PIDANA PEMALSUAN UANG BERDASARKAN UU NO.7
TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG
( STUDI PUTUSAN PN KEDIRI NO.137/PID.SUS/2014/PN.KDR)
SKRIPSI
Oleh:
AmiratulAzizah
NIM C03212007
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum PublikIslam
Prodi HukumPidana Islam
SKRIPSI
DiajukanKepada
Universitas Islam NegeriSunanAmpel UntukMemenuhi Salah SatuPersyaratan dalamMenyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
IlmuSyariah
Oleh
:
AmiratulAzizah NIM: C03212007UniversitasIslam NegeriSunanAmpel FakultasSyariah Dan Hukum
JurusanHukumPublik Islam Prodi HukumPidana Islam
Surabaya
v
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang (Studi Putusan Pengadilan negeri Kediri Nomor: 137/ Pid.Sus/ 2014/Pn.Kdr)” adalah hasil penelitian library research untuk menjawab pertanyaan yaitu bagaimana pertimbangan hukum dari hakim dalam memutus perkara nomor 137/pid.sus/2014/Pn.kdr tentang pemalsuan uang, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pemalsuan uang berdasarkan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan tekhnik bedah putusan, dokumentasi serta kepustakaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan metode deskripstif analisis dan pola pikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang umum menurut hukum pidana Islam dan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan uang lebih cenderung kepada pertimbangan yuridis. Dalam pertimbangan hakim tidak ada mengurai mengenai pertimbangan non yuridis. Namun dalam tinjauan hukum pidana Islam penerapan hukuman ta’zi>r pada tindak pidana pemalsuan uang pada putusan pengadilann negeri Kediri diarasa sesuai jika diterapkan dalam konteks pidana Islam, karena ta’zi>r merupakan hukuman yang dijatuhkan dan kadarnya ditentukan oleh penguasa negara. Hal ini sesuai dengan putusan pengadilan negeri Kediri dalam hal ini hakim memutus perkara sesuai dengan keterangan saksi, terdakwa dan alat bukti yang ada.
Saran yang dapat di sampaikan adalah diharapkan para hakim dalam memutus perkara hendaknya lebih mengutamakan kemaslahatan umum dengan mendasarkan segala keputusannya kepada UU yang mengatur tindak pidana seseorang, karena negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas legalitas, sewajarnya para hakim memutus segala perkara sesuai dengan UU yang mengaturnya.
PERSETUJUAN PEMBIMBING………. . iii
PENGESAHAN……… ... iv
PERSEMBAHAN……….. …. v
MOTTO……… …. vi
ABSTRAK………. vii
KATA PENGANTAR……… ix
DATAR ISI………. xii
DAFTAR TRANSLITERASI……… xv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah………... 8
C. Rumusan Masalah………... 9
D. Kajian Pustaka………. 9
E. Tujuan Penelitian……… 12
F. Kegunaan Penelitian……….... 12
G. Definisi Operasional………...………. 13
H. Metode Penelitian………... 14
xiii
A. Pengertian Jari>mah……….. 19
B. Bentuk-bentuk Jari>mah………... 20
C. Unsur-unsur Jari>mah………... 20
D. Pengertian ta’zi>r………. 21
E. Dasar Hukum ta’zi>r……… 23
F. Tujuan ta’zi>r………... 25
G. Macam-macam Jari>mah ta’zi>r………... 26
H. Pendapat Ulama tentang Penerapan Jari>mah Ta’zi>r……….. 37
I. Konsep Ghahar……… 42
J. Dasar Hukum Gharar………... 43
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEDIRI NO 137/PID.SUS/2011/PN.KDR TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG……….……… 46
A.Profil Pengadilan Negeri Kediri……… 46
B.Deskripsi Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Uang……… 49
C.Keterangan Saksi, Keterangan Saksi Ahli, Keteranga Tersangka dan Alat Bukti………... 54
D.Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang………... 66
Pengadilan Negeri Kediri dalam Penetapan Sanksi Tindak Pidana
Pemalsuan Uang……… 73
B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang berdasarkan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang…….. 84
BAB V PENUTUP……….. 91
A. Kesimpulan ………... 91
B. Saran……….. 92
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya peradaban dunia, semakin memicu potensi
kejahatan manusia di dunia. Seiring dengan berkembanganya ilmu
pengetahuan dan ilmu teknologi, manusia dengan mudah mampu
menciptakan kejahatan-kejahatan seperti halnya memalsukan uang, tindakan
ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan dengan jumlah besar, akan
tetapi perbuatan itu sangat merugikan banyak pihak. Keinginan untuk
memperkaya diri dengan cara yang lebih mudah, mendorong seseorang untuk
melakukan tindak pidana pemalsuan uang.
Uang adalah standar ukuran harga, yakni sebagai media pengukur nilai
harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas dengan
komoditas lainnya.1 Uang juga merupakan salah satu bentuk alat
tukar-menukar yang sah, sebagai alat pembayaran yang sah. Untuk memenuhi
semua kebutuhan manusia, manusia membutuhkan uang untuk mampu
memenuhi segala kebutuhannya. Dengan dasar ingin memenuhi segala
kebutuhannya itu manusia didorong untuk bekerja guna memperoleh uang
untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedemikian pentingnya uang menyebabkan sebagian orang berusaha
untuk memiliki uang sebanyak-banyaknya, walaupun dengan cara yang
melawan hukum. Wujud dari cara-cara yang melawan hukum itu dapat
berupa kejahatan terhadap mata uang itu sendiri, salah satunya tindakan
pemalsuan mata uang. Menurut pembentuk undang-undang perbuatan meniru
atau memalsukan mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank itu
merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan berkurangnya kepercayaan
umum terhadap mata uang kertas negara atau uang kertas bank tersebut.2
Banyak manusia yang mengunakan cara cepat untuk mendapatkan uang,
diantaranya yaitu dengan melakukan pemalsuan uang. Dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia dengan mudah mampu menggandakan
sebuah mata uang persis dengan aslinya. Rekayasa pemalsuan uang yang
dilakukan dengan bantuan teknologi menjadi suatu kajian yang ilmiah.
Kejahatan mengenai pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek).
“Pemalsuan” yaitu suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan
kepercayaan dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.3 Kejahatan pemalsuan pada pokoknya ditunjukkan
bagi perlindungan hukum kepada masyarakat terhadap kebenaran.
Setiap negara memiliki peraturan sebagai pedoman kepada setiap warga
negaranya demi tercipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.
Dengan terbentuknya peraturan diharapkan kepada setiap warga negara taat
sehingga ada rasa takut untuk melakukan suatu kejahatan.
2Adami Chazawi,
Tindak Pidana Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), 47.
