• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsip 2005 Pajak dan Kemandirian Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Arsip 2005 Pajak dan Kemandirian Bangsa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

P

PA

AJ

J

AK

A

K

D

DA

A

N

N

KE

K

EM

M

AN

A

ND

D

IR

I

R

IA

I

A

N

N

BA

B

AN

NG

GS

SA

A

Oleh:

Sofian Munawar Asgart

A. Iftitah

Harus diakui bahwa komponen penerimaan negara terpenting saat ini adalah

pajak. Untuk APBN 2004 saja, pajak menyumbang sejumlah Rp 239 triliun atau

sekitar 80 persen dari total penerimaan negara. Karena itu wajar jika saat mengawali

masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewanti-wanti

agar masyarakat dapat menunaikan kewajiban membayar pajak secara benar.

Sementara itu, aparat pajak juga dihimbau agar senantiasa meningkatkan building

capacity untuk meminimalisir kebocoran penerimaan pajak. Menurut SBY, pajak

memiliki peran penting dalam upaya membangun masyarakat yang lebih sejahtera.

Dengan demikian, pemastian penunaian pajak serta pengelolaan pajak secara bijak

harus menjadi komitmen bersama.

Langkah SBY kemudian ditindaklanjuti Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian, Aburizal Bakrie, dengan mengagendakan keseimbangan fiskal

sebagai salah satu fokus dan prioritas kerjanya. Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional 2004-2009 menyebutkan bahwa kebijakan fiskal diarahkan pada

penyeimbangan antara peningkatan alokasi anggaran dengan upaya untuk

pemantapan kesinambungan fiskal melalui: 1) peningkatan penerimaan negara agar

dapat menaikkan belanja negara, namun tetap memungkinkan penurunan defisit

anggaran secara bertahap; 2) merumuskan pembiayaan defisit anggaran sehingga

(2)

Kebijakan fiskal juga ditempuh melalui peningkatan penerimaan negara

terutama melalui reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan serta kepabeanan.

Peningkatan efektifitas dan efisiensi pengeluaran negara terutama dilakukan dengan

upaya: 1) pemisahan secara jelas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah

yang diikuti dengan alokasi dana perimbangan yang lebih proporsional; 2)

mempertajam alokasi anggaran dengan relokasi belanja negara agar lebih terarah dan

tepat sasaran, antara lain dengan menghapuskan untargeted subsidy secara bertahap.

Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak juga terus

mengupayakan beragam terobosan melalui ekstensifikasi pajak dengan menggali

berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus melakukan

intensifikasi pajak dengan menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) dari

masyarakat sebagai Wajib Pajak.

Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran

masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu

yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang

bersumber dari Wajib Pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang

bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak

merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan

secara sinergis dan komprehensif.

Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar

memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada

Wajib Pajak semata, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara

korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan

lebih memungkinkan, sehingga pajak sebagai komponen terpenting penerimaan

(3)

B. Berapa Kendala

Meskipun diyakini pajak merupakan tulang punggung pembangunan,

berbagai kendala perpajakan masih sulit dielakkan. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak,

Hadi Purnomo, menilai ada dua kelompok besar yang menjadi kendala dalam

melakukan optimalisasi penerimaan pajak yang saat ini dihadapi aparat perpajakan.

Kedua kelompok kendala itu adalah kurang sinkronnya berbagai ketentuan

perpajakan yang ada dengan lanskap ekonomi makro dan kurangnya koordinasi

antarinstansi.

Sehubungan dengan kedua kendala tersebut, Hadi Purnomo menyebutkan

bahwa aparat pajak tidak mendapatkan akses memadai ke lembaga keuangan lain

seperti perbankan sehingga penerimaan pajak tidak dapat dioptimalkan. Padahal,

menurutnya, potensi kehilangan pendapatan pajak sebagai akibat dari tidak

dibukanya akses ke lembaga keuangan tersebut jelas-jelas menimbulkan kerugian

negara dengan jumlah mencapai ratusan triliun. Potensi kehilangan pendapatan pajak

tersebut antara lain berasal dari deposito sebesar Rp 252 triliun, lalu lintas devisa

sebesar Rp 243 triliun, kredit macet Rp 180 triliun, dan dari kartu kredit sebesar Rp

4,2 triliun.

