BAB II
PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM COMMON LAW
A. Perkembangan gugatan bersifat in rem pada negara common law
Selama abad pencerahan (renaissance), ilmu pengetahuan hukum di
Eropa dipengaruhi oleh kekuatan dan ketentuan hukum Romawi yang digali
kembali, dan hukum Romawi sangat mempengaruhi perkembangan gaya dan
muatan hukum di berbagai negara. Namun, bangsa Inggris tidak tergoda oleh
keagungan Roma melainkan tetap memegang erat tradisi aslinya. Memang dalam
kenyataannya, banyak pemikiran dan istilah dari hukum Romawi dan Eropa
Kontinental masuk ke sistem hukum Inggris, namun inti sistem hukumnya tetap
kokoh. Sistem yang lokal yang kuat ini disebut sistem hukum anglo amerika
(common law).54
Common law system atau Sistem common law dikenal dan berkembang di
negara-negara Anglo Saxon. Pelopor utamanya adalah Negara Inggris. Kemudian
sistem ini dikembangkan di Negara-negara commonwealth (Negara-negara
persemakmuran Inggris). Tahun 1066 dianggap sebagai tahun kelahiran tradisi
54
common law ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli
(Anglo Saxon) di Inggris.55
Ada beberapa ciri pokok yang penting dalam common law system, yaitu
antara lain:56
1. Pembangunan hukum tidak mengutamakan kodifikasi, nilai yang diangkat
dan diterapkan sebagai hukum diambil dari nilai yang hidup dalam
masyarakat, kebiasaan umum, maupun yang dianggap layak dan patut sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat.
2. Kebanyakan ketentuan hukumnya tidak tertulis (unwritten law) yaitu dengan
kata lain disebut hukum kebiasaan.
3. Konkretisasi hukum melalui putusan pengadilan. Dengan adanya putusan
pengadilan, maka akan menjadi hukum yang digunakan sebagai pedoman
dan rujukan untuk menyesuaikan sengketa yang timbul dikemudian hari.
4. Menganut sistem preseden, yaitu apabila suatu nilai hukum telah
dikonkretkan melalui putusan pengadilan, maka semua pihak terikat untuk
mengikatnya.
Sistem hukum anglo Amerika (common law), tumbuh pertama kali dan
mempunyai pengaruh yang sangat kuat di Inggris pada abad ke-19, ketika
semangat romantisme historis, utilitarianisme, positivisme ilmiah dan
55
Bismar Nasution, Reformasi Pendidikan Hukum yang Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional, yang disampaikan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-51Fakultas Hukum USU, Harian Waspada, tanggal 27 Februari 2007.
56
materialisme ekonomi yang mempunyai pendekatan empiris, induktif dan
individualistis dalam melakukan upaya pemecahan pada setiap masalah-masalah
hukum.
Common law berbeda dan terus berbeda dalam banyak hal dengan tatanan
hukum di negara-negara Eropa lainnya. Satu hal yang penting, sistem hukum
Anglo Amerika (common law) menolak kodifikasi. Tidak pernah ada semacam
Undang-undang Napoleon di Inggris. Prinsip dasar hukumnya tidak ditemukan
dalam undang-undang yang dibuat di parlemen, dan hanya sebagian kecil
ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematis, rinci yang disahkan oleh
badan-badan legislatif atau diberlakukan melalui ketetapan.
Negara common law menganut sistem hukum yang menekankan kepada
putusan hakim, membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus
hukum dan putusan pengadilan sebagaimana pendapat Bismar Nasution, yang
menyatakan:57
Pada common law system, peraturan perundang-undangan bukan harga mati bagi sebuah keadilan, sehingga sering sekali putusan hakim dijadikan parameter untuk menilai apakah suatu peraturan dapat diterapkan di masyarakat. Putusan pengadilan itu juga bukan hal yang mutlak harus diikuti, apabila seorang hakim menganggap suatu putusan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dia dapat membuat putusan baru tentu dengan argumentasi yang kuat. Putusan ini akhirnya akan diuji oleh Mahkamah Agung apakah diterima atau ditolak, karena adanya doktrin kalau suatu putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan diatasnya. Inilah yang membuat para Sarjana Hukum common law selalu melakukan analisis dan kritis terhadap hukum. Tidak jarang mereka melakukan perbandingan hukum untuk
57
menjustifikasi argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat.
Negara Amerika Serikat muncul secara revolusi yang memandang
Konstitusi/UUD sebagai suatu kitab suci.58
Common law juga memiliki ciri yang khas dalam hal substansi, struktur
dan budaya, karena ada yang menonjol dan mendasar, ada yang kurang menonjol
dan kurang mendasar, misalnya, dewan juri adalah lembaga common law, begitu
juga perwalian (trust), yaitu seseorang atau bank sebagai wali (trustee) yang
menerima uang atau harta kekayaan untuk diinvestasikan dan dikelola untuk
kepentingan ahli waris tertentu.
