• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERAS DENGAN ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG KECAMATAN JRENGIK KABUPATEN SAMPANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERAS DENGAN ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG KECAMATAN JRENGIK KABUPATEN SAMPANG."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERAS

DENGAN ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG

KECAMATAN JRENGIK KABUPATEN SAMPANG

SKRIPSI

Oleh:

Hifni Mustofa

NIM: C02212058

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari

ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syariah (muamalah)

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Hifni Mustofa

NIM : C02212058

Fakultas/Jurusan : Syari’ah dan Hukum/Hukum Ekonomi Syariah (muamalah)

E-mail address : khifnymus@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………) yang berjudul :

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BERAS DENGAN

ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG KECAMATAN JRENGIK KABUPATEN

SAMPANG

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 24 Agustus 2016

Penulis

( Hifni Mustofa )

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap praktik jual beli

beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana praktik jual beli beras dengan alat omplong?. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik jual beli beras dengan alat omplong?

Skripsi ini merupakan hasil penelitiam lapangan (field research) di desa Jungkarang Jrengik Sampang, dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara (interview). Selanjutnya data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yakni data tentang praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang Jrengik Sampang yang disertai analisis untuk diambil kesimpulan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: Jual beli beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang dilakukan di tempat penggilingan padi, di rumah pedagang atau tengkulak dan toko-toko yang menyediakan beras. Pedagang/tengkulak menakar barang menggunakan dua omplong. Dengan bertanya terlebih dahulu kepada masyarakat yang ingin menjual atau membeli beras. Ketika masyarakat akan menjual maka pedagang akan mengambil takaran yang lebih besar. Namun ketika masyarakat akan membeli beras pedagang akan mengambil takaran yang lebih kecil. Jual beli beras dengan alat omplong ini sah karena syarat dan rukunnya telah terpenuhi meskipun dalam praktiknya takaran yang digunakan tidak seimbang ada takaran yang lebih besar dan kecil, namun itu tidak masalah bagi masyarkat karena selisihnya sanga sedikit dan itu dianggap wajar. Mereka saling merelakan (rida) dan keberadaannya pun dirasa membantu terutama ketika keadaan mendesak.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 7

C.Rumusan Masalah ... 7

D.Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G.Definisi Operasional ... 14

H.Metode Penelitian ... 15

(8)

BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A.Pengertian Jual Beli ... 21

B.Dasar Hukum Jual Beli ... 23

C.Rukun dan Syarat Jual Beli ... 25

D.Khiyar dalam Jual Beli ... 31

E. Bentuk-bentuk Jual Beli ... 33

F. Jual Beli yang dilarang dalam Islam ... 35

BAB III PRAKTIK JUAL BELI BERAS DENGAN ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG KECAMATAN JRENGIK SAMPANG A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45

1. Letak geografis dan struktur pemerintah ... 45

2. Kondisi sosial agama ... 48

3. Kondisi sosial budaya ... 59

4. Kondisi pendidikan ... 50

5. Kondisi sosial ekonomi ... 51

B.Sistematika Praktik Jual Beli Beras dengan Alat Omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang ... 52

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BERAS DENGAN ALAT OMPLONG DI DESA JUNGKARANG KECAMATAN JRENGIK KABUPATEN SAMPANG A.Analisis terhadap Praktik Jual Beli Beras dengan Alat Omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang ... 61

B.Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Jual Beli Beras dengan Alat Omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang ... 65

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 73

B.Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata muamalah berasal dari kata ( ةلم اعملا ) yang secara etimologi

sama dan semakna dengan al-mufa>’alah (saling berbuat). Kata ini

menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan

seseorang atau seseorang dengan beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan

masing-masing. Fikih muamalah secara terminologi didefinisikan sebagai

hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam

persoalan-persoalan keduniaan.1Misalnya, dalam persoalan jual beli, utang

piutang, kerjasama dagang, perserikatan dan Lain-lain.

Seperti di dalam pembagian muamalah, yakni ruang lingkup fikih

muamalah juga terbagi, salah satunya mengenai permasalahan jual beli

(al-ba‘y al-tija>rah). Allah Swt. berfirman :

ري

وبت ًر ا ِت وج

: رط افُ ر

٩٢

َ

Mereka mengharapkan tija>rah (perdagangan) yang tidak akan rugi. (QS. Fathir ayat: 29).2

Jual beli (al-bay’) secara bahasa ialah memindahkan hak milik

terhadap benda dengan akad saling mengganti. Adapula yang mendefinisikan

1 Abdulla>h as-Sattar Fatulla>h Sa’id, Al-Mua>mlatfi al-Isla>m, ( Mekkah: Rabithah al-Ala>m al

Isla>mi : Idarah al-Kita al-Isla>mi, 1402 H), 12.

2

(10)

2

jual beli sebagai sebagai pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk

selamanya dengan bayaran harta.3

Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan Al-ma>l (harta),

terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama.

Menurut jumhur ulama, yang dikatakan Al-ma>l adalah materi dan manfaat.

Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda, menurut mereka dapat diperjual

belikan. Ulama mazhab Hanafi mengartikan dengan suatu materi yang

mempunyai nilai. Oleh sebab itu manfaat dan hak-hak, menurut mereka

tidak boleh dijadikan objek jual beli.4

Dasar hukum diperbolehkan jual beli, terdapat dalam Alqur`an surah

Albaqarah ayat 275 dan 198 Allah Swt. telah berfirman:

رح و عيبْا ُها َ ح ا و

وب ِر ا

ْا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.5

غتبت ْ ا ٌحا ج ُ ي ع سي

ف او

ض

ُ ِبر ِ اً

,

فا ا ِءاف

ض

َها اورُكْ اف ٍتفرع ِّ ت

ْاد ِع

م

ِارَْاِرَْ

,

د ا ك ورُكْ او

ى

ِ ِِبق ت ُك ْ ِاو ُ

ا

ض

يِ ا

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil

perniagaan) dari tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arofat, berdzikirlah kepada allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan

menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukannya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.6

3

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: AMZAH, 2010), 25.

4 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 112.

5

Ibid.