3Adami Chazawi,
3
Tindak pidana pemalsuan uang merupakan delik formil yaitu delik yang
dianggap telah terlaksana apabila telah dilakukan suatu tindakan yang
terlarang. Dalam delik formil hubungan kausal mungkin diperlukan pula
tetapi berbeda dengan yang diperlukan dalam delik materiil, dengan demikian
dikatakan bahwa delik materiil tidak dirumuskan secara jelas, lain dengan
formil yang dilarang dengan tegas adalah perbuatannya. Dalam delik formil
yaitu apabila perbuatan dan akibatnya terpisah menurut waktu, jadi
timbulnya akibat yang tertentu itu baru kemudian terjadi.4
Dalam sistem hukum pidana, kejahatan terhadap pemalsuan mata uang
dan uang kertas merupakan suatu kejahatan yang berat, karena ancaman
pidana bagi pelaku kejahatan ini rata-rata maksimum sepuluh tahun penjara5
dan denda maksimum sepuluh milyar Rupiah, ketentuan ini diatur dalam UU
Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Tindak pidana Pemlasuan Uang
dapat berupa:
1. Mengubah angka yang menunjukan harga mata uang menjadi angka
yang lebih tinggi atau lebih rendah.
2. Memalsukan uang kertas apabila uang kertas tulen diberi warna lain.
3. Memalsu mata uang logam berarti mengubah tubuh uang logam itu
dengan menggantikannya dengan logam lain, dan tidak dipedulikan
4Sianturi,
Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHMPTHM, 1983), 23.
apakah dengan demikian harga logamnya ditinggikan atau
direndahkan.6
Dikarenakan ruang lingkup tindak pidana ta’zi>r teramat luas
cakupannya, tidak ada satu nas (ayat dn atau hadi>st|) pun yang menjelaskan
secara terperinci tentang jumlah batasan jari>mah ta’zi>r tersebut. Maka dari
itu ruang lingkup jari>mah ta’zi>r dapat diartikan sebagai segala perbuatan
maksiat yang tidak dikenakan hukuman h}ad dan qis}has}, yang jumlahnya
sangat banyak.7
Oleh karena penelitian didalam skripsi ini difokuskan pada putusan
Pengadilan Negeri Kediri Nomor: 137/ Pid.Sus/2011/Pn.Kdr tentang Tindak
Pidana Pemalsuan Uang, pembahasan hal yang bersifat Yuridis terhadap
perkara yang kemudian akan menghasilkan suatu bahan analisa yang dapat
dipergunakan untuk memperkaya ilmu pengetahuan khususnya dalam Ilmu
Hukum Pidana. Pada umumnya ada 6 macam unsur obyektif yang terdapat
dalam rumusan tindak pidana yaitu8:
1. Tingkah laku seseorang (handeling)
2. Akibat yang menjadi syarat mutlak delik
3. Unsur sifat melawan hukum yang dirumuskan secara formil
4. Unsur yang menentukan sifat perbuatan (voorwaarden die de straf
barheid bepalen)
5. Unsur melawan hukum yang memberatkan pidana
6 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, ( Jakarta: PT Eresco,
1980), 177.
5
6. Unsur tambahan dari suatu tindak pidana (big komande voorwaar
denvan het straf barheid)
Bahan unsur-unsur dari angka 1 sampai dengan angka 6 adalah
rumusan perbuatan pidana yang mempunyai ciri-ciri khusus dalam
unsur-unsur yang berupa perbedaan materiil harus dimasukkan dalam uraian
surat dakwaan untuk dibuktikan di muka sidang pengadilan. Pada
pokoknya kejahatan uang palsu terdiri dari 4 unsur kegiatan pokok yaitu
meniru, memalsukan, mengedarkan, dan menyimpan.
Perbuatan meniru pada umumnya merupakan perbuatan membuat
sesuatu yang mirip dengan sesuatu yang lain dan yang memberikan sifat
asli. Dalam hal meniru merupakan perbuatan membuat mata uang atau
uang kertas bank yang memperlihatkan sifat asli. Penghukuman terhadap
pembuat perbuatan peniruan mata uang kertas atau uang kertas bank,
tidak tergantung pada kurangnya banyaknya kesamaaan dengan yang asli,
hanya melakukan pembuatan mata uang.
Tindak pidana ini terjadi ketika saksi Imam Baehaqi bin Suyono
sedang berjualan bakpao keliling sedang melintasi jalan Penanggungan
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri (depan Telkom) diberhentikan oleh
terdakwa yang waktu itu mengendarai sepeda motor Yamaha Mio J
warna merah hitam Nopol. AG 4795 BY yang pada saat itu situasi sudah
agak gelap, selanjutnya terdakwa membeli bakpao sebanyak 3 (tiga) biji
seharga Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) selanjutnya membayar dengan uang
Imam Baehaqi bin Suyono mengembalikan kembaliannya Rp. 43.000,-
(empat puluh tiga ribu) karena uang kembalianya kurang Rp 2000,- (dua
ribu) akhirnya oleh penjual diberi bakpao dua buah lagi, selanjutnya uang
kembalian Rp. 43.000,- (empat puluh tiga ribu) tersebut diberikan kepada
terdakwa dan dimasukkan saku jaketnya tanpa dihitung lalu pergi.
Selanjutnya saksi Imam Baehaqi bin Suyono merasa curiga dengan uang
pecahan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu) yang baru diterimanya lalu
meminta penjaga konter di Lirboyo bernama Yudi untung
membandingkan uang tersebut dengan yang asli ternyata mengatakan
uang tersebut palsu, akhirnya saksi Imam Baehaqi bin Suyono
memberitahu bosnya dan melaporkan kejadian tersebut ke pihak
Kepolisian Resort Kediri Kota.
Dalam putusan hakim menyatakan terdakwa Choirul Mashuri
tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “memalsu rupiah” dan menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, dengan penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam)
bulan serta denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) apabila
pidana denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka diganti dengan
pidana selama 3 (tiga) bulan.
Sedangkan pada UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang pada
pasal 36 ayat 1, 2 dan 3 berbunyi:
1) “setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud
7
pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun penjara serta denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
3) Setiap orang yang mengedarkan dan/ membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara serta denda paling banyak Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”
Berdasarkan pada kronolgi kasus, pelaku sudah memenuhi ketiga
unsur tindak pidana pada pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 dan seharusnya pelaku
dikenakan pasal berlapis, sedangkan hakim dalam memutus perkara
dengan nomor 137/Pid.Sus/2014/Pn.Kdr hanya menjatuhkan hukuman
yang dirasa menyimpang dan tidak sesuai dengan UU Nomor 7 tahun
2011 yaitu menjatuhkan hukuman hanya dengan kurungan penjara 2 (dua)
tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka
diganti dengan pidana selama 3 (tiga) bulan.
Melalui latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan hukum dengan juduk “Tinjauan Hukum Pidan Islam
Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Berdasarkan UU NO.7 Tahun
2011 Tentang Mata Uang (Studi Putusan PN Kediri
NO.137/PID.SUS/2014/PN.KDR)”. Penelitian ini dilakukan untuk
Negeri Kediri dalam menyelesaikan perkara tindak pidana memalsukan
rupiah sesuai dengan hukum pidana Islam dan perundang-undangan yang
berlaku, serta tinjauan hukum pidana Islam tentang tindak pidana
tersebut.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan Latar Belakang di atas dapat diidentifikasi
masalah-masalah berikut:
1. Tindak pidana pemalsuan uang yang ditinjau dari hukum pidana
Islam.
2. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar UU Nomor 7 Tahun 2011
tentang mata uang.
3. Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar UU Nomor 7 Tahun 2011
tentang mata uang dalam tinjauan pidana Islam.
4. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan hakim sebagai
pertimbangan dalam memutus perkara Nomor:
137/Pid.Sus/2014/Pn.Kdr.
Adapun batasan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan hakim sebagai
pertimbangan dalam memutus perkara Nomor 137/ Pid.Sus/ 2014/
9
2. Bagaimanakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana
pemalsuan uang berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang dalam putusan Nomor 137/Pid.Sus/2014/Pn.Kdr.
C.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan Latar Belakang
di atas adalah:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum dari hakim dalam memutus
Perkara No.137/ Pid.sus/ 2014/PN.Kdr tentang pemalsuan mata
uang?
2. Bagaimakah tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana
pemalsuan uang berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang
mata uang Studi Putusan PN. Kediri Nomor 137/ Pid.sus/
2014/PN.Kdr ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini pada dasarnya adalah deskripsi ringkas tentang
sebuah kajian atau penelitian yang pernah dilakukan di seputar masalah
merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang pernah ada.9
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan topik
yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya.
Dengan pengetahuan penulis, pemalsuan yang dulunya diatur dalam
pasal 244 KUHP dan sekarang diatur dalam UU nomor 7 tahun 2011
tentang Mata Uang telah banyak dibahas terutama oleh kalangan
pakar-pakar hukum Indonesia. Masalah pemalsuan uang ini sebenarnya sudah
dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya, diantaranya skripsi yang
berjudul Tinjauan Yuridis terhadap tindak pidana pengedaran mata uang
palsu ( Studi kasus putusan No. 371/pid.B/2014/PN.Mks ) yang ditulis
oleh Cindi Astryid Alif’ka S Putusan ini menindaklanjuti putusan hakim
Pengadilan Negeri Makasar tentang tindak pidana pengedaran mata
uang palsu, yang mana putusan hakim pada pelaku tindak pidana
pengedaran mata uang palsu dengan perkara nomor:
371/Pid.B/2011/PN.Mks yang melanggar pasal 244 KUHP dengan
dijatuhi hukuman relative meringankan pelaku, yaitu hukuman penjara
selama 3 bulan dan denda sebesar dua ribu lima ratus rupiah.10
9Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
Skripsi, (Surabaya: t.p., 2014).,8.
10Cindy Astryid Alif’ka S, “Putusan Pengadilan Negeri Makasar Nomor:371/Pid.B/2011/Pn.Mks
Tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pengedaran Mata Uang Palsu” (Skripsi—
11
Skripsi yang disusun oleh Maturiyah (2009) yang berjudul studi
Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.
297/Pid.B/2004/Pn.Sby. Mengenai Tindak Pidana Pengedar Uang Palsu
ditinjau dari Hukum Pidana Islam. Skripsi tersebut menjelaskan masalah
bagaiman tinjauan hukum Islam tentang tindak pidana pengedar uang
palsu yang melanggar Pasal 245 dan Pasal 33 KUHP dengan hukuman 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan.11
Skripsi yang disusun oleh Arif Efendi (2007) yang berjudul Studi
Komparatif terhadap Sanksi Delik Tindak Pidana Pemalsuan Uang
Menurut KUHP Pasal 244 dan Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Fiqh
Jinayah. Skripsi tersebut meneliti tentang perbedaan pemberian sanksi
terhadap tindak pidana pemalsuan uang berdasarkan KUHP pasal 244 dan
Hukum Pidana Islam.12
Dalam skripsi ini penulis menindaklanjuti putusan hakim Pengadilan
Negeri Kediri tentang tindak pidana pemlasuan uang berdasarkan UU
nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan nomor putusan:
137/Pid.Sus/2014/Pn.Kdr. Pada putusan ini dirasa hakim telah menjatuhi
hukuman yang relatif meringankan pelaku tindak pidana pemalsuan uang.
Dari pernyataan tersebut maka penulis ingin membahas putusan hakim
11 Maturiyah, “Studi Analisa Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.
297/Pid.B/2004/Pn.Sby. Mengenai Tindak Pidana Pengedar Uang Palsu Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam” (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010), 12.
12 Arif Efendi, Study Komparatif Terhadap Sanksi Delik Tindak Pidana Pemalsuan Uang
tersebut guna mendapatkan gambaran yang lebih jelas, juga untuk
melengkapi penelitian-penelitian tentang tindak pidana pemalsuan
terhadap uang. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi terdahulu yaitu
skripsi ini menggunakan dasar hukum UU No 7 tahun 2011 tentang mata
uang sedangkan skripsi terdahulu masih menggunakan KUHP.
E. Tujuan Penelitian
Setiap penulisan ilmiah tentu memiliki tujuan pokok yang akan
dicapai atas pembahasan materi tersebut. Oleh karena itu, penulis
merumuskan tujuan penelitian skripsi sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam
putusan Nomor : 137/Pid.Sus/2014/PN.Kdr tentang tindak pidana
pemalsuan Uang.
b. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi
pidana dalam putusan nomor : 137/Pid.Sus/2014/PN.Kdr tentang
tindak pidana pemalsuan Uang.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan
13
a. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan sumbangan dan pemikiran dan ilmu
pengetahuan hukum pidana guna mendapatkan data secara
obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap
masalah yang ada khususnya masalah yang berkaitan dengan
tindak pidana pemalsuan uang.
b. Kegunaan Praktis
Untuk menambah wawasan pengetahuan dan bahan tambahan
bagi perpustakaan atau bahan informasi kepada seluruh pihak
yang berkompeten mengenai analisis pemidanaan tindak pidana
pemalsuan uang.
G. Definisi Operasional
Dalam hal ini penulis akan terlebih dahulu menjelaskan tentang
Defini Operasional terkait dengan judul “Tinjauan hukum Pidana Islam
Terhadap Tindak Pidana Pemalasuan uang Berdasarkan UU Nomor 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang ; Study Putusan PN Kediri Nomor 137/
Pid.Sus/ 2014/ Pn.Kdr”.
1.Hukum pidana Islam adalah : Ilmu tentang syara’ yang berkaitan
hukumannya yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Jarimah ta’z>ir .13
2.Tindak pidana Pemalsuan adalah : kejahatan yanng di dalamnya
mengandung sistem ketidak benaran mengganti bahan, ukuran,
warna, gambar, atau desaignnya menyerupai Rupiah yang dibuat,
dibentuk, dicetak, digandakan, diederkan, atau digunakan sebagai
alat pembayaran secara melawan hukum.14
3.Rupiah atau Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara
Kesatuaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.15
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif
dengan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif
berupa data tertulis dari dokumen, Undang-Undang dan artikel yang
dapat ditelaah. Untuk mendapatkan hasil penelitian akurat dalam
menjawab beberapa persoalan yang diangkat dalam penulisan ini, maka
menggunakan metode:
1. Data yang dikumpulkan
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research).