Prinsipnya terdapat pada hukum
perkara (case law), yaitu dalam perangkat pendapat yang ditulis oleh hakim, dan
dikembangkan oleh hakim dalam memutuskan perkara tertentu. Doktrin preseden
(precendent) adalah doktrin common law yang kuat yaitu hakim terikat oleh apa
yang telah diputuskan.
59
Common law tidak lagi terkungkung di satu negara kecil. Bangsa Inggris
membawanya ke koloninya dan dalam kebanyakan, common law berakar dan
berkembang pesat. Semua negara yang menganut common law, dan karenanya
merupakan The Anglo American Legal Family, pernah menjadi koloni Britania
Raya (Kerajaan Inggris). Dengan kata lain, common law merajalela di negara
58
Eddy Purnama Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara lain, (Bandung: Nusamedia, 2007) Hal 112, sebagaimana dikutip dari Earl R. Kruschke, An Introduction to The Constitution of The United States,
American Book Company, New York, 1968, Hal 1.
59
mana saja yang berbahasa Inggris, antara lain: Amerika Serikat (kecuali
Lousiana), Kanada (kecuali Quebec), Australia, Selandia Baru, Jamaika,
Trinidad, Barbados dan Singapura.60
Gugatan bersifat in rem pada Negara Common law merupakan prosedur
penyitaan dan pengambilalihan suatu asset dalam rejim Civil forfeiture. Konsep
civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana
dianggap “taint” (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari
tindak pidana tersebut.61 Walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk
menyita dan mengambilalih asset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan
criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam (gugatan terhadap
orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu asset.62
Harta kekayaan yang dapat dirampas disesuaikan dengan jenis tindak
pidana yang terkait yaitu meliputi:63
1. Setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil
tindak pidana; dan atau
2. Harta kekayaan yang digunakan sebagai alat, sarana, atau prasarana untuk
melakukan tindak pidana atau mendukung organisasi kejahatan; dan atau
60
Ibid.
61
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum NAsinal, 2007, hal.22-23. sebagaimana dikutip dari David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.
62 Ibid. hal 389. 63
3. Setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau organisasi
kejahatan; dan atau
4. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana atau
organisasi kejahatan; dan atau
5. Segala sesuatu yang menjadi hak milik pelaku tindak pidana atau organisasi
kejahatan;
Saat aset harta kekayaan pelaku digugat, si pelaku tindak pidana tidak
perlu ditahan guna ikut dalam proses pembuktian secara pidana, karena tradisi
pada Negara common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah
harus dihukum, walaupun hukuman yang termasuk pelayanan masyarakat, ganti
rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk
tetap aktif dalam masyarakat.64
Berdasarkan Undang-Undang Asset Forfeiture di Amerika Serikat,
dikenal ada 3 jenis prosedur Asset Forfeiture, yaitu:65
1. Perampasan Harta Kekayaan secara Administratif (Administrative
Forfeiture
Perampasan harta kekayaan secara administratif dapat dilakukan jika
pemerintah menemukan dan menyita harta kekayaan di tempat kejadian
perkara. Penyitaan dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa harta )
64 O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
(Bandung : PT.Alumni, 2006) Hal 125.
65
kekayaan tersebut berdasarkan undang-undang dapat dirampas dengan
diterbitkannya izin/persetujuan penyitaan oleh pengadilan.
Pejabat pemerintah yang melakukan penyitaan harta kekayaan harus
menyerahkan surat pemberitahuan kepada orang yang menguasai harta
kekayaan dan orang-orang yang memiliki kepentingan atau terkait dengan
harta kekayaan serta memberitahukan kepada masyarakat melalui surat
kabar dan papan pengumuman pengadilan bahwa penyidik telah menyita
harta kekayaan ini dan akan merampasnya untuk negara.
2. Perampasan Harta Kekayaan secara Pidana (Criminal Forfeiture
Perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari
pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana. Oleh karena
itu, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan )
in
personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem
Hakim dalam hal ini dapat menjatuhkan putusan kepada terpidana
untuk membayar biaya perkara, dan/atau membayar denda, dan/atau
membayar ganti rugi, dan/atau membayar uang pengganti, dan/atau menyita
harta kekayaan lain milik terpidana untuk mebayar uang pengganti jika harta
kekayaan yang terkait langsung dengan tindak pidana telah dialihkan atau
tidak ditemukan.
terhadap harta
kekayaan yang terkait dengan tidak pidana.