(11)

3

Pada hakikatnya, Islam tidak melarang segala bentuk jual beli apapun

selama tidak merugikan salah satu pihak dan selama tidak melanggar

aturan-aturan yang telah ditetapkan dan diserukan agar tetap memelihara ukhuwah

Isla>miyah. Bahkan dalam hal pengembangan perekonomian yang mapan,

Islam sangat menganjurkannya. Dalam aturan hukum Islam manusia telah

dilarang memakan harta sesama atau memakan harta yang diperoleh dengan

jalan batil (tidak sah) seperti halnya telah dijelaskan dalam firman Allah

Swt. dalam surah Annisa’, ayat 29:

يِ َا ا يااي

ا

او

اتْأ

رت ع ًر ا ِت وُ ت ْ ا اَِا ِ ِط اب ْااِب ُ يب ُ و ا وُُك

ا

ُ ِ ض

و

ا يِح ر ُ ِب اك ها َ ِا ُ سُف ا اوُتْقتا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.7

Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi

persyaratan – persyaratan, rukun – rukun, dan hal – hal lain yang ada

kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat – syarat dan rukunnya tidak

terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syarak.

Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat

benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda – benda yang berharga dan

dapat dibenarkan penggunaanya menurut syarak.

(12)

4

Selain jual beli yang diperbolehkan ada pula jual beli yang dilarang

dan batal hukumnya adalah, barang yang dihukumi najis oleh agama, seperti

anjing, babi, berhala, bangkai, dan khamr, Nabi saw. bersabda:

ها وس ر َ ا ض ر رِب اج ع

ِةتي ْا و ِر َا عيب رح وس ر و ها َ ِإ اق

َ س راخب ا أ و رُ ِ ا ص َأو ِري ِز ِخْاو

Dari jabir r.a, Rasulullah Saw. Bersabda sesungguhnya Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai babi, dan berhala. (riwayat bukhari dan muslim).8

Dalam menyelesaikan segala macam persoalan dalam jual beli dan

perdagangan jika dilaksanakan tanpa memperhatikan aturan yang

ditentukan oleh syarak pastinya akan menimbulkan kerusakan dalam

masyarakat. Nafsu berperan penting mendorong manusia untuk mengambil

keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan berbagai cara,

seperti halnya melakukan kecurangan dalam ukuran dan takaran serta

manipulasi dalam kualitas barang dagangan. Jika itu yang terjadi jangan

heran jika terjadi kerusakan dalam sendi perekonomian masyarakat. Oleh

karenanya dalam Islam menerapkan sistem ekonomi yang berbeda,

dimana Islam memiliki akar dalam syariah yang membentuk pandangan dunia

sekaligus sasaran-sasaran dan maqa>s}id Ash-shari>ah.9

Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di Indonesia,

dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan sebagai kerjasama antara pihak yang

mempunyai modal dengan pihak yang mempunyai keahlian usaha dengan

8

(13)

5

prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Walaupun demikian, realitanya masih banyak praktik jual beli yang

masih ada unsur penipuan dan pemaksaan dan itu merugikan salah satu pihak.

Dalam perkembangan yang sudah modern seperti sekarang ini, maka praktik

jual beli beraneka ragam bentuk maupun caranya.

Demikian pula yang terjadi di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik

Kabupaten Sampang ini, mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani

padi dan beragama Islam. Sebagian masyarakat di sana masih melakukan

transaksi jual beli khususnya Jual beli beras dengan menggunakan alat

takaran yang masih tradisional yang disebut omplong.

Jual beli dengan alat ini tidak jauh berbeda dengan jual beli yang lain,

seperti menggunakan timbangan atau yang lainnya. Perbedaannya di sini

menggunakan takaran tradisional yang disebut omplong. Bentuknya seperti

kaleng susu namun lebih besar dan ukurannya sama dengan literan tetapi

tidak mempunyai ukuran standart baku atau pasti, sehingga di sini terdapat

celah yang bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi takaran itu, semisal

membuatnya lebih kecil untuk mendapat keuntungan yang lebih besar dari

biasanya. Hal ini di indikasikan tidak sesuai dengan firman Allah (QS.

Almutaffifi>n ayat 1-6).

(14)

6

Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.10

Yang dimaksud dengan orang yang curang di sini ialah

orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Kaitannya dengan

penelitian ini yaitu ketika pedagang dalam hal ini sebagai pembeli menerima

barang dari penjual yaitu masyarakat, pedagang ini menggunakan takaran

seperti biasanya namun ketika pedagang ini menjual kepada masyarakat

dalam hal ini sebagai pembeli, pedagang tersebut menggunakan takaran yang

sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih kecil dan

hasilnya isi takaran pun semakin sedikit.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti menganggap bahwa

masalah tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk melihat dari pandangan

hukum Islam menyangkut praktik jual beli beras dengan alat omplong di

Desa Jungkarang. Oleh karena itu, peneliti mengangkat judul skripsi

“Analisis Hukum Islam terhadap jual beli beras dengan alat omplong di Desa

Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang”.

10

(15)

7

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Menjelaskan kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat

muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi

sebanyak-banyaknya kemungkinan yang dapat diduga sebagai

masalah.11Yaitu:

1. Proses terjadinya praktik jual beli dengan alat omplong.

2. Rukun dan Syarat jual beli beras dengan alat omplong.

3. Praktik jual beli dengan alat omplong dalam hukum Islam

4. Analisis hukum Islam terhadap jual beli beras dengan alat omplong di

Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.

Agar pokok permasalahan di atas lebih terarah, maka yang perlu

dikaji dan menetapkan batasan-batasan pada :

1. Praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang

Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.

2. Analisis hukum Islam terhadap jual beli beras dengan alat omplong di

Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.

C. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian berdasarkan

paparan latar belakang, indentifikasi dan batasan masalah di atas, maka

peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

11

(16)

8

1. Bagaimana praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa

Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli beras dengan alat

omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulagan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.12

1. Skripsi yang ditulis oleh Miftahul Jannah “Tinjauan Hukum Islam

terhadap Jual Beli Bibit Lele” (Studi di Desa Margotuhu Kecamatan

Margoyoso Kabupaten Pati), oleh Miftahul Jannah pada tahun 2009.

