• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /enm/images/dokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /enm/images/dokumen"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERSAINGAN DALAM INDUSTRI

RETAIL

Oleh :

Dr.Tulus T H Tambunan

Dyah Nirmalawati T, SE, M Si

Arus Akbar Silondae, SH, LLM

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

(2)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Bisnis pasar modern sudah cukup lama memasuki industri retail Indonesia dan dengan cepat memperluas wilayahnya sampai ke pelosok daerah. Keberadaan mereka banyak menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagi sebagian konsumen pasar modern, keberadaan hypermarket, supermarket dan mini market, memang memberikan alternatif belanja yang menarik. Selain menawarkan kenyamanan dan kualitas produk, harga yang mereka pasang juga cukup bersaing bahkan lebih murah dibanding pasar tradisional. Sebaliknya, keadaan semacam ini jelas membuat risau para retailer kecil. Banyak dari retailer kecil mendapat imbas dari kehadiran pasar modern seperti hypermarket dengan turunnya pendapatan mereka secara signifikan.

Kondisi ini semakin terasa, setelah dikeluarkannya Keppres No 96/1998 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Keberadaan Keppres ini mengundang masuk retailer asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Sampai pertengahan tahun ini (Kapanlagi.com, 2003) jaringan hypermarket multinasional yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 15 gerai. Kehadiran dua peretail hypermarket, yakni Carrefour (Perancis) dan Giant (Malaysia) sudah menguasai 29,2 persen pasar retail Indonesia. Hingga tahun 2002, 2031 gerai pasar modern nasional hanya membukukan omzet Rp 33 trilliun, sementara hypermarket asing dengan 15 outlet mampu membukukan Rp 10,88 trilliun.

Masalah persaingan merupakan konsekuensi logis yang timbul dengan hadirnya retailer modern. Permasalahan timbul ketika retailer modern mulai, memasuki wilayah keberadaan retailer tradisional. Ekspansi agresif untuk pendirian pusat perbelanjaan modern ini sudah mendapat izin dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan dimana proses pemberian izin oleh aparat setempat tidak dilakukan secara transparan dan sering berbenturan dengan berbagai kepentingan pribadi didalamnya. Beberapa faktor yang perlu dikaji dalam industri retail tersebut adalah faktor regulasi, faktor efisiensi produk dan economics of scope, faktor lokasi, faktor perilaku konsumen termasuk pola selera konsumsi masyarakat serta karakteristik dari produk yang dijual.

Usaha kecil dengan modal terbatas layak untuk mendapatkan perhatian dari KPPU mengingat mereka terbukti tidak rentan terhadap imbasan krisis multidimensional yang melanda Indonesia sejak 1997. Dari sudut pandang UU No 5. Tahun 1999 mengenai anti monopoli dan persaingan tidak sehat, kajian sektor retail ini dianggap penting karena aspek persaingan akan dikaji melalui berbagai sudut pandang dari pasal-pasal dalam undang-undang tersebut. Potensi pelanggaran pelaku usaha akan dikaji lebih jauh dengan menggunakan kacamata persaingan usaha.

I.2 Perumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang kami ajukan adalah sebagai berikut: a. Bagaimana perkembangan usaha retailer di pasar domestik.

b.Bagaimana saluran distribusi usaha retail.

c. Bagaimana bentuk persaingan dalam industri retail.

d.Adakah peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU No 5 / 99

I.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh gambaran mengenai perkembangan usaha retail di pasar domestik. b.Untuk mengetahui saluran distribusi usaha retail.

c. Untuk mengidentifikasikan bentuk persaingan dalam industri retail.

d.Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1999

I.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

(3)

b.Sebagai masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan industri retail di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta.

c. Menambah pengetahuan peneliti mengenai kondisi industri retail di Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta. d.Sebagai literatur yang dapat memperkaya khasanah keilmuan di bidang Ekonomi.

I.5 Pembatasan Masalah

Pada penelitian mengenai persaingan dalam industri retail ini, peneliti membatasi lokasi penelitian pada daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Penelitian dilakukan dalam kurun waktu antara bulan Oktober 2003 sampai dengan bulan Februari 2004, terhadap retail yang menjual barang-barang kebutuhan masyarakat secara umum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi dan Klasifikasi

II.1.1. Definisi

Bidang usaha eceran sangat kompleks dan luas. Menurut The American Marketing Association, pengecer didefinisikan sebagai seorang pedagang yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir. Definisi ini didasarkan kepada siapa mereka menjual. Jadi, perdagangan eceran meliputi semua kegiatan pemasaran yang berhubungan dengan usaha-usaha untuk menjual kepada konsumen akhir (Swastha DH, 1979).

II.1.2. Klasifikasi

Pengecer dapat digolongkan menurut: (1) luasnya lini produk (LP); (2) bentuk pemilikan; (3) penggunaan fasilitas; dan (4) ukuran toko (Swastha DH, 1979).

a. Luasnya Lini Produk

Lini Produk adalah sekelompok barang yang memiliki tujuan penggunaan yang sama, misalnya alat-alat rumah tangga, alat-alat olah raga, makanan dan minuman, dll dari sebuah toko serba ada. Berdasarkan luasnya LP, pengecer dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut (Kotler dan Susanto, 2001): 1.Toko khusus, yaitu toko yang menjual satu macam barang atau LP yang lebih sempit dengan ragam yang

lebih banyak dalam lini tersebut. Contoh pengecer khusus adalah toko alat-alat olah raga, toko pakaian, toko meubel, toko bunga, dan toko buku. Biasanya volumenya tidak terlalu besar, milik pribadi, dan badan hukumnya berbentuk usaha perorangan, firma atau CV. Toko khusus dapat diklasifikasikan lagi menurut tingkat kekhususan LP-nya. Toko pakaian merupakan toko lini tunggal; toko pakaian pria merupakan toko sangat khusus. Di Indonesia saat ini toko khusus yang berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini adalah AGIS (PT Artha Graha Investama Sentral) sebagai salah satu retail yang mengkhususkan menjual barang-barang elektronik. Lainnya yang masuk kelompok ini adalah Cosmo yang hanya menjual produk-produk Jepang dan toko roti Holland Bakery yang hanya jual roti.

2.Toko serba ada, yaitu toko yang menjual berbagai macam LP. Biasanya toko seperti ini mempunyai volume usaha yang besar, kondisi keuangannya lebih kuat, dan badan hukumnya berbentuk perseroan terbatas atau paling tidak berbentuk CV. Misalnya Ramayana dan Sarinah.

3. Pasar Swalayan, yaitu toko yang merupakan operasi relatif besar, berbiaya rendah, margin rendah, volume tinggi, swalayan, yang dirancang untuk melayani semua kebutuhan konsumen seperti makanan, cucian, dan produk-produk perawatan rumah tangga.

(4)

yang terbatas seperti minuman, makanan ringan, permen, rokok, dll., dengan tingkat perputarannya yang tinggi. Jam buka yang panjang dan karena konsumen hanya membeli di toko ini hanya sebagai “pelengkap” menyebabkan toko ini menjadi suatu operasi dengan harga tinggi. Termasuk dalam kelompok ini adalah 7 11.

5. Toko Super, Toko Kombinasi dan Pasar Hyper. Toko Super rata-rata memiliki ruang jual 35.000 kaki persegi dan bertujuan memenuhi semua kebutuhan konsumen untuk pembelian makanan maupun bukan makanan secara rutin. Mereka biasanya menawarkan pelayanan seperti cucian, membersihkan, perbaikan sepatu, penguangan cek, dan pembayaran tagihan, serta makan siang murah. Toko kombinasi merupakan diversifikasi usaha pasar swalayan ke bidang obat-obatan, dengan luas ruang jual sekitar 55.000 kaki persegi. Masuk dalam kelompok ini mulai dari yang konvensional seperti Naga SM dan Bilka hingga yang lebih modern dan besar seperti Hero dan Top’s. Pasar hyper lebih besar lagi, berkisar antara 80.000 sampai 220.000 kaki persegi. Pasar ini tidak hanya menjual barang-barang yang rutin dibeli tetapi juga meliputi meubel, perkakas besar dan kecil, pakaian, dan banyak jenis lainnya, seperti Carrefour dan Mega M.

6. Toko Diskon, yaitu toko yang menjual secara reguler barang-barang standar dengan harga lebih murah karena mengambil marjin yang lebih rendah dan menjual dengan volume yang lebih tinggi. Umumnya menjual merek nasional, bukan barang bermutu rendah. Pengeceran diskon telah bergerak dari barang dagangan umum ke khusus, seperti toko diskon alat-alat olah raga, toko elektronik, dan toko buku (Kaikati, 1985).

7. Pengecer Potongan Harga. Kalau toko diskon biasanya membeli pada harga grosir dan mengambil margin yang kecil untuk menekan harga, pengecer potongan harga membeli pada harga yang lebih rendah daripada harga grosir dan menetapkan harga pada konsumen lebih rendah daripada harga eceran. Mereka cenderung menjual persediaan barang dagangan yang berubah-rubah dan tidak stabil sering merupakan sisa, tidak laku, dan cacat yang diperoleh dengan harga lebih rendah dari produsen atau pengecer lainnya. Pengecer potongan harga telah berkembang pesat dalam bidang pakaian, asesoris, dan perlengkapan kaki. Contoh dari pengecer potongan harga ini adalah factory outlet, seperti Herritage dan Millenia.

8. Ruang Jual Katalog, yaitu toko yang menjual cukup banyak pilihan produk-produk dengan marjin tinggi, perputarannya cepat, bermerek, dengan harga diskon. Produk-produk yang dijual meliputi perhiasan, alat-alat pertukangan, kamera, koper, perkakas kecil, mainan, dan alat-alat-alat-alat olah raga.

9. MOM & POP Store, yaitu toko berukuran relatif kecil yang dikelola secara tradisional, umumnya hanya menjual bahan pokok/kebutuhan sehari-hari yang terletak di daerah perumahan/pemukiman. Jenis toko ini dikenal sebagai toko kelontong.