Sekalipun secara in personam sebenarnya harta kekayaan yang dapat
tidak sepenuhnya benar, sebab harta kekayaan hasil tindak pidana atau harta
kekayaan yang digunakan untuk membiayai, menjadi alat, sarana, atau
prasarana melakukan kejahatan, dapat juga dinyatakan dirampas jika
penuntut umum dapat membuktikan bahwa terdapat kaitan yang erat antara
harta kekayaan tersebut dengan tindak pidana yang didakwakan.
Untuk melindungi hak-hak masyarakat, maka harus ada suatu
prosedur yang menjamin agar perampasan harta kekayaan tersebut tidak
sampai merenggut hak-hak dari pihak ketiga yang beritikad baik atau jujur.
Prosedur ini di Amerika Serikat disebut dengan "ancillary proceeding"
3.
dan
dilaksanakan oleh pengadilan setelah pokok perkara pidana telah diputus.
Perampasan Harta Kekayaan secara Perdata (Civil Forfeiture
Perampasan harta kekayaan secara perdata bukan merupakan bagian
dari proses penanganan perkara pidana. Pada kasus )
civil forfeiture,
pemerintah melakukan gugatan perdata terpisah in rem
Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan
mengambil asset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan
sudah lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil terhadap harta
kekayaan yang akan dirampas, dan harus dapat mengajukan bukti-bukti yang
lebih kuat bahwa harta kekayaan tersebut dihasilkan atau digunakan untuk
melakukan tindak pidana. Gugatan ini dapat diajukan sebelum putusan
pidana, sesudah putusan pidana, atau bahkan sekalipun tidak terdapat
forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika
kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of
a death atau yang sering disebut sebagai Deodand.66 Munculnya era
industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan
deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga
menyebabkan banyaknya asset yang disita.67
Meskipun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil
forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam
bidang hukum perkapalan (admiralty law).68 Colonial Admiralty Courts
sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik
kapalnya.69
Walaupun seringkali dianggap praktek ini bersifat opresif dan tidak
adil, Kongres pertama dari Amerika Serikat tetap mempertahankan
penggunaan civil forfeiture di hukum perkapalan dengan mengeluarkan
peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal untuk
menyita kapal. Supreme Court kemudian juga mendukung penggunaan civil
forfeiture di Amerika dalam kasus the Palmyra yang terjadi di tahun 1827
dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang
mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah ilegal
66
Todd Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal 89.
67Ibid. hal 90. 68
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. Cit, sebagaimana dikutip dari Leonard W. Levy,
A license to Steal: The forfeiture of Property ,1996, hal 19.
69
karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya
bersalah.70
B. Prosedur Gugatan bersifat in rem
Langkah awal dalam berperkara di pengadilan adalah mengajukan
gugatan yang diajukan secara tertulis oleh para pihak. Setelah menemukan
pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas perkara yang akan diajukan, penggugat
mengajukan tuntutan atau complaint. Selanjutnya panitera (clerk)
menindaklanjutinya dengan tuntutan atau summons untuk disampaikan kepada
terdakwa. Perumusan sebuah gugatan diformat dalam suatu bentuk yang simpel
dan langsung pada pokok persoalan atau to the point.71
Sebagaimana sifat gugatan perdata, gugatan bersifat in rem tidak
mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari
orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Penuntut
cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang
digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana dan cukup
membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil)
bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu asset telah dihasilkan,
digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut. Pemilik dari asset tersebut
kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa asset yang
70
Todd Barnet, Op.Cit, hal 91. 71
digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana
yang dituntut.72
Pada kasus United States v. $160.000 in US Currency atau United States
v. Account Number 12345 at XYZ Bank Held in the Name of Jones,73
Menurut Judge Virginia Covington
pemilik
dari asset yang dituntut bukan merupakan para pihak yang berperkara, melainkan
diajukan hanya sebagai pihak ketiga yaitu sebagai pihak turut tergugat dari
proses persidangannya.
74
mengenai menangani masalah asset
forfeiture (perampasan asset hasil kejahatan):75
Di Amerika untuk melakukan perampasan asset atau penggeledahan diperlukan Search Warrant (penggeledahan) yang dikeluarkan oleh pengadilan. Dengan Search Warrant ini, penegak hukum dapat mendapatkan banyak informasi mengenai individual yang bersangkutan seperti computer information, kekayaan, record bank, Pajak, Bisnis, buku cek dan banyak lagi. Elemen yang paling penting adalah harus mempunyai bukti bahwa penyitaan asset tersebut berhubungan dengan aktivitas illegal atau memberikan bukti dugaan bahwa asset tesebut berhubungan dengan aktivitas illegal. Terkadang informasi mengenai
72 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. Cit, Hal 5. 73
Kasus tersebut merupakan penelitian dari Stefan D. Cassella, seorang Deputy Chief for Legal Policy, Asset Forfeiture and Money Laundering Section pada U.S. Department of Justice yang disampaikan pada 25th Cambridge International Symposium on Economic Crime, 7 September
2007,
pada 16 Mei 2009;
74
Hakim Virginia Covington dengan qualifikasi Bachelor dan Master Degree dari Tampa Florida dan Law Degree dari Georgetown University, berpengalaman sebagai penuntut umum, Federal Attorney. Sebagai Federal Court bertanggung jawab atas Asset Forfeiture Courts, Pelatihan, Jaksa. Dipilih oleh Presiden Bush sebagai tele conference judge. Pada tahun 2004, dipilih oleh Presiden Bush sebagai US District Court Judge di Florida. Judge Virginia Covington telah mendapatkan banyak penghargaan di bidang Asset Forfeiture.