Penelitian dilakukan terhadap buku-buku rujukan yang mebicarakan
13 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika,2004), 2.
15
tentang tindak pidana, mata uang sebagai transaksi, kejahatan
mengenai pemalsuandan data-data tentang proses pemalsuan uang,
serta Putusan Pengadilan Negeri Kediri nomor:
137/Pid.sus/2014/Pn.Kdr. Hal ini dilakukan guna meninjau bentuk
sanksi pelaku pemlasuan Uang berdasarkan UU nomor 7 tahun 2011
tentang Mata Uang dan bentuk sanksi berdasarkan Hukum pidana
Islam.
2. Sumber data
Sumber data penelitian ini meliputi :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang bersifat
utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapat
sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan
penelitian yaitu putusan Pengadilan Negeri Kediri nomor:
137/Pid.sus/2014/Pn.kdr dan UU nomor 7 tahun 2011
tentang Mata Uang.
b. Sumber Data sekunder
Sumber data sekunder merupakan data yang bersifat
membantu atau menunjang dalam melengkapi dan
memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai
sumber data primer, seperti dokumentasi, buku-buku serta
apapun yang berkaitan dengan obyek penelitian,
1). Adami Chazawi, Tindak Pidana Pemalsuan
2). Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum
Pidana Islam
3). M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah
4). M. aruqan Nabahan, Sistem Ekonomi Islam
5). Ahmad Hasan, Mata Uang Islami
5. Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan bentuk penelitian yakni kajian pustaka (Library
Research), maka penelitian ini dilakukan menggunakan:
a. Tekhnik dkumentasi yaitu tekhnik mencari data dengan cara
membaca dan menelaah dokumen, dalam hal ini dokumen
putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor
137/Pid.Sus/2014/Pn.Kdr.
b. Teknik Kepustakaan yaitu dengan cara mengkaji literature atau
buku yang berkaitan dengan objek penelitian.
5. Teknik Pengolahan Data
Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang
penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Organizing: Suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,
pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.
b. Editing : Kegiatan memperbaiki kualitas data (mentah) serta
menghilangkan keraguan akan kebenaran/ ketepatan data
17
c. Analyzing: yaitu menganalisis kesesuaian antara UU Nomor 7
tahun 2011 tentang mata uang, dengan putusan pengadilan
negeri Kediri Nomor 137/Pid.sus/2014/Pn.Kdr. berdasarkan
hukum pidana Islam.
6. Teknik Analisis Data
Penulisan ini menggunakan teknik deskriptif analisis
verivikatif, yaitu teknik analisa yang menggambarkan data sesuai
dengan apa adanya dalam hal ini data tentang dasar dan
pertimbangan hukum hakim dalam putusan pengadilan negeri
Kediri Nomor 137/Pid.sus/2014/Pn.Kdr kemudian dianalisa dan
diverifikasi dengan teori hukum pidana Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mengarah tercapainya tujuan pembahasan skripsi, maka
penulis membuat sistematika pembahasan skripsi yang terdiri dari lima
bab. Masing-masing bab berisi pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, penulis mengemukakan latar belakang masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, penulis menguraikan tentang Teori Jari>mah ta’z>ir
ta’z>ir, macam-macam ta’z>ir, dan Sanksi perbuatan ta’z>ir dan Teori
gharar.
Bab ketiga, penulis menguraikan tentang putusan Pengadilan
Negeri Kediri yang dimana pada bab ini akan berisi tentang kasus
posisi serta dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutus
perkara pemalsuan uang.
Bab keempat, pada bab ini penulis ingin menjabarkan tentang
analisis terhadap Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak
Pidana Pemalsuan Uang berdasarkan UU no 7 tahun 2011 tentang
Mata Uang (study Putusan Pengadilan Negeri Kediri nomor
137/pid.sus/2014/Pn.Kdr).
Bab kelima, pada bab ini merupakan bagian terakhir dari
19
BAB II
LANDASAN TEORI MENGENAI
JARI>>>><
MAH TA’ZI
<>R
A. Pengertian Jari>mah
Jari>mah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’ yang
sanksinya dapat berubah hukuman h{ad atau ta’zi>r. Menurut Imam al-
Mawardi jari>mah adalah “segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang
dilarang dan atau meninggalkan yang diwajibkan) yang diancam dengan
hukuman had atau ta’zi>r”.1
Suatu perbuatan dapat dinamai suatu jari>mah (tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta
benda, keamanan, atau aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal
yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Artinya, jari>mah
adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kepada pihak lain,
baik berbentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun yang
berbentuk non materi atau gabungan non fisik seperti ketenangan,
ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya.2
Menurut Mr. Tresna “Peristiwa pidana itu adalah rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan
perundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.” Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan itu baru
dianggap sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan
undang-undang dan diancam dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak
bertentangan dengan hukum (undang-undang), artinya hukum tidak
melarangnya dan tidak ada hukumannya dalam undang-undang maka
perbuatan itu tidak dianggap sebagai tindak pidana.3
B. Bentuk-bentuk Jari>mah
Jari>mah dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang di tonjolkan. Pada umumnya para ulama membagi jari>mah
berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau
tidaknya oleh al-Qur’an dan Hadis. Atas dasar ini mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Jari>mah hudu>d
b. Jari>mah qis}ha>s atau diya>t
c. Jari>mah ta’zi>r
C. Unsur-Unsur Jari>mah
Jari>mah memiliki beberapa unsur yaitu unsur umum dan unsur khusus.
Unsur umum yaitu unsur yang ada pada setiap janis jari>mah, yang terdiri
3 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas hukum pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
21
atas al- Rukn al- Syar’i yakni sesuatu yang sudah ada aturanya, al- Rukn al-
Madi yakni terdapat suatu perbuatan yang di anggap melanggar syara’, dan
al- Rukn al- Adabiy yakni adanya pelaku yang telah melakukan perbuatan
yang dilarang syara’. Suatu perbuatan (jari>mah) dapat dihukum apabila
sudah memenuhi ketiga unsur tersebut.4
Unsur Jari>mah khusus adalah unsur-unsur yang terdapat pada jari>mah
namun tidak terdapat pada jari>mah lainnya. Seperti contoh mengambil harta
orang lain secara pakasa secara terang-terangan adalah jari>mah hira>bah, atau
perbuatan yang sengaja meniru suatu benda yang asli yang mengakibatkan
kerugian terhadap seseorang, unsur tersebut dapat digolongkan pada jari>mah
penipuan.
D. Pengertian Ta’zi>r
Seperti yang diuangkapakan oleh Imam Al-Mawardi mengenai jari>mah
yaitu segala perbuatan yang melanggar syara’ yang dapat diajatuhi hukuman
had atau ta’zi>r. setiap perbuatan yang sanksinya diatur oleh al-Qur’an dan
hadis disebut dengan jari>mah had, sedangkang setiap perbuatan yang
sanksinya tidak diatur oleh al-Qur’an dan hadis disebut dengan jari>mah
ta’zi>r.
