• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN TAHUN 1908-1942.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN TAHUN 1908-1942."

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh :

DITA ROSY BUNAYYA NIM. 09406244047

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul "Perkembangan Pendidikan Perempuan Di Mangkunegaran Tahun 1908-1942” telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, Juni 2014 Pembimbing

(3)

tanggal 11 Juni 2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

1. Hj. Harianti, M.Pd Ketua Penguji ... ... 2. Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd Sekretaris ... ... 3. Rr. Terry Irenewaty, M.Hum Penguji Utama ... ...

Yogyakarta, Juli 2014 Dekan FIS

Universitas Negeri Yogyakarta

(4)

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya

Nama : Dita Rosy Bunayya Nim : 09406244047 Prodi : Pendidikan Sejarah

Judul : Perkembangan Pendidikan Perempuan Di Mangkunegaran Tahun 1908-1942.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan karya peneliti. Sepanjang pengetahuan penulis, skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau di gunakan sebagai persyaratan penyelesaian studi di perguruan tinggi lain, kecuali pada bagian-bagian tertentu yang penulis gunakan sebagai sumber penulisan.

Pernyataan ini peneliti buat dengan sepenuh kesadaran dan sesungguhnya, apabila dikemudian hari ternyata tidak benar maka sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Yogyakarta, Juli 2014 Penulis

(5)

Indonesia”

(Anies Baswedan)

“Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah maka kamu akan termotivasi

dan jangan menunggu terinspirasi baru menulis, tapi menulislah maka inspirasi akan

hadir dalam tulisanmu”.

(6)

PERSEMBAHAN

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga atas izin-MU saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Kupersembahkan skripsiiniuntuk

Kedua nenekku Hj. Warsiti dan Musiyem yang juga memberikan doa dan petuahnya kepada saya agar cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan.

Kubingkiskan skripsi ini untuk

Bapak Rosyid Sriyanto dan Ibu Tatik Kurniawati Iriani sebagai orang tua, terima kasih atas doa, bimbingan dan kepercayaan kepada saya selama ini. Terimakasih atas segala jerih payah, nasihatdan kasih sayang yang Bapak Ibu berikan selama ini.

Adikku yang kusayang Riza Azhafa dan Muh. Damar Sakti Pambudi yang selalu memberi semangat dan doa, semoga kita bertiga dapat membahagiakan kedua orang tua kita secara sesungguhnya.

(7)

Nim : 09406244047

Keterlibatan kaum perempuan dalam pendidikan di Indonesia pada masa pergerakan nasional dianggap masih kurang. Selama ini, perempuan hanya diberi ruang dalam sector domestik untuk mengasuh anak, melayani suami dan memasak di dapur tanpa memikirkan kualitas hidupnnya serta kiprahnya dalam masyarakat. Skripsi ini bertujuaan untuk: 1) Mengungkapkan gambaran umum perempuan Mangkunegaran pada masa Pergerakan Nasional; 2) Kesadran perempuan di Mangkunegaran akan pentingnya pendidikan; 3) perkembangan pendidikan perempuan di Mangkunegaran.

Skripsi ini menggunakan metode penulisan sejarah. Langkah-langkah metode penulisan sejarah mencangkup: 1) Pemilihan topik yaitu kegiatan memilih permasalahan yang akan ditulis. 2) Heuristik yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan melakukan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan Perkembangan Pendidikan Kaum Perempuan di Mangkunegaran Tahun 1908-1942. 3) Kritik sumber yaitu kegiatan meneliti sumber untuk menentukan validitas kredibilitas sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan. 4) Interpretasi yaitu proses untuk menafsirkan fakta-fakta sejarah serta proses penyusunannya. 5) Historiografi yaitu penulisan sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Gambaran perempuan di Mangkunegaran antara tahun 1908-1942 pada umumnya masih terbelakang. perempuan dirasa tidak berhak memperoleh pendidikan, laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan perempuan harus tunduk dan patuh.(2) Kaum perempuan pada masa itu belum mendapatkan pendidikan karena pandangan yang diyakini masyarakat bahwa perempuan hanya bertugas di wilayah domestic sumur-kasur-dapur. (3) Kondisi semacam ini menggugah kesadaran perempuan dari kalangan ningrat untuk memperjuangkan nasib perempuan menjadi lebih baik. Dimulai dari gagasan Kartini tentang perlunya pendidikan bagi perempuan, Pada tokoh gerakan perempuan telah berhasil meletakkan fondasi bagi upaya penafsiran ulang hubungan antar jender sehingga hak-hak perempuan lebih dihargai dan peran perempuan di ruang public mulai diperhatikan.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini adalah untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa berhutang budi atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada beliau yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini sampai selesai. Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr, Rochmat Wahab, M.Pd., MA selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Ibu Terry Irenewaty, M.Hum selaku Penguji Skripsi Utama.

4. Bapak M.Nur Rokhman, M.Pd selaku Ketua Jurusan Program Studi Pendidikan Sejarah dan sebagai Pembimbing Akademik.

(9)

7. Seluruh staf dan pegawai Laboraturium dan perpustakaan Pendidikan Sejarah, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Kolose Ignatius, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Daerah Klaten,Arsip Mangkunegaran.

8. Bapak dan Ibu selaku orang tua terimakasih atas doa dan segalanya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar saya dari Simbah, Pakdhe, Budhe, Om dan Bulek saya terimakasih untuk doa, semangat, dan nasihat dari kalian semuanya.

10.Sahabat-sahabat saya di Pendidikan Sejarah 2009 yang telah lulus duluan terimakasih untuk doa dan semangatnya.

11.Sahabat-sahabat saya di Desa Basin Rw 08 dan sekitarnya terimakasih untuk doanya serta semua pihak yang tak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berterimakasih kepada para pembaca yang berkenaan memberikan kritik dan saran yang membangun.

Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

I. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II. GAMBARAN UMUMPEREMPUAN MANGKUNEGARAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL A. Praja Mangunegaran... 19

B. Kondisi Perempuan di Mangkunegaran ... 25

(11)

BAB IV. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN

A. PendidikanPerempuan di Mangkunegaran ... 53

B. Perkembangan Sekolah Perempuan di Mangkunegaran ... 57

C. Pendidikan Sekolah Perempuan di Mangkunegaran ... 72

BAB V. KESIMPULAN ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut sejarah Indonesia, perjuangan perempuan di Indonesia telah ada sejak abad ke-9 Masehi. Tokoh-tokoh pejuang perempuan yang terkenal dalam sejarah misalnya: Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Din, Cut Meutia, R. A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, dan Haji Rasuna Said. Setelah memasuki abad ke-10, perjuangan perempuan di Indonesia tidak hanya berlangsung secara individual, melainkan telah mulai membentuk kelompok-kelompok atau organisasi. Dalam sejarah Indonesia, pergerakan perempuan dibagi ke dalam tiga periode, yaitu: kebangkitan (1908-1942), periode transisi (1942 1945), dan setelah proklamasi kemerdekaan (setelah tahun1945).1

Fokus penelitian ini adalah era pergerakan pada periode kebangkitan (1908-1942), terutama yang berkaitan dengan kebangkitan gerakan perempuan dan pengaruhnya terhadap pendidikan di wilayah Mangkunegaran karena dalam periode inilah mulai muncul upaya-upaya untuk memberdayakan dan membangkitkan kesadaran kaum perempuan akan pentingnya pendidikan.

Selain itu, upaya perluasan pendidikan dalam masyarakat Indonesia, khususnya di Mangkunegaran Surakarta mulai tampak sekitar tahun 1900-an. Pada masa itu, mulai muncul tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok yang berusaha memperluas pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan yang sebelumnya menjadi hak istimewa bagi para priyayi dan bangsawan, mulai diperluas untuk

1

(13)

masyarakat pribumi yang lain, khususnya diperuntukkan bagi kaum perempuan.2 Di bidang pendidikan pada umumnya, bangsa kita saat itu masih kurang pandai dalam membaca dan menulis sehingga sebagian besar masyarakat masih buta huruf. Sedangkan jenjang pendidikan formal hanya terbuka bagi kaum bangsawan dan priyayi.3 Masyarakat pribumi tidak mendapatkan hak serta kesempatan yang sama seperti mereka dalam bidang pendidikan.

