung;

22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung;

23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

25/PRT/M/2008 tentang Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran;

24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem

Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan;

25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten;

26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan;

(4)

27. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum;

28. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

16/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung;

29. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

17/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pendataan Bangunan Gedung;

30. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

18/PRT/M/2010 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan; 31. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010

tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan; 32. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32);

33. Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat (Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2008 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 3).

Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT dan

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Kabupaten Kotawaringin Barat;

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta perangkat daerah sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten Kotawaringin Barat;

(5)

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat;

5. Dinas Pekerjaan Umum, yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas

Pekerjaan Umum Kabupaten Kotawaringin Barat;

6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Kotawaringin Barat;

7. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang

menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau diatas permukaan air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus;

8. Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan

gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknis;

9. Mendirikan Bangunan ialah pekerjaan mengadakan bangunan

seluruhnya atau sebagian baik membangun baru maupun menambah, merubah, merehabilitasi dan/atau memperbaiki bangunan yang ada, termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan tersebut;

10. Merobohkan Bangunan ialah pekerjaan meniadakan sebagian atau

seluruh bagian bangunan ditinjau dari segi fungsi bangunan dan/atau konstruksi;

11. Bangunan Permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi

dan umur bangunan dinyatakan lebih dari 15 (lima belas) tahun;

12. Bangunan Semi Permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi

konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun;

13. Bangunan Sementara/Darurat adalah bangunan yang ditinjau dari segi

konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima ) tahun;

14. Bangunan Gedung Tertentu adalah bangunan gedung yang digunakan

untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang

dalam pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan

pengelolaan khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap masyarakat dan lingkungannya;

15. Bangunan Gedung Untuk Kepentingan Umum adalah bangunan gedung

yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha maupun sosial dan budaya;

16. Bangunan Fungsi Khusus adalah bangunan gedung yang fungsinya

mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional, atau

yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di

(6)

17. Rencana Kota adalah rencana yang disusun dalam rangka penyusunan pemanfaatan ruang kota terdiri dari Rencana Induk Kota selanjutnya disingkat RIK atau Rencana Umum Tata Ruang Kota selanjutnya disingkat RUTRK, Rencana Bagian Wilayah Kota selanjutnya disingkat RBWK atau Rencana Detail Tata Kota selanjutnya disingkat RDTK dan Rencana Tata Kota selanjutnya disingkat RTK atau Rencana Teknik Ruang Kota selanjutnya disingkat RTRK;

18. Keterangan Rencana Kabupaten adalah informasi tentang persyaratan

tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten pada lokasi tertentu;

19. Rencana Tata Ruang Wilayah, yang selanjutnya disingkat RTRW

kabupaten adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah kabupaten yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

20. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan selanjutnya disingkat

RDTRKP adalah penjabaran dari RTRW kabupaten ke dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan;

21. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan selanjutnya disingkat RTBL

adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,

ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian

pelaksanaan;

22. Lingkungan Bangunan Gedung adalah lingkungan di sekitar bangunan

gedung yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan bangunan gedung dari segi sosial, budaya maupun dari segi ekosistem;

23. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih

lanjut dari Peraturan Pemerintah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung;

24. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata

cara, standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun Standar Internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung;

25. Standart Nasional Indonesia selanjutnya disingkat SNI adalah acuan

normatif yang menetapkan indeks bahan dan indeks tenaga kerja untuk dijadikan acuan dasar yang seragam bagi para pelaksana pekerjaan pembangunan gedung;

26. Perencanaan Teknis adalah proses membuat gambar teknis bangunan

gedung dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas : rencana arsitektur, rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana tata ruang dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku;

(7)

27. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan dan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses

pembangunan, pemanfaatan, pelestarian maupun pembongkaran

bangunan gedung;

28. Penyedia Jasa Konstruksi Bangunan Gedung adalah orang perorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi, pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkajian teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya;

29. Izin Mendirikan Bangunan selanjutnya disingkat IMB adalah izin tertulis yang diberikan dalam mendirikan/mengubah bangunan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk;

30. Pemegang Izin adalah pemegang IMB baik perorangan, badan hukum, badan-badan usaha pemerintah/swasta serta badan-badan sosial lainnya yang namanya dicantumkan dalam surat IMB;

31. Hak Atas Tanah adalah hak seseorang atas tanah baik berupa hak milik dan hak-hak lainnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

32. Koefisien Dasar Bangunan selanjutnya disingkat KDB adalah bilangan pokok atas perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas kavling/pekarangan;

33. Koefisien Lantai Bangunan selanjutnya disingkat KLB adalah bilangan pokok atas perbandingan antara total luas lantai bangunan dengan luas kavling/pekarangan;

34. Koefisien Daerah Hijau selanjutnya disebut KDH adalah bilangan pokok atas perbandingan luas daerah hijau dengan luas kavling/pekarangan; 35. Koefisien Tapak Basement selanjutnya disebut KTB adalah angka

presentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas lahan/tanah, perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan;

36. Garis Sempadan adalah garis pada halaman pekarangan perumahan yang ditarik sejajar dengan garis as jalan, tepi sungai, atau as pagar dan merupakan batas antara bagian kavling/pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh didirikan bangunan;

37. Garis Sempadan Bangunan selanjutnya disingkat GSB adalah garis pada halaman pekarangan perumahan yang ditarik sejajar dengan garis as jalan dan merupakan batas antara bagian kavling/pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh didirikan bangunan;