10. Mini Market, yaitu toko berukuran relatif kecil yang merupakan pengembangan dari Mom & Pop Store, dimana pengelolaannya lebih modern, dengan jenis barang dagangan lebih banyak. Misalnya Indomaret.

b. Bentuk Pemilikan

Menurut bentuk pemilikannya, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kategori sebagai berikut:

1.Independent store yaitu toko yang tidak dimiliki oleh sekelompok orang, melainkan milik pribadi seseorang yang juga merupakan pimpinan dari toko tersebut. Dalam kategori ini, pengusaha lebih bebas dalam menentukan kebijaksanaan dan strategi pemasarannya.

2.Corporate chain store yaitu beberapa toko yang berada di bawah satu organisasi, dan dimiliki oleh sekelompok orang. Masing-masing toko menjual LP yang sama dan struktur distribusinya juga sama.

c. Penggunaan Fasilitas

(5)

disebut di atas. Sedangkan pengecer tanpa toko terdiri dari tiga jenis yaitu penjualan dari rumah ke rumah (door to door saleman), penjualan melalui pos (mail order selling) atau elektronik, dan penjualan dengan mesin otomatis (automatic vending machine).

d. Ukuran Toko

Menurut ukuran toko, pengecer dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni pengecer kecil dan pengecer besar. Pembedaan ini dapat didasarkan pada banyak faktor, diantaranya volume penjualan, manajemen, kegiatan promosi, kondisi keuangan, pembagian tenaga kerja, fleksibilitas dalam operasi, merek pengecer, integrasi horisontal dan vertikal, dll.

Dari beberapa klasifikasi tersebut di atas, peneliti membagi retail menjadi 2 (dua) kategori, yaitu retail modern dan retail tradisional. Pembagian kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Pembagian Retail Modern dan Tradisional Klasifikasi Retail Modern Retail Tradisional Lini Produk ™ Toko Khusus

™ Toko Serba Ada

™ Toko Swalayan

™ Toko Convenience

™ Toko Super, Kombinasi, dan Pasar Hyper

™ Toko Diskon

™ Pengecer Potongan Harga

™ Ruang Penjual Katalog

™ Mom & Pop Store

™ Mini Market

Kepemilikan ™ Corporate Chain Store ™ Independent Store Penggunaan Fasilitas ™ Alat-alat pembayaran modern

(komputer, credit card, autodebet)

™ AC, Eskalator / Lift

™ Alat Pembayaran tradisional (manual / calculator, cash)

™ Tangga, tanpa AC Promosi ™ Ada ™ Tidak Ada Keuangan ™ Tercatat dan Dapat

dipublikasikan

™ Belum tentu tercatat dan tidak dipublikasikan

Tenaga Kerja ™ Banyak ™ Sedikit, biasanya keluarga Fleksibilitas Operasi ™ Tidak Fleksibel ™ Fleksibel

II.2 Saluran Distribusi usaha retail

Alternatif saluran yang digunakan sering dikaitkan dengan golongan barang yang ada. Dalam hal ini terdapat dua macam saluran, yang juga dipraktekkan di Indonesia, yaitu: (1) saluran distribusi untuk barang konsumsi, dan (2) saluran distribusi untuk barang industri. Pada prinsipnya, kedua macam saluran tersebut sama (Swastha DH, 1979).

a. Saluran Distribusi untuk Barang Konsumsi

Seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1, terdapat 5 macam saluran dalam pemasaran barang-barang konsumsi. Pada masing-masing saluran, produsen mempunyai alternatif untuk menggunakan kantor dan cabang penjualan. Selain itu, juga terdapat kemungkinan pemakaian pedagang besar, agen penyimpanan atau pemborong dan pengecer.

(6)

Produsen Produsen Produsen Produsen Produsen

Agen Agen

Pedagang Besar

Pedagang Besar

Pengecer Pengecer Pengecer Pengecer

Konsumen Akhir

Gambar 1: Saluran Distribusi untuk Produsen Barang Konsumsi

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir

Konsumen Akhir Sumber: dikutip dari Gambar 19 di Swastha DH (1979).

Grosir besar

Grosir kecil Distributor

Pabrik Retail

Gambar 2 : Sistem Distribusi Barang yang umum di terapkan di Indonesia antara Pabrik dan Retail

Gambar 3: Sistem Saluran Distribusi antara Pabrik/Distributor

P-D

P-D

P-D

P-D

P-D

G-R

G-R

G-R

G-R

G-R

G-R P-D

dengan Grosir/Retail Tanpa Pusat Distribusi

b. Saluran Distribusi untuk Barang Industri

(7)

penjualan produsen, selanjutnya disuplai ke distributor industri, dan baru ke industri pemakai (Kotler dan Susanto, 2001).

Sedangkan berdasarkan tingkatan pemasarannya, pemasaran dibedakan menjadi:

i) Sistem Pemasaran Vertikal

Sistem pemasaran vertikal atau disebut juga integrasi vertikal terjadi apabila pengecer menjalankan fungsi perdagangan besar atau menjalankan kegiatan pemasaran dari produsen.1 Sistem ini yang merupakan salah satu dari perkembangan saluran pemasaran yang paling baru berbeda dengan saluran pemasaran konvensional. Sistem konvensional terdiri dari seorang produsen independen, pedagang besar, dan pengecer. Masing-masing merupakan entitas bisnis yang terpisah yang bertujuan untuk memaksimalkan labanya sendiri, walaupun dapat mengurangi keuntungan sistem itu secara keseluruhan. Tidak ada anggota saluran yang memiliki kontrol lengkap atau penting terhadap anggota lainnya.2

Sistem pemasaran vertikal, sebaiknya, terdiri dari produsen, pedagang besar, dan pengecer yang bertindak sebagai satu kesatuan sistem. Satu anggota saluran memiliki yang lain atau memberi hak pada mereka atau memiliki begitu banyak kekuatan sehingga mereka dapat bekerja sama. Sistem pemasaran ini dapat didominasi oleh produsen, pedagang besar, atau pengecer.

Salah satu contoh dari sistem pemasaran vertikal adalah organisasi toko berangkai. Beberapa pengecer besar seperti toko serba ada, supermarket, dan discount house membeli secara langsung pada produsen dan menjualnya kepada konsumen akhir. Para pengecer tersebut melakukan fungsi perdagangan besar melalui sebuah kantor pusat. Mereka mempunyai gudang sebagai tempat penyimpanan bersama yang cukup besar, sehingga dapat melayani kebutuhan barang-barang dalam jumlah besar kepada masing-masing toko. Contoh lainnya adalah PT Matahari Putera yang menggabungkan beberapa lini pengeceran dengan bentuk kepemilikan terpusat, yang juga menyatukan fungsi distribusi dan manajemen. Selain toko-toko serba adanya, PT Matahari Putera juga mengoperasikan Mega M, Super Ekonomi, Matahari Super Bazaar (khusus jaringan pasar swalayan), dan Galeria.

McCammon (1970) memberi ciri sistem ini sebagai jaringan yang diprogram terpusat dan dikelola secara profesional, direncanakan lebih dulu untuk mencapai penghematan biaya operasi dan pengaruh pasar maksimal. Sistem ini muncul untuk mengontrol perilaku saluran dan menghilangkan konflik antar sesama anggota saluran.3

Ada tiga macam saluran pemasaran vertikal (Johnson dan Lawrence, 1988). Pertama, sistem pemasaran vertikal korporat: mengkombinasikan serangkaian tahap produksi dan distribusi di bawah kepemilikan tunggal. Sistem ini dapat dicapai dengan integrasi ke belakang atau ke depan. Satu contoh di Indonesia, Indomaret sebagai pengecer yang merupakan tangan produsen. Jika seorang konsumen membeli minyak goreng Bimoli dari Indomaret, maka telah terjadi suatu proses keterkaitan bisnis mulai dari perkebunan kelapa sawit sampai ke konsumen akhir dalam satu kelompok perusahaan. Demikian juga dengan indomie, mulai dari gandum impor menjadi terigu (industri hulu), pembuatan mie siap saji (industri hilir) sampai ke tangan konsumennya di Indomaret (pengecer)(Kotler dan Susanto, 2001).

Kedua, sistem pemasaran vertikal administrasi: mengkoordinasi serangkaian tahap produksi dan distribusi tidak melalui kepemilikan biasa tetapi lewat besarnya dan kekuatan salah satu pihak. Produsen merek yang dominan mampu mengamankan kerja sama perdagangan yang kuat dan dukungan dari para penjualnya. Contoh, pemasaran yang dilakukan oleh Kodak, Gillette, Procter & Gamble, dan Campbell Soup.

Ketiga, sistem pemasaran vertikal kontrak: terdiri dari perusahaan independen di tingkat produksi dan distribusi yang berbeda yang menggabungkan program mereka berdasarkan suatu perjanjian untuk

1

Tidak semua perdagangan besar selalu dilakukan sepenuhnya oleh lembaga-lembaga yang disebut pedagang besar. Kadang-kadang perdagangan besar dikombinasikan dengan kegiatan pengolahan atau perdagangan eceran. Kombinasi semacam ini disebut perdagangan besar yang terintegrasi (integrated wholesaling), karena menyangkut pemilikan lebih dari satu macam perantara saluran (Swastha DH, 1979).

2

McCammon (1970) memberi ciri saluran konvensional sebagai jaringan yang sangat terpisah di mana produsen, pedagang besar, dan pengecer dengan hubungan yang renggang melakukan perundingan, bernegosiasi dengan agresif mengenai syarat penjualan, dan bahkan bertindak secara otonom.