Masyarakat pribumi dianggap tidak berhak mendapatkan pendidikan pada masa itu. Menurut asal-usulnya, pendidikan dianggap sebagai hak istimewa bagi kaum laki-laki, maka, keterampilan, teknologi dan ilmu pengetahuan modern pun kemudian dianggap sebagai hak istimewa bagi kaum laki-laki. Kuatnya adat dan tradisi, tiadanya penjelasan, kesulitan-kesulitan yang tak terhitung jumlahnya pada kaum perempuan cenderung membatasi kesempatan yang dimiliki anak-anak perempuan dan para perempuan pada saat itu untuk mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan seperti kaum laki-laki.

Secara ideologis, pembatasan akses terhadap pendidikan bagi kaum perempuan juga dipicu oleh kekhawatiran kaum laki-laki akan munculnya

Pemahaman orang Jawa ini secara simbolik mengubah pemahaman terhadap istilah “perempuan” yang sebelumnya hanya dianggap sebagai objek, berubah menjadi subjek. Cristina S. Handayani dan Novianto Ardani, Kuasa Perempuan Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2004, hlm. 6.

3

(14)

3

perempuan di ruang publik yang dianggap akan menyaingi kuasa laki-laki. Pendidikan akan menambah kesadaran dan mengembangkan kemampuan yang dapat berguna bagi kemajuan masyarakat. Bukan lagi pendidikan yang dilakukan dalam kalangan keluarga saja mengenai sopan santun, sikap hidup, dan kerumahtanggan, melainkan pendidikan sekolah dengan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas cakupanya. Yang pertama-tama mendapat perhatian ialah pendidikan kaum perempuan dari kalangan bangsawan karena diharapkan mereka dapat memberikan contoh kepada rakyat.4 Bangsawan dianggap sebagai panutan yang diharapkan akan diikuti oleh rakyat, sedangkan bagi kaum perempuan, kemajuan berarti tantangan yang fundamental terhadap hidup mereka sendiri.

Kaum perempuan berusaha mengembangkan diri melalui pendidikan yang dirintis oleh para bangsawan perempuan. Adalah hal yang wajar bila keinginan dan dorongan untuk memajukan perempuan berasal dari kaum perempuan sendiri. Mereka merasa tidak cukup puas dengan cara hidup yang terbatas yang diisi dengan kewajiban-kewajiban untuk keluarga dan rumah tangga saja. Kaum perempuan juga ingin berperan lebih banyak di masyarakat sehingga memiliki andil yang sama dengan laki-laki dalam membangun bangsa.

Timbulnya pergerakan nasional adalah salah satu akibat langsung dari pendidikan. Pendidikan formal menghasilkan golongan terpelajar, suatu kelompok elite baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai perempuan muda yang terpelajar, mereka harus memiliki cakrawala yang luas mengenai kepincangan

4

(15)

politik kolonial, mengenai nasib bangsa yang terjajah, dan mengenai nasib kaum perempuan yang tidak mampu berperan di ruang publik. Mereka juga tergerak untuk mendirikan organisasi modern sebagai alat perjuangan untuk membela nasib bangsanya.

Oleh karena itu, perjuangan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, khususnya di Mangkunegaran, Surakarta menarik untuk diteliti lebih mendalam. Perjuangan kaum perempuan ini tidak lepas dari upaya-upaya pendidikan yang dilakukan pada masa pergerakan nasional. Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Mulai munculnya organisasi pemuda dan perempuan pada masa pergerakan tersebut tentu memberi dampak tersendiri bagi cara berpikir, cara bertindak dan cara kaum perempuan memandang dirinya dan dunia. Perubahan terhadap cara berpikir dan bertindak tentu terkait dengan upaya pendidikan yang dilakukan oleh para tokoh pergerakan perempuan pada masa itu, khususnya pengembangan pendidikan perempuan di Mangkunegaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka untuk mempermudah dalam pengkajian skripsi ini, penulis merumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Bagaimanakah Gambaran Umum Kaum Perempuan Mangkunegaran pada masa Pergerakan Nasional ?

2. Bagaimanakah Kesadaran Kaum Perempuan di Mangkunegaran akan Pentingnya Pendidikan ?

(16)

5

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

a. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya berpikir yang kritis, logis, dan analitis.

b. Mengaplikasikan metode penelitian sejarah dan historiografi yang telah dipelajari selama kuliah dalam bentuk nyata.

c. Memperoleh pengetahuan tentang perkembangan pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942.

2. Tujuan Khusus

a. Memberikan gambaran umum tentang perkembangan pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942.

b. Mengetahui kesadaran pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942.

c. Menjelaskan perkembangan pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis

a. Penulis menggunakan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

(17)

c. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai sejarah perempuan dan keunikannya.

2. Bagi Pembaca

a. Dengan membaca skripsi ini diharapakan dapat mengetahui sejarah tentang perkemabangan pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942.

b. Memahami pentingnya pengetahuan sejarah perempuan sebagai warisan budaya bangsa.

c. Pembaca diharapkan dapat memberikan penilaian secara kritis dan analisis tentang tulisan yang sudah disusun oleh penulis.

E.Kajian Pustaka

Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang telah menjadi peristiwa masa lampau.5 Penulisan sejarah memerlukan kajian pustaka maupun kajian teori untuk memperkuat makna peristiwa-peristiwa masa lampau dan mendekati suatu peristiwa yang terjadi sebelumnya dalam berbagai aspek kehidupan. Kajian pustaka merupakan kajian terhadap buku-buku yang mendukung analisis dalam penelitian.6

5

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 19.

6

(18)

7

Kajian pustaka dimaksudkan untuk memperkaya bahan rujukan peneliti dalam menulis penelitian ini sehingga diperoleh hasil penelitian yang komprehensif sesuai dengan bidang yang diteliti. Dengan kajian pustaka, peneliti berusaha menjelaskan Perkembangan Pendidikan Kaum Perempuan di Mangkunegaran Tahun 1908-1942. Beberapa hal yang akan dikaji, yaitu pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran, pandangan masyarakat Mangkunegaran terhadap perempuan Penulis menggunakan buku yang berjudul Pertmumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke Provinsi Jawa

Tengah yang diterbitkan oleh IKIP. Buku ini mengulas pendidikan kaum

perempuan di Magkunegaran beserta wilayah terbentuknya.

Buku selanjutnya adalah Kebijaksanaan pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran: Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XXI, yang diterbitkan

oleh Universitas Gadjah Mada. Buku ini menggambarkan perempuan dalam perspektif unggah-ungguh atau tata aturan dan nilai-nilai kesopanan Jawa dimulai dari kedudukan perempuan, dan tradisi Jawa. Selain itu, buku ini juga menjelaskan kondisi perempuan zaman dulu yang dilarang oleh orang tuanya untuk keluar rumah dan bergaul dengan lawan jenis. Perempuan dianggap sebagai subordinat laki-laki sehingga muncul jargon di kalangan orang Jawa, suwarga nunut neraka katut. Artinya, seorang perempuan betapa pun hebatnya pada

(19)

belakang atau wilayah domestik yang berpusat pada tiga tempat: sumur-kasur-dapur.”

Penelitian ini berusaha menggambarkan gerakan perempuan di Mangkunegaran dengan merujuk pada buku-buku yang relevan dengan tema ini. Selanjutnya penulis mengkaji kesadaran. Pada bagian ini, penulis menjelaskan kebangkitan untuk perempuan di Mangkunegaran akan pentingnya pendidikan. Diantaranya mengulas kesadaran perempuan memperoleh pendidikan, kiprah perempuan dalam pendidikan di Mangkunegaran, serta sekolah-sekolah perempuan pada masa pergerakan Nasional. Beberapa literatur yang digunakan antara lain yaitu buku Peranan dan Kedudukan Perempuan Indonesia yang diterbitkan oleh Gadjah Mada Univesity Press.

Buku ini mengulas pendidikan kaum perempuan dimulai dari Sekolah Van De Venter dan Sekolah Gadis sebagai sekolah rintisan yang memberi peluang kepada kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan formal. Selain memberikan pendidikan kecerdasan, kedua sekolah tersebut juga berusaha membentuk watak dan kepribadian murid-muridnya yang masih remaja menjadi perempuan-perempuan yang sehat dan tangkas. Sekolah-sekolah ini juga mulai merintis pendirian asrama-arama perempuan guna mengadakan pertukaran pikiran baik mengenai pekerjaan rohaniah maupun badaniah.