38. Garis Sempadan Sungai selanjutnya disingkat GSS adalah garis pada halaman pekarangan rumah yang ditarik sejajar dengan garis as sungai dan merupakan batas antara bagian kavling/pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh didirikan bangunan;

(8)

39. Garis Sempadan Jalan selanjutnya disingkat GSJ adalah garis pada pagar luar rumah yang ditarik sejajar dengan garis as jalan dan merupakan batas bagian kavling/pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh didirikan bangunan;

40. Ruang Terbuka Hijau selanjutnya disingkat RTH adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan

maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam

penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan;

41. Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dari atas permukaan tanah, dimana bangunan tersebut didirikan sampai dengan titik puncak dari bangunan;

42. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan

pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien;

43. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian daerah dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi;

44. Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi;

45. Kavling/Pekarangan adalah suatu perpetakan tanah yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan;

46. Tim Ahli Bangunan Gedung selanjutnya disingkat TABG adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga

untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah

penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang anggotanya ditunjuk berdasarkan kasus per kasus yang disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut;

47. Laik Fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan;

48. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung. Penyedia jasa konstruksi bangunan gedung dan pengguna bangunan gedung;

49. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung;

(9)

50. Pengguna Bangunan Gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan;

51. Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung;

52. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta sarana dan prasarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi;

53. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi;

54. Pemugaran adalah Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan melalui kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya;

55. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan

bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki;

56. Pembongkaran adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan

oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan karena bangunan tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pemanfaatannya menimbulkan bahaya bagi pengguna, masyarakat dan lingkungan dan bangunan gedung yang tidak memiliki IMB;

57. Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah

berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung;

58. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung;

59. Dengar Pendapat Publik adalah forum dialog yang diadakan untuk mendengarkan dan menampung aspirasi masyarakat baik berupa pendapat, pertimbangan maupun usulan dari masyarakat umum atau instansi/lembaga pemerintah sebagai masukan untuk menetapkan kebijakan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung; 60. Penyidik Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disingkat PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah;

(10)

61. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik sehingga dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum;

62. Analisa Dampak Lingkungan selanjutnya disingkat AMDAL adalah analisa dari hasil studi mengenai dampak penting usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem.

BAB II

KLASIFIKASI BANGUNAN Pasal 2

(1)Menurut fungsinya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut :

a. bangunan rumah tinggal dan sejenis;

b. bangunan kelembagaan/kantor;

c. bangunan fasilitas umum;

d. bangunan pendidikan;

e. bangunan perdagangan & jasa;

f. bangunan industri;

g. bangunan sosial;

h. bangunan khusus;

i. bangunan rumah terapung dan panggung.

(2)Menurut umurnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut :

a. bangunan permanen; b. bangunan semi permanen; c. bangunan sementara/darurat;

(3)Menurut wilayahnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut :

a. bangunan di kota klasifikasi I;

b. bangunan di kota klasifikasi II;

c. bangunan di kota klasifikasi III;

d. bangunan di kawasan khusus/tertentu,

e. bangunan di pedesaan.

(4)Menurut lokasinya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. bangunan di tepi jalan arteri primer;

b. bangunan di tepi jalan arteri sekunder;

c. bangunan di tepi jalan kolektor primer;

d. bangunan di tepi jalan kolektor sekunder;

e. bangunan di tepi jalan lokal primer;

f. bangunan di tepi jalan lokal sekunder.

(5)Menurut luasnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. bangunan dengan luas kurang dari 100 m²; b. bangunan dengan luas 100 – 500 m²;

c. bangunan dengan luas 500 – 1000 m²; d. bangunan dengan luas di atas 1000 m²

(11)

(6) Menurut ketinggiannya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut : a. bangunan bertingkat rendah (satu s/d dua lantai)

b. bangunan bertingkat sedang (tiga s/d lima lantai) c. bangunan bertingkat tinggi (enam lantai keatas)

(7)Menurut statusnya, bangunan diklasifikasikan sebagai berikut :

a. bangunan pemerintah b. bangunan swasta BAB III FUNGSI BANGUNAN Pasal 3

(1) Fungsi bangunan gedung, digolongkan dalam : a. fungsi hunian;

b. fungsi keagamaan; c. fungsi usaha;

d. fungsi kantor pemerintah; e. fungsi sosial budaya; f. fungsi khusus.

(2) Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.

(3)Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi Masjid, Gereja, Pura,

Wihara, Kelenteng dan Balai Adat.

(4) Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan penyimpanan serta bangunan sarang burung walet.

(5)Bangunan gedung fungsi sosial budaya meliputi bangunan gedung untuk

pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium dan pelayanan umum.

(6) Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh Menteri.

Pasal 4

(1)Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.

(2) Fungsi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW.

(3)Fungsi bangunan gedung ditetapkan oleh Bupati dan dicantumkan

(12)

(4) Perubahan fungsi bangunan gedung harus mendapatkan persetujuan Bupati.

(5)Perubahan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) ditetapkan oleh Bupati.

BAB IV

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Umum Pasal 5

(1)Setiap bangunan gedung harus dibangun, dimanfaatkan, dilestarikan,

dan/atau dibongkar sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk pedoman dan standar teknisnya.

(2)Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi agar

bangunan dapat dimanfaatkan sesuai fungsi yang ditetapkan.

