SYARIAT AGAMA ISLAM ITU MUDAH
(Kajian Hadis dalam Sunan al-Nasa>’i> No Indeks: 5034)Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
TAKWALLO NIM: E83212115
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Nama: Takwallo
Nim: E83212115
Judul: SYARIAT AGAMA ISLAM ITU MUDAH (Kajian Hadis dalam Sunan al-Nasa>’i> No Indeks: 5034)
Kata kunci : Syariat agama Islam itu mudah.
Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa adanya keberagaman umat Islam di Indonesia dalam memahami syariat Islam sehingga muncul kelompok Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan lainnya. Dari keberagaman pemahaman yang tidak diiringi sifat toleransi seringkali mengakibatkan timbulnya konflik antar umat beragama. Sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat hadis riwayat al-Nasa>’i tentang syariat agama Islam itu mudah. Rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah 1. Bagaimana kualitas hadis? 2. Bagaimana kehujjahan hadis? 3. Bagaimana pemaknaan hadis?. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hadis, kehujjahan hadis dan pemaknaan hadis.
Dalam kajian ini mengunakan metode takhrij al-h}adi>th, ma‘a>n al-h}adi>th, naqd al-sanad, naqd al-matn, dan i‘tiba>r. Takhri>j al-h}adi>th digunakan untuk mengetahui letak hadis dalam kitab-kitab hadis. Ma’anil al-h}adi>th digunakan untuk mengetahui makna atau kandungan dari hadis. Naqd al-sanad dan matn digunakan untuk mengetaui kualitas sanad dan matan hadis. Sedangkan i‘tiba>r digunakan untuk mengetahui adanya sha>hid dan muttabi‘.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiii
BABI: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Kegunaan Penelitian ... 8
xiv
G. Kajian Pustaka ... 9
H. Metodologi Penelitian ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II: PENGERTIAN SYARIAT ISLAM DAN METODOLOGI PENELITIAN HADIS... 15
A. Definisi Syariat, Islam danYusra> (Mudah) ... 15
B. Pengertian Hadis dan Klasifikasinya ... 19
C. Kritik Hadis ... 29
D. Metode al-Jarhu Wa al-Ta’dil ... 37
E. Kehujahan Hadis ... 40
F. Pemaknaan Hadis ... 42
BAB III: IMAM AL-NASA<’I< DAN DATA HADIS TENTANG SYARIAT ISLAM ITU MUDAH ... 45
A. Biografi Imam al-Nasa>’i> ... 45
B. Kitab Sunan al-Nasa>’i>... 49
C. Komentar Ulama terhadap al-Nasa>’i> dan kitab sunannya ... 51
D. Hadis Tentang Syariat Agama Islam itu Mudah ... 53
E. Takhrij Hadis Tentang Syariat Islam itu Mudah ... 55
F. I‘tibar dan Biografi Rawi Hadis ... 56
BAB IV: ANALISIS DAN PEMAKNAAN HADIS... 73
A. Kualitas Hadis tentang Syariat Islam Itu Mudah ... 74
xv
C. Pemaknaan Hadis ... 90
BAB V: PENUTUP ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran-Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 97
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena agama dalam kehidupan manusia merupakan unsur yang
sangat urgen. Sejak awal kebudanyaan manusia, agama dan kehidupan beragama
telah menjelajah dalam kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari
semua perilakunya. Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang
dari adanya rasa ketergantungan manusia itu sendiri kepada kekuatan gaib
yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan. Akan tetapai ‚apa‛ dan ‚siapa‛
kekuatan gaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan dan bagaimana
cara berkomunikasi serta memohon perlindungan itu, mereka tidak tahu. Mereka
hanya merasakan adanya dan kebutuhan akan bantuan dan perlindungan dari
kekuatan gaib itu. Hal itu sanghatlah wajar dirasakan oleh setiap manusia karena
sudah merupakan fitrah manusia, yang nantinya akan mendorong akan
timbulnya perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan
pembawaan dari kehidupan manusia atau dengan istilah lain merupakan fitrah
manusia.1
Kembali pada pengertian agama, yang mana agama berasal dari bahasa
sanskerta yang berarti ‚tidak pergi, tetap ditempat, atau diwarisi turun-temurun,
adapun kata din (dalam bahasa arab) mengandung arti menguasai,
1 Muhaimin dkk, Studi Islam dalam Ragam Demensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana,
2
menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan. Sedangkan dalam segi
istilah agama merupakan hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap suci,
kudus, atau ilahi, disebut agama. Biasanya agama dikaitkan dengan hubungan
manusia dengan Tuhan, dewa atau roh.2
Dalam sebuah agama tentu ada atuan-atuan yang harus dipatuhi, dalam
Islam itu lebih dikenal dengan sebutan ‚Syariat‛ dan syariat sendiri memiliki
arti segala hal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
dalam bentuk wahyu yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Semula kata syariat
ini memiliki arti jalan menuju kesumber air, yakni jalan kearah sumber pokok
kehidupan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 48:
‚…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang…‛ penggunaan kata syariat sendiri Allah telah menyebutkan dalam surat
ke-45 ayat 18:
ُِ
َ اَلْ َ َج
ىَ َ
ٍ َ ِ َ
َيِّم
ِ ْمَْاا
اَ ْ ِ ِتاَف
َ َو
ْ ِ ِ َْت
ءاَ َْأ
َي ِذِاا
َ
َو ُ َ ْ َْ
ٔٛ
3
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Ayat ini bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud syariat adalah segala
tuntunan yang diberikan Allah SWT dan Rasul-nya melalui perkataan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapannya). Tuntunan itu menyangkut baik hubungan
yang terkait masalah akidah, maupun hukum perseorangan, hubungan manusia
2 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, Vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2005)88.
3
dengan khalik, hubungan manusia dengan sesamanya.4
Syariat agama Islam sudah menjadi keniscaian tersendiri bagi
pemeluknya, ajarannya yang mudah dijalankan, hal itu terbukti ketika
menbandingkan syariat agama-agama sebelumnya, dimana Allah telah
menghilangkan kesulitan-kesulitan, seperti yang telah dibebankan pada
umat-umat terdahulu. Sebagai contoh: cara bertaubat umat-umat terdahulu adalah dengan
cara bunuh diri atau minta dibunuh5. Berbeda sekakali dengan syariat agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini, cara bertaubatnya hanya dengan
cara meninggalkan perbuatan tersebut dan menyesalinya serta bertekat untuk
tidak mengulanginya, dan juga ketika membersikan pakaian yang terkena najis
hanya dengan cara menbersikan benda najisnya dari pakaian tersebut dengan
mengilangkan bentuk, rasa, dan bau dari najis tersebut.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar terlibat secara
aktif dalam memecahkan berbagai persoalan ummat manusia. Agama tidak
boleh hanya sekedar menjadi lambang keshalehan (kesucian) atau berhenti
sekedar disampaikan dalam ceramah-ceramah orasi dimembar yang tidak
bertanggung jawab, melainkan agama harus secara konsepsional menunjukkan
cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah sehingga keyakinan
terhadap agama (Islam) sebagai agama yang Ro>hmatal Li al-A<lamin, tertanam
lagi didalam hati umat muslim.