Ta’zi>r menurut Wahbah Zuhaili mirip dengan definisi yang
dikemukakan oleh Al-Mawardi yaitu hukuman yang di tetapkan atas
4 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Iislam ), (Bandung: PT
perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat.5
Ta’zir berasal dari kata ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, atau berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Dalam al-
Quran disebutkan:
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْْْ“ supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul- Nya, menguatkan (agama) –Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepadamu di waktu pagi dan petang. (Q.S Al-fath:9)”6
Ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dnegan ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jari>mah atau dengan kata lain membuat jera.
Dalam ta’zi>r, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari
Allah dan Rasul-Nya), dan Qadhi diperkenankan untuk mempertimbangkan
baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Pelanggaran
yang dapat dihukum dengan metode ini merugikan kehidupan dan harta serta
kedamaian dan kenyamanan masyarakat.7
Sementara berkenaan dengan meninggalkan hal-hal yang makruh, ada
dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh memberikan
sanksi ta’zi>r kepada seseorang yang melakukan hal yang makruh atau
5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005),249.
6 T.M Hasbi Ash Shiddiqi, dkk., Al- Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim
Al- Harama, 1441), 422.
23
seseorang yang meninggalkan sunnah. Sebab tidak ada taklif (keharusan
mengerjakan atau meninggalkan) dalam hal-hal yang sunat dan makruh.
Pendapat kedua boleh memberikan sanksi ta’zi>r kepada seseorang yang
melakukan hal yang makruh atau seseorang yang meninggalkan sunnah. Hal
ini didasarkan pada peristiwa dimana Umar bin Khatab menghukum
seseorang yang tidak cepat-cepat menyembelih kambing setelah kambing itu
dibaringkan, padahal perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang makruh.8
Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhakan hukuman
bagi pelaku Jari>mah ta’zi>r.9 kata “Hakim” secara etimologi berarti “orang
yang memutuskan hukum.” Dalam istilah fiqh hakim merupakan orang yang
memutuskan hukum yang sama maknanya dengan Qadhi. Dalam kajian ushul
fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dalam pembuat hukum syari’at secara
hakiki.10
E. Dasar Hukum Ta’zi>r
Dasar hukum disyariatkannya ta’zi>r terdapat dalam beberapa hadis Nabi
saw dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
8 Enceng Arif Fatzal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 176-177.
9Ahmad Asrofi, “Jari>mah Ta’zi>r dalam Prespektif Hukum Pidana Islam “,
http://asrofisblog.blogspot.ac.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-prespektif-hukum.html, diakses pada 16 April 2016
ْ نَع
ْ
ىِبَأ
ْ
ْ د رهب
ْ
ْ ِراَص نَ ْ
ْ
َْى ِضَر
ْ
ْهل
ْ
ْهه َع
ْ
ْهه نَأ
ْ
َْعِ َس
ْ
َْل هس َر
ْ
ِْل
ْ
ى لَص
ْ
ْهل
ْ
ِْه يَلَع
ْ
َْم لَس َ
ْ
ْهل هقَي
ْ
ْ:
َّْ
ْ
ْهَل جهي
ْ
َْ َف
ْ
ِْ َر شَع
ْ
ْ ط َ سَأ
ْ
ْ ِّإ
ْ
ىِف
ْ
ْ َح
ْ
ْ نِم
ْ
ِْد ه هح
ْ
ِْل
ْ
ىَلاَعَت
ْ(
ق تم
ْ
هيلع
.)
“Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw.
Bersabda: “Tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali didalam
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (Muttafaq alaih)11
2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aishah
ْ نَع َ
ْ
َْ َشِئاَع
ْْ
َْى ِض َر
ْ
ْهل
ْ
اَ َع
ْ
ْ َأ
ْ
ْ يِب ل
ْ
ى لَص
ْ
ْهل
ْ
ِْه يَلَع
ْ
َْم لَس َ
ْ
َْلاَق
ْ
ْ:
هل يِقَأ
ْ
ِ َ
ْ
ْ يَ ل
ِْ اَ
ْ
َرَثَع
ْ
ْ مِ ِت
ْ
ْ ِّإ
ْ
َْد ه هح ل
ْ(
ر
ْ
حأ
ْ
ْ
بأ
ْ
د د
ْ
ىئاس ل
ْ
ىق يبل
.)
Dari Aishah ra. Bahwa Nabi sw. bersabda: “Ampunilah orang-orang
yang baik dari tergelincirnya (berbuat salah yang tidak disengaja), kecuali hukuman hudu>d. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud,
Nasa’i, dan Baihaqi)12
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi
ta’zir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan
Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua
menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari
sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jari>mah hudu>d.
Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk
jari>mah hudu>d dan mana yang termasuk jarimah ta’zi>r. para ulama
sepakat bahwa yang termasuk jari>mah hudu>d adalah zina, pencurian,
minuman khamr, Hira>bah, qadzab, murtad, dan pembunuhan. Selain dari
jari>mah tersebut berarti jari>mah ta’zi>r, meskipun ada yang masih
11 Ibnu Hajam al- Asqalami, Bulu>ghul mara>m: Panduan Lengkap Masalah-Maslah Fiqh, dan
Keutamaan Amal, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), 519.
25
diperdebatkan oleh para fuqaha, seperti homoseksual, lesbian, dan
lain-lain. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zi>r yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku
lainnya, tergantung pada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainnya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jari>mah dan hukuman ta’zi>r antara lain tindakan sayyidina Umar bin
Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelantarkan seekor
kambing untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah
umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: “Asah dulu
pisau itu!”13
F. Tujuan ta’zi>r
Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku ta’zi>r mengandung
aspek kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai preventif yaitu bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak
positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman ta’zi>r, sehingga
orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Sebagai represif yaitu bahwa sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak
positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang
menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi
13 Enceng Arif Fatzal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam…,
ta’zi>r baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai
dengan keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan
prinsip keadilan.
3. Sebagai kuratif (islah) yaitu sanksi ta’zi>r harus mampu membawa
perbaikan sikap dan prilaku terhukum dikemudian hari.
4. Sebagai edukatif yaitu sanksi takzi>r harus mampu menumbuhkan hasrat
pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga
pelaku akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman
melainkan karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini
pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan
ketakwaannya, sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk
mencari keridhaan Allah swt.14
G. Macam-Macam Jar>imah Ta’zi>r
Ta’zi>r adalah sanksi yang hak penetapan nya diberikan kepada khalifah.
Dalam hal ini, terdapat sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh nash
dengan sangat jelas, untuk tidak dijatuhkan (digunakan) sebagai sanksi.