75 Minutes Meeting Tele Conference Asset Recovery, Kamis 26 April 2007
asset tesebut dapat diketahui sebelum search warrant dikeluarkan sehingga dapat lebih memudahkan para penegak hukum.
Salah satu contoh, dari data pengembaliian pajak (tax return) seseorang memperoleh pendapatan sebesar 10.000 US Dollar per tahun, tetapi orang tersebut memiliki harta kekayaan sekitar 500.000 US Dollar kemudian investigator harus mencari hubungan antara asset-aset tambahan dengan tindak pidana. Berdasarkan pengalaman saat saya bekerja sebagai jaksa penuntut umum di Tampa, Florida, terdapat seorang pengedar narkotika pada tahun 1990 dari Kolombia dan orang tersebut memiliki property yang disimpan dibeberapa negara misalnya negara Eropa. Hal yang penting bahwa pelaku kejahatan berupaya menyembunyikan asset kejahatannya dengan menyimpan di negara-negara lain.
Elemen lain yang penting adalah kerja sama antar negara. Dengan adanya kerja sama ini dapat membantu negara asal untuk melacak asset yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan di luar negeri.
Manajemen terhadap pelaksanaan gugatan yang bersifat in rem di Negara
Amerika, ada dua badan manajemen yang mengelola keuangan dari Asset
Recovery yaitu Asset Management Fund dibawah Department of Justice dan
Asset Forfeiture Unit dibawah Department of Treasury dimana masing-masing
menggunakan perusahaan swasta dalam mengelola sebagian aset-aset hasil
rampasan. Misalnya, Kantor Pajak Amerika (Internal Revenue Service) IRS
dibawah Department of Treasury terbiasa menggunakan perusahaan swasta
dalam mengelola aset-aset hasil rampasannya. Penggunaan perusahaan swasta
untuk mengelola aset, harus mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk
perusahaan swasta. Salah satu masalah adalah banyaknya uang yang akhirnya
perusahaan swasta memiliki sumber daya manusia yang berkualifikasi dalam
mengelola aset secara profesional daripada lembaga pemerintah.76
Pengaturan mengenai asset forfeiture di Negara Inggris tercantum dalam
77
1. Pertama adanya proses penyitaan, yang dapat mengikuti hukuman pidana.
2. Kedua, ada proses kehilangan berupa uang tunai, yang bertempat di Inggris
dan Wales pada
yang diajukan oleh salah pihak kepolisian maupun dari pihak Bea
Cukai.
3. Ketiga, adanya proses civil recovery yang diajukan oleh ARA
berdasarkan
dialihkan kepada
Negara Skotlandia menerapkan penyitaan asset (civil forfeiture) dimulai
dari kuasa fiskalnya yait
kepada pengadilan yaitmaupu Aset
yang berupa uang tunai digugat oleh pemerintah Skotlandia melalui bagian Civil
Recovery ke pengadilan dan dapat pula mengajukan upaya hukum banding ke
78
76Ibid.
77Asset forfeiture in the United Kingdom,
diakses 27 April 2009.
78
Berdasarkan Konstitusi Thailand yang diamandemen tahun 1997,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Thailand telah menentukan pada
Mahkamah Agung (The Supreme Court) dibentuk The Criminal Division for
Holders of Political Positions yaitu divisi yang dibentuk untuk mengadili para
pemegang jabatan politik, seperti Perdana Menteri, Menteri, anggota House of
Representatives, Senator atau pemegang jabatan politik lainnya yang didakwa
melakukan tindak pidana. Misalnya, pelanggaran yang berkenaan dengan adanya
indikasi kekayaan yang tidak wajar, melanggar Criminal Code, melakukan
tindakan tidak terpuji/tidak jujur serta tindak pidana korupsi.79
C. Penerapan dan Penggunaan Gugatan Bersifat In Rem
Implementasi gugatan bersifat in rem menggunakan pola sistem
pembuktian terbalik dimana si pemilik dari aset yang di tuntut harus
membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak tahu kalau aset yang dituntut
adalah hasil, digunakan atau berkaitan dengan suatu kejahatan (innocent owner).