Namun hal itu tidak akan terlepas dari peran penting umat manusia
4 Ibid., Vol. 6., 301-302.
5 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, terj. Ghazirah
4
yang telah Allah Swt. menjadikannya sebagai Kha>lifah Fi> al-Ard atau pemimpin
dibumi, yang mana seorang pemimpin ini harus mampu mensejahterakan apa
yang dipimpin, bukan cuma sok-hebat atau sok-gagah tetapi seorang pemimpin
memang harus betul-betul mampu membingbing apa yang dipimpin kearah yang
lebih baik dan dibenarkan oleh agama. Oleh karena itu perlu adanya
pengetahuan (ilmu) yang cukup luas yang mampu membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk atau mana yang kha>q (benar) dan mana yang batil (salah)
Karena sejatinya hal itu sudah menjadi tugas manusia sebagai Kha>lifah Fi
al-Ard, dan setelah mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
maka tidak boleh dicampu adukkan kembali dan juga tidak boleh
menyembunyikan kebenaran karena itu sudah perintah Allah Swt dalam
fimannya:
َ َو
ْا ُ ِ ْ َْت
ِ َْاا
ِ ِ اَ ْااِ
ْا ُ ُ ْ َتَو
ِ َْاا
ْ ُ نَأَو
َو ُ َ ْ َْت
ٕٗ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.6
Begitu juga dengan sabdah Nabi Saw yang diriwayatkan dari Nu’am
ibn Basyar dan dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan No.18284 sebagai berikut:
ُ ْ َِ َو
َو ُ َ
ِِاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
ُو ُ َْ
ِوِإ
َو َ َْاا
ٌِّمَْ
َااَ َْااَو
ٌِّمَْ
اَ ُ َْلْْ َْ َو
ٌااَ ِ َ ْلُم
َ
اَ ُ َ ْ َْ
ٌ ِ َا
ْيِم
ِااِلاا
ْيَ َف
ىَ ِْتا
ِااَ ُْ ُلاا
َأَ ْْ َ ْ ا
ِي ِف
ِيِل ِدِا
ِيِضْ ِ َو
ْيَمَو
اَ َ َْ اَو
َ َ اَو
َااَ َْاا
ِ اِ ااَا
ىَ ْ َْ
َوْ َ
ىَ ِْاا
ُ ِ ُ
ْوَأ
َ َتْ َْ
ِي ِف
َ َأ
ِوِإَو
ِّ ُ ِا
ٍ ِ َم
ىًِ
ِوِإَو
ىَِ
ِِاا
اَم
َاِ َ
َ َأ
5
ِوِإَو
ِ
ِواَ ْنِْاا
ً َ ْ ُم
اَذِإ
ْ َ ُ َ
َحُ َ
ُدَ َْ ا
ُيُ ُا
اَذِإَو
ْاَدَ َف
َدَ َف
ُدَ َْ ا
ُيُ ُا
َ َأ
َ َِو
ُبْ َ ْاا
7Dan aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedangkan di antara keduanya adalah hal-hal syubhat yang tidak diketahui banyak orang. Siapa saja yang dapat memelihara dirinya dari perkara-perkara syubhat, berarti dia telah menjaga kehormatan dan agamanya, sedangkan siapa yang terjerumus dalam syubhat, berarti dia telah terjerumus dalam perbuatan haram, layaknya seorang penggembala yang mengembala di sekitar daerah terlarang, kemudian dia nyaris masuk ke dalamnya. Sesungguhnya setiap raja itu memiliki daerah terlarang, dan sesungguhnya daerah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad manusia itu terdapat segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasadnya akan baik pula, jika ia rusak maka seluruh jasadnya pun akan rusak. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.
Ayat dan hadis diatas mengajarkan kepada umat beragama bagaimana
berperilaku didunia untuk bisa membedakan mana yang benar (haq) dan harus
dikerjakan dan mana yang salah (batil) yang harus ditinggalkan, serta nabi Saw.
Menegaskan bahwasanya yang halal sudah jelas dan yang haram sudah jelas,
namun seringkali manusia mencondongkan diri kepada perkara yang syubhad
atau yang tidak jelas mana yang halal dan mana yang haram, hal itu
disebabkan kurangnya nilai moral agama dalam dirinya, sehingga tidak jarang
di temui dilingkungan sekitar umat beragama yang melakukan hal yang tidak
dibenarkan oleh agama itu sendiri seperti perbuatan korupsi, manipulasi,
penipuan, kekerasan, pembunuhan dan lain sebagainya, dan mereka tidak sadar
kalau perbuatan itu bisa menudai terhadap citra agama sehingga agama mulai
dijahui.
Sedangkan Nabi Muhammad Saw sendiri telah bersabda, kalau syariat
agama Islam itu mudah namun tidak untuk dipermudah (mempermainkan
7 Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Al-Musna>d, vol, 14 (Qa>hirah: Dar
6
hukum) sebagamana sabdah Nabi Saw. yang diriwayatkan Imam al-Nasa>’i dari
Abu> Hura>irah:
اَنَ َْ ْ َأ
ُ َأ
ِ ْ َ
ُيْ
ٍ ِفاَن
َواَ
اَلَْ ِدَ
ُ َ ُ
ُيْ
ٍّ ِ َ
ْيَ
ِيْ َم
ِيْ
ٍدِ َُ
ْيَ
ٍد ِ َ
ْيَ
ِ َأ
َ َ ْْ َ ُ
َواَ
,
َواَ
ُو ُ َ
ِِاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
ِوِإ
اَذَ
َي ِّداا
ٌ ْ ُ
ْيَاَو
ِااَلُ
َي ِّداا
ٌدَ َأ
ِ ِإ
ُيَ َ َا
اوُاِّدَ َف
ا ُ ِ اَ َو
اوُ ِلْ َأَو
اوُ ِّ َ َو
ا ُل ِ َ ْ اَو
ِ َوْدَ ْااِ
ِ َ ْوِ ااَو
ٍءْ َ َو
ْيِم
ِ َْ ِداا
8Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar ibn Nafi', dia berkata; telah menceritakan kepada kami Umar ibn Ali> dari Ma'n ibn Muhammad dari Sa'id dari Abu> Hurairah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada seorangpun yang bersikap keras terhadap agama melainkan dia akan terkalahkan, maka bersikaplah lurus, dan bersikaplah sederhana, berilah kabar gembira, berilah kemudahan, dan mintalah pertolongan pada saat pagi hari dan sore hari dan sedikit dari waktu malam.
Berkacamata pada hadis diatas, dirasa akan sangat perlunya untuk
memahami makna dan kehujahan hadis, sehingga tidak mudah berbuat
semena-mena dalam bertindak dan berprilaku lurus (jujur pada kebenaran) dalam
mengamalkan ajaran agama, dalam skripsi ini akan mencoba menjelaskan
kembali tentang ajaran- ajaran agama Islam yang saat ini mulai dijaukan
lantaran diyakini sudah tidak bisa lagi memberikan solusi bagi problematika
manusia.
B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi
masalah, yakni sebagai berikut:
1. Para perawi yang meriwayatkan hadis tersebut, selain Nasa>’i
2. Kondisi ke-tersambungan sanad dari hadis tersebut.
3. Kualitas dan kritik para perawi hadis (jarh} wa ta‘di>l).
8 Abu> Abd al-Rahma>n Ahmad ibn Shu‘a>yb ibn ‘Ali> al-shahairy al-Nasa>’i>, Sunan
7
4. Perbedaan redaksi matn dari hadis tersebut.
5. Pemaknaan hadis dengan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam hadis tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada kajian hadis tentang syariat agama Islam
itu mudah. Oleh karena itu dalam penelitian ini hanya dibatasi pada
permasalahan:
1. Kualitas hadis tentang syariat agama Islam itu mudah.
2. kehujjahan hadis tentang syariat agama Islam itu mudah.