(3)Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan teknis, baik

persyaratan tata bangunan gedung laik fungsi dan laik huni, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

(4)Pemenuhan persyaratan teknis disesuaikan dengan fungsi, klasifikasidan

tingkat permanensi bangunan gedung. Bagian Kedua Persyaratan Administrasi

Pasal 6

(1)Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi,

meliputi :

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak

atas tanah, termasuk status hak penggunanan ruang diatas atau dibawah tanah/ air;

b. status kepemilikan bangunan gedung;

c. Izin mendirikan bangunan gedung;

d. sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau

bagian bangunan gedung.

(3) Pemerintah Daerah melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib penataan pembangunan dan pemanfaatan.

(13)

Pasal 7

(1)Status hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)

huruf a adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pengelolaan, dan hak pakai, atau status hak atas tanah lainnya yang berupa girik, pethuk, akta jual beli, dan akta/bukti kepemilikan lainnya.

(2) Izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan gedung.

(3)Status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam

pasal 6 ayat (1) hurufb merupakan surat keterangan bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan Pemerintah Daerah berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung.

(4)Pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

termasuk pendaftaran bangunan, dilakukan pada saat proses perizinan mendirikan bangunan gedung dan secara periodik, yang dimaksudkan untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung, memberikan kepastian hukum tentang status kepemilikan bangunan gedung dan sistem informasi.

(5)Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana dimaksudkan dalam pasal

6 ayat (1) huruf c adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 8

(1)Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperlukan untuk mengendalikan

pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung dengan tujuan terjaminnya keselamatan penghuni dan lingkungan serta tertib bangunan.

(2) Orang dan/ atau Badan/Lembaga sebelum mendirikan bangunan gedung wajib diwajibkan mengajukan permohonan kepada Bupati untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Bagian Ketiga

Persyaratan Tata Bangunan Paragraf 1

Peruntukan dan Intensitas Bangunan Pasal 9

(1)Pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai dengan

(14)

a. rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten;

b. rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten;

c. rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk lokasi yang

bersangkutan.

(2)Pembangunan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

peruntukan utama, sedangkan apabila pada bangunan tersebut terdapat peruntukan penunjang maka harus dikonsultasikan ke Dinas Pekerjaan Umum.

(3)Setiap pihak yang memerlukan informasi tentang peruntukan lokasi atau

ketentuan tata bangunan dan lingkungan lainnya, dapat memperolehnya secara cuma-cuma pada Dinas Pekerjaan Umum.

(4)Untuk pembangunan di atas jalan umum, saluran, atau sarana lain,

atau yang melintas sarana dan prasarana jaringan kota, atau di bawah/di atas air, atau pada darah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, harus mendapat persetujuan khusus dari Bupati.

Pasal 10

(1)Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan harus

memenuhi ketentuan bangunan yang diatur dalam koefisien dasar bangunan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan;

(2)Koefisien Dasar Bangunan (KDB) ditentukan atas dasar kepentingan

pelestarian lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan;

(3) Ketentuan besarnya KDB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Kota atau yang diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(4)Setiap bangunan untuk tingkat kepadatannya sedang hanya

diperkenankan sebanyak-banyaknya 60% dari luas dari lahan persil sisanya untuk penghijauan;

(5) Bangunan-bangunan kecuali flat (apartemen atau rumah susun), yang didirikan di lingkungan bangunan pertokoan atau perdagangan, luas dengan bangunan yang diperkenankan sebanyak-banyaknya 70% dari luas persil;

(6)Untuk bangunan pertokoan atau perdagangan koefisien lantai bangunan

(KLB) boleh sampai dengan 100 %, seluruh permukaan luas persil dapat digunakan untuk denah bangunan jika cukup tersedia cahaya alam dan penghawaan yang baik secara alam maupun mekanis;

(7)Bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal, harus

mempunyai ruang terbuka yang langsung berhubungan dengan udara luar dan tidak beratap;

(15)

(8) Bangunan-bangunan umum harus dikelilingi ruang terbuka untuk jalan keluar pintu-pintu darurat, untuk kepentingan kesehatan dan keselamatan umum, mempunyai halaman parkir dan taman serta akses yang jelas;

(9)Untuk bangunan-bangunan seperti tersebut di atas, Bupati selanjutnya

menetapkan luas denah bangunannya;

(10) Pertimbangan-pertimbangan lain harus berdasarkan faktor-faktor

kesehatan, keamanan dan keselamatan umum. Pasal 11

(1)Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ditentukan atas dasar kepentingan

pelestarian lingkungan/resapan air permukaan anah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran; kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum;

(2)Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata

Ruang Kota atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

(1) Koefisien Daerah Hijau (KDH) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan tanah;

(2)Ketentuan besarnya KDH pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana

Tata Ruang Kota atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;

(3) Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain, ditentukan KDH minimum 30%.