Kesimpulannya bahwa Pandangan hukum Islam terhadap praktik jual

beli bibit lele di Desa Margotuhu Kecamatan Margoyoso Kabupaten

Pati tidak sesuai dengan hukum Islam, karena ditinjau dari pelaksanaan

jual beli bibit lele yang menggunakan alat takaran dalam

perhitungannya dan menjadikan takaran awal menjadi acuan untuk

takaran selanjutnya. Kemudian setelah perhitungan bibit lele selesai

biasanya penjual menambahkan satu takaran lagi karena

dikhawatirkan hitungan yang tidak sesuai namun masih adanya unsur

ketidakpastian dalam hitungan takaran tersebut dan hal itu harus segera

12

(17)

9

dihindarkan karena berdasarkan adat (‘urf) yang dilakukan termasuk ‘urf

fa>sid dan itu dilarang oleh hukum Islam.13

2. Skripsi yang ditulis oleh Muhamad Kurniawan yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan sistem hitungan dan

takaran di Desa Tulung Rejo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten

Bojonegoro kesimpulannya Hasil penelitian menemukan bahwa dalam

praktik jual beli bibit lele di Desa Tulung Rejo Kecamatan Sumberrejo

Kabupaten Bojonegoro pihak penjual dan pembeli dalam praktik tersebut

sepakat menggunakan sistem hitungan dan takaran yaitu takaran yang

pertama mereka jadikan acuan untuk takaran-takaran selanjutnya. Islam

memandang jual beli ini hukumnya boleh karena dalam praktiknya sudah

memenuhi syarat dan rukunnya jual beli sesuai hukum islam. Dalam

praktiknya sudah dilakukan penakaran bibit lele dengan cara yang adil,

tidak adanya tipu menipu, dan saling rela. Sedangkan bibit lele

membutuhkan penanganan yang cepat, halus dan akurat sehingga

diperlakukan dengan cara yang baik agar terjaga kelangsungan hidup bibit

lele dan hal ini sejalan dengan konsep sadd ad-da>ri‘ah sehingga sstem jual

beli dengan hitungan dan takaran tersebut sudah dijadikan kebiasaan yang

baik oleh mereka dan ini sejalan juga dengan konsep ‘urf.

Dari hasil penelitian dan analisis hukum Islam penulis

menyimpulkan jual beli bibit lele di Desa Tulung Rejo Kecamatan

13

(18)

10

Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro diperbolehkan menggunakan sistem

hitungan dan takaran14

3. Skripsi yang ditulis oleh M. Mujiburrahman yang berjudul “Tinjauan

Hukum Islam terhadap Jual Beli Tembakau dengan sistem pengurangan

timbangan (Studi Kasus di Desa Pitrosari, Kecamatan Wonoboyo,

Kabupaten Temanggung) “ Dari hasil penelitian diketahui bahwa jual

beli tembakau di Desa Pitrosari dalam penjualannya terdapat

pengurangan timbangan yang dilakukan oleh pembeli, pengurangan

tersebut sudah menjadi kebiasaan, sehingga para petani selaku

penjual walaupun merasa dirugikan terpaksa harus bisa menerima.

Namun rasa menerima dari petani diiringi dengan kecurangan yaitu

dengan mencampur gula kedalam tembakau agar berat tembakau bisa

bertambah. Jual beli tembakau tersebut jika dilihat dari segi Hukum

Islam sangatlah dilarang, karena terdapat kecurangan yang bisa

mengakibatkan kerugian salah satu pihak. Seharusnya dalam Jual

Beli para pelaku harus berbuat jujur sehingga bisa menjauhkan dari

memakan harta dengan cara yang batil.15

4. Skripsi yang ditulis oleh Agus Wahyudi yang berjudul “ Praktik jual beli

Salak Pondoh di Desa Bangunkerto Kecamatan Turi Kabupaten Sleman

dalam Perspektif Sosiologi Hukum Islam” Dari permasalahan tersebut

14 Muhamad Kurniawan, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Bibit Lele dengan Alat

Hitungan dan Takaran di Desa Tulung Rejo Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2@013), 97-98.

15

(19)

11

didapati bahwa dalam jual beli salak pondoh dengan sistem 1/15 yang

dilakukan oleh masyarakat bangun kerto telah sesuai dengan rukun dan

syarat jual beli dalam hukum Islam. Yaitu adanya penjual, pembeli, objek

yang diperjual belikan dan sighat ijab dan qabul. Sedangkan

persengketaan biasanya terjadi pada besar kecilnya potongan timbangan,

namun hal tersebut dapat disadari oleh petani karena telah mengetahui

adanya dasar potongan timbangan. Dalam perspektif sosiologi hukum

Islam, apabila itu tetap muncul maka dapat diselesaikan dengan

transparansi. Dengan begitu maka jual beli akan saling rela dan akibatnya

terjalin rasa kekeluargaan/interaksi social dengan baik.16

5. Skripsi yang ditulis oleh Nurjanah yang berjudul ”Tinjauan Hukum Islam

terhadap Praktik Pengurangan Takaran dalam Jual Beli Bensin Eceran di

Jalan Medoho Kelurahan Sambirejo Semarang” kesimpulannya bahwa

praktek jual beli bensin eceran di Jalan Medoho Kelurahan Sambirejo

Semarang tidak dibenarkan karena telah terjadi pengurangan takaran

terhadap transaksi jual beli bensin eceran yang dilakukan oleh penjual

utuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Penjual bensin eceran ketika

mereka menakar telah beruat curang, tidak memenuhi takaran dan tidak

jarang mereka menakar tidak menggunakan takaran melainkan degan

selang. Padahal dalam prinsip-prinsip Hukum Islam yang dijadikan

pedoman dalam melaksanakan aktifitas muamalah salah satunya adalah

16

(20)

12

muamalah dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindari dari

unsur penganiayaan, penipuan atau gharar dan unsur pengambilan

kesempatan dalam kesempitan yang dapat merugikan pihak lain. Karena

termasuk memakan harta dengan cara yang yang dapat menimbulkan

permusuhan sesama muslim.17

Meskipun sudah banyak penelitian mengenai jual beli namun tidak

menutup kemungkinan bagi penulis untuk menyusun skripsi tentang jual

beli dengan sudut pandang yang berbeda. Jika skripsi diatas membahas

mengenai pengurangan takaran, sistem hitungan dan takaran,

pengurangan timbangan. Maka penelitian ini memfokuskan pada

penggunaan dua takaran yang disebut omplong, apabila dilihat dari obyek

penulisan skripsi kali ini, maka permasalahan yang muncul juga akan

berbeda, dimana kajian pustaka di atas sebagai pelengkap dalam

penelitian kali ini.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian yang dilakukan

ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa

Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.

17

(21)

13

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap jual beli beras dengan

alat omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten

Sampang.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat bermanfaat dan

berguna bagi peneliti dan pembaca lainnya:

Kegunaan secara teoretis, dengan adanya penelitian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya ilmu Hukum Ekonomi Syariah (muamalah).