3. Pemaknaan hadis tentang syariat agama Islam itu mudah.
C. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang syariat agama Islam itu
mudah dalam Sunan al-Nasa>’i> no indeks 5034?
b. Bagaimana pemaknaan hadis tentang syariat agama Islam itu mudah
dalam Sunan al-Nasa>’i> no indeks 5034?
D. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis tentang syariat agama
Islam itu mudah dalam Sunan al-Nasa>’i> no indeks 5034.
b. Untuk memahami pemaknaan hadis tentang syariat agama Islam itu mudah
8
E. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk hal-hal sebagai
berikut:
1. Secara teoritis penelitian ini akan menambah khazanah keilmuan dalam
bidang hadis dan ‘Ulu>m al-H}adi>th serta memperkaya terhadap
pengetahuan kajian hadis tentang syariat agama Islam itu mudah dalam
Sunan al-Nasa>’i> no indeks:5034.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman
yang benar di masyarakat tentang syariat Islam.
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pengembangan penelitian yang sejenis.
F. Penegasan Judul
Agar penulisan ini terhindar dari kekeliruan untuk memehami judul dalam
penelitian ini, juga untuk mempertegas interpretasi terhadap pokok bahasan
skripsi yang berjudul ‚SYARIAT AGAMA ISLAM ITU MUDAH (kajian hadis
dalam Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks. 5034)‛, maka akan dijelaskan istilah-istilah
yang terangkai pada judul dalam konteks kebahasaan.
Syariat: Hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia hubungan
manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia dan alam
sekitar berdasarkan al-Qur’an dan hadis.9
9
Agama: Prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan
ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang telah bertalian
dengan kepercayaan itu.10
Islam: Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, berpedoman kepada
kitab suci al-Qur’an yang diturunkan kedunia melalui wahyu
Allah.11
Mudah: Gampang, tidak susah, tidak sukar.12
Penelitian dalam skripsi ini merupakan upaya untuk mendapatkan
transformasi pemahaman dari kuatnya kualitas, kehujjahan serta makna hadis
tentang syaiat Islam itu mudah dalam Sunan al-Nasa>’i> nomor indeks. 5034.
G. Kajian Pustaka
Ada beberapa karya yang membahas masalah yang hampir serupa dengan
penelitian ini:
1. Skripsi dari Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat dengan judul: Pemaknaan
Hadis al-Din al-Nasi>hah dalam Kitab Sunan Abu> Da>wud nomor indeks
1944‛ oleh saudara Addinun Nashihah pada tahun 2014, di uneversitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dalam skripsi ini peneliti bermaksud
mendeskripsikan darajat hadis al-Din al-Nasi>hah dan memahami makna
serta mengunkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam hadis tersebut.
2. Skripsi dari Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat dengan judul: Studi Hadis
Tentang Wanita Beragama Sebagai Calon Istri, Telaah terhadap kualitas
10 Rama, Kamus Lengkap.,17. 11 Ibid.,196.
10
Hadis dalam Sunan Abi> Da>wud‛ oleh Ah. Nasich Hidayatullah pada tahun
2002, di Uneversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dengan nomor
indeks perpustakaan K.U-2002-004.TH. dalam skripsi ini membahas
bagaimana kulitas hadis tentang wanita beragama sebagi calon istri.
3. Skripsi dari Fakultas Ushuluddin dengan judul: Hermeneutika al-Quran
Tentang Pluralisme Agama Telaah Kritis atas Hermeneutika Farid Esack
dalam al-Qur’an, oleh Hadiansyah Yudistira pada tahun 2003 di universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam skripsi ini membahas
masalah hermeneutika al-Qur’an tentang pluralism agama yang memiliki
pengaruh dalam kanca pemikiran Islam afrika selatan.
4. Skripsi dari Fakultas Ushuluddin juga dengan judul: Makna al-Din dalam
al-Qur’an Studi Tematik atas Tafsir Ibn Katsir, oleh Ahmad Nurhamid
pada tahun 2010 di universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam skripsi ini lebih fokus pada makna al-Din itu sendiri.
Beberapa karya yang telah disebutkan di atas, secara sekilas memiliki
kesaan yakni sama-sama mengungkapkan tentang agama, namun secara terpeinci
pastinya memiliki perbedaan seperti yang pertama dan kedua lebih fokus pada
kritik sanad dan matn hadis dan yang ketiga lebih fokus pada kajian
hermeneutika al-qur’an tentang pluralism agama, dan yang keempat lebih fokus
pada makna al-Din dalam al-Qur’an. Sedangkan dalam penelitian kali ini,
peneliti lebih fokus pada kajian hadis yakni kajian analisis kualitas dan
kehujjahan serta pemaknaan hadis tentang syariat agama Islam itu mudah dalam
11
H. Metodologi Penelitian
Dalam Penelitian ini menerapkan penelitian non-empirik yang
menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh karena itu
sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari literature
tertulis yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian
1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan terbagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:
a. Sumber data primer atau sumber pokok yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah:
Kitab Sunan al-Nasa>’i> dan, Syarah Sunan al-Nasa>’i karya: Jala>luddi>n
al-Syu>t}i>y >.
b. Sumber data sekunder atau sumber data pendukung dalam penelitian ini
antara lain:
1) Kitab al-Mu’jam al-Mufahrats Li al-Fadzil H}adi>th karya: A.J
Wensinck.
2) Kitab Sahih Bukhari dan syarahnya.
3) Kitab Tahdz}i>b al-Tahdz}i>b.
4) Metodologi Penelitian Hadis karya suryadi dan Muhammad Alfatih
Suradilaga dan
Buku-buku kritik sanad dan matan, seperti Membahas Ilmu-Ilmu Hadis
12
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal
ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dalam Penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan
dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu : Takhrij al-H}adi>th dan i'tibar al-
H}adi>th.
a. Takhrij al-H}adi>th secara istilah dapat diartikan sebagai kegiatan
untuk mengeluarkan atau menunjukkan hadis dari sumber asli.13 Maka
Takhrij al-H}adi>th merupakan langkah awal untuk mengetahui
kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis.
b. Kegiatan i'tibar dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan
sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja.14
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh
melalui penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua
komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data hadis akan meliputi dua
komponen tersebut.
a. Penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan
keilmuan Rijal al-H}adi>th dan al-Jarh Wa al-Ta‘dil, serta mencermati
13 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis
(Yogyakarta: Teras, cetakan 1, 2009), 34.
13
silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tahammul wa
‘ada'). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan tingkatan
intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara mereka
selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.
b. Penelitian matn, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan
analisis isi (content analysis). Mengevaluasi atas validitas matn diuji pada
tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan: penegasan eksplisit
al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis-hadis lain
yang bermutu sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui
sebagai bagian integral ajaran Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam memperoleh gambaran yang secara
menyeluruh pada penelitian ini, maka penulis akan memaparkan sistematika
pembahasan yang terdiri dari bab, yaitu:
Bab 1. Pendahuluan, merupakan bagian awal dari sebuah penelitian sebagai
pengantar dalam memeahami pokok-pokok permasalahan. Pembahasan
dalam bab ini meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah
dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab 2. Pengertian syariat Islam dan metodologi penelitian hadis, bab ini
berisikan tentang pengertian syariat agama Islam itu mudah,
14
serta menjelaskan al-Jarh Wa al-Ta‘dil, metode kehujjahan hadis, dan
pemaknaan hadis.