Pasal 13

(1)Ketinggian bangunan ditentukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang;

(2) Untuk masing-masing lokasi yang belum dibuat tata ruangnya, ketinggian maksimum bangunan ditetapkan oleh Bupati atau pejabat yang didelegasikan dengan mempertimbangkan lebar jalan, fungsi

bangunan, keselamatan bangunan, serta keserasian dengan

lingkungannya;

(3)Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan selebihnya

harus berjarak dengan tetangga;

(4) Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 meter di atas permukaan tanah pekarangan dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat atau berfungsi sebagai batas sebagai batas pandangan, maka tinggi tembok maksimal 7 meter dari permukaan pekarangan;

(16)

(5) Tinggi pagar pada GSJ dan antara GSJ dengan GSB pada bangunan pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,5 meter di atas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk bangunan industri maksimal 2 meter di atas permukaan tanah pekarangan;

(6)Pagar pada GSJ sebagaimana pada ayat 5 pasar ini, harus tembus

pandang maksimal setinggi 1 meter di atas permukaan tanah pekarangan;

(7) Untuk bangunan-bangunan tertentu ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 14

(1)Garis sempadan pondasi bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan

(rencana jalan) tepi/sungai/tepi pantai ditentukan berdasarkan lebar jalan, rencana jalan/lebar sungai/kondisi pantai, fungsi jalan dan peruntukan kavling/kawasan;

(2)Letak garis sempadan pondasi bangunan terluar tersebut ayat (1) dan

ditentukan sebagai berikut :

a. sepanjang jalan arteri primer adalah 34 meter dihitung dari garis

pagar depan/batas tanah,

b. sepanjang jalan arteri sekunder adalah 28 meter kecuali jalan

pembangunan (REY II) adalah 40 meter dihitung dari garis pagar depan/batas tanah,

c. sepanjang jalan kolektor primer adalah 24 meter kecuali Jalan Pemda

adalah 27 meter dihitung dari garis pagar depan/batas tanah;

d. sepanjang jalan kolektor sekunder adalah 15 meter dihitung dari garis

pagar depan/batas tanah;

e. sepanjang jalan lokal primer adalah 5,50 meter dihitung dari garis

pagar depan/batas tanah;

f. sepanjang jalan lokal sekunder adalah 4,5 meter dihitung dari garis

pagar depan/batas tanah.

(3)Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun dibawah permukaan

tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak diperbolehkan melewati batas pekarangan;

(4) Untuk lebar jalan/sungai yang kurang dari 5 meter, letak garis sempadan adalah 2,5 meter dihitung dari tepi jalan/pagar;

(5)Letak garis sempadan pondasi bangunan terluar pada bagian samping

yang berbatasan dengan tetangga bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 2 meter dari batas kavling, atau atas dasar kesepakatan dengan tetangga yang saling berbatasan;

(6) Garis terluar suatu ritis/oversteck yang menghadap ke arah tetangga, tidak dibenarkan melewati batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga;

(7)Apabila garis sempadan bangunan ditetapkan berimpit dengan garis

sepadan pagar, cucuran atap suatu tritis/overstack harus diberi talang dan pipa talang harus disalurkan sampai ke tanah;

(17)

(8) Dilarang menempatkan lubang angin/ventilasi/jendela pada dinding yang berbatasan langsung dengan tetangga.

Pasal 15

(1)Kriteria yang digunakan sebagai dasar penetapan garis sempadan

sungai, yaitu:

a. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan

b. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan

c. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan

d. sungai tidak bertanggun di dalam kawasan perkotaan

(2)Garis sempadan sungai pada sungai bertanggul di luar kawasan

perkotaan, ditetapkan sekurang-kurangnya 5 meter disebelah luar sepanjang kaki tanggul;

(3) Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar kaki tanggul;

(4)Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan,

ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;

(5) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di kawasan perkotaan, sebagai berikut:

a. sungai mempunyai kedalaman sampai dengan 3 meter, ditetapkan

sekurang-kurangnya 10 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

b. sungai yang mempunyai kedalaman diantara 3 meter sampai dengan

20 meter, ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

c. sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 meter, ditetapkan

sekurang-kurangnya 30 meter yang dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

(6) Dikecualikan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatas adalah bangunan sudah lama dan atau bangunan bersejarah yang dianggap sebagai daerah tradisional dan merupakan kearifan lokal, penetapan lokasinya ditentukan oleh dinas instansi teknis.

Pasal 16

(1)Pada cara membangun renggang, sisi bangunan yang didirikan harus

mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri, kanan dan bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini;

(2) Pada cara membangun rapat maka tidak berlaku ketentuan pada ayat (1) kecuali jarak batas bagian belakang.

(18)

Pasal 17

Pada bangunan renggang, jarak bebas samping maupun jarak bebas belakang ditetapkan 4 meter pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai, jarak bebas di atas ditambah 0,5 meter dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 meter, kecuali bangunan rumah tinggal.

Pasal 18

Pada bangunan rapat dari lantai 1 hingga lantai 4, samping kiri dan kanan tidak ada jarak bebas, sedangkan untuk lantai selanjutnya harus mempunyai jarak bebas sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 17.

Pasal 19

(1)Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan perpetakan yang sudah

teratur, pada denah dasar dan tingkat ditentukan:

a. jarak bebas samping kiri dan kanan minimal:

1. rumah ladang atau pedusunan, 8 meter sepanjang sisi samping

pekarangan untuk bangunan induk dan untuk bangunan turutan 2 meter sepanjang sisi samping pekarangan.

2. rumah kebun, 5 meter sepanjang sisi samping pekarangan.

3. rumah besar, lebar dari batas pekarangan samping 2 meter atau

sama dengan jarak antara GSB dan GSJ.

4. rumah sedang, lebar dari batas pekarangan samping 2 meter atau

sama dengan jarak antara GSB dan GSJ.