3 Sistem pemasaran vertikal telah menjadi cara distribusi yang dominan di pasar konsumsi Amerika Serikat, melayani

(8)

mendapatkan lebih banyak pengaruh ekonomi dan/atau penjualan daripada yang dapat mereka capai sendiri. Sistem ini memiliki tiga jenis, yakni jaringan sukarela yang disponsori pedagang besar, koperasi pengecer dan organisasi frenchise. Dalam jenis pertama, pedagang besar mengatur jaringan suka rela yang terdiri dari pengecer independen untuk membantu mereka bersaing dengan jaringan organisasi besar. Dalam jenis kedua, pengecer mengorganisasikan sebuah entitas bisnis baru untuk melaksanakan penjualan dalam jumlah besar dan mungkin sebagian produksi. Dalam jenis organisasi franchise, seorang anggota saluran yang disebut franchisor (pemberi franchise) dapat menghubungkan beberapa tahap yang berurutan dalam proses produksi-distribusi.

Banyak pengecer independen, jika tidak bergabung dengan sistem pemasaran vertikal, mengembangkan toko khusus yang melayani segmen pasar yang tidak menarik bagi pedagang masal. Hasilnya adalah polarisasi di sektor eceran antara organisasi pemasaran vertikal besar di satu pihak, dan toko independen khusus di pihak lain. Sistem pemasaran vertikal jika sudah sangat kuat bisa mengancam produsen dengan memulai produksi mereka sendiri. Persaingan baru dalam sektor eceran tidak lagi antara unit bisnis independen tetapi antara keseluruhan sistem dari jaringan yang diprogram secara terpusat yang bersaing satu sama lain untuk mencapai biaya operasi paling rendah dan respons pelanggn yang terbaik (Kotler dan Susanto, 2001).

Di dalam sistem pemasaran vertikal bisa terjadi konflik bila ada pertentangan antara tingkat saluran yang berbeda dalam saluran yang sama. Sebagai contoh, Hero yang menyediakan produk house brand mencemaskan produsen, terutama produsen konsumen seperti Aqua, SMART Corp. (produsen minyak goreng Filma), dan Unilever karena Hero mulai memproduksi air mineral, minyak goreng, sabun krim, dan deterjen.

ii) Sistem Pemasaran Horisontal

Sistem pemasaran horisontal terjadi apabila pengecer (biasanya pengecer besar) menjual barang-barang dari berbagai produsen dengan merk yang berbeda-beda. Atau, oleh Kotler dan Susanto (2001) didefinisikan sebagai penggabungan sumber daya atau program oleh dua atau lebih perusahaan yang tidak berhubungan untuk memanfaatkan munculnya peluang pasar. Kerja sama ini bisa sifatnya sementara atau permanen. Adler (1966) dan Varadarajan dan Rajaratman (1986) menyebutnya pemasaran simbiotik.

II.3 Persaingan Industri Retail

Sejarah membuktikan, ekonomi pasar merupakan sistem terbaik untuk membangun dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ekonomi pasar, aktivitas produsen dan konsumen tidak direncanakan oleh sebuah lembaga sentral, melainkan secara individual oleh para pelaku ekonomi. Dan persainganlah yang bertindak sebagai tangan-tangan tak terlihat yang mengkoordinasi rencana masing-masing. Sistem persaingan yang terbentuk dapat membuat produksi serta konsumsi dan alokasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan modal menjadi efisien.(KPPU, 2001)

Para ekonom melihat proses bekerjanya sistem persaingan dengan indikator yang dikenal dengan Structure – Conduct – Performance (SCP). Dari sisi structure, indiator sistem persaingan adalah sebagai berikut: (Martin, 1994)

1. Number and Size Distribution of Sellers and Buyers

Dalam pasar persaingan, terdapat banyak penjual dan pembeli yang masing-masing tidak dapat mempengaruhi harga.

2. Product Differentiation

Produk yang standar tidak pernah ada di dunia nyata. Semakin berbeda barang tersebut, semakin kecil kemungkinan substitusi dengan barang lain.

3. Entry Conditions

Entry Conditions menentukan potensi persaingan antara perusahaan yang telah ada dan perusahaan yang akan masuk ke dalam industri.

Di sisi Conduct, indikator yang digunakan adalah ada tidaknya kerja sama (collusion) dan strategi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, serta adanya advertising atau Research and Development (R&D). Yang terakhir, dari sisi Performance, ekonom melihat berjalannya sistem persaingan dari profitabilitasnya, dan efisiensinya.

(9)

memahami pola persaingan dan tingkat intensitasnya antara retail modern dengan retail tradisional, perlu diketahui dulu perbedaan karakteristik antara kedua jenis retail tersebut. Perbedaan karakterisktik tersebut dapat dilihat di Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2: Perbedaan Karakteristik antara Pasar Tradisional dengan Pasar Modern No Aspek Pasar Tradisional Pasar Modern 1

Milik masyarakat/desa, Pemda, sedikit swasta Modal lemah/subsidi/swadaya masyarakat/ Inpres.

Golongan menengah ke bawah Ciri dilayani, tawar menawar Tanah Negara, sedikit sekali swasta Kadang-kadang ada subsidi

Umumnya pembanguna dilakukan oleh Pemda/ desa/ masyarakat

Beragam, masal, dari sektor informal sampai pedagang menengah dan besar

Bersifat masal (pedagang kecil, menengah dan bahkan besar

Pasar regional, pasar kota, pasar kawasan

Fenomena baru Baik dan mewah

Umumnya perorangan/swasta Modal kuat/digerakkan oleh swasta Umumnya golongan menengah ke atas Ada ciri swalayan, pasti

Tanah swasta/perorangan Tidak ada subsidi

Pembangunan fisik umumnya oleh swasta

Pemilik modal juga pedagangnya (tunggal) atau beberapa pedagang formal skala menengah dan besar.

Terbatas, umumnya pedagang tunggal, dan menengah ke atas

Sistem rantai korporasi nasional atau bahkan terkait dengan modal luar negeri (manajemen tersentralisasi.

Sumber: CESS (1998).

Meskipun terdapat beberapa perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya persaingan di antara keduanya. Persaingan ini terjadi ketika masyarakat memilih satu diantara keduanya sebagai tempat mereka berbelanja. Penentuan pilihan itu dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat per kapita, terutama fisik, modal dan kelompok konsumen.

Semakin tinggi pendapatan rata-rata masyarakat per kapita semakin besar kelompok konsumen menengah ke atas dan pola konsumen juga dengan sendirinya akan berubah ke pasar modern yang fisiknya jauh lebih baik dibandingkan pasar tradisional seperti kenyamanan, keamanan, kebersihan dan arena parkir yang luas; dan untuk pengadaan fisik seperti memerlukan modal yang besar.

Maka, secara hipotesa, pertumbuhan retail moderen berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan masayarakat, semakin pesat pertumbuhan retail modern. Sebaliknya, pertumbuhan retail tradisional berkorelasi negatif dengan pendapatan atau berkorelasi positif dengan kemiskinan. Yaitu, semakin besar populasi di bawah garis kemiskinan semakin banyak pasar-pasar tradisional.

Data deret waktu selama 20 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat DKI rata-rata per kapita meningkat tajam, namun ketimpangan juga semakin besar. Dalam kata lain, retail moderen akan terus tumbuh sedangkan retail tradisional untuk jangka waktu ke depan akan tetap bertahan karena ada konsumennya, yakni penduduk DKI berpendapatan rendah. Salah satu indikator dari peningkatan ini adalah pesatnya pertumbuhan penjualan mobil pribadi dan pembangunan perumahan mewah.

Hubungan erat antara pertumbuhann retail moderen di satu sisi, dan peningkatan pendapatan dan perubahan pola konsumsi masyarakat di sisi lain juga ditegaskan oleh Abdullah (2003) dalam tulisannya mengenai persaingan ketat di bisnis retail. Ia mengatakan bahwa persaingan antara retail moderen dan retail tradisional di Indonesia yang belakangan ini sangat pesat tidak lepas dari kenyataan bahwa minat konsumen berbelanja ke retail moderen, terutama yang besar seperti hypermarket semakin tinggi, khususnya di Jakarta.

(10)

kenyamanan, kebersihan dan efisien dalam berbelanja menyebabkan pasar tradisional semakin ditinggalkan konsumen. Terlebih lagi jika tidak ada usaha-usaha dari PD Pasar Jaya selaku pengelola pasar tradisional untuk melakukan perbaikan ke dalam maupun lingkungan di sekitarnya (Abdullah, 2003).

Dampak negatif dari pertumbuhan retail moderen yang semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta sudah mulai dirasakan oleh banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi antara pengamat retail di Indonesia Koestarjono Prodjolalito dengan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan bahwa banyaknya macam/merek barang yang ditawarkan oleh hypermarket, termasuk alat-alat listrik telah mengancam usaha mereka. Ia berpendapat bahwa kelangsungan usaha pasar tradisional yang ada sekarang tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau pasar retail moderen (BI, 2003a).

Salah satu bentuk persaingan antara retail moderen dan retail tradisional yang sering mendapatkan perhatian banyak orang adalah persaingan dalam harga. Permasalahan utamanya adalah bahwa retail modern terutama skala besar sering menjual produknya dengan harga jauh lebih rendah daripada harga jual dari produk yang sama di pasar tradisional. Pada tahun 1999, Asosiasi Perngusaha Retail Indonesia (Apindo), menuduh retail besar seperti hypermarket dan perkulakan besar semacam Makro, Goro dan Alfa yang menjual produk grosir dan juga eceran melakukan praktek dumping. (Kotler dan Susanto, 2001)

Menurut Direktur Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Thomas Gunawan, tidak ada produsen yang menjual barangnya dibawah harga normal. Produsen biasanya menetapkan harga eceran tertinggi (HET) suatu barang bagi pengecer yang besarnya untuk produk makanan sekitar 4%-7% dari harga pokok. Pemberlakuan HET tersebut untuk melindungi produk itu sendiri agar tetap diminati konsumen dengan harga yang terjangkau. Apabila melanggar HET tersebut maka pasokannya akan dihentikan kendati telah mendapat beberapa kali teguran.

