• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistensi Obat Diabetik Oral Pada Diabetes Melitus Tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resistensi Obat Diabetik Oral Pada Diabetes Melitus Tipe 2"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Diabetes Melitus Tipe Dua Vennaya Masyeba

102013423 / C5

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510

vennaya@gmail.com Abstrak

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang banyak diderita oleh banyak orang. Hal ini bergejala sebagai polyuria (sering kencing), polidipsi (sering minum), dan polifagi (sering makan). Diabetes mellitus dapat dikarenakan berbagai faktor antara lain, auto-imun, genetik, pola hidup, adanya infeksi, atau penyakit lain yang dapat menganggu metabolisme karbohidrat dalam tubuh. Diabetes melitus juga dapat dibedakan dari ketergantungan dengan insulin pada diabetes tipe 1 dan untuk tipe 2 diperlukan obat anti diabetic oral. Dalam perjalanan pengobatan yang dijalani oleh pasien diabetes mellitus pelu ketaatan dalam konsumsi obat, maupun aktivitas fisik dan perubahan pola hidup untuk menunjang tercapainya peningkatan kualitas hidup pasien.

Abstract

Diabetes mellitus is a disease that affects many people. It is symptomatic as polyuria (frequent urination), polydipsia (often drink), and polyphagia (often eat). Diabetes mellitus may be due to various factors, among others, auto - immune, genetic, lifestyle, infection, or other diseases that may interfere with the metabolism of carbohydrates in the body. Diabetes mellitus can also be distinguished from dependence with insulin in type 1 diabetes and type 2 is required for anti- diabetic oral medication. In the course of the treatment undergone by patients with diabetes mellitus need obedience in drug consumption, as well as physical activity and changes in lifestyle to support the achievement of improved quality of life of patients.

Skenario

Seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan keluhan semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu, memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun dan minum metformin dan glibenklamid secara teratur.

Anamnesis

Anamnesis dilakukan sebelum pemeriksaan lainnya untuk mengetahui keadaan pasien sebelum hingga datang ke dokter. Hal ini dilakukan dengan mangali sebanyak-banyaknya pertanyaan yang berkaitan dengan keluhan pasien yang mengarah ke diagnosis yang akan ditegakkan.

Menanyakan identitas, keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang, kita tanyakan juga riwayat penyakit dahulu, obat-obatan yang telah dikonsumsi dan alergi obat, riwayat keluarga, dan riwayat sosial. Jika pasien mengidap diabetes maka tanyakan bagaimana manifestasinya

(2)

dan apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan juga hal-hal seperti: 1) Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia; adanya penyakit: jantung, penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati 3) Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser; 4) Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida; 5) Disfungsi ginjal (proteinuria mikroalbuminuria); 5) Hipertensi-terapi; dan 6) Diet/berat badan/olahraga, riwayat merokok atau penggunaan alkohol dan alergi pada pasien. Untuk riwayat keluarga dan sosial, tanyakan pada pasien adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga. Setelah melakukan serangkaian wawancara maka dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan.

Selain itu, lakukan pemeriksaan vaskularisasi perifer yaitu apakah nadi teraba, atau bruit? Pemeriksaan kaki juga dilakukan untuk melihat ulkus, selulitis, neuropati (sensasi raba halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks, dan neuropati otonom. Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan respons pupil.2 Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan keadaan umum baik, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, suhu normal, frekuensi napas 16x/menit. Selain itu terdapat bercak hiperpigmentasi pada lipatan leher dan ketiak.

Pemeriksaan fisik yang penting untuk dilakukan bagi pasien yang diduga menderita diabetes melitus yaitu: 1

 Inspeksi kaki

a) Atrofi/hipotofi otot. b) Kontraktur/ sikatrik. c) Gerakan-gerakan terbatas.

d) Lesi kulit (infiltrat, abses, ulkus, gangrene).1  Palpasi kaki

a) Kulit dingin (vaskularisasi berkurang), hangat/panas (adanya ulkus). b) Pulsasi arteri dorsalis pedis.

c) Pulsasi arteri tibialis posterior.1  Refleks

a) Sensibilitas : monofilament (sensorik) b) APR & KPR +menurun/+menurun (motorik)

(3)

c) Babinsky: gerakan dorsofleksi ibu jari kaki yang sering disertai dengan pemekaran jari-jari menunjukan refleks babinsky.3

Pemeriksaan Penunjang Kadar Glukosa Darah

Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, harus spesimen darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah:2

 Pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena

Sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO

 Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Dengan kriteria diagnosis DM menurut WHO dibawah ini;

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM2

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnostik definitif.