5. rumah kecil, lebar dari batas pekarangan samping 1,5 meter atau

sama dengan jarak antara GSB dan GSJ.

b. jarak bebas belakang minimal :

1. rumah ladang atau pedusunan 10 meter sepanjang sisi belakang

pekarangan dan untuk bangunan turutan 2 meter sepanjang sisi belakang pekarangan.

2. rumah kebun, 6 meter sepanjang sisi belakang pekarangan.

3. rumah besar, 5 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan

bagian belakang.

4. rumah sedang, 4 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan

bagian belakang.

5. rumah kecil, 3 meter sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan

bagian belakang.

(2)Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan bentuk perpetakan yang

tidak teratur atau perpetakannya belum diatur, maka jarak bebas bangunan ditetapkan oleh Bupati;

(3) Untuk pekarangan yang belum memenuhi perpetakan rencana kota, maka jarak bebas bagunan disesuaikan dengan ketentuan pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

(19)

Pasal 20

(1)Pada bangunan rumah tinggal renggang salah satu samping bangunan

diperkenankan dibangun rapat untuk penggunaan garasi, dengan tetap memperhatikan keserasian lingkungan;

(2)Untuk pencahayaan dan penghawaan pada bagian ruang garasi

diharuskan ada ruang terbuka dengan minimal 4 m’. Pasal 21

(1)Pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping

sedangkan jarak bebas belakang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf b.5 Peraturan Daerah ini.

(2) Panjang bangunan rapat maksimal 60 meter baik untuk rumah tinggal sebagaimana dimaksud ayat (1), maupun bangunan bukan rumah tinggal.

Pasal 22

Pada bangunan rapat setiap kelipatan maksimal 15 meter kearah dalam, harus disediakan ruang terbuka untuk penghawaan dan pencahayaan alami dengan luar sekurang-kurangnya 6 m², dan tetap memenuhi KDB yang berlaku.

Pasal 23

(1)Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi tampak maksimal 6

meter ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi samping kiri dan kanan pekarangan minimal 3 meter serta jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal 5 meter dengan memperhatikan KDB dan KLB yang ditetapkan dalam rencana kota.

(2)Tinggi tampak bangunan industri dan gudang yang lebih dari 6 meter

ditetapkan jarak bebasnya sesuai pasal 18. Pasal 24

Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tampak diatur sebagai berikut :

a. dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling

berhadapan maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal 2 kali jarak bebas yang ditetapkan,

b. dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding

tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak anatara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan,

c. dalam hal ini kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling

berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.

(20)

Pasal 25

Dalam hal jarak antara GSB dan GSJ kurang dari jarak bebas yang ditetapkan, maka jarak bidang tampak terluar dengan GSJ pada lantai kelima atau minimal sama dengan jarak bebas yang ditetapkan.

Pasal 26

(1) Pada dinding terluar lantai dua atau lebih tidak boleh dibuat jendela kecuali bangunan tersebut mempunyai jarak bebas sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.

(2)Dalam hal dinding terluar bangunan rumah tinggal tidak memenuhi

jarak bebas yang ditetapkan, dibolehkan membuat bukaan penghawaan atau pencahayaan pada ketinggian 1,6 meter dari permukaan lantai bersangkutan atau bukaan penuh apabila dinding-dinding batas perkarangan yang berhadapan dengan bukaan tersebut dibuat setinggi minimal 1,6 meter di atas permukaan lantai tingkat dan melebihi 7 meter dari permukaan tanah perkarangan.

(3)Pada dinding batas perkarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam

bentuk apapun.

Pasal 27

(1)Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan,

menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-bahan lain yang bersifat mudah meledak dapat diberikan izin apabila :

a. jarak minimal 50 meter dari jalan umum dan bangunan lain

sekitarnya;

b. lokasi bangunan seluruhnya dikelilingi pagar pengaman yang kokoh

dengan tinggi minimal 2,5 meter, ruang terbuka dan pintu depan harus ditutup dengan pintu yang kuat dengan diberi papan peringatan;

c. bangunan yang didirikan tersebut di atas harus terletak pada jarak

minimal 10 meter dari bangunan lainnya;

d. bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke

daerah yang aman.

(2) Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan radioaktif, racun, mudah terbakar atau bahan-bahan lain yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan, keselamatan serta kesehatan penghuni dan lingkungannya.

Pasal 28 Pada cara membangun rapat :

a. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas perkarangan,

b. struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak

sekurang-kurangnya 10 cm dari atas perkarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal,

c. perbaikan atau perombakan yang semula menggunakan bangunan

dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri di samping dinding batas terdahulu.

(21)

Pasal 29

(1)Setiap bangunan bukan rumah tangga diwajibkan menyediakan tempat

parkir kendaraan sesuai dengan jumlah kebutuhan.

(2)Penyediaan parkir di pekarangan tidak boleh mengurangi daerah

penghijauan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.

(3) Standar jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 30

(1)Pintu pagar perkarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi

GSJ.

(2) Letak pintu pekarangan untuk kendaraan bermotor roda empat pada persil sudut minimal 8 meter untuk bangunan rumah tinggal dan 20 meter untuk bangunan bukan rumah tinggal dihitung dari titik belok tikungan.

(3)Bagi persil kecil yang memenuhi ketentuan pada ayat (2) maka letak

pintu pagar kendaraan bermotor roda empat adalah pada salah satu ujung batas pekarangan.