Bab 3. Imam al-Nasa>’i> dan data hadis tentang syariat agama Islam itu mudah,
bab ini mendiskripsikan tentang biografi Imam al-Nasa>’i dan Kitab
Sunannya, komentar ulama terhadap al-Nasa>’i dan kitabnya, data hadis
tentang syariat agama Islam itu mudah, takhrij hadis, hadis pendukung,
skema sanad dan i‘tibar-nya hadis.
Bab 4. Kualitas, kehujjahan Hadis dan pemaknaaan syariat agama Islam itu
mudah dalam hadis al-Nasa>’i>, bab ini meliputi: kualitas sanad, kualitas
matan, ke-hujjah-an dan pemaknaan hadis.
Bab 5. Penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan seluruh penulisan yang
BAB II
PENGERTIAN SYARIAT ISLAM DAN METODOLOGI
PENELITIAN HADIS
A. Definisi Syariat Agama Islam Itu Mudah
1. Pengetian Syariat
Syariat adalah segala hal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW dalam bentuk wahyu yang ada dalam al-Qur’an dan sunah.
Semula kata ini berarti ‚jalan menuju kesumber air‛, yakni jalan kearah sumber
kehidupan. Kata kerjanya adalah syara’a yang berarti ‚menandai atau
mengambar jalan yang jelas menuju sumber air‛.1
Semula kata syariat diartikan dengan agama, dan pada akhirnya syariat
ditunjukkan khusus untuk praktek agama. Penujukan ini dimaksudkan untuk
membedakan antara agama dan syariat. Pada akhirnya, agama itu satu dan
berlaku secara universal, sedangkan syariat berbeda antara umat yang satu
dengan umat lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kata syariat digunakan
untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh
al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia
(ijtihad).2
Kata syariat sering diungkapkan dengan syariat Islam, yaitu syariat
penutup untuk syariat agama-agama sebelumnya, karena itu syariat Islam adalah
1 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, Vol. 6 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
301.
16
syariat yang paling lengkap dalam mengatur kehidupan keagamaan dan
kemasyarakatan, melalui ajaran Islam tentang akidah, ibadah, muamalah dan
akhlak.3
Pengertian syariat Islam ini dapat dibagi menjadi dua pengertian: pertama
dalam pengertian luas, kedua dalam pengertian sempit, dalam pengertian luas
syariat Islam ini meliputi semua bidang hukum yang telah disusun dengan teratur
oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai persoalan
dimasa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian, dengan
mengambil dalil-dalilnya langsung dari al-Qur’an dan al-H}adi>th, atau sumber
pengambilan hukum seperti: ijma’, qiyas, istihsan, istish-hab, dan mashlahlh
mursalah.4
Sedangkan syariat Islam dalam pengertian sempit adalah hukum-hukum
yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam al-Qur’an, hadis yang sahih,
atau yang ditetapkan oleh ijma’.5
2. Pengertian Agama
Arti kata ‚agama‛ dalam bahasa Indonesia dengan kata di>>n dalam bahasa
arab dan semit, atau dalam bahasa eropa: religion. Secara bahasa, kata ‚agama‛
berasal dari bahasa sanskerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat atau
diwarisi turun-temurun.6
3 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, 38.
4 Ahmad Zaki Yamani, Syariat Islam Yang Kekal dan Persoalan Masa Kini (Jakarta:
Intermasa, 1977), 14.
5 Ibid., 15.
6 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, Vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
17
Sedangkan menurut istilah agama adalah hubungan manusia dengan
sesuatu yang dianggap suci, kudus atau ilahi, disebut agama. Biasanya agama
dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, dewa, atau roh. Adapun kata
‚di>n‛ mengandung arti ‚menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan atau
kebiasaan. Di>n juga membawa peraturan berupa hukum yang harus dipatuhi, baik
dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang
harus ditinggalkan dan pembalasan.7
3. Pengertian Islam
Ada dua sisi yang dapat digunakan unttuk memahami pengertian agama
Islam, yaitu dari sisi kebahasaan dan dari sisi peristilahan.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata
salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima
selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk
dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh dan taat disebut
orang muslim. Nurcholis madjid berpendapat bahwa ‚sikap pasrah kepada Tuhan
merupakan hakikat dari pengertian Islam‛.8
Adapun pengertian Islam dari segi istilah terdapat beberapa pendapat:
Harun Nasution mengatakan ‚bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai
agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan tuhan kepada
masyarakat menusia melalui Nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul.‛9
7 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, Vol. 6 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
88.
18
Sementara menurut Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa ‚Islam
adalah agama perdamaian; dan dua ajaran pokok yaitu keesaan Allah dan
kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata. Bahwa agama
Islam selaras benar denagn namanya, Islam bukan saja dikaitkan sebagai agama
seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat suci al-Qur’an,
melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tidak sadar tunduk sepenuhnya
kepada undang-undang Allah, yang kisa saksikan pada alam semista."10
4. Pengertian yusra> (mudah)
Mudah artinya gampang, tidak susah, tidak sukar.11 Namun ketika kata
ini dikandeng dengan kata benda, maka menjadi sifat dari kata benda tersebut,
seperti kata agama itu mudah ( رسي يدلا) maka maksudnya adalah agama yang
memiliki kemudahan, atau disebut dengan agama yang mudah.12
5. Korelasi syariat, Agama, Islam dan yusra > (mudah)
Syariat merupakan segala hal yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW dalam bentuk wahyu yang ada dalam al-Qur’an dan
sunah. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan sesuatu yang
dianggap suci, kudus atau ilahi, atau biasanya agama dikaitkan dengan hubungan
manusia dengan Tuhan, dewa, atau roh. Sedangkan kata ‚di>n‛ mengandung arti
‚menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan. Kemudian
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan tuhan kepada masyarakat
10 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 64.
11 Tri Rama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: karya Agung, t.t), 334. 12 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari>: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, terj.
19
menusia melalui Nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul, dan yusra> (mudah)
sendiri merupakan sifat dari agama Islam itu.
B. Pengertian Hadis dan Klasifikasi Hadis
1. Pengertian Hadis
Hadis menurut bahasa berarti baru. Hadis juga secara bahasa berarti
‚sesuatu yang dibicarakan dan dinukil‛, juga bisa berarti ‚sesuatu yang sedikit
dan banyak‛. Bentuk jamak dari lafal h}adi>th adalah aha>di>th. Adapun firman
Allah ta’a>la>:
َ ِ َ َ َْف
ٌ َِ
َ َ ْ ِْن
ىَ َ
ْ ِِ َ اَء
ْوِإ
ِْ
اْ ُْلِمْؤُْ
اَذَِِ
ِ ْ ِدَْاا
اَ َ َأ
(
اا
:
(6
Maka (apakah) berangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada h}adi>th ini‛ (al-Kahfi:6). Maksud hadis dalam ayat ini adalah kitab al-Qur’an.13
Adapun pengertian hadis secara istilah menurut ulama terdapat beberapa
definisi yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan. Ada yang mendifinisikan
hadis ialah:
وا أ
لاا
ص
.ا
.
ياا فأو
ياا أو
14‚Segala perkataan Nabi SAW. Perbuatan, dan hal ihwalnya.‛ Ulama hadis lain mendifiisikan dengan:
ا
أام
ي
لاا
ص
.ا
.
يم
و
فو
تو
و
.
15‚segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r (ketetapan), maupun sifatnya.‛
Juga ada yang mendifinisikan dengan:
13 Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu H}adi>th, terj.Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar, 2005), 22.
20
ا
ضأام
إ
لاا
ص
.ا
.
وأ
ف
ا توأ
وأ
.