Kadar glukosa darah utuh (whole blood):2  Dipengaruhi nilai hematokrit

 Kadar glukosa pada Ht tinggi lebih tinggi dari pada Ht rendah  Kadar glukosa akan berkurang sesuai dengan berjalannya waktu  Penurunan kadar glukosa darah

(4)

2 mg/dL/jam pada 40C

 Perlu pengawet NaF 2 mg/mL.2

Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM dapat dilihat pada table dibawah.2

Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL).2

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL sudah cukup untuk menegakan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok dengan keluhan tidak khas diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dL.3

Hemoglobin A1C (HbA1C)

A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai glikohemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel dilalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik selama masa 120 hari.4 Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya

(5)

sekitar setengah dari masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2x dalam setahun.4 Kadar HbA1C pasien adalah 10%. Homeostasis Model Assessment-Estimated Insulin Resistance (HOMA-IR)

HOMA-IR sekarang sudah banyak digunakan untuk memperkirakan resistensi insulin dalam penelitian. Dibandingkan dengan euglemic clamp sebagai gold standart pengukuran resistensi insulin, HOMA IR lebih mudah dan dihitung mengalikan insulin plasma puasa (FPI) dengan glukosa plasma puasa (FPG), kemudian dibagi dengan constanta 22,5. HOMA-IR= (FPIxFPG)/22,5. Variabel yang termasuk dalam risiko antara lain; jenis kelamin, usia, BMI, rasio pinggang/panggul, FPG, tekanan darah, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, rokok, tingkat edukasi, riwayat hepatitis, kadar lipid puasa (trigliserid, kolesterol total, HDL, dan LDL), dan serum transaminase (ALT dan AST). Insulin diukur dalam serum beku di -80oC dalam 1 jam setelah pengambilan sampel. Dalam hasil, direkomendasikan menggunakan nilai HOMA-IR dari orang Mexico yaitu HOMA-IR <2,60 sebagai nilai normal, HOMA-IR 2,60-3,80 sebagai “borderline high” tanpa melabel bahwa orang tersebut memiliki resistensi insulin, dan HOMA-IR >3,80 sebagai “high” memiliki resistensi insulin.5 HOMA-IR pasien adalah 8.

Working Diagnosis: Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM). Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ini antara lain auto-imun, genetik, pola hidup, adanya infeksi, atau penyakit lain yang dapat menganggu metabolisme karbohidrat dalam tubuh. NIDDM biasanya terjadi pada pasien usia pertengahan atau usia lanjut yang memiliki berat badan yang berlebih.6-7

Differential Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 1

(6)

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi auto-antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan berakibat berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa.manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta pankreas menjadi rusak. Terjadi defisiensi insulin absolute setelah sel β pankreas dihancurkan oleh proses autoimum pada orang-orang yang memiliki predisposisi secara genetis. Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan gejala yang aksplosif dengan polidipsia, poliuria, polifagia, turunnya berat badan, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu, dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur, misalnya kandidiasis). Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, disertai dengan gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Umumnya penderita peka terhadap insulin.2

Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)

Dua persen hingga 5% pasien diabetes tidak dapat secara jelas dimasukkan ke dalam fenotipe diabetes tipe 1 atau tipe 2 dan dikatakan mengidap MODY. Pada para pasien ini, terjadi defek primer di fungsi sel b yang terjadi tanpa kerusakan sel b. Kini menjadi jelas bahwa MODY adalah hasil akhir dari berbagai kelompok defek genetik yang diwariskan secara dominan autosom, dengan tingkat penetrasi tinggi, biasanya sebelum usia 25 tahun, berbeda dengan usia 40 tahun bagi kebanyakan pasien diabetes tipe 2, tidak adanya obesitas, dan tidak adanya auto-antibodi sel islet dan sindrom resistens insulin.8

Sejauh ini, diketahui enam defek genetik berbeda. Glukokinase, yang diperkirakan berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP ke glukosa, yang merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolusme glukosa. Glukokinase yang diekspresikan di sel b pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang dapat menimbulkan sekresi insulin, mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk pelepasan insulin sehingga derajat hiperglikemia hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi peningkatan sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan aktivitas enzim bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada kadar glukosa yang lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan hiperinsulinisme. Sisa 5 gen lainnya yang dapat menyebabkan munculnya MODY adalah

(7)

faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi insulin di sel b dan massa sel b; IPF-1 juga berperan sentral dalam pembentukan pankreas. Sebagian bentuk MODY (MODY1, MODY3, dan MODY5) disebabkan adanya defek berat terhadap sekresi insulin oleh sel b disertai seluruh penyulit diabetes, sedangkan yang lainnya (MODY2) menyebabkan hiperglikemua kronik ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.

Epidemiologi

Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa klit putih berkisar antara 3%-6% dari jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir.3 Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010.4 Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.3

Etiologi

Pada pasien dengan DM 2 mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk DM 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. DM2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat diri kepada reseptor-reseptor permukaan tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insukin dengan sistem transpor glukosa dan akhirnya, timbul kegagalan sel b dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.5

Patofisiologi

Awalnya resistensi insulin belum menyebabkan diabetes secara klinis, saat itu sel beta pankreas dapat mengkompensasi dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan peningkatan

(8)

kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus. Kelainan dasar yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2:8

1 Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati 2 Kenaikan produksi glukosa oleh hati

3 Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.2

Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Awalnya tampak resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel-sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang sel nya responsif terhadap insulin atau akibat ketidak normalan responsif insulin yang intrinsic, sehingga terjadi keabnormalan sistem transport glukosa yang menggangu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.8

Manifestasi Klinik

Pasien dengan DM tipe 2 mungkin tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemi yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya tidak mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin mungkin berkurang, normal atau tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.