Sedangkan untuk harga terendah, pemasok tidak menentukan besarnya dan tergantung kepada masing-masing pengecer. Hal ini karena pengecer diizinkan melakukan potongan harga dengan alasan produk itu lambat penjualannya, daya tahan atau kadaluarsa yang mau habis atau produk tersebut bungkusnya rusak namun tetap bisa dikonsumsi, seperti kaleng yang penyok. Apabila ada eceran yang melakukan potongan harga besar-besaran karena mau tutup, biasanya produsen membeli kembali produk itu agar tidak merusak harga. Harga pemasok antara satu retail dengan lainnya biasa berbeda, tergantung dari besarnya volume pengambilan dan cepatnya pembayaran. Pada prinsipnya produsen tidak dirugikan dengan adanya penjualan di bawah harga pemasok. (Kotler dan Susanto, 2001).

Sementara, menurut Fauzy (Corporate Secretary PT Tigaraksa Satria), distributor umumnya memberikan diskon kepada minimarket, supermarket dan hypermarket serta grosir sekitar 3% lebih murah dibandingkan dengan diskon yang diberikan kepada toko biasa. Distributor bisa memberikan diskon lebih besar jika pihak principal itu sedang melakukan promosi dagang untuk produk baru atau memberikan insentif berupa diskon kepada retail yang melakukan pembayaran lebih cepat yang besarnya sama dengan bunga bank, atau sedikit lebih tinggi. Selain itu, principal sering kali hanya mengambil marjin sangat tipis, yaitu untuk suatu produk yang laris terjual dengan pertimbangan bahwa modal kerja mereka lebih murah.

Jadi, hypermarket tidak melakukan dumping dengan menjual produknya lebih murah dari peretail lainnya. Sebab retail raksasa itu selain hanya mengambil marjin yang sangat tipis juga memberikan semua fasilitas yang diperoleh dari distributor, baik berupa promosi dagang maupun insentif diskon kepada konsumennya.

Larinya banyak pembeli ke retail moderen bukan suatu fenomena yang mengejutkan, melihat kenyataan bahwa di Indonesia kondisi dari pasar tradisional sangat buruk karena jarang direnovasi dan disempurnakan secara berkala mengikuti zaman. Kebanyakan, pasar tradisional baru direnovasi jika terjadi kebakaran. Sehingga, banyak sekali pasar tradisional di Indonesia yang kualitasnya makin buruk. Ini merupakan penyebab utama banyaknya konsumen yang meninggalkan pasar tradisional pindah ke pasar retail moderen. Lain halnya dengan pasar swalayan moderen. Mereka punya aturan ketat. Biasanya, setiap 5-7 tahun sekali, pasar swalayan moderen direnovasi untuk mengikuti perubahan zaman. Kurnia (2000).

(11)

komoditi dibeli konsumen di pasar moderen. Untuk jenis komoditi tertentu ada juga yang dirasakan konsumen lebih baik untuk berbelanja di pasar tradisional atau pertokoan. Untuk pakaian jadi, sebagian besar konsumen yang diwawancarai (67,5%) lebih memilih untuk belanja di pasar moderen. Sementara untuk berbelanja sayur-sayur dan buah-buahan, sebagian besar konsumen lebih memilih berbelanja di pasar tradisional.

Tabel 3: Alasan Konsumen Berbelanja di Pasar Moderen (%) Alasan Utama % Distribusi Tempat lebih nyaman

Adanya kepastian harga

Merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat Kualitas barang lebih terjamin

Tabel 4 : Kecenderungan Konsumen untuk Berbelanja Menurut Jenis Komoditi (%)

Jenis komoditi Pasar %

Peter Gale, direktur eksekutif retail services practice Asia Pacific AC Nielsen Bangkok (2003) melihat adanya kecenderungan pergeseran pengeluaran uang para pembeli dari pasar tradisional ke pasar moderen. Terutama konsumen di Jakarta, Bandung dan Surabaya yang membelanjakan sebagian besar dari uangnya ke pasar swalayan, mengalami suatu peningkatan yang cukup besar dalam setahun yakni dari sekitar 35% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002.

Sebaliknya, persentase dari total konsumen ke pasar tradisional mengalami suatu penurunan dari 65% ke 52% dalam jangka waktu yang sama. Khususnya di Jakarta minat konsumen berbelanja ke pasar swalayan meningkat cukup signifikan dari sekitar 31% pada tahun 2001 menjadi 48% pada tahun 2002, sedangkan yang ke pasar tradisional menurun dari 69% ke 52% selama periode yang sama.

Perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta erat kaitannya dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat. Pengamat retail Koestarjono Prodjolalito mengatakan kepada Bisnis Indonesia bahwa kalau daya beli masyarakat meningkat maka otomatis pengeluaran juga meningkat, dan lambat laun pasar tradisional akan ditinggalkan; kenaikan pendapatan atau daya beli masyarakat merupakan faktor terpenting yang membuat konsumen beralih ke pasar moderen (BI, 2003a).

(12)

masa, baik cetak maupun audio visual. Selain itu, sarana transportasi yang semakin baik yang menghubungkan kota dengan desa juga sangat berperan, yang membuat mobilisasi penduduk dari desa ke kota semakin tinggi.

Menurut Kurnia (2000), kemampuan bersaing para pedagang tradisional sesungguhnya unik. Para pedagang tradisional bertindak sesuai dengan filosofi “small is beautiful”. Tentu, hal ini disebabkan oleh modal mereka yang pas-pasan, sehingga mereka hanya berdagang sesuai dengan kemampuan mereka, yakni dalam skala kecil. Banyak di antara mereka yang membeli barang dagangannya secara harian. Tetapi, dengan begitu, produk mereka jadi lebih segar, dan kualitasnya bisa menyamai pasar swalayan moderen. Karena skala yang kecil, pedagang tradisional juga dinamis, dan mobilitas mereka sangat tinggi. Mereka selalu mengincar lokasi yang ramai seperti di terminal bus, di taman, atau di pinggir jalan protocol, atau bahkan di depan pertokoan moderen.

III. METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk basic research, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui permasalahan secara komprehensif, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan mengenai solusi yang dibutuhkan. (Sekaran, 2000) Berdasarkan metodenya, penelitian ini dapat dikategorikan pada penelitian survey, dimana data diambil dari sebagian populasi yang ada, dan kemudian dilakukan generalisasi untuk semua populasi.

Sesuai dengan permasalahan yang kami ajukan, ditinjau dari tingkat eksplanasinya, penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif asosiatif. Penelitian jenis ini dilakukan untuk menggambarkan fenomena yang terjadi pada retail modern dan retail tradisional, dan kemudian kami dapat menunjukkan hubungan dari keduanya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

III.2 Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan wawancara kami dengan pelaku usaha retail yaitu pedagang ataupun pihak manajemen usaha retail, asosiasi retail, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan usaha retail. Sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan tahunan usaha retail, Text Book, peraturan-peraturan, Biro Pusat Statistik (BPS), Depperindag, Kadin Jaya, majalah, surat kabar, dan artikel di internet.

Dalam melakukan observasi, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh usaha retail yang ada di wilayah Jakarta. Dari populasi tersebut, kami membagi dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan kepemilikannya, yaitu: 1.Usaha retail milik asing. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Carefour, Giant, dll.

2.Usaha retail frenchise. Usaha retail yang termasuk kelompok ini adalah Alfa, Indomaret, dll.

3.Usaha retail milik swasta nasional. Usaha retail yang merupakan milik swasta nasional adalah Matahari. 4.Usaha retail tradisional. Yang termasuk dalam kelopok usaha retail tradisional adalah toko-toko yang ada

pada PD Pasar Jaya, warung-warung, dll

Dari seluruh populasi tersebut di atas, kami mengambil sampel berdasarkan Metode Stratified Random Sampling, dengan tujuan agar masing-masing kelompok terwakili. Pada kelompok pertama sampai ketiga, kami mengambil satu sampel untuk diobservasi, yaitu Carefour, Indomaret, dan Hero. Sedangkan pada kelompok keempat kami mengambil beberapa sampel usaha retail yang berada pada PD Pasar jaya mampang.

III.3 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tempat-tempat sesuai sampel tersebut di atas, yaitu Carefour, Indomaret, Matahari, dan PD Pasar Jaya Mampang, selama Bulan Oktober - Desember 2003 dan Januari – Februari 2004.

III.4 Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data

Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan untuk menjawab seluruh permasalahan yang kami ajukan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang kami gunakan ada 3 (tiga), yaitu:

(13)

3.Diskusi terbatas mengenai hasil analisa tim peneliti dengan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan insudtri retail, seperti Asisiasi retail (API), Depperindag, pelaku usaha retail, LSM, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Dalam menganalisis data yang kami peroleh hingga mendapatkan hasil yang dapat menjawab perumusan permasalahan di atas, kami melakukan beberapa teknik analisis. Pertama, kami akan melakukan studi literatur terutama untuk memdapatkan suatu gambaran yang lengkap mengenai perkembangan, saluran distribusi, bentuk persaingan, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan industri retail, baik retail modern maupun retail trasisional yang ada di Jakarta. Proses studi literatur ini akan terus berjalan hingga penelitian berakhir, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Kedua, kami akan melakukan observasi dan wawancara dengan beberapa responden yang menjadi sampel kami dengan menggunakan kuesioner yang sudah kami persiapkan. Hasil observasi dan wawancara ini akan kami analisis, dan jika dalam proses ini kami menemukan hal-hal yang “menarik” ataupun “kontroversial”, kami akan melakukan indepth study pada beberapa responden. Setelah melalui tahap ini, diharapkan \kami sudah mendapatkan jawaban dari tiga permasalahan pertama.

Berikutnya, kami akan menganalisis lebih dalam peraturan –peraturan yang bertentangan dengan UU No. 5 / 99, dan bagaimana konsekuensinya. Terakhir, kami akan menyelenggarakan suatu diskusi terbatas yang mengundang semua stakeholders yang berkepentingan dalam pelaksanaan UU No 5 / 99 seperti API, Depperindag, beberapa responden, LSM, dan Perguruan Tinggi. Dalam pertemuan tersebut, bahan diskusi akan berdasarkan pada hasil analisa dari tim peneliti.