Oleh karena itu, penguasa tidak boleh menghukum seseorang dengan sanksi
tersebut. Disisi lain, nash-nash dari Al-Quran dan hadis telah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu yang telah ditetapkan ukurannya, disamping adanya
perintah untuk menjatuhkan hukuman dengan sanksi yang telah ditentukan
14 A. Djazuli, Fiqh Jinayah(Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
27
itu. Itu sebabnya, ijtihad seorang penguasa dalam masalah ta’zi>r diatasi
hanya pada ukurannya saja, bukan pada sanksi yang dikehendaki atau
ditetapkan sebagai sanksi. Maka, keberadaan syari’ yang telah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu, menunjukkan bahwa vonis berbagai macam sanksi
dalam masalah ta’zi>r dibatasi dengan sanksi yang telah dijelaskan oleh
syari’. Mengenai sanksi-sanksi yang telah digunakan syari’ (sebagai
hukuman), mencakup jenis-jenis sebagai berikut:15
1. Sanksi hukuman mati.
Sebagaimana diketahui, ta’zi>r mengandung arti pendidikan dan
pengajaran. Dari pengertian itu, dapat kita pahami bahwa tujuan ta’zi>r
adalah mengubah si pelaku menjadi orang yang baik kembali dan tidak
melakukan kejahatan yang sama di waktu yang lain.
Dengan maksud pendidikan tersebut, keberadaan si pelaku setelah
melakukan suatu jari>mah harus dipertahankan, si pelaku harus tetap
hidup setelah hukuman dijatuhakan agar tujuan pendidikan dapat
tercapai. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan kepada si pembuat
jari>mah tidaklah sampai membinasakan pelaku jari>mah, tujuan
mendidik untuk kembali kejalan yang benar, tidak akan tercapai.
Namun demikian apabila hal ini tidak mampu memberantas kejahatan,
si pelaku malah berulang kali melakukan kejahatan yang sama atau
mungkin lebih variatif jenis kejahatannya. Dalam hal ini satu-satunya
cara untuk mencegah kejahatan tersebut adalah melenyapkan si pelaku
agar dampak negatifnya tidak terus bertambah dan mengancam
kemaslahatan yang lebih luas lagi. Hukuman ini juga berlaku bagi
mereka yang melakukan kejahatan yang dapat membahayakan bangsa
dan negara, membocorkan rahasia negara yang sangat penting untuk
kepentingan musuh Negara.
2. Hukuman Jilid
Dalam jari>mah ta’zir , hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk
al-Qur’an untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang tidak
ada sanksinya. Walaupun bentuk hukumanya tercantum dalam surat
An-Nisa’ ayat 34 ditunjukan pada tujuan ta>’dib bagi istri yang
melakukan nusyuz kepada suaminya. Hukuman jilid juga mempunyai
dampak lebih maslahat bagi keluarga sebab hukuman ini hanya
dirasakan fisik oleh yang menerima hukuman walaupun secara moril
juga dirasakan oleh keluarga terhukum. Namun, seiring singkatnya
hukuman tersebut, dampak terhadap morilnya tersebut akan cepat
hilang. Adapun hukuman penjara menyebabkan penderitaan yang
dialami keluarga pelaku, baik moril maupun materil. Ini berarti bahwa
hukuman tersebut juga ikut dirasakan oleh keluarga yang tidak ikut
bersalah. Dari segi moril keduanya akan berpisah dalam jangka waktu
yang lama dan dapat menyebabkan ganguan kejiwaan karena kebutuhan
kamanusiaanya tidak dapat disalurkan. Dari segi materil, keluarga juga
29
sangat tampak dirasakan keluarga, terutama anak-anak. Orang yang
selama ini menanggung kebutuhan materil keluarga tidak dapat lagi
melakukan pekerjaanya. Akibatnya, keluarga harus hidup seadanya
atau istri harus mencari penghasilan kalau tidak mau mati
bersama-sama. Ada kemungkinan bagi istri, dalam upaya menghidupi
anak-anaknya, melakukan hal yang menyimpang dari kesusilaan, karena
keterbatasan keterampilan yang dimilikinya. Tentu saja ini akan
menambah masalah baru, masalah sosial yang dapat berantai.
Hukuman jilid juga dapat menghindarkan si terhukum dari akibat
sampingan hukuman penjara dan ini pada hakikatnya memberikan
kemaslahatan bagi si terhukum. Dalam hukuman jilid, si terhukum
setelah hukuman selesai akan kembali ke dalam keseharian bersama
keluarga, terlepas dari pergaulan buruk sesama narapidana seperti
layaknya penjara. Sebaliknya di penjara, terhukum akan berkumpul
dengan sesama narapidana dengan berbagai keahlian kejahatan. Ini
menyebabkan akan memperoleh ilmu kejahatan yang lebih tinggi yang
dapat menjadi modal baginya setelah keluar nanti, menjadikannya lebih
berani dan percaya diri. Bahkan, teman bekas narapidana bekas di
penjara dulu, tidak jarang kemudian bergabung untuk berbuat kejahatan
bersama- sama. Oleh karena itu, penjahat-penjahat profesional banyak
dimulai dari amatiran yang telah sering keluar masuk penjara. Tenyata
sistem penjara kurang efektif dalam upaya mengembalikan si terhukum
spiritual terpidana secara reguler serta kegiatan-kegiatan keterampilan
yang diperlukan untuk sekembalinya ke masyarakat nanti.
3. Hukuman Penjara
Hukuman penjara dalam hukum Islam berbeda dengan hukum
positif. Menurut hukum Islam, penjara dipandang bukan sebagai
hukuman utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman kedua atau
hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam syari’at Islam bagi perbuatan
yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jilid.
Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai
ringan saja atau yang sedang-sedang saja.
Dalam syari’at Islam hukuman penjara hanya dipandang sebagai
alternatif dari hukuman jilid. Karena hukuman itu pada hakikatnya
untuk mengubah terhukum menjadi lebih baik. Dengan demikian,
apabila dengan pemenjaraan, tujuan tersebut tidak tercapai,
hukumannya harus diganti dengan yang lainnya yaitu hukuman jilid.
Hukuman penjara dibagi menjadi dua jenis yaitu hukuman penjara
terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Hukuman penjara terbatas
yaitu hukuman yang dibatasi lamanya hukuman yang dijatuhkan dan
harus dilaksakan terhukum, sedangkan hukuman penjara tidak terbatas
adalah dapat berlaku sepanjang hidup, sampai mati atau sampai si
terhukum bertaubat seperti pembunuhan, pembunuh yang terlepas dari
31
Jadi pada prinsipnya penjara seumur hidup itu hanya dikenakan bagi
tidak kriminal yang berat-berat saja.
4. Hukuman Pengasingan
Membuang si terhukum dalam suatu tempat, masih dalam wilayah
negara dalam bentuk memenjarakannya. Sebab kalau dibuang tidak
dalam tempat yang khusus, dia akan membahayakan tempat yang
menjadi pembuangan.
5. Hukuman Penyaliban
Dalam pengertian ta’zir , hukuman salib berbeda dengan hukuman
salib yang dikenakan bagi pelaku jari>mah hudu>d hira>bah . Hukuman
salib sebagai hukuman ta’zir dilakukan tanpa didahului atau disertai
dengan mematikan sipelaku jari>mah. Dalam hukuman salib ta’zi>r ini, si
pelaku disalib hidup-hidup dan dilarang makan dan minum atau
melakukam kewajibannya shalatnya walaupun sebatas dengan isyarat.