Secara simplikatif, persoalan perpajakan juga dapat dirinci dari tiga aspek

yang satu sama lain memiliki korelasi yang saling berkaitan, yaitu persoalan yang

berhubungan dengan Wajib Pajak, masalah yang berkaitan dengan pemerintah

sebagai aparatur pajak, serta persoalan sistem perpajakan itu sendiri. Ketiga

persoalan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Masalah yang bersumber dari Wajib Pajak

Hingga kini, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih tergolong

(4)

bawah" yang memiliki keterbatasan wawasan dan pengetahuan soal pajak, tapi juga

di kalangan masyarakat atas yang lebih "intelek" serta tahu betul fungsi dan peran

pajak. Sejumlah pejabat tinggi negara dan mantan pejabat pernah dikabarkan

menunggak alias emoh membereskan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan

(PPh) sampai menjelang batas akhir penyerahan surat pemberitahuan (SPT) pajak.

Dalam pertemuan Komisi A DPRD DKI, misalnya, terungkap sebuah laporan

yang menyebutkan bahwa selama 2003-2004 Komisi Pemilihan Umum Daerah

(KPUD) DKI Jakarta tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) senilai total Rp 4,2 miliar. Sementara itu, Dinas

Pendapatan Daerah (Dipenda) DKI Jakarta juga pernah melaporkan bahwa sebanyak

49 hotel, 407 restoran, 256 tempat hiburan dan 62 pemasang reklame di Jakarta

menunggak pajak. Total tunggakan pajak tempat-tempat usaha itu hingga Maret 2003

saja telah mencapai Rp 59 miliar. Total tunggakan pajak sektor perhotelan sebesar

Rp 26,5 miliar, restoran Rp 20,3 miliar, tempat hiburan Rp 10,9 miliar dan reklame

Rp 1,2 miliar.

Ironisnya, pajak yang tertunggak tersebut merupakan pajak yang

sesungguhnya telah dibayar masyarakat ketika menggunakan jasa tempat-tempat

usaha tersebut. Rendahnya kesadaran akan kewajiban membayar pajak juga terlihat

di kalangan intelektual yang semestinya menjadi panutan. Sebut saja misalnya di

kalangan politisi, ekonom, pengamat, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM),

artis, dan public figur lainnya.

Pada kenyataannya, pajak sering dikemplang dengan berbagai cara. Dari sisi

Wajib Pajak, secara spesifik, misalnya, ditemukan banyak kasus dimana Wajib Pajak

memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya berkurang dari yang

semestinya. Fakta lain yang sering ditemukan adalah Wajib Pajak mengisi Surat

(5)

masyarakat yang benar-benar mangkir alias menghindar dari kewajiban membayar

pajak.

Dalam hubungannya dengan persoalan kepatuhan penunaian pajak, Data

Ditjen Pajak (2001) menyebutkan bahwa hanya 1,3 juta kepala keluarga (KK) di

Indonesia yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Dari jumlah itu hanya 850.000 orang

yang efektif membayar pajak, dan dari jumlah ini hanya separuhnya yang

menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Itu pun pembayarannya belum

sepenuhnya tepat.

Sebagai contoh kasus, rendahnya kemampuan menjaring Wajib Pajak,

setidaknya terlihat di wilayah DKI Jakarta. Dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa

dan perkirakan 2,5 juta jiwa termasuk Wajib Pajak, ternyata yang tercatat sebagai

Wajib Pajak hanya 245.815 orang, atau kurang dari 10 persen. Fenomena ini

menunjukkan bahwa kesadaran penunaian kewajiban pajak masih merupakan

persoalan yang memprihatinkan.