IV HASIL PENELITIAN

IV.1 Perkembangan Usaha Eceran

Data terakhir mengenai perkembangan usaha eceran di Indonesia dapat dilihat di Tabel 4 dan kontribusi retail moderen terhadap pasar nasional dapat dilihat di Tabel 5. Dari jumlah unit, kelihatan jelas bahwa bisnis eceran moderen di Indonesia di kuasai oleh Indomaret, dan disusul kemudian oleh Alfamart. Sedangkan dalam skala sedang, Hero berada pada posisi teratas dengan jumlah gerai sebanyak 89 unit. Sedangkan untuk skala besar, Carrefour paling besar dilihat dari jumlah gerainya yang mencapai 11 unit.

Tabel 5 Perkembangan Bisnis Eceran di Indonesia (unit) September 2003 Skala Gerai Jumlah

(14)

cenderung semakin tergeser oleh retail moderen di pasar nasional, walupun kontribusinya terhadap pertumbuhan pasar nasional masih paling besar

Jika strutur pertumbuhan seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil pada suatu saat retail modern akan mendominasi pertumbuhan omzert maupun jumlah unit pasar nasional. Menurut perkiraan Business Intelligence Report (BIRO), pertumbuhan gerai retail moderen, khususnya asing, akan semakin pesat, dan hingga 2005 akan mencapai sekitar 8% dan akan menguasai lebih dari 25% dari total omzet retail national.

Dari data tersebut di atas, diperkirakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan retail modern baik asing maupun lokal akan menggeser keberadaan pasar tradisional. Pemerintah Indonesia memang tidak bisa menghentikan perkembangan hypermarket asing seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Disamping masyarakat masih membutuhkan, Indonesia juga terikat perjanjian dengan IMF yang memperbolehkan retail asing masuk.

Tabel 6 Kontribusi Retail Moderen terhadap Pasar Nasional April 2002 – Maret 2003 (%) Jenis Retail 2003 2002 2001 2000

Supermarket/hypermarket Minimarket

Pasar tradisional/konvensional

21,1 5,1 73,8

20,2 4,9 74,9

20,5 4,6 74,9

16,7 3,4 79,8

Beberapa perkembangan lebih detail mengenai retail modern yang menjadi obyek penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hero Supermarket

Hero merupakan perusahaan publik, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh paretail asing yaitu Dairy Farm (Hongkong). Sampai dengan Maret 2003, Hero telah memiliki 202 gerai, yang terdiri dari super market, Departement Store, toko obat Guardian, mini market Star Mart, dan Hypermarket Giant. Gerai-gerai tersebut tersebar di seluruh Indonesia, dengan komposisi sebagai yang tertera di Tabel 7:

Tabel 7: Jumlah Gerai Hero di Seluruh Indonesia Maret 2003

Lokasi Hero Guardian Starmart Dept Store Giant Jumlah

Jakarta 36 34 25 0 1 96

Tangerang 2 3 3 0 1 9

Bogor 4 1 7 0 0 12

Depok 3 2 0 0 0 5

Bekasi 4 2 2 0 1 9

Jawa Barat 9 6 1 0 0 16

Jawa Tengah 6 3 0 0 0 9

Jawa Timur 4 6 0 0 1 11

Bali 1 2 0 0 0 3

Lombok 1 1 0 0 0 2

Sumatera 4 2 0 0 0 6

Kalimantan 5 3 0 0 0 8

Sulawesi 3 2 0 0 0 5

Irian 2 2 5 2 0 11

Jumlah 202

Sumber: Data Laporan Tahunan 2002 diolah

(15)

miliar , melampaui pertumbuhan yang dicapai tahun 2001 yang terutama disebabkan oleh program pembukaan gerai-gerai baru, termasuk peluncuran Giant format hipermarket yang berjalan sukses.

Dilihat dari margin laba kotor sebesar 21,5 persen, turun dari 22,7 persen di tahun 2001. Hal ini menunjukkan ketatnya persaingan harga dan margin lebih rendah yang berlaku di sektor hipermarket. Beban usaha meningkat 28,6 persen terutama disebabkan oleh peningkatan biaya listrik dan bahan bakar, gaji, depresiasi, dan biaya sewa. Sebagai akibatnya, laba usaha turun menjadi Rp 41 miliar dibandingkan dengan Rp 82 miliar di tahun 2001.

2. Indomaret Mini Market

Sampai dengan akhir Oktober 2003, Indomaret telah memiliki 761 toko yang terdiri dari 743 toko minimarket yang tersebar diberbagai lokasi, yang lebih dari setengahnya berada di Jabotabek. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 :Jumlah dan Sebaran Toko Indomaret (IDM) di Indonesia Cabang Toko IDM Toko Waralaba IDM Total Jakarta I Sumber: Indomaret, Jakarta 2003 (hasil wawancara)

Menurut rencana Indomaret akan menambah tokonya hingga mencapai 800 unit pada akhir tahun 2003. Indomaret dari badan usaha PT. Indomarco Prismatama, adalah nama (brand) yang dipakai untuk jaringan minimarket/grocery store, yang mulai beroperasi tahun 1988 dengan dibukanya toko pertama. Indomaret merupakan suatu perusahaan nasional, yang sejak tahun 1997 sudah di-waralaba-kan. Dari jumlah toko di Tabel 8 tersebut, sebagian besar adalah dalam bentuk waralaba, yakni 342 unit, yang terdiri dari 3 bentuk, yakni badan hukum/usaha (181 unit), perorangan (149 unit), dan koperasi (12 unit). Rata-rata penjualan per hari diperkirakan sebesar 10 juta rupiah, atau per tahunnya hampir mencapai 2,5 triliun rupiah. Pangsa pasarnya diperkirakan sebesar 11%, atau sedikit di bawah Makro. Indomaret mini market cenderung berada dipinggiran kota dan dekat dengan pemukiman.

3. Carrefour

Carrefour merupakan perusahaan Perancis yang telah mengoperasikan 324 outlet di 17 negara. Sistem yang digunakan adalah pengusahaan global dengan gaya atau ciri lokal (mengijinkan perbedaan lokal, tetapi berbicara dengan bahasa yang sama).

Sampai dengan akhir September 2003, Carrefour telah memiliki 8 toko yang berada di Jakarta dan 3 di Bandung. Penjualan rata-rata per tahunnya diperkirakan hampir mencapai 2,1 triliun rupiah, dan pangsa pasarnya hingga akhir 2001 adalah sebesar 4% (Annual Report 2001). Carrefour yang baru 3 tahun beroperasi di Indonesia adalah 100 PMA (Perancis). Ke 8 toko di Jakarta tersebar di beberapa tempat saja yang potensi konsumennya banyak dan akses mudah (gampang tercapai), yaitu:

(16)

™ Mega Mal Pluit

Omset per hari Carrefour di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih sebesar Rp 980 juta atau mencapai Rp 525 miliar setahun. Sedangkan outlet di Duta Merlin diperkirakan mencapai Rp 420 miliar setahun (Data Consult, 2000)

4. Alfamart

Pada awalnya ALFA memposisikan sebagai gudang rabat, di mana pedagang kecil merupakan target pasar utama, tetapi di dalam perkembangannya ALFA juga mengembangkan usahanya melalui pembangunan super market dan mini market (Alfa Mart). Fungsi dari gudang rabatnya juga telah berubah, tidak lagi hanya melayani pedagang tetapi juga konsumen/pemakai akhir. Sampai dengan akhir Septemer 2003, ALFA telah memiliki 492 minimarket, mempekerjakan 5.898 karyawan lokal dan penjualan rata-rata per tahunnya diperkirakan mencapai 1,8 triliun rupiah dengan pangsa pasar sebesar 8%.

Sesuai kepemilikan, Alfamart terdiri dari tiga macam, yakni milik Alfa sendiri, waralaba dan independent operator. Dalam kategori terakhir ini, biasanya koperasi kepolisian dan pesantren, Alfa membiayai rak-rak di dalam toko.

Sejak tahun 1994, kegiatan perusahaan dibagi menjadi 3 (tiga) divisi, yaitu divisi swalayan, divisi grosir, dan divisi distribusi. Penjualan di masing-masing divisi dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Penjualan Masing-Masing Divisi ALFAMART 1998 – 2002

Divisi 2002 2001 2000 1999 1998 Swalayan 1.654.505 1.576.880 1.295.508 1.060.695 770.454

Grosir 1.536.693 1.061.210 680.762 303.036 380.197 Distribusi 86.813 74.922 64.261 54.904 55.099

Jumlah 3.278.011 2.713.012 2.040.531 1.418.635 1.205.750

5. Matahari

Matahari adalah perusahaan retail Indonesia yang mengfokuskan untuk memberi pelayanan bagi lapisan

masyarakat kelas menengah ke atas. Matahari didirikan pada tahun 1958 oleh Bapak dan ibu Hari Darmawan, berawal dari toko pakaian anak-anak di Pasar Baru, Jakarta hingga menjadi retail besar. Dengan Visi menjadi market leader di pasar retail nasional dan sejajar dengan retail internasional, matahari menerapkan konsep one stop shopping melalui 2 jenis bisnis, yaitu Matahari Departement Stores dan Matahari Supermarket. Hingga September 2003, Matahari telah mempunyai 75 Departemen Stores dan 53 supermarket di 35 kota di Indonesia. Total penjualan bersih selama periode September 2002 – September 2003 mencapai 3.312,5 miliar rupiah.

IV.2 Saluran Distribusi Antara Pemasok dan Retail di Indonesia

Banyak pengecer-pengecer besar mempunyai integrasi langsung ke belakang (integrasi vertical) dengan pabrik-pabrik besar tanpa perantara, Misalnya PT Unilever yang memiliki berbagai macam LP dengan jumlah produknya kurang lebih 1000 macam menggunakan pola distribusi dengan sistem penjualan langsung dan tidak langsung. Penjualan tidak langsung dilakukan lewat beberapa Sub-Distributor untuk masing-masing kota besar di Indonesia, dan masing-masing sub-distributor mensuplai ke pedagang atau pengecer.