Secara praktis , penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi

dan manfat bagi:

1. Peneliti

Sebagai persyaratan untuk menyelesaikan tugas akhir agar mendapatkan

gelar S-1 dan juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya dibidang Hukum Ekonomi Syariah.

2. Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada akademisi,

yaitu berupa sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan,

(22)

14

3. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih

mendalam kepada masyarakat dalm melakukan berbagai macam kegiatan

ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam.

G. Definisi Operasional

Definisi Operasional memuat beberapa penjelasan tentang pengertian

yang bersifat operasional, yaitu memuat masing-masing variabel yang

digunakan dalam penelitian yang kemudian didefinisikan secara jelas dan

mengandung spesifikasi mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian

ini.

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya

adalah sebagai berikut:

Analisis hukum Islam : Penyelidikan terhadap suatu peristiwa

berlandaskan Alquran dan Sunah Nabi yang

mengatur mengenai Praktik Mua>malah (jual beli).

Sehingga diketahui baik atau buruk, halal atau

haram, serta boleh tidaknya Praktik jual beli itu

dilakukan.

Jual beli beras : Transaksi tukar menukar uang dengan barang

(beras) antara penjual dan pembeli atas dasar

(23)

15

Alat omplong : Transaksi jualbeli dengan menggunakan takaran

tradisional yang disebut “omplong”. Bentuknya

seperti kaleng susu yang berukuran 1/kg.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan berorientasi pada pengumpulan data

empiris yaitu lapangan, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah

penelitian kualitatif, karena kualitatif memuat tentang prosedur penelitian

yang menghasilkan deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang

atau pelaku yang diamati.

Adapun metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Data – data yang dikumpulkan

Berdasarkan rumusan masalah seperti yang telah dikemukakan di atas,

maka data yang dikumpulkan sebagai berikut :

a. Mekanisme praktik jual beli beras dengan alat omplong.

b. Analisis hukum islam terhadap praktik jual beli beras dengan alat

omplong

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini agar bisa mendapatkan data yang

akurat terkait praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa

(24)

16

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber pertama di mana sebuah data

dihasilkan, yaitu sumber yang terkait secara langsung.18 Sumber data

primer dalam dalam penelitian ini adalah data utama yang berkaitan

langsung dengan obyek yang dikaji, yaitu tentang mekanisme jual beli

beras dengan alat omplong di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik

Kabupaten Sampang, berupa:

1. Penjual beras di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten

Sampang

2. Pembeli beras di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten

Sampang

b. Sumber skunder

yang diambil dari bahan pustaka dan dokumen yang ada dan

berhubungan dengan penelitian ini, antara lain:

1. Fiqh Muamalat (sistem transaksi dalam fiqh islam), Abdul Aziz

Muhammad Azzam.

2. Fiqh Muamalah, Hendi Suhendi.

3. Fiqh Islam, Wahbah Az-zuhaili.

4. Fiqh Muamalah, Nasroen Haroen.

5. Fiqh Muamalah, Rachmat Syafie.

6. Fiqh Islam, Sulaiman Rasjid.

18

(25)

17

7. Asas – Asas Muamalat, Ahmad Azhar Basyir.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian,

penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Metode observasi (Pengamatan)

Obeservasi adalah pengumpulan data dengan menggunakan atau

mengandakan pengamatan atau pencatatan dengan sistematis tentang

fenomena yang diselidiki baik secara langsung maupun tidak

langsung.19Observasi dalam penelitian ini adalah terhadap praktik

jual beli beras dengan alat omplong.

b. Metode interview (wawancara)

Metode interview atau wawancara adalah sutau percakapan yang

diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya

jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara

fisik.20 Adapun wawancara yang dilakukan terkait dengan penelitian

ini adalah:

a. Pedagang atau penjual beras

b. Pembeli atau konsumen

4. Teknik pengelolaan data

Tahapan-tahapan dalam pengelolaan data pada penelitian ini

adalah sebagai berikut :

19

Sutrisno Hadi, Metodologi Resarch, (Yogyakarta: FT. UGM, II, 1988), 136.

(26)

18

1. Organizing adalah suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.21

2. Editing adalah kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan data tersebut.22

3. Analyzing, Yaitu dengan memberikan anlis lanjutan terhadap hasil editing dan organizing data yang diperoleh dari sumber-sumber

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya,

sehingga diperoleh kesimpulan.

5. Teknik analisis data

Dalam rangka mempermudah dalam menganalisis data, dari hasil

pengumpulan data yang dilakukan selanjutya akan dibahas yang

kemudian dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan

menghasilkan data deskriptif.

Deskriptif yaitu menggambarkan/menguraikan sesuatu hal

menurut apa adanya yang sesuai dengan kenyataannya.23Dengan cara

mengumpulkan data tentang praktik jual beli beras dengan alat omplong

di Desa Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang di sertai

analisis untuk diambil kesimpulan.

Dalam melakukan analisis data ini, penulis akan menggunakan

metode deskriptif dengan pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif yaitu

pola pikir yang berpijak pada fakta yang bersifat umum kemudian diteliti

21

Sony Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), 89.

22

Ibid., 97

23

(27)

19

dan akhirnya dikemukakan pemecahan persoalan yang bersifat khusus.

Pola pikir ini menggunakan hukum Islam sebagai acuan untuk

menganalisis hasil penelitian dari kenyataan yang terjadi di lapangan

yaitu hasil penelitian mengenai jual beli beras dengan alat omplong.

I. Sistematika Pembahasan

Memuat uraian dalam bentuk essay yang menggambarkan alur logis

dari struktur bahasan skripsi.24

Bab pertama pendahuluan berisi tentang pokok-pokok pikiran atau

landasan permasalahan yang melatarbelakangi penulisan proposal ini, antara

lain: identifikasi masalah, pembatasan masalah, Rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, defenisi operasional,

metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua mengemukakan landasan teori dan mendeskripsikan jual

beli menurut hukum Islam hal ini meliputi: pengertian jual beli, dasar hukum

jual beli, hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli,

bentuk-bentuk jual beli yang dilarang, khiyar dalam jual beli, hikmah yang

terdapat di dalam jual beli.

Bab ketiga membahas tentang deskripsi lokasi penelitian yaitu di

Desa Jungkarang, praktik jual beli beras dengan alat omplong di Desa

Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang..

24

(28)

20

Bab keempat, analisis hasil penelitian, bab ini memuat tentang

Analisis hukum Islam terhadap jual beli beras dengan alat omplong di Desa

Jungkarang Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang.