Buku Usaha dan Jasa Sri Mangkunegaran VII Terhadap Pendidikan dan Pengajaran, yang diterbitkan oleh Rekso Pustoko menjelaskan perkembangan

(20)

9

perempuan dalam lingkungan kerabat orang tuanya, kedudukan dan hubungan perempuan dengan suaminya, dan hubungan perempuan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. kemajuan pendidikan, reformasi undang-undang perkawinan, serta munculnya organisasi-organisasi keperempuanan baik yang bercorak nasionalis, sosialis maupun Islam.

F. Historiografi yang Relevan

Historiografi adalah usaha merekonstruksi sejarah dengan mengerahkan seluruh daya pikiran, keterampilan teknis, penggunaan kutipan dan catatan, serta yang paling utama adalah penggunaan pikiran kritis dan analisis yang akhirnya menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian secara utuh. Dengan demikian, historiografi seharusnya mampu menulis-ulang sejarah dengan berbagai perspektif, tidak hanya berpusat pada politik dan kekuasaan laki-laki. Penulisan sejarah yang cenderung berpusat pada kekuasaan dan politik sehingga ada sebuah ungkapan menyatakan “sejarah adalah politik masa lalu dan politik adalah sejarah masa kini.”7

Menurut Louis Gottschalk, historiografi adalah rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan proses menguji dan menganalisis secara kritis semua rekaman dan peninggalan masa

7

(21)

lampau yang diperoleh melalui proses tersebut.8 Dalam penulisan skripsi berjudul Perkemabangan Pendidikan Kaum Perempuan di Mangkunegaran Tahun

1908-1942, penulis menemukan historiografi yang relevan sebagai berikut:

Pertama adalah skripsi yang berjudul “Pemberantasan Buta Huruf di Mangkunegaran (1916-1940)”. Skripsi ini ditulis oleh Dodhi Ariyanto angkatan 2004 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Gajahmada. Dodhi Ariyanto membahas usaha Mangkunegaran VII untuk mengubah perempuan yang sebelumnya hanya bekerja di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga menjadi perempuan yang berwawasan luas, yang tidak hanya bekerja di dapur, tetapi juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Persamaan Dodhi Ariyanto dengan skripsi ini adalah sama-sama mengkaji perkembangan pendidikan di Mangkunegaran tahun 1908-1942. Namun, skripsi ini memiliki perbedaan dengan skripsi Dodhi Ariyanto karena Dodhi lebih fokus pada pemberantasan buta huruf di Mangkunegaran, sedangkan skripsi ini lebih menekankan perkembangan pendidikan kaum perempuan di Mangkunegaran tahun 1908-1942, serta kehidupan perempuan pada masa pergerakan nasional.

G. Metode dan Pendekatan Penelitian

Kuntowijoyo berpendapat bahwa metode sejarah ialah pelaksanaan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Metode penelitian sejarah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi empat

8

(22)

11

tahap penelitian sejarah yang bertujuan untuk merekonstruksi suatu peristiwa sejarah.9 Kuntowijoyo menjelaskan empat tahap penelitian sejarah itu sebagai berikut:

1. Pemilihan Topik

Tahap pertama adalah pemilihan topik. Topik dalam sebuah penelitian dipilih berdasarkan tingkat ketertarikan penulis terhadap tema yang akan disusun serta memperhatikan tingkat intelektualitas penulis berkaitan dengan tema yang dikaji dalam tulisan. Dengan memperhatikan kedua hal ini, penulis akan lebih mudah merumuskan masalah penelitian yang akan dikaji. Mengingat kedua alasan inilah penulis memilih topik Perkembangan Pendidikan Kaum Perempuan di Mangkunegaran Tahun 1908-1942. Topik ini dipilih juga karena pada masa itu

banyak peristiwa yang terkait dengan gambaran umum perempuan perempuan pada masa pergerakan nasional, kesadran perempuan Mangkunegaran akan pentingnya pendidikan, serta perkembangan pendidikan perempuan di Mangkunegaran.

2. Heuristik (Pengumpulan Sumber)

Setelah menentukan tema atau topik penelitian, maka tahap selanjutnya adalah mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan tema penelitian atau yang dikenal dengan istilah heuristik.10 Istilah “heuristik” berasal dari kata “heuriskien yang dalam bahasa Yunani berarti “menemukan.” Dalam

9

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, hlm. XIX.

10

(23)

konteks penulisan sejarah, heuristik biasaya diartikan sebagai kegiatan sejarawan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Dalam penyusunan skripsi yang berjudul “Perkembangan Pendidikan Kaum Perempuan Di mangkunegaran Tahun 1908-1942” penulis mengumpulkan berbagai sumber sejarah yang relevan dengan tema penelitian berupa: buku-buku yang ada di Perpustakaan Pusat UNY, Perpustakaan FIS UNY, Laboraturium Sejarah UNY, Perpustakaan St. Ignatius Kota Baru, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan Pusat UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan Pusat Sanata Dharma, Library Center Malioboro, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Arsip Mangkunegaran dan Perpustakaan Daerah Klaten.

Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.

a. Sumber Primer

Menurut Louis Gottchalk, sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan panca indera yang lain atau alat mekanis seperti diktafon, yaitu orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan yang selanjutnya disebut sebagai saksi mata. Sumber primer dari tulisan ini berupa arsip Mangkunegaran.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan.11 Sumber sekunder dari penulisan skripsi ini ialah sumber-sumber kepustakaan yang berasal dari buku-buku, karya ilmiah sebelumnya serta karya dari beberapa

11

(24)

13

sejarawan atau peneliti yang melakukan kajian berkaitan dengan masalah yang relevan atau mempunyai kedekatan dengan penelitian ini. Sumber sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

3. Kritik Sumber (Verifikasi)

Langkah selanjutnya setelah memperoleh sumber-sumber penulisan sejarah yang dibutuhkan dalam penelitian ialah verifikasi keabsahan sumber sejarah atau kritik sejarah. Kritik sumber merupakan usaha mengolah dan menyaring sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Melalui upaya verifikasi data, peneliti memilih dan memilah data-data yang sungguh-sungguh relevan dengan penelitian ini untuk kemudian dijadikan sumber data untuk mendukung penelitian ini, sedangkan data lain yang kurang relevan tidak digunakan sebagai sumber.

Menurut I Gde Widja, kritik sumber dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu, kritik ekstern dan intern.12 Kritik ekstern berkaitan dengan autensitas atau keaslian sumber sejarah. Kritik ini bertujuan untuk menganalisis apakah sumber-sumber yang diperoleh merupakan sumber-sumber asli atau hanya sumber-sumber turunan. Kritik ekstern juga berupaya meneliti utuh atau tidaknya sumber-sumber yang diperoleh. Kritik ekstern pada umumnya meneliti sumber-sumber sejarah berdasarkan gaya tulisan, bahasa, warna kertas, serta bentuk dan jenis kertas dokumen, arsip, dan sebagainya yang dijadikan sumber sejarah.

12

(25)

Sedangkan kritik intern berkaitan dengan kredibilitas sumber sejarah. Kritik jenis ini dilakukan untuk memastikan bahwa sumber diperoleh memang merupakan sumber yang dicari. Kritik intern dilakukan untuk membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan suatu sumber dapat dipercaya. Kritik intern dapat ditempuh dengan mengadakan penelitian intrinsik terhadap sumber-sumber yang didapatkan dan membandingkan data dari berbagai sumber.13

Menurut Sumardi Suryabrata, kritik internal harus menguji motif, keberat-sebelahan, dan keterbatasan si peneliti yang mungkin melebih-lebihkan atau mengabaikan sesuatu yang penting dan/atau memberikan informasi yang palsu.14 Kritik sumber inilah yang menjadi tolak ukur kualitas dari penelitian mengenai “Perkemabangan Pendidikan Kaum Perempuan Di Mangkunegaran Tahun

1908-1942.”