2. Masalah aparatur pajak

Hasil investigasi majalah Tempo (Edisi 19 Juni 2005) menyebutkan bahwa

pintu-pintu pengemplangan pajak sangat beragam. Pajak dapat digerogoti dari segala

sisi. Ada yang murni dilakukan oleh Wajib Pajak, ada juga yang dilakukan setelah

Wajib Pajak berkomplot dengan ‘oknum’ aparat pajak. Ketidaklengkapan pengisian

SPT, misalnya, banyak disinyalir bukan murni kesalahan Wajib Pajak, tapi ini

merupakan salah satu pintu menuju “negosiasi” antara Wajib Pajak dengan petugas

pajak. Meskipun besarnya jumlah pajak telah ditetapkan secara resmi oleh

pemerintah, namun kenyataannya sejumlah pengusaha mengakui bahwa pajak dapat

ditawar. Akibatnya, nilai pajak menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dibayar

(6)

Praktik tidak terpuji lainnya yang kerap dilakukan oknum petugas pajak

adalah manipulasi restitusi pajak dan pemalsuan faktur pajak. Kelebihan pembayaran

pajak (restitusi) seharusnya dipindahkan ke tahun berikutnya. Bila ada yang

dikembalikan semestinya dilakukan secara teliti. Namun faktanya, Surat Perintah

Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) untuk permohonan restitusi bisa dimanipulasi.

Manipulasi restitusi ini umumnya melibatkan aparat pajak. Dalam pengurusan

restitusi serba cepat, Wajib Pajak minta uang lebih pembayarannya dicairkan

seluruhnya dalam bentuk tunai alias tidak ditransfer.

Modus yang sering digunakan adalah menggelembungkan jumlah setoran

pajak sehingga terjadi kasus kelebihan pembayaran yang selanjutnya dihitung

sebagai restitusi. Kerugian negara akibat manipulasi restitusi ini lumayan besar.

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2004 mencatat, antara lain,

sepanjang periode 1999-2000 saja ditemukan penyimpangan restitusi sebesar Rp

1,95 triliun.

Pemalsuan faktur pajak juga tak kalah mengerikan. Seharusnya Wajib Pajak

mengisi faktur resmi yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak. Namun pada

kenyataannya, faktur pajak palsu banyak ditemukan dimana-mana. Pengedar faktur

palsu itu tentu melibatkan sejumlah oknum pegawai pajak. Jaringan pemalsu faktur

pajak ini telah banyak ditemukan di sejumlah kota besar, antara lain di Medan,

Bandung, Jakarta, dan Surabaya.

3. Masalah sistem perpajakan

Meskipun target penerimaan pajak yang ditetapkan APBN 2004 sebesar Rp

238,6 triliun telah terlampaui, kita masih melihat kenyataan bahwa tax ratio

Indonesia rendah. Rasio pajak kita saat ini masih sekitar 13,5 persen, sementara

(7)

Ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi pajak yang belum tergali dan

terrealisasi secara optimal.

Untuk mewujudkan rasio pajak yang sejajar dengan negara tetangga,

pemerintah bertekad untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga berdampak

pada penerimaan pajak yang terus meningkat. Sebaliknya, apabila penerimaan pajak

digunakan untuk memacu sektor ekonomi produktif, sudah semestinya akan

menunjang peningkatan kesejahteraan secara signifikan. Hadi Purnomo sendiri

mengatakan bahwa sejatinya tingkat rasio pajak Indonesia saat ini telah mencapai

16,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kalau memasukkan restitusi,

pajak daerah, dan fasilitas perpajakan sebagai bagian dari penerimaan perpajakan.

Gebrakan lain yang kini sedang digalakan Ditjen Pajak adalah penggunaan

sistem pajak berbasis teknologi informasi (e-system). Sistem baru ini selain

menawarkan efisiensi dan kemudahan juga diharapkan dapat menjadi salah satu

upaya untuk menghilangkan persekongkolan antara Wajib Pajak dengan petugas

pajak. Menurut Menteri Keuangan Yusuf Anwar, berbagai kemudahan diciptakan

agar Wajib Pajak menjadi nyaman melaksanakan kewajiban perpajakannya sekaligus

memperoleh haknya atas pelayanan pajak yang baik. “Kita telah menerapkan banyak

e-system dalam pelayanan pajak, seperti e-payment, e-registration, e-conselling, e-mapping, e-request, e-objection, dan e-audit. Kini kami juga siap menerapkan penyerahan SPT secara online yang disebut e-filling,” jelas Menkeu.

E-filling ini diproyeksikan untuk mendukung self-assesment. Dengan begitu,

data pajak yang dimasukkan benar-benar data dari Wajib Pajak tanpa ada campur

tangan dari pihak petugas. E-filling diharapkan dapat menghilangkan kecurangan

perpajakan secara sistematis karena berkurangnya kontak fisik antara Wajib Pajak

(8)

yang baru ini akan lebih efektif dan efisien, sekaligus mampu menaikkan pendapatan

pajak secara progresif.