Bab kelima, penutup yang berisikan tentang kesimpulan yang

menjawab rumusan masalah dani saran – saran. Selain itu dilengkapi dengan

(29)

BAB II

JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jual Beli

Pada umumnya orang memerlukan benda yang ada pada orang lain

(pemiliknya) dapat dimiliki dengan mudah, tetapi pemiliknya kadang-kadang

tidak mau memberikannya. Adanya syari‘at jual beli menjadi wasilah (jalan)

untuk mendapatkan keinginan tersebut, tanpa berbuat salah. Jual beli

menurut bahasa, artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau

saling tukar menukar.1

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bay‘, al-tija>rah

dan al-muba<dalah, sebagaimana Allah Swt. berfirman:

                        

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,

Menurut istilah (termiologi ), yang dimaksud dengan jual beli adalah

sebagai berikut:

1 Supiana dan M. Karman, Menteri Pendidikan Agama Islam, editor Ahmad Tafsir, (Bandung:

(30)

22

a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan

dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain atas dasar

saling merelakan.

Dengan mencermati hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam

transaksi jual beli ada dua belah pihak yang terlibat. Transaksi terjadi pada

benda atau harta yang membawa kemaslahatan bagi kedua belah pihak, harta

yang diperjualbelikan itu halal dan keduanya mempunyai hak katas

kepemilikan harta tersebut untuk selamanya.

Selain itu inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda

atau barang yang mempunyai nilai yang dilakukan secara sukarela antara

kedua belah pihak. Pihak yang satu menerima benda-benda dan pihak yang

lain menerimanya sesuai dengan perjanjian yang telah dibenarkan atau

disepakati sesuai dengan ketetapan hukum. Maksudnya ialah memenuhi

rukun dan syarat sahnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan jual beli,

sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai

dengan kehendak syarak.

Jual beli menurut ulama mazhab Maliki ada dua macam, yaitu jual

beli yang bersifat umum dan jual beli yang sifatnya khusus. Jual beli dalam

arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan

kemanfaatan dan kenikamatan. Perikatan adalah hak yang mengikat kedua

belah pihak, tukar –menukar yaitu salah satu oleh pihak lain, dan sesuatu

(31)

23

(berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya

atau bukan hasilnya.

Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang

bukan manfaat dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik,

penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bedanya dapat

direalisasikan dan ada di sekitar (tidak ditangguhkan), bukan merupakan

utang (baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak), barang yang

sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.2

B. Dasar Hukum Jual Beli

Hukum jual beli pada dasarnya boleh. Hal ini terdapat dalam Alquran

dan sunah, serta ijmak. Dalam Al quran Allah berfirman:

رح و عيبْا ُها َ ح ا و

وب ِر ا

ْا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah ayat: 275)3

غتبت ْ ا ٌحا ج ُ ي ع سي

ف او

ض

ُ ِبر ِ اً

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu (QS. Al-Baqarah ayat: 198).4

Adapun dalil dari sunah, diantaranya adalah Hadis yang diriwayatkan

oleh al- Bazzar. Hadis ini sahih menurut al- Hakim:

2 Sohari Sahrani, Hj Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia,2011), 66-67

3

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, 112.

(32)

24

ع

ِر

ف

عا

ة

بِ

ر

ِفا

ِع

ا ضر

أ ع ه

َ ا

ِب

س سو ي ع ها ص

ِ

أ

ْا

س

ِب

أْط

ي

ب

؟

: اق

ع

ُ

ر ا

ج

ُ ِب

يِد

ِ

و

ُك

بي

ع

بر

ور

.

Dituturkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’ r.a. bahwa Nabi saw pernah

ditanya, tentang pekerjaan apa yang paling baik? Nabi menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.5

Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan

khiyanat, sedang dusta itu adalah penyamaran dalam barang yang dijual, dan

penyamaran itu adalah menyembunyikan aib barang dari penglihatan

pembeli. Adapun makna khianat itu seperti menyifatkan dengan sifat yang

tidak benar atau memberitahu harga yang dusta.6

Terakhir dari ijmak bahwa umat Islam sepakat bahwa jual beli itu

hukumnya boleh dan terdapat hikmah didalamnya. Pasalnya, manusia

bergantung pada barang yang ada di orang lain dan tentu orang tersebut tidak

akan memberinya tanpa ada timbal balik. Oleh karena itu dengan adanya jual

beli maka akan dapat membantu terpenuhinya kebutuhan setiap orang dan

membayar atas kebutuhannya itu.

Pada prinsipnya, dasar hukum jual beli adalah boleh. Imam mazhab

Syafii mengatakan, “Semua jenis jual beli hukumnya boleh kalau dilakukan

oleh kedua pihak yang masing-masing mempunyai kelayakan untuk

melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang atau diharamkan dengan

izin-Nya maka termasuk dalam kategori yang dilarang. Adapun selain itu

5 Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram: Panduan Lengkap Masalah-masalah Fiqih, Akhlak, dan Keutamaan Amal, ( Bairut: Dar Al-Fikr, 1998), 316.

6 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat “Sistem Transaksi dalam Islam”, ( Jakarta:

(33)

25

maka jual beli boleh hukumnya selama berada pada bentuk yang ditetapkan

Allah dalam kitab-Nya7.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah

memenuhi rukun dan syarat jual beli. Mengenai rukun dan syarat jual beli

para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:

Menurut mazhab Hanafi, Rukun jual beli hanya ijab dan qabul saja.

Alasannya yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan antara

kedua belah pihak. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan hak

sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator (qarinah) yang

menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Indikator tersebut

bisa dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan,

yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang) dalam fikih

hal ini terkenal denga istilah “bay‘ al mu‘a>thah”.8

Adapun menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

2. Sighat ( lafadz ijab dan kabul)

3. Ada barang yang dibeli

4. Ada nilai tukar pengganti barang.

7 Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, ( Depok: GEMA INSANI, 2016), 27.

8 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Grafindo persada, 2004), cet

(34)

26

Menurut mazhab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli

dan nilai tukar barang di atas termasuk syarat jual beli, bukan rukun. 9dalam

bertransaksi itu diperlukan rukun-rukun. Adapun rukun jual beli ada tiga,

yaitu akad (ijab dan qabul), orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan

ma’qud alaih (objek akad).10

Ijab, menurut mazhab Hanafi, ialah menetapkan perbuatan khusus

yang menunjukkan kerelaan yang terucap pertamakali dari perkataan salah

satu pihak, baik dari penjual seperti kata bi‘tu ( saya menjual) maupun dari

pembeli seperti pembeli mendahului menyatakan kalimat “ saya ingin

membelinya dengan harga sekian” sedangkan qabul adalah apa yang

dikatakan kali kedua dari salah satu pihak. Dengan demikian, ucapan yang

dijadikan sandaran hukum adalah siapa yang memulai pernyataan dan

menyusulinya saja, baik itu dari penjual maupun pembeli.