16
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan,perbuatan, ketetapan, maupun sifatnya.
Dari ketiga pengertian hadis diatas memiliki letak persamaan yakni
mendifinisikan hadis dengan segala yang disandarkan kepada Nabi baik
perkataan maupun perbuatan, sedangkan letak perbedaannya ialah pada
penyebutan terahir. Diantarannya ada yang menyebutkan hal ihwal atau sifat
rasul sebagai hadis, ada yang tidak, ada yang menyebutkan taqrir Rasul secara
eksplisit sebagai bagian dari bentuk-bentuk hadis.17
Sementara itu ulama usul mendifinisikan hadis dengan:
وا أ
لاا
ص
.ا
.
اِ
ح ل
وأ
و
اا
ا
.
18
segala perkataan Nabi SAW,yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Dari pengertian tersebut, bahwa segala perkataan atau aqwa>l Nabi, ang
tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak mengandung misi kerasulannya,
seperti cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum atau segala ang
menyangkut ihwal Nabi, tidak termasuk hadis.19
16 Arifin, Studi Kitab Hadis, 2. 17 Ibid., 2-3.
21
2. Klasifikasi Hadis
a. Hadis ditinjau dari segi bentuknya
Secara umum, hadis bila ditinjau dari segi bentuknya maka dapat dibagi
menjadi lima bentuk: hadis qowli>, hadis fi’li>, hadis taqri>ri>, hadis s}ifati> dan hadis
hammi>.20
1) Hadis Qowli>
Hadis qowli> didefinisikan sebagai segala perkataan yang disandarkan
kepada Nabi SAW. Dengan demikian, sumber hadis tersebut adalah perkataan
beliau.21 Contoh:
اَلَْ ِدَ
ُيِدْ َ ُْاا
ُدْ َ
ِِاا
ُيْ
ِْ َْ ُلاا
َواَ
اَلَْ ِدَ
ُواَ ْ ُ
َواَ
اَلَْ ِدَ
َ َْ
ُيْ
ٍد ِ َ
ُيِ اَلْنَْاا
َواَ
ِ َ َْ ْ َأ
ُدِ َُ
ُيْ
َ ِاَ ْْ ِإ
ُ ِ ْ ِْ اا
ُيِنَأ
َ َِ
َ َ َ ْ َ
َيْ
ٍصاِ َو
ِ ِ ْ ِ اا
ُو ُ َْ
ُ ْ َِ
َ َ ُ
َيْ
ِااِطَْاا
َ ِضَ
ُِاا
ُيْلَ
ىَ َ
َِ ْلِ ْاا
َواَ
ُ ْ َِ
َو ُ َ
ِِاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
ُو ُ َْ
اََِِإ
ُواَ ْ َْاا
ِااِ ِّلااِ
اََِِإَو
ِّ ُ ِا
ٍ ِ ْما
اَم
ىَ َْن
ْيَ َف
ْ َناَا
ُيُتَ ْ ِ
َ ِإ
اَ ْْنُا
اَ ُْ ِلُ
ْوَأ
َ ِإ
ٍ َأَ ْما
اَ ُ ِ ْلَْ
ُيُتَ ْ ِ َف
َ ِإ
اَم
َ َجاَ
ِيْ َاِإ
(
ى اخ اا
)
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi Abdullah ibn Az Zubair dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Sa'id Al Anshari berkata, telah mengabarkan kepada kami Muhammad ibn Ibrahim At Taimi, bahwa dia pernah mendengar Alqamah ibn Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar ibn al-Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"(H.R.Bukhari).22
20 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang:UIN Maliki Press, 2010), 83. 21 Ibid., 83.
22
2) Hadis fi‘li>
Hadis fi‘li> merupakan segala perbuatan yang disandarkan kepada
Rasulullah. Maksud dari hadis bentuk fi‘li> ini adalah suatu perbuatan atau
perilaku ibadah yang kemudian diikuti dengan perkataan beliau, yang selanjutnya
dinukil oleh para sahabat.23
Contoh hadis fi‘li>
ا ُ َ
اَ َا
ِ ُ ُ ْْ َأَ
ِّ َ ُأ
salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan salat (H.R.Bukhari).‛
Mekipun berbentuk perkataan, namun sejatinya dari hadis tersebut yang
harus diikuti bukanlah perkataan Nabi melainkan perbuatan beliau, sehingga
hadis yang qawli> ini lebih tepat disebut hadis fi‘li>.24
3) Hadis Taqri>ri>
Hadis taqri>ri> adalah hadis yang berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang
datang atau yang dilakukan para sahabatnya, lalu Nabi membiarkan atau
mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tampa
memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkan.
Sikap Nabi yang demikan itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil
taqri>ri>, yangdapat dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum atau
menetapkan suatu kepastian syara’.25
23 Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, 84. 24 Ibid., 84.
25 Zainul Arifin, Ilmu Hadis: Historis Dan Metodologis (Surabaya:al-Muna, 2014),
23
Diantara contoh hadis taqri>ri> , adalah sikap Nabi SAW, yang membiarkan
para sahabat dalam menafsirkan sabdah beliau tetang salah pada suatu
peperangan, yang bunyi sebagai berikut:
ّم ل
د ا
َ ل اا
إ
ي
(
او
ي ا اا
)
Janganlah seorang salat asar kecuali dibani quraidah.‛(H.R.Bukhari)
Diantara sahabat memahami larangan hadis itu berdasarkan pada hakikat
perintah tersebut, sehingga mereka terlambat dalam mengerjakan salat asar.
Sedangkan sekelompok sahabat lainnya memahami perintah tersebut dengan
perlunya menuju ke bani quraidah dan serius dalam peperangan dan
perjalanannya, sehingga tetap salat papat pada waktunya. Sikap para sahabat ini
dibiarkan oleh Nabi tampa ada yang disalahkan.26
4) Hadis s}ifa>ti> atau ahwali>
Hadis s}ifa>ti> atau ahwali>, ialah hadis yang berupa keadaan Nabi yang tidak
termasuk kedalam katagori hadis qawli>, fi‘li>, taqri>ri>, dan hammi>, hadis yang
termasuk katagori ini menyangkut sifat-sifat dan keperibadiannya serta keadaan
fisiknya.27
Contoh hadis dari sahabat anas ibn malik:
واا
و
ى
ي
و
ي أ
ِاالاا
اً
( .
م
ي
)
Rasulullah SAW. Adalah sebaik-baik manusia akhlaknya.‛(H.R. Mutafaq alaih).