4. Interpretasi

Interpretasi adalah cara penulis menetapkan makna dan keterkaitan atau hubungan antara fakta-fakta yang telah berhasil dihimpun oleh penulis.15 Interpretasi perlu dilakukan dalam analisis sumber data sejarah untuk mengurangi unsur subjektifitas dalam kajian sejarah. Suatu objek sejarah dapat dipelajari

13

Ibid, hlm. 25. 14

Louis Gottschalk. op.cit. hlm. 74. 15

(26)

15

secara objektif bila objek tersebut memiliki eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia agar memperoleh pengetahuan yang tidak memihak dan benar.16 5. Historiografi

Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Ini adalah teknik akhir dari penelitian sejarah, di mana penulisan dari hasil penelitian ini dituangkan ke dalam sebuah skripsi. Historiografi adalah usaha untuk menuliskan peristiwa secara kronologis, logis, dan sistematis dengan menerangkan fakta-fakta sejarah yang diperoleh sehingga akan dihasilkan suatu kisah yang ilmiah. Hasil dari historiografi ini adalah skripsi yang berjudul “Perkemabangan Pendidikan Kaum Perempuan Di Mangkunegaran Tahun 1908-1942”.

H. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah cara menjelaskan suatu penelitian dengan memanfaatkan salah satu aspek sosial.17 Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan multidimensional. Pendekatan ini berfugsi untuk menganalisis peristiwa masa lalu dengan konsep ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan pokok kajian penulisan ini. Pendekatan multidimensional yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, ekonomi, dan antropologi.

Pendekatan sosiologis merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan

16

Louis Gottschalk, op.cit., hlm. 34. 17

(27)

istiadat, kebiasaan, kehidupan, tingkah laku dan keseniannya. Melalui pendekatan ini penulis akan mengkaji gambaran perempuan di Mangkunegaran.

Pendekatan ekonomi adalah penjabaran dari konsep-konsep ekonomi sebagai pola distribusi, alokasi, dan konsumsi yang berhubungan dengan sistem sosial dan stratifikasinya yang dapat mengungkapkan peristiwa atau fakta dalam kehidupan ekonomi, sehingga dapat dipastikan hukum dan kaidahnya. Pendekatan ini digunakan untuk memberikan gambaran kondisi perempuan Mangkunegaran setelah adanya kemajuan pendidikan serta aktivitas domestik.

Sementara pendekatan antropologis adalah pendekatan yang dikembangkan untuk mempelajari masalah-masalah budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini akan digunakan untuk melihat perpaduan budaya Barat yang dibawa para penjajah dengan budaya lokal Mangkunegaran. Pendekatan ini menjadi menarik untuk dilakukan karena masyarakat Mangkunegaran merupakan masyarakat yang memiliki budaya yang khas yang sudah tertanam kuat dari sejarah nenek moyang, tetapi tetap terbuka terhadap pengaruh budaya Barat dan budaya-budaya lain.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penyusunan dan penulisan, peneliti membuat sistematika pembahasan skripsi sebagai acuan untuk menuliskan pokok-pokok pikiran yang ditulis dalam penelitian ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Perkembangan Pendidikan Perempuan Di Mangkunegaran Tahun 1908-1942”

(28)

17

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Historiografi yang Relevan, Metode Penelitian, Pendekatan Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

BAB II KONDISI PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL

Bab ini membahas secara singkat sejarah Praja Mangkunegaran dan Kondisi perempuan di Mangkunegaran pada masa Pergerakan Nasional.

BAB III KESADARAN PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN AKAN PENTINGNYA PENDIDIKAN

Bab ini mengkaji tentang mulai munculnya kesadaran peerempuan di Mangkunegaran untuk memperoleh pendidikan, kiprah perempuan dalam pendidikan, dan sekolah-sekolah perempuan yang ada di Mangkunegaran pada masa pergerakan nasional.

BAB IV PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DI MANGKUNEGARAN

(29)

politik etis. Pada bab ini juga dijelaskan perkembangan sekolah-sekolah perempuan di wilayah Mangkunegaran pada masa pergerakan nasional.

BAB V PENUTUP

(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM PEREMPUAN MANGKUNEGARAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL

A. Praja Mangkunegaran

Berdirinya Praja Mangkunegaran ditandai dengan dilaksanakannya perjanjian Salatiga antara Raden Mas Said, Belanda, dan Sunan Paku Buwono III tahun 1757. Perjanjian tersebut menyepakati beberapa hal yang meliputi:

1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, yang berkedudukan di bawah Sunan. Raden Mas Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara.

2. Raden Mas Said mendapatkan tanah sebesar 4000 karya,1 yang terletak di Keduwang, Laroh, Matesih dan Gunung Kidul.

3. Raden Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, dan Belanda. Raden Mas Said juga harus tunduk kepada perintah raja. Ia juga harus tinggal dan berkedudukan di ibukota Surakarta.2

Berdasarkan perjanjian Salatiga tersebut disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat tanah lungguh (apanage) seluas 4000 karya . Tanah apanage yang diberikan kepada Raden Mas Said merupakan tanah yang pernah dikuasai oleh Raden Mas Said. Wilayah awal Praja Mangkunegaran disebut sebagai desa Babok (desa inti atau desa induk).

Luas dan nama-nama wilayah yang ada di bawah Pemerintahan Praja

1

Luas satu karya sekitar 7.096,5 meter atau sama dengan satu bau (3/4 hektar). Lihat Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

2

(31)

Mangkunegaran pada tahun 1757 dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini: Tabel 1

Nama dan Luas Wilayah Desa Babok Mangkunegaran Tahun 1757

9 Pajang (Sebelah selatan Jalan Surakarta-Kartasura)

58,8 235,2

10 Pajang (sebelah utara Jalan Surakarta-Kartasura)

64,5 258

11 Mataram (Pertengahan Yogyakarta) 64,5 258

12 Kedu 8,5 34

JUMLAH 975,5 3.918

(Sumber: Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, hlm 13).

Di bawah pemerintahan Mangkunegara II (1756-1835), wilayah praja Mangkunegaran mengalami pertambahan wilayah sebanyak dua kali. Pada tahun 1813, Praja Mangkunegaran mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung3 atau 1000 karya sehingga luasnya menjadi sekitar 5.000 karya. Wilayah tambahan ini tersebar di sejumlah tempat, yaitu, yang terletak di Keduwang (72 jung ),

3

(32)

21

Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung) dan daerah di lereng gunung Merapi bagian timur (29,5 jung ). Tambahan tanah ini sebagai hadiah karena jasa Mangkunegara II yang mengirimkan prajuritnya membantu Inggris dalam konflik melawan Sultan Sepuh di Yogyakarta dan Susuhunan Pakubuwana IV.4

Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830, masih dalam Pemerintahan Mangkunegara II. Ketika itu, wilayah Mangkunegaran bertambah luasnya 120 jung atau 500 karya lagi sehingga luas wilayah secara keseluruhan menjadi sekitar 5.500 karya atau 3.850 hektar. Tambahan wilayah kedua ini terletak di Sukawati bagian utara. Penambahan wilayah ini sebagai hadiah atas jasa Sri Mangkunegara mengirimkan prajuritnya membantu Belanda dalam menumpas perlawanan Diponegoro. Berbeda dengan tanah-tanah babok yang umumnya tanah yang kurang subur, tanah-tanah tambahan ini terdiri dari tanah-tanah yang subur di lembah Bengawan Solo.

Oleh Karena banyak lokasi tanah Mangkunegaran yang berada dalam administrasi Sunan dan Sultan, maka pada tahun 1831 diadakan saling tukar wilayah untuk mempermudah kontrol administrasi terhadap wilayah tersebut. Adapun pertukaran wilayah itu antara lain: (1) Tanah Mangkunegaran sebanyak 64 jung yang terletak di Gunung Kidul bagian barat, yaitu, Ponjong dan Semanu

ditukar dengan tanah Sultan Yogyakarta yang terletak di Sembuyan Selatan (sebelah timur Surakarta); (2) Tanah-tanah di wilayah Gubernemen, yakni Kedu (8,5 jung), dan tanah Kalitan (Majak, Ketinggi, dan Tuk Sanga) diserahkan pada

4

(33)

Pemerintah Belanda dan pihak Mangkunegaran mendapatkan ganti rugi sebesar f 1.297,98.5

Pada masa Pemerintahan Mangkunegara III, tepatnya pada tahun 1847, secara administrasi Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga daerah Onderregentschap yang meliputi: Wonogiri (Laroh, Hanggabayan, Keduwang),

Karanganyar (Sukawati, Matesih, Haribaya) dan Malangjiwan. Sedangkan pada masa Mangkunegara IV, tepatnya pada tahun 1875 terjadi perubahan lagi dengan dihapuskannya Onderregentschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregentschap Baturetno yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan

Sembuyan. Ini berarti pada masa Mangkunegara IV, Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah meliputi Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno.6

Pada masa Pemerintahan Mangkunegara V, tepatnya pada tahun 1891 Onderregentschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan

Onderregentschap Wonogiri. Saat pemerintahan Mangkunegara VI tepatnya tahun

1903 terjadi perubahan wilayah lagi, yaitu dibentuknya Onderregentschap Kota Mangkunegaran sehingga wilayah Mangkunegaran pada tahun tersebut terbagi menjadi tiga Onderregentschap, yaitu: Kota Mangkunegaran, Karanganyar, dan Wonogiri ditambah enclave Ngawen.7

5

Ibid., hlm. 15. 6

Sutrisno Adiwardoyo, Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke Provinsi Jawa Tengah, Surakarta: IKIP, 1974,hlm 30.