Namun demikian, reformasi perpajakan diharapkan tidak merambah level

teknis semata. Reformasi perpajakan juga harus menyentuh segenap aspek lainnya

secara menyeluruh. Reformasi perpajakan dalam arti luas, menurut Faisal Basri,

dapat menjadi entry point sekaligus menjadi “terapi kejut” yang sesungguhnya untuk

menguak harapan baru bagi pulihnya perekonomian di negeri ini. Banyak masalah

bangsa yang dapat diselesaikan melalui reformasi perpajakan. Ketergantungan pada

pembiayaan luar negeri dapat dikurangi secara drastis dan pembayaran kembali

utang luar negeri dapat dipercepat sehingga sekaligus meningkatkan kemandirian

bangsa dan daya tahan ekonomi nasional terhadap gejolak eksternal.

Faisal mengingatkan bahwa pembenahan perpajakan semestinya tidak melulu

berpusat atau berpangkal pada aspek penerimaan. Perpajakan juga harus mampu

menjadi perangkat strategis untuk mendinamisasikan kegiatan ekonomi produktif

serta memajukan industrialisasi dan mendorong daya saing. Oleh karena itu,

reformasi perpajakan diorientasikan bukan sekadar pembenahan Ditjen Pajak dan

Ditjen Bea dan Cukai. Upaya ini juga harus ditempatkan dan dilekatkan sebagai

bagian tak terpisahkan di dalam proses konsolidasi dan pendalaman demokrasi.

Selain itu, sistem perpajakan yang baru dalam tataran implementasinya perlu

dibarengi dengan pedoman yang lebih applicable. Salah satu contoh kasus, misalnya,

sistem self assasment yang telah lama diterapkan untuk penghitungan pajak. Di satu

sisi ini bermanfaat untuk melakukan proses pencerdasan Wajib Pajak. Namun,

karena masih banyak Wajib Pajak yang belum tahu bagaimana melakukan

penghitungan pajak, maka biasanya ia meminta bantuan aparat pajak untuk

(9)

oknum aparat pajak untuk melakukan "permainan". Sementara itu, mekanisme

kontrol yang mampu menjangkau permainan seperti ini masih lemah.

Beberapa persoalan tersebut menjadi urgen untuk diantisipasi, karena

ketiganya memiliki korelasi satu sama lain untuk meningkatkan kinerja perpajakan

secara simultan. Reformasi sistem perpajakan memang perlu terus digulirkan.

Namun upaya ini tentu harus tetap dibarengi dengan peningkatan kesadaran Wajib

Pajak dan pemupukan mental aparat pajak secara berimbang. Tanpa adanya

reformasi sikap dan mental petugas pajak serta tanpa kesadaran tulus Wajib Pajak,

secanggih apapun sistem yang dibangun akan sia-sia belaka, karena dengan

mudahnya mereka akan mengutak-atik dan memanipulasi sistem yang dibangun

dengan susah payah tersebut.

Aspek lain yang lebih fundamental adalah mengupayakan sinkronisasi

reformasi perpajakan dalam lanskap ekonomi makro. Dalam konteks ini, pajak

sebagai komponen utama penerimaan negara tidak saja diketahui sumber-sumbernya,

tapi juga patut dicermati alokasi penyalurannya secara transparan dan akuntabel.

Prinsip good corporate governance agaknya harus dijadikan landasan bagi

pemerintah dalam mengelola pajak. Dengan begitu, sistem perpajakan tidak saja

menuntut masyarakat untuk taat membayar pajak, namun sekaligus juga menuntut

pemerintah agar mampu mengelola pajak secara bijak.

C. Solusi Alternatif

Dengan memperhatikan sejumlah masalah perpajakan tersebut, sudah

selayaknya kita melakukan berbagai terobosan, mencari solusi alternatif sebagai

langkah untuk mengantisipasi berbagai persoalan perpajakan. Mengingat

kompleksitasnya persoalan, maka pendekatan yang ditempuh pun harus bersifat

(10)

Berpijak pada sejumlah kendala dan persoalan di atas, berikut ini beberapa alternatif

solusi yang dapat dikemukakan.