Hal ini tentunya sedikit berbeda dengan gugatan perdata umumnya yang
mengharuskan si penuntut untuk membuktikan adanya suatu perbuatan melawan
hukum dan kerugian yang dialaminya.80
Perlu digarisbawahi bahwa pembuktian si pemilik aset dalam civil
forfeiture hanya berkaitan dengan hubungan antara sebuah tindak pidana dan aset
79
Lihat Bismar Nasution, Menjaga Demokrasi dengan Pemberantasan Korupsi, Ibid, Hal 4
80
yang dituntut atau dengan kata lain pemilik hanya perlu membuktikan bahwa
“aset tersebut tidak bersalah”. Jika si pemilik tidak dapat membuktikan bahwa
“aset tersebut tidak bersalah” maka aset tersebut dirampas untuk negara.
Sehingga dalam civil forfeiture si pemilik aset tidak harus membuktikan bahwa
dia tidak bersalah atau tidak terlibat dalam sebuah tindak pidana.81
Untuk mempermudah pemahaman tentang cara kerja civil forfeiture dapat
dilihat dari ilustrasi kasus berikut ini:82
Seorang pelaku tindak pidana menyewa sebuah mobil dari sebuah perusahaan penyewaan mobil dan melakukan perampokan pada sebuah bank. Pemerintah kemudian melakukan civil forfeiture terhadap mobil tersebut untuk disita dan diambilalih kepemilikannya untuk negara. Dalam persidangan, pemerintah cukup membuktikan adanya dugaan terhadap hubungan antara perampokan yang dilakukan dengan mobil tersebut sesuai dengan standar pembuktian perdata.
Apabila pemerintah berhasil membuktikan hal ini, maka pemerintah umumnya akan melakukan pengumuman di media massa dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya, apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ada pihak ketiga yang berkeberatan atas penyitaan dan pengambilalihan mobil tersebut, maka mobil tersebut secara otomatis dirampas untuk negara. Namun apabila si perusahaan mobil berkeberatan atas civil forfeiture yang dilakukan pemerintah, maka si perusahaan mobil kemudian melakukan pembelaan sebagai pihak ketiga.
Di dalam persidangan, perusahaan mobil tersebut harus membuktikan bahwa dia adalah pemilik tidak bersalah (innocent owner) dengan menunjukkan bukti bahwa dia tidak tahu atau tidak menduga kalau mobil yang dimilikinya bakal digunakan untuk merampok bank. Disini si perusahaan mobil tidak perlu membuktikan bahwa dia tidak terlibat atau tidak mempunyai hubungan dengan perampokan tersebut. Apabila si perusahaan mobil tersebut dapat membuktikan bahwa dia adalah innocent owner maka mobil tersebut akan dikembalikan kepadanya.
81
Ibid.
82
Pada contoh kasus di Amerika Serikat yaitu United States v. Buena Vista
Avenue, 113 S. Ct. 1126 (1993)83
Dalam perkara ini, pemerintah mengajukan satu gugatan in rem
(kelembagaan) terhadap sebidang tanah dimana rumah si terdakwa berlokasi,
dengan tuduhan bahwa dia telah membeli kekayaan tersebut dengan dana yang
diberikan kepadanya oleh Joseph Brenna sebagai “hasil yang dapat diketahui
asalnya” dari tindak pidana dan illegal. Kekayaan tersebut oleh karenanya dapat
dirampas dan disita berdasarkan Comprehensive Drug Abuse Prevention and
Control Act 1970, 21 U.S.C. Pasal 881(a)(6).
, dimana pemilik rumah dituduh telah membeli
rumah dengan dana yang harus diketahui berasal dari hasil kejahatan. Namun si
pemilik mengajukan keberatan, bahwa “tidak mengetahui” asal uang yang
digunakan untuk membeli rumah tersebut dan merasa sebagai innocent owne.
84
Pada tahun 1982, Joseph Brenna memberikan kepada tergugat sekitar $
240.000 untuk rumah di mana ia dan tiga anaknya sejak itu tinggal. Dari tahun
1981 sampai berpisahnya tahun 1987, ia tetap berhubungan pribadi dengan
Brenna. Ada kemungkinan yang dapat dipercaya bahwa uang yang digunakan
untuk membeli rumah adalah hasil dari tindak pidana, tetap tergugat bersumpah
83
Erman Rajagukguk, Rejim Anti Pencucian Uang dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Disampaikan pada Lokakarya “Anti Money Laundering” Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 15 September 2005. Hal 12,
84
bahwa ia tidak mengetahui asal-usul dana tersebut. Tergugat dalam klaimnya
menyatakan ia adalah “innocent owner” berdasarkan Pasal 881 (a)(6). 85
Pengadilan distrik menolak pembelaan ini berdasarkan 2 alasan:
“First, it ruled that “innocent owner” defense may only be invoked by those who can demonstrate that they are bonafide purchasers for value” (emphasis in original); Second, the court read the statute to offer the innocent owner defense only to persons who acquired an interest in the property before the act giving rise to the forfeiture took place” Tergugat mengajukan banding. Pengadilan banding menolak argumen tergugat dengan mengatakan, “… respondent could not be an innocent owner unless she acquired the propery before the drug transaction occured.”
Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Hakim Agung Stevens, akhirnya
menetapkan bahwa:86
1. Perlindungan yang diperoleh oleh “para pemilik tak bersalah” berdasarkan
ketetapan dari Comprehensive Drug Abuse Prevention and Control Act 1970
tidak terbatas pada para pembeli ‘bona fide’;
2. Doktrin yang didukung hubungan ‘common law’ tidak berarti kepemilikan
pemerintah atas kekayaan tersebut (perumahan real estate) yang dibeli
dengan uang hasil tindak pidana yang ilegal sebelum penyitaan telah
diputuskan;
3. Amendemen tahun 1984 terhadap ‘Comprehensive Drug Abuse Prevention
and Control Act 1970’, yang menentukan hasil dari transaksi obat terlarang
di AS setelah diberlakukannya amendemen, tersebut menyebabkan
85
Ibid.
86
penyitaan, tidak berarti kepemilikan pemerintah atas kekayaan tersebut telah
diputuskan.
D. Upaya Pemberantasan Korupsi oleh Negara-Negara di Dunia
Negara-negara di dunia dalam memberantas korupsi dinegaranya telah
mengeluarkan konvensi pemberantasan korupsi antara lain:
1. Inter-American Convention Againt Corruption yaitu konvensi
pemberantasan korupsi antar negara Amerika Serikat yang diterima oleh
organisasi negara-negara Amerika pada tanggal 29 Maret 1996;
2. The Convention on the Fight againt Corruption involving Officials of the
European Communities or Officials of Members State of European Union
yaitu konvensi yang melibatkan pejabat masyarakat Eropa atau pejabat
negara-negara anggota Uni Eropah yang diterima oleh Dewan Uni Eropah
pada tanggal 26 Mei 1997.
3. The Convention on Combatting Bribery of Foreign Public Officials in
International Bussines Transactions yaitu konvensi untuk membahass
penyuapan bagi pejabat publik asing dalam transaksi bisnis Internasional
yang diterima oleh Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan pada
tanggal 12 November 1997.
4. The Criminal Law Convention on Corruption yaitu Konvensi Hukum Pidana
mengenai korupsi yang diterima oleh Komite Menteri-Menteri Dewan
5. The Civil Law Convention on Corruption yaitu Konvensi Hukum Sipil
mengenai Korupsi yang diterima oleh Komite Menteri-Menteri Dewan
Eropa pada tanggal 4 Nopember 1999.
6. The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption
yaitu Konvensi Uni Afrika untuk Mencegah dan Memberantas Korupsi
yang diterima oleh Kepala Negara dan Pemerintah Uni Afrika pada tanggal
12 Juli 2003.
7. The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi)
E. Implementasi UNCAC dalam Gugatan In Rem
Sebagaimana diketahui bahwa perjuangan memberantas korupsi telah
dilakukan, bahkan secara global yang berujung dengan terbentuknya
konvensi-konvensi PBB. Pasal 2 huruf (a) United Nation Convention Against
Transnational Crime (UNCATC) Tahun 2000 memasukkan tipikor sebagai salah
satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group.
Kesadaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang menyatakan bahwa
mempengaruhi perekomian global sehingga diperlukan kerjasama internasional
untuk menanggulanginya. UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Dalam alinea keempat mukadimah United Nations Convention Against
Corruption 2003, dijelaskan "Convinced that corruption is no longer a local
matter but a transnasional phenomenon that affects all societies and economies,
making international cooperation to prevent and control it essential." yaitu
meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu
fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi
yang mendorong kerja sama internasional untuk mencegah dan mengontrolnya
secara esensial;87
Dimitri Vlasis88
87
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) Hal 315-316
mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di
Negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat
ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.
Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil
tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak
dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri
88
Dimitri Vlassis, The United Nations Convention Against Corruption,Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, hlm. 118. Sebagaimana dikutib dari Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional
melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk
menghilangkan jejak.