7

(34)

23

Pada awal abad XX batas-batas antara daerah Mangkunegaran dengan daerah swapraja lainnya semakin dipertegas, terutama dengan menghilangkan daerah-daerah enclave .8

Wilayah Mangkunegaran meliputi daerah seluas 2815,14 km2, yang meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Bagian selatan dari praja ini membentang pada bagian timur gunung Sewu yang sangat tandus hingga Samudra Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui dataran rendah Bengawan Solo sampai pada ujung kaki Gunung Merapi dan Merbabu yang keadaan tanahnya sangat subur.

Pada tahun 1917 Praja Mangkunegaran masih tetap membawahi 3 kabupaten yaitu kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Kota Mangkunegaran. Pada tahun 1929 terjadi perubahan kembali, Praja Mangkunegaran menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran. Wilayah yang semula Kabupaten Kota Mangkunegaran digabungkan dengan wilayah Kabupaten Karanganyar, sehingga pada waktu itu Praja Mangkunegaran membawahi dua kabupaten, yaitu, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri.9

(35)

Mangkunegaran.

Perubahan ini tidak berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi, yaitu: dengan dihidupkannya lagi Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah kabupaten Karanganyar menjadi daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran.10

Tatanan pemerintahan Praja Mangkunegaran berkembang sampai tingkat desa. Hal ini terlihat dengan dibentuknya susunan desa. Pada tahun 1920 praja Mangkunegaran memiliki 561 desa, sedangkan pada tahun 1926 telah memiliki sebanyak 738 desa. Dalam perkembangannya sampai tahun 1933, Praja Mangkunegaran telah memiliki seluruhnya 754 desa dan kampung. Kemudian diadakan penggabungan kelurahan-kelurahan tersebut. Sampai tahun 1939, Praja Mangkunegaran telah membentuk 154 kalurahan baru.11

Reorganisasi desa-desa tersebut dilakukan Mangkunegara VII untuk memperkuat moral masyarakat desa agar tidak jatuh karena masuknya pengaruh dunia luar terhadap desa-desa di Mangkunegaran. Mangkunegara VII yang memerintah tahun 1916-1944 memiliki harapan agar desa tetap bertahan berdasarkan moral lama.12

10

Wasino, op.cit, 1994, hlm. 54 11

Mohamad Daljjyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, Surakarta: Rekso Pustaka, 1977, hlm.1 10.

12

(36)

25

B.Kondisi Kaum Perempuan Mangkunegaran

Pada masa Pemerintahan Mangkunegara VII, kondisi perempuan sudah mulai menunjukkan perubahan yang berarti. Meskipun masih terdapat perbedaan pandangan mengenai status laki-laki dan perempuan seperti yang lazim berlaku waktu itu. Perbedaan pandangan mengenai status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sudah terbentuk sejak lama. Demikian pula kosmologi Jawa menganut pandangan patriarki yang lebih sering menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki.

Pandangan ini diperkuat dan direkonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui doktrin agama, hal ini dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat alami yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.13 Dalam pandangan ini, laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan perempuan harus tunduk-patuh pada laki-laki. Pandangan ini lambat laun menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, yang hanya diberi tugas-tugas domestik karena kodratnya untuk hamil, melahirkan dan menyusui. Perempuan kemudian hanya dianggap mampu menjalankan tugas-tugas domestik untuk mengurus anak dan rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap sebagai makhluk yang lebih kuat dan layak memimpin sehingga laki-laki dianggap memiliki kedudukan sosial dan peranan yang lebih tinggi daripada perempuan.

13

(37)

Pandangan ini juga berpengaruh terhadap bidang pendidikan. Pendidikan bagi perempuan dianggap kurang penting dibandingkan pendidikan bagi laki-laki. Akibatnya, banyak perempuan yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Padahal pendidikan merupakan salah satu syarat bagi kemajuan dan peningkatan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, dibutuhkan pendidikan yang menyeluruh dari semua aspek kehidupan dan dari berbagai bidang untuk meningkatkan kualitas diri dan membuat kaum perempuan lebih terdepan. Hal ini sesuai dengan corak pergerakan perbaikan kedudukan dalam setiap keluarga dan setiap perkawinan.

Pandangan serupa juga berlaku bagi kaum perempuan di wilayah Praja Mangkunegaran, Surakarta pada masa pergerakan nasional. Akhir abad ke-19, rakyat Indonesia dari kalangan atas maupun kalangan bawah mulai melakukan perbaikan-perbaikan pendidikan secara menyeluruh. Karena menurut mereka perubahan tidak dapat hanya menyangkut laki-laki tanpa melihat perbaikan golongan perempuannya. Walaupun pada saat itu kedudukan sosial perempuan disepelekan, namun peranannya sebagai isteri di dalam keluarga maupun sebagai ibu yang memberikan fungsi dan hak hidup kepada anak-anaknya di dalam rumah tangga dianggap sangat penting bagi kemajuan bangsa.14 Jika perempuan mendapat pendidikan yang layak, maka status perempuan menjadi lebih tinggi dalam lingkungan sosial. Dengan kata lain, perempuan menjadi lebih maju dalam

14

(38)

27

berpikir sehingga mampu menghilangkan paham “kolot” yang menyudutkan perempuan.

Masyarakat tradisional pada umumnya menganggap status perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan tidak diberi kesempatan untuk maju, karena adanya norma-norma yang mengikat kebebasan bergerak dalam berbagai bidang. Kaum perempuan hanya dipersiapkan menjadi calon pelayan suami yang harus bekerja di dalam rumah.15 Padahal dalam agama Islam Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, sebagai makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Yang membedakan kualitas manusia bukanlah jenis kelamin, tetapi yang membedakan manusia adalah hati dan perilakunya yang paling taqwa.

Di sisi lain, permulaan abad ke-20 seluruh Asia yang sebagian besar menjadi tanah jajahan negara-negara Barat mulai dilanda gelombang nasionalisme. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam pertempuran di laut Tsusyima pada tahun 1904 membangkitkan rasa percaya diri terhadap bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia. Sebagai bentuk semangat kebangkitan itu muncullah organisasi nasional yang pertama “Boedi Oetomo” (1908), yang tak lama kemudian disusul oleh organisasi perempuan pertama “Poetri Mardika”

(1912). Sadar bahwa pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan perempuan dan bangsa, “Poetri Mardika” memusatkan programnya pada pendidikan bagi gadis

15

(39)

gadis. Bantuan penuh diperoleh dari “Boedi Oetomo” karena pemimpin pergerakan nasional meyakini bahwa tanpa partisipasi perempuan dan tanpa pendidikan, perjuangan sulit mendapatkan keberhasilan.

Munculnya gerakan-gerakan nasional ini juga membawa perubahan bagi pandangan hidup orang Jawa. Kehidupan keluarga Jawa awal abad ke-20 dikenal sebagai periode perubahan, yaitu, suatu perubahan masyarakat yang menyentuh hampir semua aspek pendidikan, mulai dari politik, ekonomi hingga budaya.16 Berbagai perubahan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sebelumnya, yaitu ketika terjadi perubahan pengelolaan masyarakat dan sumber daya yang dihasilkan, dari organisasi dagang kolonial Belanda ke pemerintahan kolonial. Terjadi perubahan yang sangat mendasar bagi kehidupan masyarakat kolonial secara keseluruhan, mulai dari perubahan dari kebijakan ini hingga kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat lokal. Masyarakat Jawa mulai diberi peluang untuk masuk ke dunia pendidikan, bekerja, berorganisasi, dan menjadi anggota parlemen.