24
5) Hadis hammi>
Hadis hammi> adalah hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi yang
belum terealisasikan, seperti halnya hasrat Nabi inging berpuasa tanggal 9
‘as}u>ra‘. Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas dijelaskan sebagai berikut:28
اَلَْ ِدَ
ُواَ ْ َ ُ
ُيْ
َاُواَا
ُيِ ْ َ ْاا
اَلَْ ِدَ
ُيْ ا
ٍبَْو
ِ َ َْ ْ َأ
َ َْ
ُيْ
َا ُ َأ
ِوَأ
َ ِ َْ ِإ
َيْ
َ ِ َمُأ
ِ ِ َ ُ ْاا
ُيَ ِدَ
ُيِنَأ
َ َِ
اَ َأ
َواَ َطَا
ُو ُ َْ
ُ ْ َِ
َدْ َ
ِِاا
َيْ
ٍااِ َ
ُو ُ َْ
َمِ
َااَ
ُِ ِلاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
َاْ َْ
َءاَ ُ اَ
اَنَ َمَأَو
ِيِماَ ِلِ
ا ُااَ
اَ
َو ُ َ
ِِاا
ُيِنِإ
ٌاْ َْ
ُيُ ِّ َ ُْت
ُا ُ َْ ْاا
ىَ اَلِلااَو
َواَ َْف
ُو ُ َ
ِِاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
اَذِ َف
َواَا
ُااَ ْاا
ُ ِ ْ ُ ْاا
اَلْ ُ
َاْ َْ
ِ ِ اِ اا
ْ َ َْف
ِاْأَ
ُااَ ْاا
ُ ِ ْ ُ ْاا
ِ َ
َِّ ُ ُْت
ُو ُ َ
ِِاا
ىِ َ
ُِاا
ِيْ َ َ
َ ِ َ َو
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibn Daud Al Mahri, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yahya ibn Ayyub, bahwa Isma'il ibn Umayyah Al Qurasyi telah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu Ghatafan berkata; saya mendengar Abdullah ibn Abbas ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari 'Asyura ia berkata; dan beliau memerintahkan kami agar berpuasa pada hari tersebut. Para sahabat kertanya; wahai Rasulullah, itu adalah hari dimana orang-orang yahudi dan nashrani mengagungkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila tahun depan maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Kemudian belum datang tahun depan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggal dunia. (H.R.Abudaud).
b. Hadis ditinjau dari segi jumlah perawinya
Hadis apabila ditinjau dari sampainya periwayatan kepada kita itu dibagi
menjadi dua, pertama apabila hadis itu memiliki jalur jumlah periwayatan yang
tampa batas ketentuannya, maka itu dikelompokka pada kelompok hadis
mutawa>tir, kedua apabila hadis itu memiliki jalur jumlah periwayatan yang
terbatas atau dengan jumlah sanad yang bisa ditentukan, maka itu dikatagorikan
pada kelompok hadis aha>d.29
28Arifin, Ilmu Hadis, 39-40.
25
1. Hadis Mutawa>tir
Hadis mutawatir secara bahasa ialah isim fail yang berasal dari kata
al-tawa>tiru atau at-tana>biu‘ (mengikuti). Secara istilah ialah hadis yang
diriwayatkan oleh banyak jalur periwayatan sehingga dimungkinkan tidak ada
kesepakatan untuk berbohong. Hadis mutawatir dibagi dua: pertama mutawa>tir
lafd}z}i>, kedua mutawa>tir ma‘na>wi>.30
Contoh hadis mutawatir lafdzi:
يم
اذا
ّ
اد م
أ ف
د م
يم
الاا
( .
او
و و
ا ا
.
Contoh hadis mutawati>r ma‘na>wi>:
Hadis tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, hadis ini diriwayatkan dari Nabi kurang lebih 100 hadis, dan setiap hadis tersebut menjelaskan tentang mengangkat tangan ketika berdoa.31
2. Hadis Ahad
Hadis ahad secara bahasa ialah kata al-ahad merupakan bentuk jamak dari
kata aha>dun dengan arti satu, atau hadis yang diriwayatkan seorang rawi saja.
Adapun secara istilah ialah hadis yang tidak memiliki syarat-syarat hadis
mutawa>tir.32
Hadis ahad dibagi menjadi tiga: hadis mashur, hadis azi>z, dan hadis
ngari>b. adapun rincian dari ketiga hadis tersebut adalah sebagai berikut:
a) Hadis mashur
30 Tha>ha>n, Taisi>r Musthalah al-H}adi>th, 20. 31 Ibid., 2o.
26
Hadis masyhur ialah hadis yang diriwayakan oleh tiga rawi atau lebih
didalam setiap tingkatan, dan tidak sampai pada batas hadis mutawa>tir.33
Contoh:
وإ
اا
ا ال نا
ي ل ل
(...
او
واخ لاا
ىذمرااو
ي إو
يجام
د أو
)
b) Hadis Azi>z
Hadis azi>z ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua rawi disetiap tingkatan.34
Contoh:
وأ
و
ص
.ا
.
وا
"
يمؤ
اد أ
و اأ
ب أ
ي اا
يم
داوو
االااو
م مأ
(.
او
واخل اا
)
c) Hadis ngha>ri>b
Hadis ngha>ri>b ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja, atau
Cuma memiliki satu jalur periwayatan saja.35
Contoh:
اَإ
وا اا
اا لاأ
.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab saja.
33 Tha>ha>n, Taisi>r Musthalah al-H}adi>th,22. 34 Ibid., 24.
27
c. Hadis ditinjau dari segi kualitas sanad
Pembagian hadis ditinjau dari segi kualitas sanadnya dibagi menjadis
empat:
1. Hadis sahih
Hadis sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, dengan periwayatan
rawi yang adil dan dabit dari rawi pertama sampai rawi terakhir, tidak
mengandung unsure sha>dh dan `illat. 36
Contoh:
اَلَْ ِدَ
ُدْ َ
ِِاا
ُيْ
،َ ُ ُ
َواَ
:
اَنَ َْ ْ َأ
،ٌ ِااَم
ِيَ
ِيْ ا
، ٍااَ ِ
ْيَ
ِدِ َُ
ِيْ
ِْ َْ ُج
ِيْ
،ٍ ِ ْطُم
ْيَ
،ِي ِ َأ
َواَ
" :
ُ ْ َِ
َو ُ َ
ِِاا
َأَ َْ
ِ
ِاِ ْ َ ْاا
ِ ُطااِ
"
(
او
ي اخ اا
اا ا
واذاا
).
372. Hadis hasan
Hadis hasan ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan periwayatan
perawi yang adil dan dabit, tetapi nilai kedabitannya kurang sempurna, serta
selamat dari unsur shu>d}u>dh dan `illat.38
Contoh:
اَلَْ ِدَ
،ُ َ ْ َْ ُْ
اَلَْ ِدَ
ُ َ ْ َج
ُيْ
َواَ ْ َ ُ
،ُ ِ َ ُ اا
ْيَ
ِ َأ
َواَ ْ ِ
، ِِّ ْ َْ ا
ْيَ
ِ َأ
ِ ْ َ
ِيْ
ِ َأ
ىَ ُم
،ِّيِ َ ْ َْاا
واَ
:
ُ ْ َِ
ِ َأ
ِ َ ْ َِ
،ِّوُدَ ْاا
ُو ُ َْ
:
َواَ
ُو ُ َ
ِِاا
" :
ِوِإ
َااَ ْْ َأ
ِ ِلَْ ا
َ َْ
ِو َ ِ
ِو ُ ُ اا
("....
او
يذمراا
)
39Hadis ini menurut Imam at-Tirmidzi termasuk hadis hasan ngarib.
36 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2012), 112.
37 Mahmud al-Tha>ha>n, Taisi>r Musthalah al-H}adi>th (Dar al-Fiker, t.t), 31.
38 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2012), 130.
28
3. Hadis daif
Hadis daif ialah hadis yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadis sahih dan
hadis hasan. Namun kelemahan perawinya tidak sampai pada level tertuduh
pendusta atau pelaku pemalsu hadis.40
Contoh:
ا م
ا لت
berpuasalah kalian agar kalian menjadi orang sehat.
Hadis ini diriwayatkan dari abu hurairah dan dikeluarkan oleh at-Thabrani
dalam Mu’jam al-Ausath.
4. Hadis maud}hu>‘ (hadis palsu)
Hadis maud}hu>‘ ialah hadis yang terindikasi dalam jalur perawinya ada
yang melakukan pendustaan kepada Rasulullah Saw. Atau tertuduh berbuat
dusta. Contoh:
ما
ود ت
ا م
ي ل و
ما
,
مو
ما
ود ت
م
م
ما
,
وإ
ا ما
وود ل ا
ا
م م
,
و اال و
و ل
ى
اا أ
اا اا
ا ت
س لاا
.