Melalui UNCAC diharapkan memberikan peluang untuk memudahkan
pengembalian asset hasil korupsi, misalnya asset hasil korupsi yang dihalangi
ketentuan kerahasian bank, dapat dibuka dengan syarat negara tempat asset itu
disimpan meratifikasi UNCAC. Bahkan Pasal 40 UNCAC menyatakan bahwa
setiap negara pihak wajib memastikan terdapatnya mekanisme yang layak dalam
sistem hukum nasionalnya untuk mengatasi halangan-halangan yang mungkin
timbul dari UU kerahasian bank atas penyidikan terhadap kasus-kasus pidana
yang ditentukan dalan UNCAC tersebut. Dalam hal upaya pembekuan, penyitaan
dan perampasan asset negara yang dicuri melalui tipikor yang ditentukan Pasal
31 UNCAC (juga pasal-pasal lainnya) sesungguhnya hanyalah ketentuan pasif
yang tidak dapat memaksa negara-negara safe haven untuk bekerjasama
mengembalikan asset korupsi yang tersimpan di negaranya. Dalam mengaktifkan
ketentuan tersebut memang masih diperlukan kerjasama internasional diantara
negara dunia. Hanya saja hal tersebut tentu menjadi kendala bagi
negara-negara berkembang yang tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam
kancah politik internasional.89
89
Saldi Isra, “Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional”,
dalam
Langkah terbaru dalam upaya pengembalian asset curian adalah melalui
usaha kerjasama Bank Dunia dan United Nation Office of Drugs and Crime
(UNODC) yang memprakarsai Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative pada 17
September 2007. Ide StAR Initiative tersebut dilandasi kesadaran Bank Dunia
bahwa negara-negara berkembang memerlukan bantuan dalam mengembalikan
asset-asset curian yang diakibatkan tindak pidana. Program StAR Initiative
menumbuhkan optimisme yang luar biasa terhadap upaya pemberantasan
korupsi. Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick menyatakan dengan mantap
bahwa; “There should be no safe haven for those who steal from the poor“.
Bahkan lebih menarik apa yang dikemukakan oleh Antonio Maria Costa, The
Executive Director of the UNODC, yang menggambarkan bahwa peluncuran
StAR Initiative adalah "turning point in the global fight against
corruption…from now on it should be harder for kleptocrats to steal the public's
money, and easier for the public to get its money back."90
Namun, harus dipahami bahwa StAR Initiative bukanlah instrument
hukum yang langsung dapat diterapkan sebagaimana konvensi-konvensi PBB
yang lain dikarenakan bergantung kepada efektifnya kemitraan antara negara
maju dengan negara berkembang serta antara lembaga-lembaga bilateral dan
multilateral terkait. StAR
90
World Bank and UNODC to Pursue Stolen Asset Recovery United Nations, September 17, 2007
Initiative juga berkaitan dengan diratifikasi atau
pada Saldi Isra, “Asset Recovery
tidaknya UNCAC oleh sebuah negara. Bayangkan kendala yang terjadi bahwa
kenyataannya setengah dari negara-negara G-8 (saat ini diketuai Jepang) dan
negara-negara OECD belum melakukan ratifikasi terhadap UNCAC. Kendala
kerjasama dan belum diratifikasinya UNCAC oleh banyak negara-negara besar
tersebut menjadi penghambat utama dalam mengembalikan asset-asset curian
dari tipikor. Padahal, asset kekayaan yang dicuri tersebut sangat membantu
pembangunan negara-negara dunia berkembang dan miskin.91
Berdasarkan pentingnya upaya pengembalian asset tersebut bagi negara
berkembang, maka perlu diketahui sejauhmana peran dari konvensi PBB dan
program inisiatif seperti StAR itu sendiri bagi pengembalian asset curian tipikor.
Romli Atmasasmita berpendapat bahwa upaya pengembalian asset melalui peran
Konvensi dan ratifikasi konvensi tersebut dengan UU tidak akan banyak berarti
apabila tidak diikuti langkah-langkah teknis dan strategi diplomasi yang baik
oleh Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, sehingga menurut Romli
untuk mengatasi hal tersebut harus diperhatikan bagaimana membatasi
prinsip-prinsip intervensi yang kaku dari kedaulatan negara yang dapat menghambat
kerjasama internasional dalam upaya pengembalian asset curian dari tipikor.92
91
Saldi Isra, Op.Cit
92
Dalam pertemuan Presiden RI dan Presiden Bank Dunia Robert B.
Zoellick di sela-sela Sidang ke-62 Majelis Umum PBB tanggal 25 September
2007 di New York, kedua pimpinan tersebut mendesak negara-negara maju yang
menjadi pusat-pusat keuangan dunia agar tidak menjadi tempat penyimpanan
dana hasil korupsi yang dilarikan dari negara-negara berkembang. Seruan itu
sesungguhnya diarahkan juga kepada negara-negara anggota World Bank itu
sendiri yang umumnya adalah negara-negara besar yang belum meratifikasi
UNCAC. Menurut Taufiequrahman Ruki salah satu kendala dalam upaya asset
recovery adalah masih lemahnya kerjasama internasional tersebut.93
Tingkat pengembalian asset yang dicuri melalui tipikor hanya akan dapat
maksimal terjadi apabila PBB, World Bank Group dan lembaga-lembaga dunia
lainnya mampu memberikan tekanan maksimal terhadap negara-negara besar
yang memberikan kesan melindungi koruptor di negara-negara berkembang.