Keterbukaan kesempatan tersebut tidak saja diberikan kepada laki-laki dalam keluarga Jawa, tetapi juga mulai diberikan kepada kaum perempuan sesuai. Perempuan juga mengiginkan mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi secara luas dan dalam porsi yang sama. Beberapa program perbaikan kehidupan perempuan pun mulai banyak dihasilkan. Semangat perubahan pun tidak akan berarti apa-apa jika hal ini tidak diimbangi dengan respons yang terbuka pula dari keluarga Jawa. Tampaknya keluarga Jawa sejak lama telah melihat peluang

16

(40)

29

perbaikan ini. Oleh karna itu respons atas keterbukaan ini pun dilakukan. Terlihat dari perjuangan perbaikan kehidupan masyarakat, termasuk perbaikan kehidupan perempuan di dalam rumah tangga tumbuh secara merata di berbagai wilayah di Jawa.

Organisasi-organisasi perempuan yang bermunculan setelah itu mencantumkan pendidikan sebagai salah satu tugas pokoknya. Organisasi perempuan mulai mendirikan sekolah-sekolah untuk anak gadis. Pada tahun 30-an pergerakan perempuan mulai mencurahkan tenaganya pada pemberantasan buta huruf yang merajalela di tanah air. Usaha-usaha pendidikan yang dilakukan oleh organisasi perempuan tidak hanya ditujukan pada anak-anak, tetapi juga bagi anggota-anggotanya.17 Berbagai kursus dan perkumpulan mulai dibuka, yang awalnya hanya berkisar pada keterampilan dan keutamaan perempuan, tetapi kemudian meluas dan meliputi pengetahuan umum, bahasa, agama, seni bahkan politik.

Perjuangan perempuan dalam memperoleh pendidikan khususnya yang ada di Jawa Tengah tidak terlepas dari usaha Kartini pada waktu itu. Dia menghendaki agar perempuan Jawa maju, berpendidikan, mandiri, dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Ia juga memiliki wawasan yang jauh kedepan sehingga sampai saat inipun ide-idenya masih tetap aktual. Ide-idenya itu misalnya pentingnya pendidikan perempuan bagi kemajuan

17

(41)

bangsa, keluarga berencana, kemandirian, kemiskinan, buruh perempuan dan masalah sosial lainya.

Atas dukungan dan dorongan dari Van Deventer pada tanggal 15 September 1913 dibukalah sekolah Kartini yang pertama di Jomblang, Semarang.18 Semenjak pendirian sekolah yang pertama itu mulai didirikan sekolah-sekolah sejenis dengan pengantar bahasa Belanda. Antara lain di pekalongan pada tahun 1917, di Rembang 1918, dan di beberapa kota lain di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di samping itu masih banyak sekolah-sekoalah putri swasta seperti Dormorini di Blora, Sisworini di Surakarta, dan di berbagai tempat lain.19Di samping sekolah Kartini ada juga sekolah Van Deventer yang justru paling mendekati dengan apa yang dicita-citakan Kartini. Di Jawa Tengah berdiri Van Deventer School terdapat di kota Semarang tahun 1912-1942 dan di Salatiga

tahun 1927-1942. Mata pelajaranya meliputi kerumahtanggan, jahit-menjahit, kerajinan tangan dan ilmu pendidikan.

Pendidikan bagi gadis-gadis semakin mendapat kemajuan. Pada tahun 1918 pemerintah mendirikan Maisjes kweekscool di Salatiga. Sekolah ini adalah sekolah guru perempuan satu-satunya diseluruh Hindia Belanda. Murid-muridnya datang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain.20

18

Siti Soemandari Soeroto, Kartini Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung, 1977, hlm. 408.

19Ki Soeratman, “Kartini dan Pendidikan

,” dalam Aristides Katoppo. Bunga Rampai Karangan Mengenai Kartini: Satu Abad Kartini 1879-1979, Jakarta: Sinar Agape Press, hlm. 23.

20

(42)

31

(43)

A.Kesadaran Perempuan Memperoleh Pendidikan

Kebangkitan merupakan tanda yang memberi ciri khas pada kodrat manusia. Seseorang dapat dikatakan bangkit bila ia mampu memilih apa yang dikehendaki dan ingin dikerjakanya. Kebangkitan disadari sebagai kekuatan yang secara kulitatif berbeda dengan mekanisme biologis. Lebih jauh lagi kebangkitan dianggap sebagai hak dari setiap manusia yang lahir di dunia.1 Dapat dikatakan bahwa manusia belum sungguh-sungguh manusia jika tanpa kebebasan. Sejarah pergerakan telah mencatat betapa gigihnya manusia khususnya kaum perempuan memperjuangan kebangkitan dalam mendapatkan pendidikan.

Bagi kaum perempuan, kebangkitan berarti hilangnya hambatan-hambatan untuk mendapatkan kesempatan dalam mengembangkan jiwannya. Mendapat pendidikan sekolah dan bekerja di luar rumah tangga dalam bidang-bidang yang sesuai dengan bakatnya. Cara hidup demikian dianggap lebih bermanfaat dan jauh lebih sesuai dengan cita-cita perikemanusiaan dan perikeadilan. Daripada bertumpu pada sistem feodal dan sistem tradisional yang membatasi ruang lingkup hidup perempuan.

Pendidikan tidak hanya sangat membantu menghilangkan anggapan bahwa perempuan lebih rendah, melainkan juga mampu menghilangkan rendahnya status

1

(44)

33

mereka. Pendidikan memunculkan kesadaran bahwa manusia dilahirkan dan diciptakan sederajat.

Permulaan abad ke-20 makin banyak perempuan yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan. Sebagian kalangan menentang perubahan ini, tetapi keyakinan bahwa kaum perempuan harus mendapatkan pendidikan dan kedudukan yang lebih baik dalam masyarakat makin meluas. Pandangan ini pun mendapat dukungan dari berbagai anggota golongan yang berpengaruh. Dukungan terhadap usaha memajukan perempuan dijumpai di mana-mana. Usaha perjuangan dalam memperoleh pendidikan ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kartini.

Sebelum R.A. Kartini mempejuangkan usahanya dalam pendidikan kaum perempuan, di kalangan bangsawan sudah telebih dulu gencar dalam usaha memajukan perempuan tapi hanya dalam lingkungan kecil. Mereka berusaha memperoleh pendidikan dari barat. Oleh pelopor-pelopor perempuan kita pada waktu itu pendidikanlah yang lebih diutamakan.2 Pendidikan akan menambah kesadaran dan mengembangkan kemampuan yang dapat berguna untuk kemajuan masyarakat. Bukan lagi pendidikan yang dilakukan dalam keluarga saja mengenai sopan-santun, sikap hidup, dan kerumahtangaan, melainkan pendidikan sekolah dengan pelajaran yang lebih luas.

Usaha pendidikan perempuan yang dipelopori dan dikembangkan oleh Kartini, secara esensial merupakan usaha membantu kaum perempuan untuk

2

(45)

berani mengambil suatu keputusan.3 Besar kecilnya seseorang mengambil keputusannya sendiri menentukan secara langsung derajat pendidikannya. Usaha pendidikan perempuan yang dikembangkan Kartini tidak hanya berdasarkan pembangkitan kebebasan membaca, menulis dan belajar secara teratur.

Pandangan Kartini beranggapan bahwa pendidikan akan mengakibatkan perempuan mendapat keahlian yang membuatnya mampu untuk berdiri sendiri. Sekalipun memang zaman sekarang sering dibanggakan adanya perempuan-perempuan yang mengalami pendidikan tinggi dan juga yang menempati jabatan berarti. Diseluruh dunia perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki sampai sekarang masih dirasa perlu, bahkan di negara yang sudah majupun kesempatan mendapat pendidikan yang sama ternyata tak seluruhnya diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan, apalagi kesempatan bekerja dan memperoleh hak yang sama.4

Perempuan yang sadar bahwa kemungkinan untuk mengubah keadaan ini barangkali hanya kecil jumlahnya, apalagi mereka yang benar-benar berusaha mengadakan perubahan. Pendidikan bagi kaum perempuan telah menjadi keharusan yang bersifat Internasional, karena kemajuan yang merupakan kebutuhan mendesak ini menciptakan dan sekaligus menuntut jenis perempuan yang baru. Persoalanya bukanlah bagaimana menyediakan dasar-dasar pendidikan atas dasar perikemanusiaan semata. Kaum perempuan harus diberi segala persyaratan untuk ikut ambil bagian dalam membangun dunia ini.