Namun, ijab menurut mayoritas ulama adalah pernyataan yang

keluar dari orang yang memiliki barang meskipun dinyatakannya diakhir.

Sementara kabul adalah pernyataan dari orang yang akan memiliki barang

meskipun dinyatakan lebih awal.11

Sedangkan syarat sahnya akad yang harus terpenuhi terbagi menjadi

dua bagian yaitu :

1. Syarat umum adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua

bentuk jual beli yang telah ditetapkan syarak. Diantaranya yang

9 Ibid.

(35)

27

disebutkan dalam rukun diatas, juga harus terhindar dari kecacatan

jual beli, yaitu ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan

waktu (tawqit), penipuan (gharar), kemadharatan, dan pesyaratan

yang merusak lainnya.

2. Syarat khusus adalah syarat-syarat yang hanya ada pada

barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi persyaratan berikut:

1) Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang, yaitu pada

jual beli benda yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan

akan rusak atau hilang.

2) Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.

3) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pada jual

beli yang bendanya ada di tempat.

4) Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli

yang memakai takaran atau timbangan. 12

Syarat-syarat Jual beli yang sesuai dengan rukun jual beli yang

dikemukakan jumhur ulama yaitu:

1. Syarat dua orang atau lebih yang melakukan akad.

Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan akad

jual beli itu harus memenuhi syarat:

a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil,

orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai mengendalikan

harta. Dalam Alquran Surah Annisa’ ayat 5 Allah berfirman:

12

(36)

28                          

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

b. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli benda-benda

tertentu, misalnya seseorang menjual budaknya yang beragama islam

sebab kemungkinan pembeli tersebut merendahkan abid (orang yang

banyak ibadahnya) yang beragama Islam, sedang Allh Swt. melarang

orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan

mukmin.Sighat atau ijab kabul, hendaknya diucapkan oleh penjual dan

pembeli secara langsung dalam suatu majelis dan juga bersambung,

maksudnya tidak boleh diselang oleh hal-hal yang mengganggu

jalannya ijab kabul tersebut.

2. Syarat-syarat yang terkait ijab kabul yaitu:

a. Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah

penjual menyatakan ijab, dan sebaliknya.

b. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.

c. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli benda-benda

tertentu. Misalnya, seseorang dilarang menjual budaknya yang

beragama Islam kepada pembeli non-muslim, karena akan

merendahkan ‘a>bid (orang yang banyak ibadahnya) yang beragama

(37)

29

kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin. Dalam Alquran Surah

Annisa’ ayat 141 Allah berfirman:

                                                              

Yaitu orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Hal di atas dapat terjadi dengan jalan membukakan

rahasia-rahasia orang mukmin dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada

orang-orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mukmin

mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.

Dalam ijab kabul ini para ulama berbeda pendapat diantaranya

seperti berikut ini.

a) Menurut Ulama mazhab Syafii:

“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab kabul) yang

diucapkan”

b) Imam Malik berpendapat:

Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami

(38)

30

c) Pendapat ketiga ialah penyimpanan akad dengan perbuatan, atau

disebut juga dengan ‘aqad bi al-mu>‘atah yaitu:

Mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan

qabul) sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui

harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan

uangnya sebagai pembayaran.

Bentuk yang ketiga ini lebih diartikan sebagai ijab dan kabul

dengan mubadalah, karena yang diutamakan adalah pertukarannya.

3. Syarat benda-benda atau barang yang diperjualbelikan (ma‘ku>d ‘alaih).

Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut:

a. Suci atau mungkin untuk disucikan, sehingga tidak sah penjualan

benda benda najis, seperti anjing, babi, dan yang lainnya.

عيب رح ُوسرو َها َ ِإ : ق َس و ِى ع ُها َص ِها وسر َ أ رِب اج ع

ْاو ِر خْا

َ س و ّ ر اخب ا اورُ ِا ص ااو ِرِز ٍخْاو ِةتي

Dari Jabir r.a. Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah dan Rasulnya Mengharamkan berjualan arak, bangkai, babi dan berhala. (HR Bukhari wa Muslim).13

b. Memberi manfaat menurut syarak. Dilarang jualbeli benda-benda

yang tidak boleh diambil manfaatnya oleh syarak. Seperti menjual

babi, berhala, cicak dan sebagainya.

c. Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika

ayahku pergi, kujual motor ini padamu.

13

(39)

31

d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini

kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan itu tidak sah, sebab

jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang

tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syarak.

e. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat. Tidaklah sah

menjual binatang yang sudah lari dan tidak bisa ditangkap lagi.

Barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh

kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, karena

terdapat ikan-ikan yang sama.

f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang milik orang lain tanpa

seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi

miliknya.

g. Diketahui (dilihat) barang yang diperjualbelikan harus dapat

diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang

lainnya. Tidaklah sah melakukan jual beli yang menimbulkan

keraguan salah satu pihak.

D. Khiyar Dalam Jual Beli

Dalam jual beli berlaku khiya>r. Khiya>r menurut pasal 20 ayat 8

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yaitu hak pilih bagi penjaul dan pembeli

untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukan.14

14

(40)

32

Khiya<r terbagi menjadi tiga macam, yaitu: khiya<r majlis, khiya<r

syarat, dan khiya<r ‘ayb. Khiya<r majlis yaitu tempat transaksi, dengan

demikian khiya<r majlis berarti hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau

membatalkan akad selagi mereka masih berada pada tempat transaksi dan

belum berpisah. Khiya<r syarat yaitu: kedua belah pihak atau salah satunya

memberikan persyaratan khiya<r dalam waktu tertentu. Khiy<ar ‘ayb yaitu hak

pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat

pada barang yang mengurangi harganya. Hal ini disyariatkan agar tidak ada

unsur menzalimi dan menerapkan prinsip jual beli dengan asas suka sama

suka (ridha). Dalam jual beli via telepon atau internet berlaku khiya>r sharat,

dan khiyar ‘ayb.

Khiya>r sharat merupakan hak yang disyaratkan seseorang atau

kedua belah pihak untuk membatalkan suatu kontrak yang telah diikat.