(17)

Pabrik Besar Sub-distributor

Pengecer lokal

Pengecer besar seperti Carrefour & Hero

Konsumen

Gambar 4 Jalur Distribusi Langsung dan Tidak Langsung

IV.2.1. Carrefour

Selain dengan PT Unilever, seperti retail-retail moderen lainnya, Carrefour juga memiliki hubungan bisnis dengan ratusan produsen/suppliers/distributor atau pemasok di dalam negeri. Walaupun Carrefour adalah suatu perusahaan dagang asing, tetapi Carrefour di Indonesia tidak melakukan kontrak pembelian barang dengan pabrik/produsen di luar negeri seperti misalnya Unilever di Belanda.

Karena barang yang dibutuhkan oleh Carrefour di Indonesia adalah unik, dalam arti sesuai selera masyarakat Indonesia, maka kontrak beli dan pemasokan dilakukan dengan PT Unilever Indonesia. Carrefour menerapkan sistem dual dalam pengadaaan barang: langsung dengan pabrik dan lewat agen/distributor.

Selain itu, Carrefour juga membuat kontrak bisnis dengan sejumlah kelompok tani yang tersebar terutama di Jawa Barat untuk pemasokan buah-buahan dan komoditi pertanian lainnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini.4

Pabrik besar Kelompok

tani

Agen/distribut

Carrefour

Gambar 5 Sistem Pengadaan Barang Carefour

IV.2.2. Alfamart

Sistem pengadaan barang yang diterapkan oleh Alfa adalah sistem yang mana pabrik-pabrik, khususnya yang skala besar, mensuplai produknya ke pusat distribusi (Alfa Distribution Centre), yang selanjutnya di salurkan ke semua toko Alfamart. Sedangkan pabrik-pabrik kecil atau pabrik baru mensuplai langsung ke Alfamart. Alfamart juga mempunyai kontrak bisnis dengan sejumlah pengumpul komoditi-komoditi pertanian. Pabrik-pabrik dan pengumpul-pengumpul pertanian yang mensuplai Alfa juga mensuplai toko-toko dan distributor lainnya (Gambar 6).

4

(18)

Gambar 6: Sistem Distribusi Alfamart

Pabrik kecil/baru

Pabrik besar

Pabrik besar

Pabrik besar

Pengumpul

alfamart

alfamart

alfamart

alfamart

alfamart

Alfa Distribution

Centre

alfamart

Pengumpul

IV.2.3. Indomaret

Sedangkan jalur distribusi yang diterapkan oleh Indomaret yang memiliki lebih dari 400 produsen/suppliers/distributor/ pemasok besar dan kecil, dan dalam pengadaan barang-barang, adalah menerapkan 2 sistem, yakni langsung dengan pabrik-pabrik besar yang sifatnya nasional, yakni pabrik-pabrik yang mensuplai tidak hanya Indomaret tetapi juga toko-toko lainnya seperti Alfa, Carrefour, dll., termasuk juga pasar-pasar tradisional di Indonesia, seperti yang terdapat pada Table 10, dan tidak langsung, lewat pusat distribusi yang disebut merchandizing, yakni dengan pemasok-pemasok kecil (industri rumah tangga) untuk jenis-jenis barang tertentu, seperti dijelaskan pada Gambar 7.5

5

(19)

Tabel 10 produsen/suppliers/distributor/pemasok

Sumber: Indomaret, Jakarta 2003 (hasil wawancara)

No Nama perusahaan Lainnya (>400 suppliers)

Pabrik-pabrik besar (nasional)

Merchandizing

IRT IRT IRT

Indomaret

Gambar 7 Sistem Pengadaan Barang Indomaret IV.2.4. Hero Supermarket

Dalam menangani masalah distribusi barang, PT Hero Supermarket Tbk menyerahkan pengelolaan bagi sebagian barangnya kepada PT David Distribution Indonesia dan sebagian bagi dengan pengelolaan desentralisasi. Selain itu, PT Hero membuat persyaratan baku bagi suppliernya, yaitu: (a) mempunyai produk yang berkualitas dan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan. Mempunyai usaha pribadi atau kelompok; (b) bersedia mengirim produk ke gudang sentral (PT David Distribusi Indonesia) atau ke gerai-gerai (outlet); (c) bersedia mengirim dalam jumlah dan kualitas yang kontinyu; (d) bersedia mengirim tepat waktu sesuai dengan pesanan; (e) mengisi aplikasi pemasok; (f) mengisi permohonan pembayaran; (g) menggunakan faktur yag diseragamkan; (h) bersedia negosiasi jika terjadi kenaikan atau penurunan harga; (i) bersedia mengirim barang sepanjang tahun termasuk hari raya keagamaan; (j) setelah memenuhi persyaratan supplier akan diberi kode supplier; dan (k) bersedia membayar biaya distribusi.

Sinyalemen terjadinya integrasi vertical dalam bisnis eceran skala besar, disinggung di dalam penelitian yang dilakukan oleh CESS (1998) mengenai pengembangan pedagang eceran kecil dan menengah di Indonesia. Menurut penelitian tersebut, sinyalemen tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa banyak pengecer besar yang dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih murah. Integrasi vertical ini dapat dilakukan karena bisnis eceran merupakan satu di antara sekian banyak perusahaan produsen barang dan jasa yang berada dalam satu perusahaan induk (holding company).6

Tetapi, menurut Koestarjono Prodjolalito,7pada umumnya hubungan antara retail moderen dengan pabrik lewat agen, bukan saja karena cara ini sesuai dengan peraturan pemerintah, tetapi juga lebih mudah dalam mengelolanya (administrasi keuangan/pembayaran). Jika pabrik langsung mensuplai ke pengecer biasanya

6

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Retail Indonesia (Apindo), Kustarjono Prodjolalito, pernah menyatakan bahwa eceran asing yang beroperasi di Indonesia dengan segala modal, menjual produknya secara dumping untuk mematikan pesaing. Pernyataan ini dikutip dari Bisnis Indonesia, 7 September 1996.

7

(20)

dengan pemberitahuan (qq) kepada agennya. Dan, menurutnya juga tidak ada pengecer moderen (besar) yang bertindak sebagai monopsoni atau pembeli satu-satunya dari pabrik tersebut. Dalam kata lain, pabrik tersebut bebas menjual produknya ke siapa saja.

IV.3 Persaingan Dalam Industri Retail

Persaingan dalam industri retail yang ada di jakarta dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu pertama, persaingan antara retail modern dan tradisional, persaingan antar sesama retail modern, persaingan antar sesama retail tradisional, dan persaingan antar supplier.

a. Persaingan antara Retail Modern dan Tradisional

Menurut seorang pakar retail, Bapak Koestarjono Prodjolalito, permasalahan utama antara retail modern (minimarket, supermarket dan hypermarket) dan retail tradisional, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta adalah lokasi, di mana retail modern dengan kekuatan modalnya yang luar biasa berkembang begitu pesat yang lokasinya berdekatan dengan lokasi retail tradisional (yang hampir 100% milik PD Pasar Jaya) yang sudah lebih dulu berada di lokasi tersebut. Padahal sudah ada Peraturan Daerah No 2 Tahun 2002 mengenai pengaturan (izin) lokasi bagi retail modern. Dua komponen penting dari SK tersebut adalah jarak minimum antara retail modern dengan retail tradisional, dan jam buka retail moderen berbeda, yakni antara jam 10 pagi hingga jam 10 malam.

Perbedaan jarak ini dimaksud untuk memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional untuk tetap bisa mendapatkan pembeli dari masyarakat sekitar pasar tersebut. Sedangkan perbedaan waktu buka adalah untuk memberi kesempatan bagi pasar-pasar tradisional yang biasanya buka sejak pagi sekali, bahkan lepas tengah malam, untuk tetap mendapatkan pembeli yang ingin belanja di bawah jam 10 pagi.

Kenyataannya, beberapa retail modern berlokasi sangat dekat dengan pasar tradisional yang ada. Seperti misalnya, PD Pasar Jaya di Mampang Prapatan yang berhadapan dengan Hero Supermarket, dan berdekatan dengan Golden Truly yang sekarang menjadi ALFA. Bagi pedagang tradisional yang ada pada PD Pasar Jaya Mampang Prapatan, kondisi ini cukup merugikan usaha mereka.

Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa pedagang di Pasar Mampang Prapatan, diketahui bahwa beberapa pedagang mempunyai pendapat yang sama tentang pengaruh retail modern terhadap penjualan mereka. Sejak adanya retail modern yaitu Hero Supermarket (di depan Pasar Mampang Prapatan) dan Golden Truly yang sekarang menjadi Alfa Supermarket (di samping Pasar Mampang Prapatan) tersebut, para pedagang merasa bahwa pendapatan mereka menurun dari tahun ke tahun. Penurunan pendapatan ini dikarenakan banyaknya pelanggan mereka yang lebih memilih berbelanja di retail modern tersebut daripada belanja di pasar tradisional, khususnya pasar Mampang Prapatan.

Memang kondisi tersebut bukanlah hal yang mutlak, artinya pedagang tidak akan kehilangan sama sekali pelanggannya. Ibarat “hilang satu tumbuh seribu”, pembeli yang “pergi” akan digantikan oleh pembeli yang lain atau paling tidak sesekali pembeli itu membeli keperluannya di pedagang yang sudah menjadi langganannya tersebut. Tetapi hal ini tetap menimbulkan kekhawatiran para pedagang akan kehilangan mata pencaharian mereka, di mana sudah banyak fenomena gulung tikar karena pedagang rugi dan tidak kuat dengan persaingan yang terjadi. Akibatnya pasar menjadi sepi baik pembeli maupun penjualnya.

Hal serupa juga dialami oleh banyak PD Pasar Jaya lainnya di lokasi-lokasi lain di Jakarta yang berdekatan dengan retail moderen. Jika ini terus berlangsung, tidak mustahil suatu ketika PD Pasar Jaya yang sekarang ini sudah berjumlah 156 unit akan mengalami kemerosotan omset yang sangat besar, dan bahkan bisa mati.