3

Hatta, Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976, hlm. 23. 4

(46)

35

Mendesaknya kebutuhan ini berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh keadilan dan berkenaan dengan pentingnya orang perorangan, dan semua itu menyebabkan ketidakberlakuannya anggapan bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya. Perempuan juga manusia seperti laki-laki, ia pun patut memperkembangkan kemampuannya, untuk memilih jalan hidup yang hendak ditempuhnya serta melaksanakan kegiatan-kegiatan dan memegang segala tanggungjawab yang akan ikut membantu kemuliaan manusia5. Seperti halnya kerja atau kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi, pendidikan adalah hak seluruh umat manusia, untuk laki-laki maupun perempuan dan bukan hanya untuk salah satu dari kedua jenis itu.

Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan sehingga keduanya dapat maju bersama, seiring jalan sebagai mitra, bukan sebagai atasan-bawahan. Kartini merupakan salah satu tokoh yang mengupayakan pendidikan bagi kaum perempuan sehingga semangat Kartini menjadi hal yang fundamental bagi kemajuan pendidikan kaum perempuan. Usaha pendidikan perempuan yang dipelopori dan dikembangkan oleh Kartini merupakan usaha membantu kaum perempuan untuk dapat mengambil keputusan sendiri dan menentukan nasib sendiri.

Kartini berpandangan bahwa pendidikan akan membuat perempuan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang membuatnya mampu berdiri sendiri dan menentukan nasib sendiri. Kartini juga membahas bermacam-macam masalah yang menyangkut nasib dan hidup manusia. Dalam hal

5

(47)

memajukan kesusilaan manusia, perempuan dianggap besar sekali pengaruhnya. Kartini setuju akan perkataan Mrs. Abendanon bahwa: “perempuan itu soko guru peradaban.” Bukankah dari perempuan itu manusia pertama kali menerima pendidikannya, di pangkuan seorang ibu, anak belajar merasa dan berpikir serta bertutur kata. Pendidikan yang mendasar itu besar sekali pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya. Melalui seorang ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumahtangga dan kepada Ibulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan yang berat guna membentuk sikap dan perilakunnya.

Kaum perempuan adalah pengembang peradaban, maka dari itu mereka harus mendapatkan pendidikan supaya kelak dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Seperti telah dijelaskan di atas, Kartini beranggapan bahwa suatu pendidikan yang ditujukan tidak hanya untuk mengasah otak saja. Pendidikan budi pekerti dan pembinaan watak juga sangat penting, bahkan diutamakan.

Bila Perempuan tidak mendapat pendidikan, bahaya akan datang dalam lingkungan masyarakat, tetapi jika pendidikan yang diberikan atas mereka keliru maka maka tidak sedikit pula malapetaka yang akan dilimpahkan bagi kaum perempuan haruslah disertai berbagai macam kebijaksanaan, tidak boleh sembarangan.6

Perempuan yang sadar bahwa kemungkinan untuk mengubah keadaan ini barangkali hanya kecil jumlahnya, apalagi mereka yang benar-benar berusaha mengadakan perubahan. Pendidikan bagi kaum perempuan telah menjadi keharusan yang bersifat menyeluruh, karena kemajuan yang merupakan

6

(48)

37

kebutuhan mendesak ini menciptakan dan sekaligus menuntut jenis perempuan yang baru. Persoalanya bukanlah bagaimana menyediakan dasar-dasar pendidikan atas dasar perikemanusiaan semata. Kaum perempuan harus diberi segala persyaratan untuk ikut ambil bagian dalam membangun dunia ini.

Mendesaknya kebutuhan ini dengan demikian berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh keadilan dan berkenaan dengan pentingnya orang perorangan, dan semua itu menyebabkan ketidakberlakuannya anggapan bahwa perempuan lebih rendah kedudukannya. Perempuan juga manusia seperti laki-laki, ia pun patut memperkembangkan kemampuannya, untuk memilih jalan hidup yang hendak ditempuhnya serta melaksanakan kegiatan-kegiatan dan memegang segala tanggungjawab yang akan ikut membantu kemuliaan manusia.7 Seperti halnya kerja atau kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi, pendidikan adalah hak seluruh umat manusia, untuk laki-laki maupun perempuan dan bukan hanya untuk salah satu dari kedua jenis itu.

Pokok-pokok pandangan Kartini tentang pendidikan,8 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kunci kemajuan bangsa terletak pada pendidikan. Bangsa yang

maju adalah bangsa yang pandai, berwawasan luas, dan memiliki ilmu pengetahuan serta teknologi yang diperoleh melalui proses pendidikan. Oleh karenanya, seluruh anak bangsa harus dapat menerima pendidikan.

7

Nur Aini, Melahirkan Kembali Gerakan Feminisme Revolusioner: Kilas Balik Tentang Gerwani, Jakarta: Anggota KPP-PRD, hlm. 200.

8

(49)

Kedua, pendidikan sifatnya harus non-diskiminatif dan harus diberikan

kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, keturunan, kedudukan sosial, dan lain-lain. Pendidikan harus memberi kesempatan kepada siapa saja, dari kalangan manapun untuk dapat mengenyam pendidikan dan memperoleh kesempatan belajar. Dalam pendidikan harus diajarkan sikap non-diskriminatif, menghargai perbedaan, dan memandang seluruh umat manusia sederajat.

Ketiga, pendidikan untuk rakyat yang bersifat nasional meliputi

pendidikan sekolah (formal) dan juga pendidikan keluarga dan luar sekolah (non-formal). Pendidikan harus dilakukan di mana saja, baik melalui lembaga formal pendidikan maupun non-formal. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat, setiap orang di mana pun memiliki hak untuk belajar mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan sarana pendidikan yang ada.

Keempat, selain memberikan pengetahuan dan keterampilan hendaknya

lebih mengutamakan pembentukan watak dan kepribadian anak-anak. Pendidikan karakter merupakan hal yang utama dalam proses pendidikan. Karakter dan kepribadian lah yang menentukan kualitas sebuah bangsa. Dengan pendidikan karakter dan kepribadian yang baik, sebuah bangsa akan lebih mudah mencapai kemajuan dan keberhasilan.

Kelima, memperhatikan kedudukan perempuan pada zamannya yang

(50)

39

mengenyam pendidikan sebagaimana laki-laki agar perempuan pun dapat berperan penting dalam pendidikan, mandiri, berwawasan luas, dan memiliki keterampilan serta kemampuan untuk mengembangkan diri setara dengan laki-laki.

B.Kiprah Kaum Perempuan dalam Pendidikan

Pada masa pergerakan Indonesia, peran dan eksistensi perempuan masih sangat kurang diperhatikan, bahkan cenderung diabaikan dan disingkirkan. Sampai sekarang pun keberadaan perempuan di berbagai kalangan selalu berada di posisi yang selalu mengundang pertentangan dan bahkan sering kali kaum perempuan dilecehkan secara berlebihan.9 Perdebatan tentang eksistensi perempuan dari zaman ke zaman selalu menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Sebagian orang bahkan masih memandang perempuan dengan sebelah mata, hingga masih ada anggapan bahwa perempuan tidak berhak mendapatkan apa pun yang dimiliki laki-laki.

Sebagian pandangan yang dianggap buram oleh perempuan pada masa pergerakan nasional, misalnya, perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan. Hal semacam itu pernah terjadi di Jawa Tengah yang membuat mereka tidak berdaya pada saat itu.10 Dalam sejarah pergerakan, perempuan dianggap tidak memainkan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat

9

Muhammad bin Abdilah Sulaiman, Hak dan Peran Aktif Wanita Muslimah, Solo: Hazanah Ilmu, 1994, hlm. 7.

10

(51)

sehingga kemajuan pendidikan perempuan dianggap tidak bermanfaat pada masa itu. Selain itu, perempuan juga dipandang sebagai makhluk yang tidak berharga, keberadaanya menjadi bagian dari laki-laki yang haknya ditindas dan dirampas. Hal ini mempengaruhi keberadaan perempuan dalam masyarakat sepanjang masa. Bidang-bidang keahlian tertentu, misalnya, banyak didominasi oleh laki-laki karena perempuan dipandang kurang mampu bahkan kurang cocok memegang keahlian di bidang tertentu karena perbedaan kemampuan yang dimiliki laki-laki dan perempuan berbeda. Demikian pula dengan hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Laki-laki dan perempuan dianggap memiliki hak yang tidak sama.