Misalnya: pembeli mengatakan kepada penjual “saya beli barang ini dari

anda, tetapi saya punya hak untuk mengembalikan barang ini dalam tiga

hari”. Begitu periode yang disyaratkan berakhir, maka hak untuk

membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat tidak berlaku lagi. Sebagai

akibat dari hak ini, maka kontrak yang pada awalnya bersifat mengikat

menjadi lepas. Hak untuk memberi syarat jual beli ini membolehkan suatu

pihak untuk menunda eksesekusi kontrak itu. Tujuan dari hak ini untuk

memberi kesempatan kepada orang yang menderita kerugian untuk

membatalkan kontrak dalam waktu yang telah ditentukan. Hal ini berupaya

(41)

33

kualitas barang, dan kesesuaian dengan kualitas yang diinginkan. Dengan

demikian, hak ini melindungi pihak-pihak yang lemah dari kerugian.

Khiya<r ‘ayb adalah suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam

kontrak jual beli untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan

cacat pada barang yang telah dibelinya sehingga menurunkan nilai barang

itu. Hak ini telah digariskan oleh hukum, dan pihak-pihak yang terlibat tidak

boleh melanggarnya dalam kontrak. Kebaikan dari hak ini, pembeli yang

menemukan cacat pada barang yang dibeli mempunyai hak untuk

mengembalikannya kepada penjual, kecuali dia mengetahui cacat pada

barang itu sebelum dibelinya. Selain ketiga kategori tersebut, Prof. Dr.

Muhammad Tahir mansoori membagi khiya<r kepada empat macam,

tambahannya adalah khiya<r al-ghabn (hak untuk membatalkan kontrak

karena penipuan).15

E. Bentuk-bentuk Jual Beli

Dari berbagai tinjauan, ba‘y dapat dibagi menjadi beberapa bentuk.

yaitu:16

1. Ditinjau dari sisi objek akad ba‘y yang menjadi:

a. Tukar menukar uang dengan barang. Ini bentuk ba‘y berdasarkan

konotasinya. Semisal: tukar-menukar mobil dengan rupiah.

15 Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulil

Albab Institute, 2010), 59.

(42)

34

b. Tukar menukar barang dengan barang, disebut juga dengan

muqayyadah (barter). Misalnya: tukar menukar buku dengan jam.

c. Tukar menukar uang dengan uang, disebut juga sarf. Misalnya tukar

menukar rupiah dengan real.

2. Ditinjau dari waktu serah terima, ba‘y dibagi menjadi empat bentuk:

a. Barang dan uang serah terima dengan tunai. Ini bentuk asal ba‘y.

b. Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang

disepakati, ini dinamakan sala<m.

c. Barang diterima dimuka dan uang menyusul, disebut dengan ba‘y ‘ajal

(jual beli tidak tunai). Misalnya jual beli kredit.

d. Barang dan uang tidak tunai, disebut ba‘y dain bi dayn (jual beli utang

dengan utang).

3. Ditinjau dari cara menetapkan harga dibagi menjadi:

a. Ba‘y musa<wamah (jual beli dengan cara tawar menawar), yaitu

dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan

tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka peluang untuk

ditawar. Ini bentuk asal ba‘y.

b. Ba‘y amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga

pokok barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba‘y jenis

ini terbagi menjadi tiga bagian:

a) Ba‘y mura>bahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok

(43)

35

b) Ba‘y al-wadhiyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok

barang atau menjual barang tersebut di bawah harga pokok.

c) Ba‘y tawliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan

menjualnya dengan harga tersebut.17

F. Jual beli yang dilarang dalam Islam

Jual beli dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur ulama sebagaimana

disinggung di atas, tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata

lain, menurut jumhur ulama hukum jual beli terbagi menjadi dua yaitu jual

beli sahih dan jual beli fasi>d, sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi jual

beli terbagi menjadi tiga, jual beli sahih, fasi>d dan batal.18

Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah

Al-Juhaili meringkasnya sebagai berikut:19

1. Terlarang sebab ahliyah (ahi akad)

Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikatagorikan sahih apabila

dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, dapat memilih, dan

mampu ber ta}sarruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak

sah jual belinya adalah sebagai berikut:

a. Jual beli dengan orang gila. Ulama fikih sepakat bahwa jual beli

dengan orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang

mabuk, skalor dan lain-lain.

17 Yusuf Al Subaily, Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Alih Bahasa: Erwandi Tarmizi, ( TTp: Darul Ilmi, t, th), hlm 6.

18 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 93.

19

(44)

36

b. Jual beli dengan anak kecil. Ulama fikih sepakat bahwa jual beli

dengan anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali

pada perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama mazhab

Syafii, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab

tidak ada ahliyah.

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan

mazhab Hambali, jual beli anak dikatakan sah apabila diijinkan

walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih

kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli,

juga pengalaman atas firman Allah Swt. dalam (QS. Annisa’:6).20

                                                           

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

20

(45)

37

Yakni: mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang

keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai

diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.

c. Jual beli dengan orang buta. Jumhur ulama mengatakan bahwa jual

beli dengan orang buta adalah sah apabila orang buta itu memilik hak

khiya<r, sedangkan ulama mazhab Syafii tidak membolehkannya,

kecuali barang telah ia lihat sebelum ia buta21

d. Jual beli dengan terpaksa. Menurut ulama mazhab Hanafi jual beli ini

seperti jual beli fud}ul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni

ditangguhkan (mawquf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan

sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama mazhab Maliki

tidak lazim, baginya ada khiya<r. Adapun menurut ulama mazhab

Syafii dan mazhab Hambali, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak

ada keridhaan ketika akad.

e. Jual beli fud}ul. Jual beli ini adalah jual beli milik orang tanpa seizing

pemiliknya. Menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, jual

beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya. Adapun menurut

ulama mazhab Hambali dan mazhab Syafii, jual beli ini tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhalang. Maksudnya ialah orang yang terhalang

karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh

yang suka menghamburkan hartanya, menurut ulama mazhab Maliki,

Hanafi dan pendapat paling sahih dari ulama mazhab Hambali, harus

(46)

38

ditangguhkan. Adapun menurut ulama mazhab Syafii, jual beli

tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak

dapat dipegang.

Begitupula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut

berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama mazhab Maliki dan

Hanafi, sedangkan menurut ulama mazhab Syafii dan mazhab

Hambali, jual beli tersebut tidak sah.