Berkaitan dengan hal tersebut, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) mengusulkan agar ditetapkannya daerah kegiatan eceran (zoning). Zona I atau ring A merupakan pusat kota, hanya diijinkan berdiri supermarket dengan luas tanah 2.500 M2. Zona II atau ring B berada di pinggiran kota dengan luas tanah 5.000 M2. Sedangkan zona C atau ring C berada jauh dari kota dan tidak dibatasi luas lantainya.

(21)

tergolong lambat sehingga pasar tradisional masih dominan. Hal ini didukung oleh survei paling akhirnya (dilakukan oleh perusahaan jasa survei AC Nielsen) di 12 negara dengan jumlah pembeli yang disurvei mencapai 16.000 orang, yang menunjukkan bahwa sebanyak 45% dari jumlah pembeli tersebut masih mendatangi pasar tradisional, sedangkan 34% berbelanja di pasar moderen, dan 21% mendatangi kedua jenis retail/pasar tersebut.

Di dalam laporannya disebut sejumlah alasan kenapa masih banyak pembeli tetap setia dengan pasar tradisional, diantaranya adalah dekat dengan rumah, ada pendekatan kemanusiaan antara pembeli dan penjual, dan dengan uang terbatas, pembeli masih bisa mendapatkan barang yang diinginkannya, dan mudah mendapatkannya.

Berpindahnya konsumen dari pasar tradisional ke retail modern disebabkan karena retail modern lebih memberikan kenyamanan dalam berbelanja, lebih bersih, berkesan “elite” dan yang lebih penting adalah “murah meriah”. Sebab yang terakhir inilah yang paling meresahkan pedagang di pasar tradisional. Misalnya untuk barang-barang kalengan, kecap, susu, sabun, dan lain-lain, retail modern langsung membeli dari pabrik dengan harga yang lebih murah karena membeli dalam partai besar. Sedangkan pedagang tradisional mengambil barang- barang tersebut, dari distributor yang notabene telah menetapkan harga yang lebih mahal daripada retail modern. Selain itu, biaya transpor dari agen ke pembeli semakin mahal jika pembelian dalam jumlah yang kecil.8 Kondisi ini bisa menjadi salah satu faktor penting yang membuat semakin menjauhkan pasar tradisional dari kemampuan untuk bersaing dengan retail modern.

Selama survei diketahui bahwa hubungan yang tidak begitu harmonis antara Pasar Mampang tersebut dengan retail modern di sekitarnya pernah mencapai titik terburuknya, yakni para pedagang di Pasar tersebut pernah melakukan aksi demonstrasi kepada Golden Truly. Sayangnya, aksi ini kurang berpengaruh dan kurang ditanggapi oleh owner retail modern, pemerintah maupun pengurus pasar tersebut.

Menurut pedagang, pemilik retail modern mempunyai strategi pemasaran yang lebih bagus dan “pintar” membaca situasi sehingga dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu, pemilik retail modern mempunyai modal yang besar dan berani untuk mengambil resiko dalam memasarkan barangnya. Harapan para pedagang, pemerintah tidak menambah jumlah retail modern apabila ingin memajukan retail tradisional.

Lebih lanjut menurut para pedagang, pembeli langganannya tidak dengan mudah meninggalkan mereka begitu saja, karena ada beberapa keunggulan berbelanja di pasar tradisional, yaitu : (a) para pembeli yang berasal dari masyarakat berpendapatan menengah ke bawah merasa lebih percaya diri jika berbelanja di pasar tradisional dibandingkan di retail modern; (b) para pedagang paham benar bahwa pembelinya adalah mereka yang berasal dari golongan menengah ke bawah, sehingga memungkinkan pembelian barang dalam kuantitas yang sangat kecil; (c) hubungan antara pedagang dan pembeli cukup akrab dan saling percaya, sehingga memungkinkan pembeli melakukan pembelian secara kredit; (d) untuk menjaga hubungan tersebut, para pedagang seringa kali memberikan discount ataupun hadiah pada hari-hari tertentu, misalnya ketika lebaran; dan (e) pedagang mengerti benar kualitas barang dagangannya, sehingga dapat memberikan informasi dan mengarahkan pembeli pada barang yang terbaik. Hal seperti inilah yang tidak akan didapatkan oleh pembeli apabila mereka berbelanja di retail modern.

Dari hasil survey peneliti dengan 100 konsumen di sekitar Carefour Pasar Festival, diperoleh diketahui bahwa alasan utama mereka berbelanja di retail modern adalah karena harga yang murah (24 %), lengkap (23 %), dan nyaman (16 %). Rupanya konsep one stop shopping memang sudah menjadi pilihan para konsumen (Gambar 8).

Selain carefour, ternyata pilihan alternatif belanja konsumen pada retail modern (69 %) lain tetap lebih besar daripada pada retail tradisional (31% yang terdiri dari warung 13 % dan pasar tradisional 18 %) (Gambar 9).

Sebenarnya, sebagian besar (92 %) konsumen pernah berbelanja di pasar tradisional, tetapi ternyata hanya 22 % saja yang menyatakan lebih menyukai berbelanja di pasar tradisional. Alasan utama meraka adalah karena di pasar tradisional tidak nyaman (33 %), tidak bersih (34%), dan kualitas barangnya rendah (17 %). Sebenarnya meraka juga menyadari bahwa di pasar tradisional terdapat beberapa keunggulan, yaitu harga dapat

8

(22)

ditawar. Tetapi ternyata hal tersebut tidaklah cukup kuat jika dibandingkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kenyamanan (Gambar 10).

Mengapa Konsumen menyukai carefour?

0.16

0.05

0.24

0.23 0.07

0.04 0.09

0.03

0.05 0.03

Nyaman Pelayanan Bagus Harga murah Lengkap

Barang Berkualitas Bersih

Lokasi Strategis Aman

Luas

Dapat memilih barang

Gambar 8 : Alasan Konsumen menyukai Carefour

Alternatif Belanja

0.13

0.69 0.18

Warung terdekat Supermarket Pasar Tradisional

Gambar 9: Alternatif Belanja selain Carefour

Kelemahan Pasar Tradisional

0.33

0.33 0.10

0.03 0.03

0.17 Tidak Bersih

Tidak Nyaman

Tidak Aman

Harga Mahal

Tidak lengkap

Kualitas Barang Rendah

(23)

Dari sisi pedagang, memang tidak semua pedagang di pasar Mampang Prapatan menganggap kehadiran retail modern sebagai pesaingnya. Beberapa pedagang merasa tidak terpengaruh oleh keberadaan retail modern. Biasanya mereka adalah pedagang yang bermodal kecil, bependapatan kecil, atau pedagang yang “nrimo”, santai dan tidak mau telalu memikirkan persaingan baik di dalam maupun di luar.

Bahkan ada pedagang yang justru memanfaatkan harga yang murah di retail modern, dengan membeli barang di retail modern kemudian menjualnya kembali di pasar tradisional. Menurut mereka, retail tradisional kalah bersaing dengan retail modern karena retail tradisional tidak menjaga kenyamanan pasar, seperti kebersihan, keamanan, dan ketersediaan parkir. Parkir di pasar Mampang tersebut semakin sulit karena trotoar di depannya dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang mulai berdagang sejak lepas tengah malam hingga sore hari. Kehadiran pedagang kaki lima tersebut menyulitkan pengendara yang ingin parker dan belanja di pasar tersebut.

Memang jika diperhatikan, kondisi PD Pasar Jaya Mampang Prapatan mencerminkan kondisi retail tradisional (pasar) yang ada di DKI, yakni tidak berkembang secara signifikan dari dulu hingga sekarang.

Walaupun ada kecenderungan pasar tradisional semakin ditinggalkan oleh masyarakat, sebenarnya masih ada pasar-pasar tradisional yang tidak kalah bersaing dengan retail moderen, bahkan mereka saling mendukung secara sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya Pasar Mayestik, Pasar Cikini, dan Pasar Tebet Barat. Pasar Mayestik cenderung menjadi primadona karena selain ada komoditi tertentu yang menjadi idola sehingga terkesan elite. Sementara, retail modern di sekitarnya seperti Hero tidak terlalu menarik karena tempat parkirnya yang sempit, namun tetap bertahan. Kehadiran retail moderen di tengah-tengah pasar tradisional membuat Pasar Mayestik menjadi ramai setiap hari.

Fenomena bersatunya kedua retail tersebut dapat dilihat di pasar Tebet Barat yang berada dalam satu bangunan dengan Ramayana. Mereka saling mendukung. Konsumen memang lebih tertarik untuk berbelanja di Ramayana yang berani memberikan diskon, tetapi kadang konsumen akan membeli barang di pasar Tebet Barat apabila mereka tidak menemukan barang yang akan dibelinya di Ramayana.

Menurut Koestarjono Prodjolalito9, masih banyaknya pasar jaya yang tetap bisa bertahan hingga saat ini (dan kemungkinan juga di masa depan), walaupun pertumbuhan retail moderen sangat pesat, juga disebabkan oleh adanya perbedaan dalam segmen pasar. Berdasarkan pendapatan, konsumen dapat dibagi dalam 5 segmen, yaitu atas-atas (paling kaya), menengah-atas, menengah, menengah-bawah, dan bawah-bawah (paling miskin) Seperti yang terlihat pada Gambar 11 berikut ini.

Segmen Pasar

-

-

Gambar 11 Segmen Pasar dari Retail Moderen dan Retail Tradisional

Misalnya, Carrefour memfokuskan pada kelompok masyarakat menengah-atas hingga menengah-bawah. Sedangkan kelompok atas-atas belanja di toko-toko yang menjual produk-produk dengan kualitas yang lebih baik (walaupun lebih mahal), misalnya ke Hero, Sogo, supermarket atau special market seperti toko buah-buahan, yang jual fresh products.

9

Hasil wawancara untuk studi ini.