Pandangan ini mulai berubah setelah diterbitkannya kumpulan surat-menyurat Kartini dengan teman-temannya di Eropa oleh Jacques Henrij Abendanon (1852-1925), Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda waktu itu. Beliau datang ke Hindia Belanda pada tahun 1900 dan mengumpulkan serta membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan oleh R.A. Kartini kepada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan

surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat dari R.A. Kartini. Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.11

Perubahan yang dipelopori oleh Kartini ini merupakan puncak perubahan yang hakiki bagi kaum perempuan khususnya. Kesetaraan antara laki-laki dan

11

(52)

41

perempuan menunjukan bahwa perempuan bukanlah parasit yang lemah dalam kehidupan. Perempuan pun mulai berperan aktif sesuai dengan kodratnya dalam kehidupan sosial serta sejajar dengan laki-laki. Artinya perempuan tidaknya hanya menjadi konco wingking bagi laki-laki, tetapi sebagian perempuan dapat membuktikan bahwa ia dapat memperoleh sesuatu yang layak dan sejajar dengan laki-laki.

Di lain pihak terdapat anggapan dari masyarakat yang megatakan bahwa yang berhak mendapatkan ilmu serta pendidikan hanyalah laki-laki, perempuan tidak berhak sama sekali. Fenomena ini masih dapat dijumpai pada masyarakat atau orangtua yang berpandangan bahwa tugas perempuan itu di rumah, merawat anak, melayani suami, dan mengatur rumah tangga. Sedangkan laki-laki dapat memperoleh ilmu pengetahuan dengan pendidikan bahkan sampai ke luar negeri. Di lain pihak, perempuan juga harus memiliki wawasan, pengalaman, dan pegetahuan kerena ia nantinya akan menjadi seorang ibu yang salah satunya berfungsi sebagai pusat pendidikan minimal bagi anak-anaknya.12

Karakteristik pendidikan yang telah dijelaskan di atas menjadikan perempuan cukup aktif dan kreatif dalam kegiatan memajukan pendidikan patut diapresiasi karena seorang perempuan membuktikan bahwa ia bukanlah parasit yang pantas berada di tempat-tempat yang lemah dalam kehidupan.

Seorang perempuan diciptakan dengan keterbatasan-keterbatasan yang cukup mengikat bagi dirinya. Pada dasarnya perempuan juga memiliki kelebihan yang lebih baik dibanding dengan laki-laki, dan itu merupakan hal-hal yang patut

12

(53)

disyukuri oleh para perempuan. Hendaknya perempuan mampu berada diposisi strategis dalam masyarakat, khususnya dibidang pendidikan . tidak hanya berpangku tangan dan pasrah dengan keadaan paling tidak berperan aktif untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam hidup. Dan pada umumnya peran perempuan dalam masyarakat terbatas pada praktek-praktek kebudayaan.13

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan, oleh karenanya disini sebagai makhluk hidup yang diberi kemampuan akal yang sempurna hendaknya manusia mendapatkan pendidikan yang layak dalam kehidupan. Banyak masyarakat mengaggap bahwa pendidikan itu hanya untuk laki-laki, karena laki-laki-lah yang akan memimpin keluarga atau masyarakat pada umumnya. Perempuan hanya sebagai “Konco Wingking” bagi para laki-laki. Hal ini mengakibatkan para perempuan menjadi

tidak mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan keahlian dalam menjalani hidupnya. Beragam pandangan hadir dan berkembang didunia publik tentang perempuan, eksistensi dan perannya seringkali menimbulkan banyak pandangan.

Adanya diskriminasi terkait hak perempuan dalam memperoleh pendidikan tak lantas menjadi sebuah kekuatan bagi perempuan untuk mendapatkan peran yang lebih ataupun setara dengan laki-laki. Masih banyak diskriminasi terhadap perempuan dalam sebuah pendidikan yang menyebabkan lemahnya posisi perempuan akibat rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh. Kuantitas yang berlebih tidak ditunjang dengan kualitas yang dihasilkan. Hal tersebut ditengarahi oleh beberapa hal seperti pembatasan memperoleh pendidikan

13

(54)

43

bagi perempuan, kesalahan persepsi masyarakat terkait eksistensi perempuan, minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan dan lain sebagainnya.14 Disadari atau tidak fenomena tersebut akan berdampak pada eksistensi perempuan dan perannya sebagai individu yang berhak atas pendidikan dan ikut bertanggungjawab kepada negara.

Eksistensi atau keberadaan perempuan dalam sebuah pendidikan sering diartikan sebagai sebuah keegoisan. Beberapa kalangan memandang eksistensi perempuan sebagai sebuah pergolakan atas apa yang tidak menjadi haknya. Keraguan akan ketidakmampuan perempuan dalam ranah publik masih terus diperdebatkan. Akses perempuan dalam dunia pendidikan kurang mendapat perhatian dalam beberapa aspek kehidupan. Pembatasan perempuan terhadap akses kehidupan yang mencangkup berbagai kehidupan merupakan pembunuhan secara perlahan dalam mematikan potensi perempuan yang juga berkontribusi dalam memajukan negara.

Pembangunan suatu bangsa yang abadi adalah melalui sistem pendidikan. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam suatu perubahan. Pencapaian pendidikan tidak hanya memandang jenis kelamin, suku, agama, maupun golongan. Laki-laki dan perempuan berhak dan berkewajiban untuk terbentuknya tatanan masyarakat dan pembangunan yang adil dan sejahtera. Peningkatan bagi perempuan tentu akan berdampak baik terhadap percepatan pembangunan bangsa. Perempuan mempunya peran yang besar dalam menyiapkan generasi-generasi yang unggul, bermoral, beriman dan bertaqwa serta berahlak. Semua komponen

14

(55)

tersebut dapat terwujud dalam sebuah paduan peran yang tidak digariskan hanya seorang laki-laki semata, tapi juga perempuan.

C. Sekolah-sekolah Perempuan pada Masa Pergerakan Nasional

Kemajuan dunia pendidikan, khusunya pendidikan bagi kaum perempuan merupakan sebuah kemajuan penting untuk menumbuhkan kesadaran kolektif perempuan pada awal abad ke-20. Kemajuan ini dicapai dengan berbagai lembaga pendidikan khusus untuk perempuan baik yang diselenggarakan oleh organisasi sosial, keagamaan, maupun organisasi politik. Munculnya lembaga-lembaga pendidikan, baik yang dirintis oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun orang-orang Indonesia telah membawa kesadaran berbangsa dan kesadaran kemanusiaan.

1. Sekolah Van Deventer

Pada tahun 1899, Conrad Theodore van Deventer menerbitkan artikel dengan judul Een Eereschuld (Suatu Hutang Kehormatan) dalam majalah Belanda de Gids. Isinya menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa

Indonesia terhadap semua kekayaaan yang telah diperas dan dirampas dari Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

WILAYAH NAMA RUMAH SAKIT ALAMAT NO.. FAX

Tujuan dan manfaat utama yang dapat dicapai dari penelitian ini adalah dapat mengidentifikasi pengaruh yang ditimbulkan oleh penambahan glass powder, silica fume,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten

Tentang jangkauan pengaturan, kami sadar ketika ada keinginan untuk melakukan dalam UU, itu nakar dasarnya kan pengaturan secara permanen, oleh karena itu kemudian kami harus berpikir

1) Premi tabungan, yaitu bagian premi yang merupakan dana tabungan pemegang polis yang dikelola oleh perusahaan dimana pemiliknya akan mendapatkan hak sesuai

Keberhasilan dalam pengendalian protoplas melangsungkan fusi non spesifik memberi peluang bagi pembentukan sel hibrida dari dua species, yang secara konvensional melalui

Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan perkembangan dalam hukum perdata mengenai perjanjian serta penyelesaian perhitungan dan

Untuk antena yang dipakai untuk waktu singkat (sekadar eksperimen, bekerja portable/field-day), bisa saja memakai kabel listrik rumahan (ke- nur atau zip cord), kabel speaker bia-