41Shalat dengan menggunakan surban nilainya sama dengan shalat dua puluh lima kali
tampa menggunakan surban. Sekali jum’atan dengan menggunakan surban nilainya
sama dengan tujuh puluh kali jum’atan tampa menggunakan surban. Sesungguhnya para maikat senantiasa mendoakan orang yang jum’atan dengan bersurban, dan senantiasa mendoakan yang bersurban itu sampai tenggelamnya matahari.
29
C. Kritik Hadis
1. Kriteria kesahihan sanad hadis
Hadis sahih adalah hadis yang sambung sanadnya, diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan dabit serta tidak terdapat kejanggalan (shu>d}u>d}h) dan
cacat yang samar (`illat). Maka suatu hadis dapat dinyatakan sahih apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Sanad (mata rantai perawi) bersambung.
b. Seluruh perawi dalam sanad hadis bersifat adil (terpercaya).
c. Seluruh perawi dalam sanad bersifat dabit (cermat).
d. Sanad dan matn hadis terhindar dari kejanggalan (shu>du>dh).
e. Sanad dan matn hadis terhindar dari cacat yang samar (`illat).42
Berikut ini rincian kajian setiap unsur di atas:
1) Bersambung sanadnya
Bersambung sanadnya maksudnya adalah dari perawi pertama (guru
kodifikator) sampai perawi terakhir (murid shahib al-matan) tidak terjadi
keterputusan sanad. Jika terjadi keterputusan sanad pada satu tempat saja
(misalnya dalam tingkatan sahabat, maka dikenal dengan hadis mursal), itu
berarti telah terjadi keterputusan sanad atau sanadnya tidak bersambung. Hadis
yang sanadnya tidak bersambung adalah termasuk kategori hadis daif.
Masalah bersambung dan tidaknya sanad adalah persoalan yang penting
untuk menentukan maqbu>l dan ghairu maqbu>l suatu hadis. Ada banyak dari
hadis yang tergolong hadis daif dikarenakan sanadnya terputus atau tidak
42 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
30
bersambung meskipun hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil.
Untuk mengetahui kebersambungan sanad dapat diketahui dengan
beberapa cara:
a. Mencatat semua nama perawi yang tercantum dalam sanad sehingga
dapat diketahui relasi guru dan murid yang dipaparkan dalam berbagai
kitab biografi para perawi.
b. Melacak tahun wafat antara guru dan murid yang diprediksi masa
jedanya enam puluh tahun dalam kitab-kitab rijalul hadis.
c. Sigha>t Tahamu Wa al-Ada’ hadis, seperti sami’tu, sami’na>, hadda>sana>,
akhba>rona>, dan sebagainya.43
Jadi suatu sanad hadis dinilai bersambung jika seluruh perawi dalam
sanad tersebut benar-benar pernah bertemu dan telah terjadi hubungan
periwayatan menurut kaidah Tah}ammul Wa al-Ada’ antara perawi dengan
perawi-perawi sebelumnya.44
2) Perawi yang adil
Kata adil berasal dari Bahasa Arab yang berarti pertengahan, lurus atau
condong kepada kebenaran.45 Sedangkan secara istilah para ulama hadis
berbeda pendapat.
Dari berbagai pendapat para ulama hadis dapat disimpulkan dalam empat
kriteria berikut ini:
1) Beragama Islam
43 Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, 132. 44 Ibid., 112.
31
2) Mukallaf
3) Melaksanakan ketentuan agama (taat menjalankan agama)
4) Memelihara muru’ah46
Beragama Islam menjadi salah satu kriteria keadilan perawi apabila
perawi yang bersangkutan melakukan kegiatan menyampaikan periwayatan
hadis. Untuk kegiatan menerima hadis syarat tersebut tidak berlaku. Jadi perawi
ketika menerima riwayat boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama Islam,
asalkan saja ketika menyampaikan riwayat dia telah memeluk
agama Islam.47
Mukallaf yakni baligh dan bearakal sehat, merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika di menyampaikan riwayat. Untuk
kegiatan penerimaan riwayat, perawi tersebut dapat saja masih belum Mukallaf ,
asalkan saja dia telah mumayiz (dapat memahami maksud pembicaraan dan
dapat membedakan antara sesuatu yang hak dan yang batil). Jadi seorang anak
yang menerima suatu riwayat, kemudian setelah Mukalaf riwayat itu
disampaikan kepada orang lain, maka penyampaian riwayat tersebut telah
memenuhi salah satu syarat ke-sahihan sanad hadis.48
Tentang kriteria melaksanakan ketentuan agama yang dimaksudkan
adalah teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah, tidak
berbuat maksiat, dan harus berakhlak mulia. Uraian tentang melaksanakan
ketentuan agama tersebut memang ada yang tumpah tindih. Hal itu sebagai
46Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, 67. 47 Ibid., 67.
32
akibat dari penggabungan pendapat berbagai ulama tentang apa yang dimaksud
dengan perawi yang bersifat adil.49
Adapun memelihara muru>’ah, seluruh ulama sependapat untuk
menjadikannya sebagai salah satu kriteria sifat adil. Arti muru>’ah adalah
kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaa diri manusia pada tegaknya
kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat
istiadat yang berlaku di masing-masing tempat. Contoh-contoh yang
dikemukakan oleh ulama tentang prilaku yang merusak atau mengurangi
muru>’ah antara lain: makan di jalanan, kencing dijalanan, makan makanan
pasar yang dapat dilihat banyak orang, memarahi istri atau anggota keluarga
dengan ucapan kotor, dan bergaul dengan orang yang berperilaku buruk. Bila
perawi hadis tidak memelihara muru>’ah, maka dia tidak tergolong sebagai
perawi yang adil dan riwayatnya tidak diterima sebagai hujah.50
Untuk mengetahui keadilan perawi hadis, para ulama telah
menetapkan ketentuan sebagai berikut:
a) Berdasarkan popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama.
b) Berdasarkan penilaian para kritikus hadis.
c) Berdasarkan penerapan kaidah al-Jarh Wa al-Ta’dil. 51
Cara ini ditempuh apabila para kritikus perawi tidak terbukti
menyepakati kualitas pribadi perawi tertentu. Jadi penetapan keadilan
seorang perawi diperlukan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah ulama
49Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, 68. 50 Ibid., 68-69.
33
kritikus hadis.
3) Perawi yang d}a>bi>t
Secara harfiah makna d}a>bi>t berarti kuat, tepat, kokoh dan hafal dengan
sempurna. Pengertian harfiah tersebut diserap ke dalam pengertian istilah dengan
dihubungkan dengan kapasitas intelektual. Secara umum keriteria d}a>bi>t} itu
dirumuskan sebagai berikut:52
1. perawi yang dapat memahami dengan baik riwayat yang telah
didengarnya.
2. Perawi hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
3. Perawi yang mampu menyampaikan kembali riwayat yang telah
didengar itu dengan baik.
Sedangkan dalam keadaan atau perilaku yang dinilai dapat merusak ke-
d}a>bi>t} -an adalah sebagai berikut:53
1. Dalam meriwayatkan hadis perawi lebih banyak salahnya (fahusha
ghalatuhu).
2. Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya.
3. Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-
wahm).
4. Riwayat yang disampaikan bertentangan dengan riwayat perawi yang
thiqah (mukha>lafah ‘an al-thiqah).