Paragraf 2

Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 31

(1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi : a. persyaratan penampilan bangunan gedung; b. persyaratan tata ruang dalam bangunan;

c. persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan

gedung dengan lingkungannya serta pertimbangan adanya

keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.

(2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur ciri khas Provinsi Kalimantan Tengah dalam bentuk atap atau lisplank, teras, pagar, dan gapura serta menampilkan motif seni dan budaya Kabupaten Kotawaringin Barat.

(3)Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b harus memperhatikan fungsi ruang arsitektur bangunan gedung dan kehandalan bangunan gedung.

(4)Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan

gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

(22)

Pasal 32

(1)Bangunan tempat tinggal minimal memiliki ruang-ruang fungsi utama

yang terdiri dari ruang penggunaan pribadi, ruang bersama dan ruang pelayanan.

(2)Ruang penunjang dapat ditambahkan, dengan tujuan memenuhi

kebutuhan kegiatan penghuni sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama hunian.

Pasal 33

(1)Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian

bangunan dapat diizinkan, apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya.

(2)Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan,

perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan

berubahnya fungsi dan atau penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan keluar (akses).

Pasal 34

(1)Suatu bangunan gudang minimal harus dilengkapi dengan kamar mandi

dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan.

(2)Suatu bangunan pabrik minimal harus dilengkapi dengan fasilitas kamar

mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan dan tempat penyimpanan barang, tempat ibadah, kantin, ruang istirahat serta ruang pelayanan kesehatan secara memadai.

(3)Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) untuk pria dan wanita harus terpisah.

(4)Jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada

setiap jenis penggunaan sesuai kebutuhan dan fungsinya bangunan ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 35

(1)Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak

menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan serta lingkungan. (2) Ruang rongga atap untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan,

akses dan pencahayaan alami yang memadai.

(3)Ruang rongga atap dilarang digunakan sebagai dapur atau kegiatan lain

(23)

Pasal 36

(1)Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih 50% dari

luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan.

(2)Setiap bukaan pada ruang atap tidak boleh mengubah sifat dan karakter

arsitektur bangunannya.

Pasal 37

(1)Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap dan/atau gas,

harus disediakan lubang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya kecuali menggunakan alat bantu mekanis;

(2) Cerobong adap dan/atau gas sebagimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan tentang standar pencegahan kebakaran.

Pasal 38

(1)Setiap bangunan tidak diperbolehkan menghalangi pandangan lalu

lintas;

(2) Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak diperbolehkan mengganggu atau menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan umum, keseimbangan/pelestarian lingkungan dam kesehatan linkungan;

(3)Setiap bangunan langsung/tidak langsung tidak diperbolehkan

dibangun/berada di atas sungai/saluran/selokan/parit pengairan. Paragraf 3

Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan Pasal 39

(1)Setiap bangunan yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang

mengganggu harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

(2) Setiap bangunan yang menghasilkan limbah atau buangan lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran harus dilengkapi dengan sarana pengolah limbah sebelum dibuang ke saluran umum.

(3)Setiap pemohon yang akan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

yang mempunyai jenis usaha atau kegiatan bangunan arealnya sama atau lebih besar dari 5 (lima) hektar diwajibkan untuk melengkapi persyaratan, yaitu Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sesuai dengan sedang Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(4)Untuk kawasan industri, perhotelan, perumahan real estate, pariwisata,

gedung bertingkat yang mempunyai ketinggian 60 meter atau lebih, pelabuhan, diwajibkan melengkapi persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

(24)

(5) Pelaksanaan dan pengawasan terhadap Analisa Mengenai Dampak Lingkungan ditangani oleh Instansi Terkait sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(6)Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan sanksi hukuman sesuai

dengan peraturan yang berlaku dan pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) oleh Bupati.

Paragraf 4

Rencana Tata Bangunan Lingkungan Pasal 40

(1)Persyaratan tata bangunan untuk suatu kawasan lebih lanjut akan

disusun dan ditetapkan dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

(2)Dalam penyusunan RTBL Pemerintah Daerah mengikutsertakan

masyarakat, pengusaha dan para ahli agar RTBL yang disusun sesuai dengan kondisi kawasan dan masyarakat setempat.

(3)RTBL disusun berdasarkan yang telah ditetapkan akan ditinjau kembali

setiap 5 (lima) tahununtuk disesuaikan.

(4) RTBL digunakan untuk pengendalian pemanfaatan ruang suatu lingkungan/kawasan, menindaklanjuti rencana tata ruang dalam rangka

perwujudan kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang

berkelanjutan dari aspek fungsional, sosial, ekonomi dan lingkungan bangunan gedung termasuk ekologi, arsitektural, kontekstual, dan kualitas visual.

Bagian Keempat

Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Paragraf 1

Persyaratan Keselamatan Pasal 41

(1) Setiap bangunan harus dibangun dengan mempertimbangkan kekuatan dan kestabilan dari segi struktur.

(2)Peraturan/standar teknik yang harus dipakai ialah peraturan/standar

teknik yang berlaku di Indonesia yang meliputi SNI tentang Tata Cara, Spesifikasi dan Metode Uji yang berkaitan dengan bangunan gedung. (3) Setiap bangunan dan bagian konstruksinya harus diperhitungkan

terhadap beban sendiri, beban yang dipikul, beban angin, getaran dan gaya gempa sesuai dengan peraturan pembebanan yang berlaku.