1. Keteladanan dan kepastian

Banyaknya tokoh dari berbagai kalangan dan profesi yang terbukti mangkir

membayar Pajak Penghasilan (PPh) merupakan preseden buruk bagi masyarakat

Wajib Pajak secara keseluruhan. Oleh karena itu, keteladanan dalam hal penunaian

kewajiban pajak perlu mendapat perhatian tersendiri. Keteladanan ini tentu saja harus

dimulai dari jajaran pemerintah sendiri sebagai pengelola pajak. Jika pemerintah

mampu memberikan teladan yang kemudian diikuti tokoh-tokoh dan public figur

lainnya, agaknya masyarakat akan lebih mudah untuk menyadari betapa pentingnya

pajak bagi kehidupan dan kemandirian bangsa ini.

Sebaliknya, jika pemerintah, para pemimpin, dan tokoh-tokoh populis sudah

memperlihatkan contoh buruk berupa sikap ingkar terhadap kewajiban pajak, maka

masyarakat di level bawah pun akan lebih sulit lagi tersadarkan untuk menunaikan

kewajiban membayar pajak. Karena itu, slogan “Orang bijak taat pajak” agaknya

perlu diteruskan dengan iklan salah satu merk jamu: “Orang pintar … bayar pajak

dengan benar!”.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan jaminan kepastian bahwa

pendapatan negara dari sektor pajak ini tersalur secara benar dan “benar-benar

tersalur”. Dalam realitas objektifnya, masyarakat harus merasakan manfaat pajak

secara sungguh-sungguh yang antara lain tercermin dari jaminan pemenuhan

kebutuhan publik secara baik. Kepastian atas tersalurnya pajak secara bajik tentu

(11)

2. Reward and punishment

Meskipun banyak kalangan pengusaha yang merasa gerah atas rencana

pemeriksaan terhadap 500 Wajib Pajak dan pembayar cukai terbesar, Ditjen Pajak

agaknya harus tetap melaksanakannya. Terobosan ini justru penting untuk

mengungkap praktik korupsi antara Wajib Pajak dengan aparat pajak. Hanya saja

verifikasi ini harus dilakukan secara hati-hati dan lebih difokuskan pada aparat pajak,

bukan mencari-cari kesalahan Wajib Pajak. Karena itu, pengusaha sebagai Wajib

Pajak tidak perlu mengekspresikan kekhawatiran secara berlebihan. Justru

sebaliknya, mereka harus mendukung kebijakan ini sebagai langkah konkret

pemberantasan praktik korupsi bagi aparat pajak.

Komitmen Ditjen Pajak dalam pemberantasan korupsi “di rumahnya sendiri”

memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Menurut Hadi Purnomo, selama empat

tahun (2001-2004) Ditjen Pajak telah berhasil mencokok 1.308 aparat pajak nakal.

Rinciannya adalah 327 orang (2001), 290 orang (2002), 486 orang (2003), dan 205

orang (2004). Aparat pajak nakal itu telah dikenai sanksi mulai dari surat teguran,

penurunan gaji dan pangkat, hingga pemecatan. Karena itu, verifikasi 500 Wajib

Pajak dan pembayar cukai terbesar itu harus dipandang sebagai terobosan baru untuk

mewujudkan komitmen Ditjen Pajak dalam melakukan clearing house.

Namun demikian, secara bersamaan Ditjen Pajak juga harus memberikan

penghargaan (reward) kepada para pengusaha atau Wajib Pajak teladan dengan

memberikan insentif khusus. Misalnya melalui tax alloance (kelonggaran pajak)

pada sektor-sektor tertentu dan daerah-daerah tertentu. Pemberian insentif ini tentu

saja penting, namun harus tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat dan tidak

hanya bersifat comersial oriented.

Agaknya, perlu dipikirkan bentuk-bentuk insentif lainnya yang secara

(12)

ini antara lain dapat berupa perbaikan terhadap hak-hak Wajib Pajak. Misalnya,

dalam proses pemeriksaan, pengajuan keberatan, pengajuan banding, dan hak-hak

Wajib Pajak lainnya. Faisal Basri menilai bahwa “rangsangan” seperti ini akan

berkorelasi positif dengan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Menurutnya,

semakin proporsionalnya antara kewajiban dan hak Wajib Pajak, niscaya jumlah

pembayar pajak akan berlipat ganda. Sementara itu, kepatuhan Wajib Pajak pun akan

tumbuh dan berkembang dengan pesat.