Retail Moderen -Menengah-Atas -Menengah -Menengah-Bawah Retail tradisional

Special market atau toko yang menjual

produk dengan kualitas tinggi

Atas-atas

(24)

Kadang-kadang untuk membeli berbagai macam kebutuhan, mereka juga pergi ke Carrefour. Sedangkan, kelompok bawah-bawah hanya pergi ke pasar jaya atau pasar-pasar di pinggir jalan, atau warung-warung di sekitar rumah mereka, atau membelinya dari pedagang keliling (misalnya tukang sayur), dan kelompok menengah-bawah sekali-sekali ke retail moderen.10

Dalam hal persaingan harga, beberapa harga barang yang ditawarkan oleh retail modern lebih murah daripada harga di pasar tradisional. Dari hasil wawancara tim peneliti dengan Bapak Triyono Prijosoesilo, Public Relation manager dari Carrefour, harga yang lebih murah di Carrefour adalah disebabkan oleh dua hal, yaitu :

a) Economies of Scale.

Semakin besar jumlah yang dibeli dari supplier, semakin besar potongan harga yang diberikan oleh supplier tersebut kepada Carrefour. Akibatnya, Carrefour juga menetapkan harga yang murah kepada konsumennya. b) Sistem Pembelian Putus dari Produsen

Carrefour menetapkan sistem pembelian putus dari produsennya. Akibatnya, produsen dapat menekan harga menjadi lebih rendah, karena tidak ada faktor risiko yang harus mereka tanggung.

Harga yang bersaing adalah sebuah keunggulan.Untuk itu, Carrefour selalu melakukan survei harga di beberapa retail modern yang merupakan pesaingnya. Kemudian sebagai jaminan kepada masyarakat, Carrefour selalu mengembalikan selisih harga antara Carrefour dengan retail modern lainnya.

Sementara pada retail tradisional, harga yang lebih tinggi bukan saja karena jumlah barang dibeli relatif lebih sedikit, tetapi juga karena biaya transpor dari agen ke pembeli. Sebenarnya, biaya transpor ini bisa ditekan, jika pemda DKI membangun gudang penyimpan atau pusat distribusi di setiap wilayah di DKI (4 wilayah), dan dari situ barang dipasok ke pengecer-pengecer yang berlokasi di wilayah masing-masing. Misalnya, pabrik memasok barang ke gudang penyimpanan di Jakarta Selatan, dan dari sana dipasok oleh agen ke pengecer-pengecer yang berlokasi di wilayah selatan Jakarta.

Bagi sebuah hypermarket seperti Carrefour, retail tradisional bukanlah pesaing mereka, meskipun Carrefour juga tidak menganggap sebagai mitra. Hal ini disebabkan, Carrefour menganggap bahwa segmen pasar dari keduanya adalah berbeda, sehingga keberadaannya tidaklah mengganggu retailer tradisional. Ijin pendirian yang ia kantongi dikeluarkan oleh Depperindag dan Pemda DKI, sehingga pasti sudah memenuhi semua persyaratan yang diminta kedua lembaga tersebut, termasuk pertimbangan adanya pasar tradisional.

b. Persaingan antara Sesama Retail Modern

Persaingan antar retail dalam memperebutkan konsumen tidak hanya terjadi antara retail moderen dengan retail tradisional, tetapi juga terjadi antara sesama perusahaan retail moderen. Persaingan antar sesama perusahaan retail moderen terjadi pada kelas yang berbeda. Persaingan pada kelas minimarket bisa dilihat dari strategi dan ekspansi yang dilakukan pihak Indomaret, Alfamart, Cirkel K, AM PM. Demikian pula persaingan antar sesama pengelola factory outlet sejenis milik perorangan yang jumlah tokonya hanya bisa dihitung dengan jari, maupun antara factory outlet dengan department store. Ide awalnya factory outlet berada jauh di luar kota, namun sekarang justru berdampingan dengan department store

Sementara persaingan di kelas yang lebih besar yakni supermarket Alfa, Hero, Super Indo, Matahari, dan Rench 99 Market juga sangat sengit. Demikian juga, persaingan yang tidak kalah sengit terjadi antara sesama raksasa hypermarket, seperti Carrefour, Giant, dan Makro. Tak jarang terjadi perang harga secara terang-terangan antar mereka. Misalnya melalui iklan di media massa, Spanduk, ataupun katalog.

Menurut pengamatan Abdullah (2003), persaingan antar sesama department store juga cukup sengit, seperti Sogo, Metro, Rimo Matahari, Ramayana, dan Pojok Busana yang terus aktif berekspansi.

Persaingan bisnis retail pada tahun depan diperkirakan semakin ketat dengan akan dibukanya beberapa pusat perbelanjaan baru. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia, A. Stefanus Ridwan, dibukanya sejumlah pusat perbelanjaan baru seperti Plaza Semanggi di Jakarta akan mengakibatkan persaingan

10

(25)

di bisnis retail menjadi semakin ketat. Oleh sebab itu, pengusaha retail dituntut untuk melakukan segmentasi pasar yang lebih terfokus agar dapat tetap eksis. (Bisnis Indonesia, 2003)

Dari sisi konsumen, keberadaan retail modern yang semakin banyak justru menguntungkan mereka, karena masing-masing retail berusaha memuaskan konsumen. Dikatakan oleh Eksekutif Aperindo, Rudy Hartono, retail yang mampu bertahan atau memenangkan persaingan antar pengusaha eceran itu adalah yang memiliki sistem pelayanan terbaik kepada konsumen. Sebab, pengusaha retail dalam perkembangan bisnisnya tidak sekedar berkosentrasi pada penjualan produk tetapi harus memperhatikan sistem pelayanannya secara integral demi kepuasan pelanggan.

Salah satu bentuk persaingan yang terjadi adalah persaingan harga. Harga yang bersaing adalah sebuah keunggulan. Menyadari hal tersebut, Carrefour selalu melakukan survey harga di beberapa retail modern yang merupakan pesaingnya. Kemudian sebagai jaminan kepada masyarakat, Carrefour selalu mengembalikan selisih harga antara Carrefour dengan retail modern lainnya.

Beberapa strategi persaingan dari retail modern yang menjadi obyek penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hero Supermarket

Strategi persaingan yang diterapkan oleh Hero Supermarket adalah berusaha mempertahankan pelanggannya dengan menyediakan produk-produk yang berkualitas. Dalam upayanya menjaga kualitas produk yang dijualnya, PT Hero mempunyai persyaratan mutu produk yang dijualnya.

i). Produk yang bermutu

Mutu produk sesuai dengan segmentasi pasar, mempunyai keunggulan dan spesifikasi pada masing-masing jenis dan sanggup memproduksi secara kontinyu sesuai dengan pasar.

ii) Tidak rusak

Produk utuh luar dalam, tidak busuk, tidak cacat fisik, cacat hama, cacat penyakit, cacat mekanis karena benturan, gesekan memar atau disebabkan mikrobiologi dan sebagainya.

iii) Kemasan produk

a. Kemasan yang baik sesuai dengan karakteristik produk yang diberlakukan secara baik, dikemas dalam karton, styro foam, wrapping film, ikat, dan lain-lain, dengan volume yang sama dan kualitas seragam. b.Design simple dan menarik dengan warna yang serasi disesuaikan dengan karakteristik produk

c. Nama barang dan merk jelas

d.Mencantumkan informasi kadaluwarsa dan regristrasi Departement Kesehatan.Jika memungkinkan mencantumkan bar code.

iv) Ukuran

Bentuk dan ukuran produk diusahakan seragam dengan kualifiaksi tertentu sesuai dengan berat atau besar produknya.

v) Kebersihan produk

Bersih dari kotoran yang tidak diinginkan seperti rambut, tanah, getah, bebas benda asing, serangga, ulat, dan lain sebagainya.

vi) Keamanan produk

Tidak mengandung zat aditif, residu pestisida, dan bahan kimia yang tidak dianjurkan.

2. Indomaret Mini Market

Berbeda dengan Hero Supermarket, strategi yang diterapkan oleh Indomaret mini market adalah melakukan segmantasi dari target pasarnya. Indomaret memfokuskan diri pada area pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum. Kategori produk-produk yang dijual adalah untuk kebutuhan sehari-hari (total 3300 items) seperti makanan (sarapan pagi, susu, dan makanan bayi), produk-produk non-makanan (pemeliharaan rambut, kosmetik, pemeliharaan mulut), barang-barang umum (keperluan bayi, pakaian dan alas kaki) dan produk-produk yang mudah busuk (buah-buahan, unggas, roti dan pastry). Sasarannya adalah terutama ibu rumah tangga/perempuan dan kelas menengah.

Gambar

Gambar 1: Saluran Distribusi untuk Produsen Barang Konsumsi
Tabel 2:  Perbedaan Karakteristik antara Pasar Tradisional dengan Pasar Modern
Tabel 4 : Kecenderungan Konsumen untuk Berbelanja Menurut Jenis Komoditi (%)
Tabel 5 Perkembangan Bisnis Eceran di Indonesia (unit)  September 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

modal sendiri untuk perusahaan yang tidak memiliki hutang. 2) Preposisi II, MM berpendapat bahwa biaya modal sendiri perusahaan yang memiliki hutang adalah sama

[r]

[r]

Tujuan komunikasi yang terdapat di dalam perancangan identitas dari Situs Taman Purbakala Cipari ini adalah menciptakan suatu identitas berupa logo yang memiliki ciri khas dan

berdasarkan hasil uji ANOVA dengan signifikansi 0.000 (p<0.01); (2) pembelajaran menggunakan model Problem-Based Learning berpengaruh terhadap penguasaan konsep

Sasaran yang dituju dalam proses komunikasi massa adalah khalayak atau masyarakat luas yang terpencar satu sama lain tidak saling mengenal, karena masing – masing berbeda

Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.Urtikaria atau

tersebut, karena merupakan pesan atau solusi yang diperpendek menjadi sebuah kata-kata yang mudah dimengerti, serta dapat memotivasi pendengar, penyiar berusaha