Mestinya, tekanan maksimal tersebut setara dengan tekanan yang dilakukan
Dewan Keamanan PBB terhadap negara-negara yang tidak mematuhi resolusi
PBB. Jika tidak,
StAR Initiative
93
Saldi Isra, Op.Cit
maupun UNCAC akan menjadi produk yang
tidak bernyawa, bahkan bukan tidak mungkin yang terjadi justru sebaliknya,
akan merugikan negara-negara berkembang karena upaya pengembalian aset
yang rumit dan memakan waktu bertahun-tahun sehingga menimbulkan biaya
besar sedangkan asset yang dicari belum tentu mampu dikembalikan kepada kas
Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan Presiden Nigeria Sani Abacha,
memerlukan waktu lima tahun telah menguras tenaga dan biaya besar pemerintah
kedua negara tersebut.94
Setiap negara berkembang tanpa adanya kerjasama yang baik, upaya
stolen asset recovery hanya akan menambah permasalahan dan kerugian
keuangan negara semata. Dalam pandangan Ban Ki-moon, Sekjen PBB, StAR
Initiative memang diperuntukan agar terciptanya kerjasama antara negara maju
dan negara berkembang. Ditambahkan Ban Ki-moon, StAR Initiative will foster
much needed cooperation between developed and developing countries and
between the public and private sectors to ensure that looted assets are returned
to their rightful owners.95
A
UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama
Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia
sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat pabila program StAR tersebut tidak disertai kemudahan akses
(tekhnologi dan aturan hukum negara maju) bagi negara-negara berkembang
mendapatkan informasi mengenai keberadaan asset curian tersebut akan sulit
sekali dan tetap saja memakan banyak waktu dan biaya.
94
Ibid.
95
permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak
dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.
Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif,
sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam
kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan
diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat
konvensional.
Pasal 1 Konvensi tersebut menjelaskan sebagai berikut:96
1. Untuk mempromosikan dan memperkuat langkah-langkah guna mencegah
dan memerangi korupsi secara lebih efisien dan efektif.
2. Untuk mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama Internasional dan
bantuan teknis dalam pencegahan dan perang melawan korupsi termasuk
dalam pemulihan aset.
3. Untuk mempromosikan inttegritas, akuntabilitas dan manajemen urusan
publik dan properti publik dengan baik
Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam
rangka mempermudah proses pengembalian aset. Tetapi dalam pelaksanaanya
terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang
berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana asset
96
berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang
hendak diambil asetnya oleh pemerintah Indonesia.
Prinsip-prinsip inti Konvensi PBB tersebut dapat diringkas sebagai upaya
mendorong negara-negara peserta untuk:97
1. Membentuk suatu lembaga independen antikorupsi yang ditugasi berperan
mencegahkorupsi dan juga peran investigasi kriminal;
2. Menciptakan suatu lingkaran efektif bagi penindakan korupsi dan penipuan
berkaitan dengan kejahatan sektor publikmaupun swasta;
3. Menyiapkan undang-undang untuk membantu dan mendukung mereka yang
melakukan investigasi dan menuntut kejahatan korupsi;
4. Menandatangani perjanjian-perjanjian internasional untuk melakukan kerja
sama bidang hukum dengan negara-negara peserta, dan;
5. Memberlakukan UU bagi pencucian uang, membasmi dan menyita
hasil-hasil kejahatan.
F. Upaya Indonesia Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan
dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan
korupsi terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian
asset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan
perundang-97
undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki
kelemahan-kelemahan, yaitu :98
1. Fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada
ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum
serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
3. Peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang
pengembalian aset di dalam UNCAC.
Pendapat Fleming dalam bukunya "Asset Recovery and Its Impact on
Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments"99
98
Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama
Internasional ,5 Juni 2008
, melihat
pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses
pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas,
dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu
99 Matthew H. Fleming, *Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic
tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana
tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana
sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.
Matthew H. Fleming100
Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh
negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas,
menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak
pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana
maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri,
yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara
korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian
keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek
jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.
dalam dunia internasional tidak ada definisi
pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak
mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian asset
adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan
haknya dari hasil tindak pidana.
101
Mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset
yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang
100
Ibid.
101
dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana
aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset
tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.102
Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk
mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus
direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai
bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara
berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah
merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat
dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui
pembangunan berkelanjutan.103
102
Ibid.
103