3. Reformasi Sistemik

Ketika mengawali masa pemerintahannya, SBY pernah melakukan inspeksi

mendadak (Sidak) ke Ditjen Pajak. Saat itu SBY mengingatkan aparat pajak untuk

bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari

pajak. Kunjungan SBY kemudian disusul Menkeu Jusuf Anwar yang menyiapkan

kontrak politik untuk menilai kinerja Dirjen Pajak dan Ditjen Pajak secara

keseluruhan. Dalam kontrak politik tersebut antara lain disebutkan jika kinerja Dirjen

Pajak tidak sesuai dengan target yang diharapkan, maka ia akan diminta untuk

mengundurkan diri.

Lecutan kontrak politik tersebut sepertinya telah memacu Ditjen Pajak untuk

meningkatkan kinerjanya secara signifikan. Berbagai terobosan telah banyak

digulirkan, terutama perbaikan sistem administrasi perpajakan. Sistem on-line dalam

pelayanan pajak, seperti e-payment, e-registration, e-conselling e-mapping,

e-request, e-objection, e-audit dan e-filling merupakan terobosan baru yang lebih

efektif, efisien serta memberi kemudahan dalam urusan perpajakan.

Namun demikian, pengelolaan uang negara –yang sebagian besar bersumber

dari pajak— bukanlah tanggung jawab Ditjen Pajak semata. Karena itu, reformasi

(13)

pengelolaan sektor keuangan publik secara sistemik dengan mengintegrasikan

segenap persoalan secara simultan. Dengan begitu, tuntutan reformasi tidak hanya

dilakukan di tubuh Ditjen Pajak semata, tapi juga harus dilakukan di institusi

‘pengelola’ keuangan publik lainnya seperti BPK dan Depkeu secara sinergis dan

holistik.

Karena itu pula kontrak politik tidak cukup hanya dilakukan antara Depkeu

dan Dirjen Pajak. Lebih dari itu, diperlukan kontrak politik sejati antara para

penyelenggara negara dengan rakyat. Ketua BPK, Menkeu, Menko Perekonomian,

dan bahkan Presiden harus berani –seperti halnya Dirjen Pajak— menandatangani

kontrak politik dengan target mampu mengelola uang publik secara baik dan benar.

Jika mereka gagal melakukannya, maka mereka semua harus rela menyerahkan

amanah kepemimpinannya secara legawa.

4. Reorientasi filosofi pajak

Hingga saat ini masih ada kesan Ditjen Pajak seolah-olah berpikir bahwa

penerimaan hanya dapat diperoleh jika menambah objek penetapan pajak. Hal ini

disebabkan karena kekeliruan menetapkan filosofi pajak. Yaitu dengan menjadikan

target penerimaan sebagai sasaran utama dan kurang memperhatikan tugas-tugas lain

yang harus diembannya. Akibatnya, aparat pajak lebih memposisikan dirinya sebagai

"tukang pungut", melupakan tugas-tugas lain yang juga harus dikerjakannya. Yaitu

memberikan penyuluhan, pelayanan, dan pembinaan kepada masyarakat tentang

pajak.

Selama ini filosofinya seringkali terbalik, yaitu menjadikan penerimaan

sebagai target utama, sementara "tugas suci" lainnya terabaikan. Padahal, penerimaan

(14)

menjadi Wajib Pajak yang baik jika sosialisasi peraturannya kurang optimal, bahkan

di beberapa tempat tidak pernah dilakukan.

Selain merupakan kewajiban, pajak semestinya juga dipandang sebagai salah

satu alat bargaining rakyat terhadap pemerintah, tapi hal ini masih sebatas obsesi dan

idealisme. Kenyataannya, pemerintah, terutama aparat pajak, pemikirannya

seringkali terdominasi dengan keinginan untuk menarik pajak sebanyak-banyaknya.

Fenomena ini semakin memperkuat bukti kegalauan pemerintah untuk

mempertahankan perolehan pajak secara massif. Ini sebenarnya tidak menjadi

masalah, jika pemerintah terutama aparat pajak dapat meningkatkan kualitas

pelayanan publik dan pertanggungjawaban secara transparan.