Menurut jumhur selain mazhab Maliki, jual beli dengan orang

yang sedang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan

sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga,

jual beli tersebut ditangguhkan kepada ahli warisnya. Menurut ulama

mazhab Maliki, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta

yang tidak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.

g. Jual beli malja. Yaitu jual beli dengan orang yang sedang dalam

bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim. Jual beli

tersebut fasid menurut ulama mazhab Hanafi dan batal menurut ulama

mazhab Hambali.

2. Terlarang sebab sighat

Ulama fikih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada

kerelaan diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab

(47)

39

Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang

tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulamaadalah sebagai

berikut:

a. Jual beli mu‘a>t}ah. Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah

disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun

harganya, tetapi tidak memakai ijab dan kabul. Jumhur ulama

mengatakan sahih jika ijab dari salah satu pihak. Begitu pula

dibolehkan ijab kabul dengan isyarat perbuatan atau dengan cara-cara

lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan uang dan menerima

uang dipandang sebagai sighat dengan perbuatan atau isyarat.

Adapun ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa jual beli harus

disertai ijab kabul, yakni dengan sighat lafal, tidak cukup dengan

isyarat, sebab keridaan sifat itu tersembunyi dan harus diketahui,

kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan

isyarat, bagi orang yang uzur, jual beli mu‘a>t}ah dipandang tidak sah

menurut ulama mazhab Hanafi. tetapi, sebagian ulama mazhab Syafii

membolehkannya. Seperti Imam Nawawi. Menurutnya, hal itu

dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibnu Suraij dan

Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.

b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan disepakati para ulamafiqih

bahwa jual beli ini adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya

(48)

40

melebihi tempat, akad tersebut tidak sah, seperti surat tidak sampai

ketangan yang dimaksud.

c. Jual beli dengan isyarat dan tulisan. Disepakati kesahihan akad

dengan isyarat dan tulisan khusus bagi yang uzur sebab sama dengan

ucapan. Selain itu isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati

‘aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek

(tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.

d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad. Ulama sepakat bahwa

jual beli ini adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat in’iqa<d

(terjadinya akad).

e. Jual beli tidak sesuai antara ijab dan kabul. Ulama sepakat jual beli

ini tidak sah. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti jika meninggikan

harga, menurut ulama mazhab Hanafi membolehkannya, sedangkan

menurut ulama mazhab Syafii menganggapnya tidak sah.

f. Jual beli munjiz. Jual beli ini dikaitkan dengan suatu syarat atau

ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang

fa>sid menurut ulama mazhab Hanafi, dan batal menurut jumhur

ulama

3. Terlarang sebab ma‘qu>d ‘alayh (barang jualan)

Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat

pertukaran oleh orang yang berakad, yang biasa disebut mabi>‘ ( barang

(49)

41

Ulama fikih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma‘qu>d

‘alayh adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat

diserahkan, dapat dilihat oleh orang yang berakad, tidak bersangkutan

dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syarak.

Selain itu ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian

ulama tetapi diperselisishkan oleh ulamayang lainnya. Diantaranya

sebagai berikut:

a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur

ulama sepakat bahwa jual beli ini adalah tidak sah.

b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan. Jual beli ini seperti

burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan

ketetapan syarak

c. Jual beli gharar. Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran.

Hal itu dilarang dalam Islam.

d. jual beli barang najis dan yang terkena najis. Ulama sepakat tentang

larangan jual beli barang yang najis, seperti khamr. Akan tetapi,

mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis

(al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan. Ulama mazhab Hanafi

membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan

ulama mazhab Maliki memolehkannya setelah dibersihkan.

e. Jual beli air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak bisa dimiliki

seseorang, karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak

(50)

42

disepakati oleh ulama mazhab Hanafi, mazhab Maliki, Syafii, dan

mazhab Hambali.22

f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhu>l). Menurut ulama mazhab

Hanafi, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur

batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.

g. Jual beli barang yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli

berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Ulama

mazhab Maliki membolehkannya, apabila sifat-sifatnya disebutkan

dengan syarat sifat itu tidak akan berubah sampai barang itu

diserahkan. Ulama mazhab Hambali mengatakan, jual beli seperti ini

sah jika pembeli mempunyai hak khiya>r (memilih), yaitu khiyar

ru’yah. Ulama mazhab Syafii menyatakan jual beli seperti ini batal

secara mutlak.23

h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang. Ulama mazhab Hanafi melarang

jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang. Tetapi

untuk barang yang tetap dibolehkan. Sebaliknya, ulama mazhab

Syafii melarangnya secara mutlak. Ulama mazhab Maliki melarang

atas makanan. Sedangkan ulama mazhab Hambali melarang atas

makanan yang diukur.

i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan yang belum tampak

manfaatnya. Apabila belum terdapat buah, disepakati tidaka ada akad

setelah ada buah, tetapi belum matang , akadnya fa>sid menurut ulama

(51)

43

mazhab Hanafi dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika

buah-buahan atau tumb

Gambar

 Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
 Tabel 3.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ibu merencanakan melahirkan di Puskesmas Manumean, penolong yang diinginkan adalah bidan, pendamping yang diinginkan ibu saat melahirkan adalah suami dan kader

Berdasarkan data tabel 1.1, banyak kelompok tani yang tidak tergabung dalam Gapoktan di Ogan Ilir dikarenakan kelompok tani tersebut tidak memenuhi syarat seperti

Penelitian yang berkaitan dengan penanganan keluhan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ah dan Wan (2006), jika bank berhasil menye- lesaikan konflik yang terjadi dengan

Kemampuan atletik merupakan gerakan dasar dari setiap aktivitas olahraga (fisik atau jasmani), seperti bagaimana orang berjalan dengan gerakan yang baik dan benar, bagaimana cara

Ikan nila termasuk ikan diurnal, dengan masa aktif ikan dalam mengambil makanan selama 24 jam adalah 2 kali, artinya dalam pemberian pakan selama 2 kali (pukul 08.00 dan 14.00 WIB)

Fenomena upheaval buckling pada pipa yang dikubur di dalam tanah buried pipeline dapat dihindari dengan meningkatkan tahanan terhadap gaya ke atas seperti dengan menambah berat

Penggunaan huruf awal capital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga

 Dalam hal ini, sumber lisan telah memainkan peranan penting kepada para pengkaji sejarah dalam melakukan kajian sejarah ke atas pelbagai tema sejarah terutamanya sejarah