(4)Setiap bangunan dan bagian konstruksinya yang dinyatakan mempunyai

tingkat gaya angin atau gempa yang cukup besar harus direncanakan dengan konstruksi yang sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(25)

(5) Setiap bangunan bertingkat lebih dari dua lantai, dalam pengajuan peirizinan mendirikan bangunannya harus menyertakan perhitungan strukturnya sesuai pedoman dan standar yang berlaku.

(6)Dinas Pekerjaan Umum mempunyai kewajiban dan wewenang untuk

memeriksa konstruksi bangunan/ yang akan dibangun baik dalam

rancangan bangunannya maupun pada masa pelaksanaan

pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap bahaya gempa. Pasal 42

(1)Setiap gedung untuk kepentingan umum, seperti bangunan peribadatan,

bangunan perhotelan, bangunan kesehatan, bangunan pendidikan, bangunan pendidikan, bangunan gedung pertemuan, bangunan pelayanan umum dan bangunan industri serta bangunan hunian susun harus mempunyai sistem pengamanan terhadap bahaya kebakaran, baik sistem proteksi pasif maupun sistem proteksi aktif.

(2)Pemenuhan persyaratan ketahanan terhadap bahaya kebakaran

mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(3)Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu sistem

hidran sesuai dengan persyaratan sebagai berikut :

a. pemasangan hidran harus memenuhi ketentuan dan dipasang

sedemikian rupa sehingga panjang selang dan pancaran air dapat mencapai dan melindungi seluruh permukaan lantai bangunan;

b. setiap pemasangan hidran halaman harus memenuhi persyaratan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 43

(1) Penggunaan bahan bangunan diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan produksi dalam negeri/setempat dalam kandungan lokal minimal 60% (enam puluh perseratus).

(2)Penggunaan bahan banguunan harus mempertimbangkan keawetan dan

kesehatan dalam pemanfaatan bangunannya.

(3) Bahan bangunan yang dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat teknik sesuai dengan fungsinya, seperti yang dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang spesifikasi bahan bangunan yang berlaku.

(4)Penggunaan bahan bangunan yang mengandung racun atau bahan

kimia yang berbahaya, harus mendapat rekomendasi dari instansi yang terkait dan dilaksanakan oleh ahlinya;

(5) Pengecualian dari ayat (1) harus mendapat rekomendasi dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk olehnya.

(26)

Paragraf 2

Persyaratan Kesehatan Pasal 44

(1)Jenis, mutu, sifat bahan dan peralatan instalasi air minum harus

memenuhi standar dan ketentuan teknis yang berlaku.

(2) Pemilihan sistem dan penempatan instalasi air minum harus disesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan-bangunan lain, bagian-bagian lain dari bangunan dan instalasi-instalasi lain sehingga tidak saling membahayakan, mengganggu, dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan pemeliharaan.

(3)Pengadaan sumber air minum diambil dari PDAM atau dari sumber yang

dibenarkan secara resmi oleh yang berwenang.

(4)Perencanaan dan instalasi jaringan air bersih mengikuti ketentuan dalam

pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(5)Air bersih yang dialirkan ke alat plambing dan dan perlengkapan

plambing yang dipergunakan untuk umum, memasak pengolahan makanan, pengalengan atau pembungkusan, pencucian alat makanan dan minuman, alat dapur atau keperluan rumah tangga atau jenis lainnya harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.

(6)Tangki persedian air yang melayani keperluan gedung, hidran

kebakaran, dan sistem sprinkler harus :

a. direncanakan dan dipasang sehingga dapat menyalurkan air dalam

volume dan tekanan cukup untuk sistem tersebut;

b. mempunyai lubang aliran keluar untuk keperluan gedung pada

ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimal yang diperlukan untuk pemadam kebakaran maupun sprinkler dapat dipertahankan.

Pasal 45

(1)Pada dasarnya air hujan harus dibuang atau dialirkan ke saluran umum

kota.

(2)Jika hal dimaksud pada ayat (1) tidak mungkin, berhubungan belum

tersedianya saluran umum kota ataupun sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh yang berwenang, maka pembuangan air hujan harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Dinas Pekerjaan Umum.

(3) Saluran air hujan :

a. dalam tiap-tiap perkarangan harus dibuat saluran pembuangan air

hujan;

b. saluran tersebut di atas harus mempunyai ukuran yang cukup besar

dan kemiringan yang cukup untuk dapat mengalirkan seluruh air hujan dengan baik;

c. air hujan yang jatuh di atap harus segera disalurkan ke saluran di

(27)

(4) Perencanaan dan instalasi jaringan air hujan mengikuti ketentuan-ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 46

(1)Semua air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi, kakus dan

tempat cuci pembuangannya harus melalui pipa-pipa tertutup dan sesuai dengan ketentuan dari peraturan yang berlaku.

(2) Pembuangan air kotor dimaksud pada ayat (1) dapat dialirkan ke saluran umum kota.

(3)Jika hal dimaksud pada ayat (2) tidak mungkin, berhubungan belum

tersedianya saluran umum kota/sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh yang berwenang, maka pembuangan air kotor harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Dinas Pekerjaan Umum.

(4)Letak sumur-sumur peresapan berjarak minimal 10 (sepuluh) meter dari

sumber air minum/bersih terdekat dan atau tidak berada di bagian atas kemiringan tanah terhadap letak sumber air minum/bersih, sepanjang tidak ada ketentuan lain yang disyaratkan/diakibatkan oleh suatu kondisi tanah.