5. Jelek hafalannya walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang
52 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2012), 160.
34
benar (su>’ al-hifzi).54
Keadilan perawi adalah berkaitan dengan aspek moralitas perawi,
sedangkan ke-dabitan perawi berkaitan dengan aspek intelektualitas
perawi. Apabila kedua sifat itu melekat pada pribadi seorang perawi maka yang
bersangkutan layak disebut sebgai perawi yang shiqah.55
4) Tidak shadh
Kata shadh berasal dari kata shadhdha-yashudhdhu yang menurut
bahasa berarti yang ganjil, yang terasing, yang menyendiri. Maka hadis yang
shadh menurut bahasa berarti hadis yang menyimpang atau yang menyendiri dari
yang lain.
Sedangkan menurut istilah, ulama berbeda pendapat tentang
pengertian shudh}u>dh suatu hadis, dari pendapat-pendapat yang berbeda, ada tiga
pendapat yang menonjol bahwa yang dimaksud dengan hadis shudh}u>dh ialah:
a. Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi riwayatnya
bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat
yang thiqah juga. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam al-Syafi’i (w.204
H/820 M).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh orang thiqah, tetapi orang-orang thiqah
lainnya tidak meriwayatkan hadis tersebut. Pendapat ini dikemukakan
oleh al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H/1014 M).
c. Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik perawinya bersifat
54 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis
(Yogyakarta: Teras, cetakan 1, 2009), 105.
35
thiqah maupun tidak bersifat thiqah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu
Ya’la al-Khalili (w. 466 H).56
Dari ketiga pendapat di atas, maka pendapat Imam al-Syafi’i adalah
pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat ini.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa kemungkinan
suatu sanad mengandung shudh}u>dh bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah.
Hadis yang hanya memiliki sebuah sanad saja, tidak dikenal adanya
kemungkinan mengandung shudh}u>dh. Salah satu langkah penelitian yang
penting untuk meneliti kemungkinan adanya shudh}u>dh suatu sanad hadis
ialah dengan membandingkan sanad-sanad yang terdapat dalam matn yang topik
pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.57
5) Tidak ber-illat
Kata`illat berasal dari kata ‘alla-ya’ullu atau dari ‘alla ya’illu yang
secara bahasa berarti penyakit, sebab, alasan atau halangan. Maka ungkapan
tidak ber-`illat secara bahasa berarti tidak ada penyakit, tidak ada sebab (yang
melemahkannya) atau tidak ada halangan.
Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pengertin `illat disini
bukanlah sebagaimana pengertian `illat secara umum, yakni cacat yang disebut
sebagai t}a’nu al-hadith atau jarh}. Maksud illat dalam hal ini adalah sebab-sebab
tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya
menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak berkualitas sahih menjadi
56 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), 57.
36
tidak sahih. Para ulama mengakui bahwa penelitian `illat ini cukup sulit, sebab
sangat tersembunyi, bahkan secara lahiriyah tampak sahih. Oleh karena itu,
diperlukan ketajaman intuisi, kecerdasan dan hafalan serta pemahaman
hadis yang cukup luas.58
Langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah menghimpun seluruh sanad
untuk matn yang satu tema, kemudian diteliti dengan cara membandingkan
sanad yang satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan matannya, ia perlu
dibandingkan dengan matan-matan yang lain. Apabila bertentangan dengan
matan-matan hadis lainnya yang senada atau kandungannya bertentangan
dengan al-qur’an maka berarti hadis tersebut mengandung `illat.59
Menurut penjelasan ulama ahli kritik hadis illat hadis pada
umumnya ditemukan pada:60
a. Sanad tampak mut}a>s{il (bersambung) dan marfu>’ (bersandar kepada
Nabi), tetapi kenyataannya mauqu>f (bersandar kepada sahabat Nabi)
walaupun sanadnya dalam keadaan mut}a>s}il.
b. Sanad yang tampak mut}a>s{il dan marfu’, tetapi kenyataannya mursal
(bersandar kepada ta>bi’i>) walaupun sanadnya dalam keadaaan muttas{il.
c. Dalam hadis itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadis
lain dalam sanad hadis itu terjadi kekeliruan penyebutan nama
periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat
58 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis, 163.
37
lain yang kualitasnya berbeda.61
2. Kriteria kesahihan matn hadis
Untuk menentkan kesahihan matn suatu hadis, para ulama’ telah
melakukan penelitian dan kritik secara saksama terhadap matn hadis, sehingga
disusun beberapa criteria atau kaidah yang dapat dijadikan tolok ukur bagi
sebuah matn hadis yang sahih. Tolok ukur yang dijadikan pegangan oleh ulama
beragam, al-khatib al-bagdadi misalnya, menjelaskan bahwa matn hadis yang
makbul adalah matn hadis yang memiliki indikator sebagai berikut:62
1. Tidak bertentangan dengan akal yang sehat.
2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam.
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir.
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang menjaddi kesepakatan ulama’
masa lalu.
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan hadis yang kuwalitas kesahihanna lebih kuat.
D. Metode al-Jarhu Wa al-Ta‘dil
1. Pengertian jarah (tajrih) dan ta‘dil
Tarjih atau jarah dalam pengertian bahasa adalah ‚melukai tubuh atau
yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya.‛
61 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis, 164.
38
Luka yang disebabkan pisau dan sebagainya dimanakan jarh. Menurut pengertian
istilah ialah:63
ُااَ ُْ اَمُ ْاِذ
ِيِ
يواِ اا
.
Menyebutkan sesuatu yang dengan karnanya tercacatlah si perawi, atau menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayatnya.
Sedangkan ta‘dil menurut bahasa, ialah menyama ratakan, mengimbangi
sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil. Menurut
istilah adalah:64
ُ ْ َو
يِواِ اا
ٍااَ ِل
ُبِج ُت
ُيً َااد
اا
َ
ِوْ ُْ ااُ ادم
ِيِ اوِ ا
.
mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya.
2. Macam-macam kaidah jarh dan ta‘dil
Kaidah-kaidah jarh dan ta‘dil ada dua macam:65
a. Macam pertama, bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, shahnya
periwayatan, keadaan perawi dan kader kepercayaan kepada mereka.
Bagian ini dinamakan ‚naqdu>n kha>ri>ji>yu>n‛ atau kritik yang datang dari luar
hadis (kritik yang tidak mengenai dari hadis).
b. Macam kedua, berkaitan dengan hadis sendiri, apakah maknanya sahih atau
tidak dan apa jalan-jalan kesahihannya dan ketiadaan kesahihannya.
Macam ini dinamakan ‚naqdu>n dakhi>li>yu>n‛ atau kritik dari dalam hadis.
63 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1954), 358.
39
3. Teori al-Jarh Wa al-Ta‘dil66
1. رجلا ى ع دق يدعتلا artinya ta‘dil didahulukan atas jarh, alasannya
karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat
tercela adalah sifat yang dating kemudian.
2. يدعتلاى ع دق رجلا artinya al-jarh didahulukan atas al-ta’dil, alasanya
kritikus yang menyatakan lebih paham terhadap pribadi periwayat.
3. .رسف لا رجلا ت ث ا إ اإ لدع ل حلاف لدع لاو راجلا ضراعت ا إ Apabila terjadi
pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka
yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila
kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.
Alasannya kritikus yang mencela lebih faham dari pada kritikus yang
memuji.
4. ةقث ل حرج قي اف افيعض رجلا اك ا إ apabila keritikus yang