DEPRESIASI PARPOL
Harwanto Dahlan
Rancangan undang-undang tentang partai politik yang sekarang sedang bergullr ke DPR mestinya disikapi oleh semua pihak yang berkompeten dalam bidang politik dengan arif. Hal Ini perlu disampaikan mengingat RUU tersebut sudah mendapat berbagai komentar miring tentunya, yang datang dari berbagai pihak, khususnya yang nantinya akan merasa dirugikan apabila RUU Parpol dan Pemilu nanti.
Ada beberapa hal penting, bahkan krusial, dari RUU Parpol dan Pemilu yang bisa kita analisis dl sini. Pertama adalah upaya untuk membatasi jumlah partai politik (parpol). Harus disadari bahwa apabila jumlah partai politik yang berkompetisi di pemilu tidak dibatasi, akan terjadi depresiasi partai politik yang dalam jangka panjang justru tidak kondusif bagi politik itu sendiri. Hal ini karena partai politik, sebagai sarana untuk mencapal jabatan di tingkat nasional, hanya akan terfokus kepada bagaimana memainkan ''struggle of power" (pertarungan kekuatan) dan ''struggle for power" (pertarungan demi kekuasaan) dengan mengabaikan etika dan moral politik. Padahal, etika dan moralnya partai politik itu mempunyai tugas sangat berat, yaitu, apabila nanti bisa menjadi partai yang berkuasa, ia harus mencapai tujuan yang sudah ditentukan pada Pembukaan UUD 45 yang berbunyi "memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apabila sebuah partai politik mengabaikan hakekatnya sendiri, maka partai politik tidak lebih hanya akan menjadi sebuah kendaraan untuk mencapai kepentingan pribadi elit parpol, khususnya kepentingan jangka pendek seperti misalnya kesejahteraan. Kasarnya, partai politik hanya akan menjadi alat untuk mencari kekayaan atau untuk memperkaya diri para elit parpol. Bayangkan apabila karakteristik seperti ini ada pada 200 partai politik implikasi yang lebih jauh sering tidak terbayangkan bahwa ketika parpo! melakukan pertarungan kekuatan, mereka akan menggunakan cara apa saja sebagaimana Machiavelli pernah katakan ''the end justifies the means" alias tujuan menghalalkan cara. Akan tidak sedikit parpol yang menggunakan cara-cara adu domba, mengungkit-ungkit sentimen agama, atau memang menggunakan agama sebagai alat justifikasi dan memperoleh suara.
sebelunnnya. Bahkan memang bisa dibuat untuk tidak terlalu signifikan dengan rnenjadikannya sebagai sebuah kegiatan politik biasa. Di Amerika malah sepertiga anggota DPR dipilih setiap dua tahun sekali. Dengan memilih presiden secara langsung, legitimasi seorang presiden akan sangat besar. Selama ini presiden Indonesia selalu menghadapi persoalan legitimasi kecuali Presiden Soekarno. Soeharto terutama mendapat legitimasi dari tentara ketika menjadi presiden, Habibie legitimasinya dari Soeharto, Gus Dur hanya sekitar 12 persen, dan Megawati sekitar 35 persen. Untuk tidak bermain-main dengan legitimasi, maka sudah waktunya pemilihan presiden secara langsung secara serius diwujudkan.
Dengan terdepresiasinya parpol, yaitu parpol tidak lagi mendominasi jalannya perpolitikan di Indonesia seperti sekarang ini, akan bisa diharapkan urusan politik bisa selesai, tidak banyak persoalan, sehingga kita bisa melangkah ke bidang lain, khususnya ekonomi, untuk segera mengejar ketertinggalan kita dari negara lain. Kita tidak bisa lagi menutup mata dengan membanjirnya barang-barang produksi luar negeri di pasaran dalam negeri Indonesia. Kita sejauh ini hanya menjadi konsumen murni dari globalisasi industri dan liberalisasi perdagangan. Akibat yang sudah kita lihat adalah kita berlomba-lomba menjual kekayaan alam sekedar untuk memenuhi nafsu konsumtif barang-barang industri. Semakin cepat parpol didepresiasi, semakin cepat kita akan memulai tugas baru kita: membangun dan memajukan ekonomi bangsa.