Adapun lamanya hukuman ini tidak lebih dari tiga hari.
6. Hukuman Pengucilan
Sanksi ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan ringan. Asalnya
hukuman ini diperuntukkkan bagi wanita yang nuyuz, membangkang
terhadap suaminya, al-Qur’an memerintahkan kepada laki-laki untuk
menasehatinya. kalau hal ini tidak berhasil, maka wanita tersebut
diisolasikan dalam kamarnya sampai ia menunjukan tanda-tanda
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
ْْْ“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah serta memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.”16
7. Hukuman Peringatan atau Ancaman
Peringatan juga merupakan hukuman dalam Islam. Bahkan dalam
berbagai bidang, seseorang menerima ancaman sebagai bagian dari
sanksi. Dalam hal ini hakim cukup memanggil si terdakwa dan
menerangkan perbuatannya salah serta menasehatinya agar tidak
melakukan dikemudian hari. Sanksi peringatan merupakan sanksi
ancang-ancang bahwa dia akan menerima hukuman dalam bentuk lain
apabila melakukan perbuatan yang sama atau lebih dari itu di kemudian
hari.
16 Kementrian Agama Ar-Rahim, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikhrah Khasanah Ilmu,
33
8. Hukuman Pencemaran
Hukuman ini berbentuk penyiaran kesalahan, keburukan seseorang
yang telah melakukan perbuatan tercela, seperti menipu dan lain-lain.
Pada masa lalu upaya membeberkan kesalaha orang yang telah
melakukan kejahtan dilakukan dengan teriakan dipasar atau ditempat
keramaian umum. Tujuannya agar orang-orang mengetahui perbuatan
orang tersebut dan menghindari kontak langsung dengan dia supaya
terhindar dari akibatnya. Pada masa sekarang, upaya itu dapat
dilakukan melalui berbagai media masa baik cetak maupun elektronik.
Sering kita temukan dikoran-koran, pengumuman dari perusahaan yang
merasa dirugikan akibat salah satu karyawannya. Pengumuman dalam
koran itu merupakan peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati.
9. Hukuman terhadap Harta
Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau penyitaan harta.
Hukuman berupa denda, umpanya pencurian buah yang masih dipohon
dengan keharusan pengembalian dua kali harga asal. Hukuman denda
juga dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan,
menghilangkan, merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.
Perampasan terhadap harta yang diduga merupakakn hasil perbuatan
jahat atau mengabaikan hak orang lain yang ada didalam hartanya.
Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti harta tersebut
10. Sanksi-Sanksi Lain
Sanksi-sanksi yang disebutkan di atas itu pada umumnya dapat
dijatuhkan terhadap setiap jari>mah atas dasar pertimbangan hakim.
Terhadap sanksi-sanksi lain yang bersifat khusus, sanksi-sanksi tersebut
dapat berupa penurunan jabatan atau pemecatan dari pekerjaan,
pemusnahan atau penghancuran barang-barang tertentu.
11. Kaffarat
Kaffarat pada hakikatnya adalah suatu sanksi yang ditetapkan
untuk menebus perbuatan dosa pelakunya. Hukuman ini diancam atas
perbuatan-perbuatan yang dilarang syara’ karena perbuatan itu sendiri
dan mengerjakannya dipandang sebagai maksiat. Ditinjau dari segi
terdapat dan tidak terdapatnya nas dalam al-Qur’an atau al-Hadis,
Hukuman dibagi menjadi dua, yaitu :17
1. Hukuman yang ada nasnya, yaitu hudu>d, qis}ha>s, diyat, dan
kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri,
perampok, pemberontak pembunuh, dan orang yang menzihar
istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nasnya, hukuman ini disebut ta’zir,
seperti percobaan melakukan jari>mah, jari>mah-jari>mah hudu>d dan
qis}ha>s atau diat yang tidak selesai, dan jari>mah-jari>mah ta’zi>r itu
sendiri.
35
Ditinjau dari sudut pandang kaitan antara hukuman yang satu
dengan hukuman lainya, terbagi menjadi empat18 :
1) Hukuman pokok (al-‘Uqu>bat al-Asl}iyah), yaitu hukuman utama
bagi suatu kejahatan, hukuman mati bagi pembunuh yang
membunuh dengan sengaja, hukuman diyat bagi pelaku
pembunuhan tidak sengaja, dera (jilid) seratus kali bagi pezina
ghairah muhsan.
2) Hukuman pengganti (al-Uqu>bat al-Badaliyah), hukuman yang
menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) dan
karena suatu sebab tidak bisa dilaksanakan, sepeti hukuman ta’zi>r
dijatuhkan bagi pelaku karena jari>mah had yang didakwakan
mengadung unsur-unsur kesamanaan atau subhad atau hukuman
diat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga
korban. Dalam hal ini hukuman ta’z>ir merupakan hukuman
pengganti dari hukuman pokok yang tidak bisa dijatuhkan,
kemudian hukuman diat sebagai pengganti dari hukuman qis}ha>s
yang dimaafkan.
3) Hukuman tambahan (al-‘Uqu>bat al-Taba’iyah), yaitu hukuman
yang dikenakan yang mengiringi hukuman pokok. Seorang
pembunuh pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4) Hukuman pelengkap (al-‘Uqu>bat al-Takmiliyah), yaitu hukuman
untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun
harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukuman
pelengkap itu menjadi pemisah dari yang hukuman tambahan tidak
memerlukan putusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan
bagi pegawai karena melakukan tindakan kejahatan tertentu atau
mengalungkan tangan yang telah dipotong dileher pencuri.
Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat
ringannya hukuman. Hukuman dibagi atas dua macam19 :
1) Hukuman yang mempunyai batas tertentu, yaitu hukuman yang telah
ditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidak dapat menambah
atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya dengan
hukuman lain. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah
ditentukan tadi seperti, hukuman yang termasuk kedalam kelompok
jari>mah hudu>d dan jari>mah qis}ha>s, diat.
2) Hukuman yang merupakan alternatif karena mempunyai batas tertinggi
dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang dianggap
mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini, hanya ada
pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok ta’z>ir. Hakim dapat
memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jilid),
mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia
dipenjarakan.20
19 Abdurrahmanal-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002),
221.
37
H. Pendapat Ulama tentang Penerapan sanksi Ta’zir
Menurut mahzab Hanafi penerapan sanksi ta’zi>r itu diserahkan kepada
Ulil Amri termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini harus
tetap dipertimbangkan variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan
jari>mah dan perbedaan pelakunya. Perbedaan jari>mah dalam kaitannya
dengan penerapan sanksi ta’zi>r artinya bahwa sanksi itu harus disesuaikan
dengan jari>mah yang dilakukan terhukum. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa bila jari>mah ta’zi>r yang dilakukan itu berkaitan dengan jilid, maka
jilidnya harus kurang dari batas jilid had zina. Akan tetapi, bila jari>mah
ta’zi>r yang dilakukan itu bukan jari>mah hudu>d, maka diserahkan
sepenuhnya kepada Ulil Amri sesuai dengan tuntutan kemaslahatan umum.