(9)

Penatalaksaanaan Medika mentosa

Pada DM 2, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfinilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia yaitu metformin dan tiazolidinedion. Metformin merupakan suatu buguanid, dapat sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500-1700 mg/hari. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun menjadi komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR- ). Dua analogƔ tiazolinedion, yaitu rosigitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg / hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg / hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasi dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin.

Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal, pasien dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi dapat menggunakan sulfonilurea. Obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5-40 mg/hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan DM 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa postprandial pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial yang bekerja pada usus halus dengan menyekat absopsi karbohidrat.

Non-Medika mentosa9 Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan dengan makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

(10)

Latihan Jasmani

Secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.

Komplikasi

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. DM dapat menjadi penyebab dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness. Setelah ditemukannya insulin dan obat diabetika oral, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut menurun. Komplikasi DM akut meliputi:2,7

1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Kadar insulin menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan benda keton (aseton, hidoksibutirat, asetoasetat). Peningkatan benda keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.

2. HONK (Hiperosmolar Non Ketotik)

Keadaan kekurangan insulin relatif, hiperglikema muncul tanpa ketosis. Kadar insulin yang tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia tetapi cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Hiperglikemia yang berat (> 600 mg/dl) menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehirasi berat.2,7

3. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Terjadi bila pasien menerima/ menggunakan insulin terlalu banyak. Gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan hormon epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian.

(11)

Sedangkan komplikasi jangka panjang (kronik) melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangipati) dan pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein, menyebabkan bertambah cepat pembentukan sel-sel membrane dasar. Penggunanan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah diagnosis diabetes.

Pencegahan

Pencegahan menurut WHO dibagi menjadi:

 Pencegahan primer: semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

 Pencegahan sekunder: menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi, sehingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.

 Pencegahan tersier: upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi meliputi mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak menjadi kegagalan organ, dan mencegah kecacatan tubuh.

Prognosis

Prognosis pada penderita diabetes melitus tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diabetes melitus tipe 2 prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi gaya hidup dan meminimalkan risiko timbulnya komplikasi dengan menerapkan diet yang ditentukan dan konsumsi obat yang teratur dengan dosis dan cara pemakaian yang sesuai.

Kesimpulan

Pasien dalam scenario diatas mengidap penyakit diabetes melitus tipe 2 yang sudah mendapatkan penatalaksanaan berubah obat diabetika oral, namun terjadi resistensi. Maka

(12)

dapat dianjurkan untuk diberikan obat-obatan kombinasi dan modifikasi gaya hidup yang dapat menunjang peningkatan kualitas hidup dan meminimalisasi komplikasi yang ada.

Referensi

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2007.h.11-177. 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2, 1873-83.

3. Brickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8. Jakarta: EGC; 2009.h.508-60.

4. Halin SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2. Jakarta:Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.h. 60.

5. Qu HQ, Li Q, Rentfro AQR, Fisher-Hoch SP, McCormick JB. The definition of insulin resistance using HOMA-IR for Americans of Mexican descent using machine learning. PloS ONE 2011 Jun; 6(6):1-4.

6. Sutedjo AY. Mengenal penyakit melalui hasil pemeriksaan laboratorium. Yogyakarta: Amara books, 2009.h. 116.

7. Welsby. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2010.h.116.

8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2005.h. 1260-9.

9. Ndhara S. Diabetes melitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. Diunduh di http://cme.medicinus.co/file.php/1/LEADING_ARTICLE_Diabetes_Mellitus_Tipe_2_da n_tata_laksana_terkini.pdf, 23 November 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuannya, untuk mengetahui kualitas air sumur penduduk yang berdekatan dengan lahan pertanian ditinjau dari keberadaan residu pestisida sesuai dengan golongannya atau bahan aktif

Pelatihan Manajemen Organisasi dan Dinamika Kelompok bagi KMPH Merawan dilaksanakan di Dusun Buring Desa Muara Merang pada tanggal 27 – 29 Mei 2010. Tujuan utama pelatihan ini

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, ketabahan, kemudahan dan kedamaian

Karena itu dalam rangka melaksanakan tugas Kepala Sekolah sebagai Supevisor/Penyelia maka perlu disusun program supervisi yang secara menyeluruh dan sistematis menjabarkan

Jenis pertemuan yang pernah diikuti dari hasil survey ini adalah yang paling tertinggi melalui pengajian dengan nilai persentase 74% yang berjumlah 2741, kedua adalah melalui Arisan

Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomassa), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada

Oleh kerana kesahan dalaman dan kesahan luaran merupakan dua kriteria yang penting untuk menjamin kualiti dan kesahan kajian kuantitatif, penyelidik perlu menghuraikan

Selain itu, pemantuan terhadap pemasukan cairan (melalui mulut atau infus) dan pengeluaran cairan (buang air besar, buang air kecil, muntahan penderita), juga