Sudah saatnya Ditjen Pajak melakukan redefinisi dan reorientasi terhadap

filosofi pajak. Citra yang menempatkan Ditjen Pajak sebagai pemungut pajak harus

dirubah dengan memposisikan dirinya sebagai pengelola dan pengayom masyarakat.

Dengan demikian, aktifitas perpajakan tidak hanya menjadikan target penerimaan

sebagai sasaran utama, tetapi juga memperhatikan tugas-tugas perpajakan lainnya

secara integral, seperti memberikan penyuluhan, pelayanan, dan pembinaan tentang

pajak kepada masyarakat. Upaya ini diharapkan akan mendatangkan feedback positif

dari masyarakat.

5. Kampanye sadar pajak

Dalam rubrik “Konsultasi Pajak” di situs detik.com (http://detikfinance.

com/index.php/detik.read/…) muncul sebuah pertanyaan lugu dan lucu namun patut

dikritisi dan direnungkan. “Bagaimana caranya tidak membayar pajak ? Karena

saya lihat di Negara kita ini pajak merupakan keterpaksaan. Dapatkah Bapak

(15)

Pertanyaan tersebut, setidaknya, menyiratkan dua hal yang esensial, yaitu

rendahnya kesadaran membayar pajak dan kekeliruan memahami pajak. Pemahaman

masyarakat kebanyakan masih melihat pajak sebagai masalah administratif belaka.

Itu sebabnya, masih sangat sulit untuk menjerat masyarakat yang tidak pernah

membayar pajak. Padahal, pasal 38 dan pasal 39 mengenai Ketentuan dan Tata Cara

Perpajakan (UU KUP) jelas menyebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang tidak

membayar pajak terutang sesuai dengan ketentuan perundangan maka Wajib Pajak

tersebut dianggap telah melakukan tindak pidana perpajakan.

Oleh karena itu, pakar hukum Loebby Loeqman memberikan saran bahwa

pajak ke depan harus lebih ditekankan pada masalah tata negara. Pajak sudah

selayaknya dilihat dari perspektif hukum tata negara, bukan lagi hukum administrasi

negara. Dalam arti, jika terjadi pelanggaran, Wajib Pajak akan dikenai sanksi pidana

yang lebih berat dan bukan lagi hanya masalah administratif berupa denda dengan

nominal uang "alakadarnya".

Pemahaman seperti itu perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat

melalui kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi,

penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya secara massif. Kampanye

sadar pajak tentu tidak ditujukan kepada Wajib Pajak semata, tapi ditujukan untuk

masyarakat secara keseluruhan, termasuk di dalamnya aparat pajak. Kampanye sadar

pajak tidak saja diorientasikan agar masyarakat bersikap bijak dalam membayar

pajak, melainkan juga diarahkan agar pemerintah pun bijak mengelola pajak.

Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan tumbuhnya apresiasi positif

masyarakat terhadap pajak yang pada gilirannya sampai pada suatu kesadaran dan

keinsyafan kolektif bahwa sadar pajak –dalam arti sadar membayar dan mengelola

pajak secara bijak— merupakan kunci kemandirian bangsa!

Referensi

Dokumen terkait

a. Daftar item kegiatan yang berisi seluruh jenis kegiatan pekerjaan yang ada dalam rencana pelaksanaan pembangunan. Urutan pekerjaan dari daftar item kegiatan tersebut

• Realitas sesuatu itu tidak diketahui dengan analisis yang cermat atau penguraNGnnya, melainkan melalui pengalaman alami yg diciptakan oleh penggunaan bahasa dlm

Jumlah tersebut merupakan kekayaan Pemerintah Daerah yang tertanam dalam Investasi Jangka Panjang, Aset Tetap, dan Aset Lainnya, dikurangi dengan Kewajiban Jangka Panjang.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “GAMBARAN PERILAKU IBU

Untuk kelompok dengan keluhan tidak khas diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL pada

dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang diidentifikasi. Output yang tak dikehendaki a) Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem yang

Perawat Kamar Bedah (2013) Jakarta 12 Aulia Al Azhar Pelatihan Oklusi Tuba ( Mow) Bandung 13 Dede Supiana -. 14 Beni Rachmat