Perbedaan pelaksanaan jari>mah ta’zi>r juga harus dipertimbangkan. Hal
ini berarti bahwa dalam menentukan sanksi ta’zi>r itu harus
mempertimbangkan pelakunya, karena kondisi pelakunya itu tidak selalu
sama, baik motif tindakannya maupun kondisi psikisnya. Disamping itu,
untuk menjerahkan si pelaku sudah tentu harus tidak sama antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya ada yang harus dijilid, ada harus
dikurung, ada yang harus dicela, dan sebagainnya. Menurut Hanafiyah
dalam penerapan sanksi ini harus diperhatikan stratifikasi manusia, yakni
ada empat:21
1. al-Asyraf (orang-orang yang paling mulia), yaitu para ulama. Mereka
cukup diberi peringatan oleh hakim atau diajukan ke meja hijau, dan hal
ini baginya sudah tentu pelajaran yang pahit.
2. Kari>mun (orang-orang yang mulia), yaitu para pemimpin yang harus
diberi sanksi yang lebih berat dari pada sanksi yang diberikan kepada
para ulama, yakni bisa dengan peringatan yang keras atau dihadirkan di
depan pengadilan.
3. al-Ausa>t (pertengahan), bisa dengan peringatan keras atau penjara.
4. al-Akhsa (rendah), bisa dengan dipenjara atau dijilid.
Derajat-derajat ini sesungguhnya hanya merupakan klasifikasi manusia
dalam kaitannya dengan pengaruh sanksi bagi dirinya, dan tidak
dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia di depan hukum, karena
semuannya dikena hukuman, hanya saja dalam rangka untuk mencapai
tujuan hukuman, maka stratifikasi ini diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh
ibn Abidin yang menyatakan bila orang yang mulia mengulang lagi
kejahatannya, maka bisa dikenai sanksi jilid seperti orang kebanyakan.
Jadi menurut ulama Hanafiyah bahwa yang diserahkan kepada Ulil
Amri itu adalah tentang penentuan jenis ta’zi>r yang akan diterapkan. Hanya
saja seperti telah dikemukakan bila jari>mah ta’zi>rnya berkaitan dengan
jari>mah hudu>d, maka jilidnya tidak boleh melampaui batas had, dan bisa
sanksi ta’zi>r itu tidak berupa jilid, maka batas terendah dan tertingginya
diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri.22
39
Di kalangan mazhab Maliki ada prinsip bahwa sanksi ta’zi>r itu
berbeda-beda jenisnya, jumlahnya, dan sifatnya karena perbedaan kondisi
pelakunnya, bahkan al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan kondisi
pelakunya, bahkan al-Qarafi menambahkan bahwa perbedaan waktu dan
tempat terjadinya kejahatan itu membawa perbedaan sanksi ta’zi>r, terutama
sekali ta’zi>r yang berkaitan dengan adat kebiasaan negeri tertentu.
Di kalangan mazhab Syafi’i ta’zi>r itu pada prinsipnya diserahkan
kepada ijtihad Ulil Amri, baik tentang jenisnya maupun tentang kadarnya,
disesuaikan dengan keadaan para pelakunya yang berbeda-beda dan juga
disesuaikan dengan perbedaan jari>mahnya. Imam Mawardi menyatakan
bahwa ta’zi>r itu berbeda dengan hudu>d dalam tiga hal, yaitu:
1. Memberikan sanksi ta’zi>r kepada orang yang baik-baik itu lebih ringan
dari pada sanksi ta’zi>r kepada orang yang sering melakukan kejahatan,
sedangkan dalam hudu>d tidak ada perbedaan.
2. Dalam hudu>d tidak boleh diberikan maaf, sedangkan dalam ta’zi>r ada
kemungkinan pemberian maaf.
3. Had itu memungkinkan bisa menimbulkan kerusakan tubuh dan jiwa
terhukum, sedangkan dalam ta’zi>r terhukum tidak boleh sampai
mengalami kerusakan itu.
Di kalangan mazhab Hanbali ta’zi>r juga berbeda-beda, baik jenis, kadar,
maupun sifatnya sesuai dengan jari>mah dan keadaan pelakunya. Disamping
itu ta’zi>r juga diserahkan kepada Ulil Amri untuk menerapkannya dan untuk
Seperti dinyatakan oleh ibn Taimiyah bahwa ta’zi>r itu diserahkan kepada
Ulil Amri sesuai dengan besar kecilnya dosa. Bila dosanya makin besar,
maka sanksinya makin besar. Dan disesuaikan dengan keadaan pelakunya,
bila pelakunya sering melakukan kejahatan maka sanksinya lebih berat.23
Dari pendapat-pendapat para ulama di atas, jelaslah bahwa ta’zi>r itu
merupakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Amri, khususnya hakim
yang menjatuhkan hukuman. Ia dapat menentukan suatu hukuman yang
menurut ijtihad-nya dapat memberikan pengaruh preventif, represif, kuratif,
dan edukatif terhadap si terhukum dengan tepat mempertimbangkan
keadaan pelakunya, jari>mahnya, korban kejahatan-kejahatannya, waktu dan
tempat kejadian. Namun demikian kewenangan hakim itu tidak mutlak. Di
kalangan mazhab Hanafi yang diserahkan kepada Ulil Amri itu adalah
macamnya hukuman. Hanya saja bila sanksi yang dipilih adalah sanksi jilid,
maka harus dikaitkan dengan batas tertinggi had dan tidak boleh
melampauinya.
Di kalangan mazhab Syafi’i bila hakim memilih hukuman buang
sebagai hukuman ta’zi>r juga tidak boleh melampaui batas waktu satu
tahun. Sedangkan di kalangan mahzab Maliki yang diserahkan itu meliputi
macamnya dan kadarnya. Jadi hakim dapat memilih salah satu macam
hukuman yang menurut ijtihadnya munasabah, bahkan dapat melampaui
41
batas sanksi hudu>d, baik jilid maupun hukuman buang, bila tuntutan
kemasalahatan memang melampaui batas had.
Di kalangan mazhab Hanbali dan sebagaian ulama Syafi’iyah apabila si
terhukum itu seorang seorang residivis dan hukuman had tidak memberikan
daya represif baginya, maka Ulil Amri boleh menjatuhkan kepadanya
hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati agar tidak
membawa mudharat kepada manusia. Meskipun di kalangan mazhab Syafi’i
ada yang mengatakan bahwa hukuman mati itu suatu sanksi yang berkaitan
dengan siyasah untuk menjaga kestabilan dan keselamatan negara,
kelangsungan pemerintah, dan untuk menghindarkan kemafsadatan di muka
bumi. Ini semua sesungguhnya berkaitan dengan Ulil Amri, bukan dengan
qadhi di pengadilan.
Pendapat-pendapat para ulama di atas juga menunjukkan bahwa
meskipun sanksi ta’zi>