(5) Perencanaan dan instalasi jaringan air kotor mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(6)Instalasi air buangan dan penempatannya harus mudah diamati,

dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan

lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.

Pasal 47

(1)Setiap bangunan baru atau perluasan suatu bangunan yang diperlukan

sebagai tempat kediaman diharuskan memperlengkapi dengan

tempat/kotak/lubang pembuangan sampah yang ditempatkan dan dibuat sedemikian rupa sehingga kesehatan umum terjamin.

(2)Di lingkungan daerah perkotaan, sampah dapat ditampung ditempat

pembuangan sampah sementara (TPS) untuk diangkut oleh Dinas Pekerjaan Umum.

(3)Perencanaan dan instalasi tempat pembuangan sampah mengikuti

ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku. Pasal 48

(1)Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau

ventilasi mekanik/buatan, sesuai dengan fungsinya.

(2)Kebutuhan ventilasi diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan

(28)

(3) Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat dibuka sesuai dengan kebutuhan dan standar teknis yang berlaku;

(4)Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan,

pintu ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang bersebelahan. (5) Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5% dari luas lantai

ruangan yang diventilasi.

(6)Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami tidak dapat

memenuhi syarat.

(7)Penempatan fan sebagai ventilasi buatan harus memungkinkan

pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau sebaliknya.

(8)Penggunaan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus

menerus selama ruang tersebut dihuni.

(9)Penggunaan ventilasi buatan, harus memperhitungkan besarnya

pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku. (10) Sistem ventilasi pada rumah sakit untuk ruangan operasi, ruang steril

dan ruang perawatan bagi pasien yang berpenyakit menular, tidak dibenarkan mempergunakan sistem sirkulasi udara yang dapat menyebabkan penularan penyakit ke bagian lain bangunan.

(11)Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi

mekanis untuk membuang udara kotor dari dalam dan minimal 50% volume udara ruang harus diambil pada ketinggian maksimal 0,60 meter di atas lantai.

(12)Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih

satu lantai, gas buangan mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu udara bersih pada lantai lainnya.

Pasal 49

(1)Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami

dan/atau buatan, sesuai dengan fungsinya.

(2)Kebutuhan pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk

ruangan di dalam bangunan, daerah luar bangunan jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara terbuka di mana pencahayaan dibutuhkan;

(3)Pemanfaatan pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal pada

bangunan gedung, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedun;

(4)Pencahayaan buatan pada bangunan gedung harus dipilih secara

fleksibel, efektif dan sesuai dengan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan

sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung, dengan

(29)

(5) Besarnya kebutuhan pencahayaan alami dan/atau buatan dalam bangunan gedung dihitung berdasarkan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Paragraf 3

Persyaratan Kemudahan/ Aksesibilitas Pasal 50

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan yang meliputi kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan parasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.

(2)Kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan gedung

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan horizontal dan hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi, serta fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(3)Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah serta fasilitas komunikasi dan informasi.

Pasal 51

(1)Kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung

sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu dan/atau koridor antar ruang.

(2) Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan fungsi ruang bangunan gedung.

(3)Ketentuan mengenai kemudahan hubungan horizontal antar ruang

dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 52

(1)Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk

sarana transportasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan sejenisnya serta lift dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.

(2) Bangunan gedung bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan dan kesehatan pengguna.

(3)Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan

kemiringan tertentu dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

(30)

(4) Bangunan gedung dengan jumlah lantai di atas 5 (lima) harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.

(5)Ketentuan mengenai kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan

gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 53

(1) Akses evakuasi dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) harus disediakan di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana lainnya, kecuali rumah tinggal.

(2) Penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicapai dengan mudah dan dilengkapi dengan petunjuk arah yang jelas.

(3)Ketentuan mengenai penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 54

(1)Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut

usia sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.

(2)Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya.

(3)Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan

lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Pasal 55

(1)Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal

50 ayat (3) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum.

(2)Kelengkapan prasarana dan sarana tersebut harus memadai sesuai

dengan fungsi bangunan umum tersebut.

(3) Kelengkapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran

b. tempat Parkir

c. sarana transportasi vertikal

d. sarana tata udara

e. fasilitas penyandang cacat

Referensi

Dokumen terkait

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Pelatihan, Akuntabilitas, dan Transparansi Terhadap Penyusunan Laporan

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian balita yang menderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Piyungan Bantul pada bulan Januari 2010 sampai Juni 2010, terpapar oleh

Berdasarkan data ketuntasan indikator literasi sains siswa (Tabel 3) terdapat 4 indikator yang diukur, persentase ketuntasan terendah terdapat pada indikator

3.8 Pengaruh dukungan suami/keluarga terhadap perilaku WUS dalam deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA Dari hasil uji analisis statistik bahwa hubungan antara

Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas yang terdiri dari PDB riil per kapita negara tujuan ekspor, daya saing kakao olahan, harga riil ekspor kakao olahan, jumlah penduduk

Moluskum kontagiosum merupakan suatu penyakit infeksi virus pada kulit yang disebabkan oleh virus golongan poxvirus genus Molluscipox dengan wujud klinis berupa benjolan pada kulit

Selain itu berdasrkan nilai flatness ratio yang  besar atau mendekati angka 10 sehingga material kerakal semakin pipih juga dapat merepresentasikan bahwa material pada hilir

Siswa diminta untuk membuatan rangkuman dari pembelajaran pada #ari ini Guru memberikan tugas ruma#