Antara BSLM, Perlindungan Sosial, dan
Kemiskinan
Oleh: Teddy Lesmana
Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pasca kenaikan BBM yang diberlakukan sejak tanggal 21 Juni yang lalu, pemerintah kembali mengiringinya dengan menggulirkan anggaran sebesar 9, 33 triliun untuk skema Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Kebijakan ini bukan merupakan kali pertama
dilakukan oleh pemerintah karena pada tahun 2008 ketika pemerintah menaikkan harga BBM, pemerintah juga menggelontorkan cash transfer
yang bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketika itu, harga BBM dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter untuk premium, dan Rp 5.500 per liter bagi harga solar. Sementara kali ini, pemerintah menaikkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter dan solar Rp 5.500 per liter. Kebijakan ini pun kembali mengundang kontroversi mulai dari ketidaktepatan
sasaran hingga aroma pencitraan politik.
Argumentasi dari pemberian dana tunai kepada rumah tangga miskin yang akan menanggung beban yang berat akibat kenaikan harga BBM selama empat bulan tersebut adalah untuk memitigasi dan memberikan ruang penyesuaian bagi rumah tangga miskin terhadap kenaikan harga – harga atau inflasi yang diperkirakan akan tak terasa lagi dampaknya setelah empat bulan pasca kenaikan harga BBM tersebut.
Tak dapat dimungkiri, terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, pemberian uang dalam skema bantuan langsung seperti yang dilakukan pemerintah pada tahun 2005 dan 2008 memang dapat meredam
melonjaknya jumlah penduduk yang jatuh dalam kemiskinan. Meski dengan segala kekurangan yang ada termasuk adanya kekeliruan yang bersifat statistik, program Bantuan Langsung Tunai, misalnya pada Maret 2007, berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari yang tadinya diperkirakan mencapai 22 persen menjadi 16, 58 persen. Berlawanan dengan keraguan dimana uang bantuan tersebut digunakan untuk hal – hal yang tidak produktif, mayoritas rumah tangga miskin yang
memperoleh bantuan tersebut menggunakannya untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Terdapat juga bukti bahwa skema bantuan langsung tunai tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap berkurangnya partisipasi angkatan kerja. Singkatnya, pemberian bantuan langsung tunai tersebut memberikan dampak positif terhadap rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pasca kenaikan harga BBM (Sembiring, 2013).
Meskipun demikian, pertanyaan yang patut kita ajukan, seberapa jauh program temporer semacam BLT atau BLSM tersebut berkorelasi secara
positif dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang tidak hanya bersifat sementara saja? Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk tidak hanya melakukan kebijakan yang tidak hanya menyentuh symptom tetapi akar persoalan kemikinan itu sendiri utamanya terhadap kelompok masyarakat yang hidup dalam lembah kemiskinan yang bersifat kronis? Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk membangun sistem perlindungan sosial yang lebih efisien, berkeadilan, dan permanen? Apalagi mengingat pada tahun 2014 mendatangakan dimulai
implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Mengapa Perlindungan Sosial
Secara tradisional, perlindungan sosial (social protection) dijalankan di negara sejahtera (welfare state) di benua Eropa. Perlindungan sosial mulai dilembagakan secara formal pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perlindungan sosial berkembang di Inggris dan Jerman di kalangan kelas pekerja dengan adanya asuransi bagi para pekerja untuk melindungi resiko para yang dihapai para pekerja dalam menjalankan pekerjaannya. Sementara itu di Amerika Serikat, perlindungan sosial dijalankan beberapa tahun setelah Great Depression yang ditujukan untuk meringankan beban bagi mereka yang jatuh miskin dalam periode Depresi Besar tersebut.
Ada banyak definisi mengenai perlindungan sosial. Salah satunya adalah definisi yang dijabarkan oleh the OECD‘s Development Assistance
Committee (DAC) dimana perlindungan sosial adalah aksi publik yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas orang miskin untuk
berpartisipasi, berkontribusi dan memperoleh manfaat dari kehidupan ekonomi, politik, dan sosial komunitas dan masyarakat (OECD, 2007). Lebih jauh, perlindungan sosial berfokus pada pencegahan kemiskinan dan memberikan bantuan bagi masyarakat yang paling miskin (de Haan, 2000).
World Bank (2001) mengisyaratkan bahwa perlindungan sosial itu sendiri juga ditujukan untuk mengatasi akar penyebab kemiskinan dan bukan hanya terbatas pada tindakan yang hanya menyelesaikan persoalan kemiskinan dalam tataran gejalanya saja (symptom). Dalam definisi yang lebih luas, perlindungan sosial didasarkan pada pandangan bahwa
penyebab – penyebab kemiskinan ditemukan dalam berbagai resiko sosial yang dihadapi orang miskin dan kerentanan mereka terhadap dampak – dampak dari resiko sosial tersebut. Fokus kepada resiko dan kerentanan yang merupakan penyebab utama kemiskinan mengimplikasikan bahwa perlindungan sosial seyognyanya memiliki visi “forward looking” dan menekankan perlunya membangun intervensi untuk mengurangi resiko dan kerentanan sebelum kedua hal tersebut terjadi.
Dewasa ini, perlindungan sosial mencakup berbagai aspek dan tujuan yang terkait dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Di negara – negara berkembang, perlindungan sosial digunakan sebagai pendekatan
kebijakan untuk mengatasi persoalan kemiskinan persisten dan berbagai
penyebab struktural yang menyebabkan kemiskinan. Kebijakan
perlindungan sosial kemudian didisain untuk benar – benar mengangkat penduduk miskin ke luar dari kubangan kemiskinan ketimbang hanya untuk melindungi penduduk miskin terhadap berbagai resiko kontijensi.
Berbagai bukti empiris di negara – negara berkembang memperlihatkan peran dari perlindungan sosial yang dapat mengatasi persoalan
kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan efektivitas strategi pertumbuhan ekonomi inklusif untuk pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai hal tersebut, kebijakan perlindungan sosial dapat menjadi suatu kebijakan yang mengiringi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang memberikan ruang manfaat ekonomi yang lebih luas dan mempromosikan hasil – hasil pembangunan utamanya untuk kalangan miskin dan kelompok masyarakat yang selama ini terekslusi dari manfaat pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan Kronis
Berkaca dari konsep perlindungan sosial berspektrum luas di atas,
seyognyanya kebijakan perlindungan sosial bisa dihamornisasikan dengan kebijakan anti-kemiskinan lainnya. Kebijakan perlindungan sosial tersebut hendaknya dapat mencakup dan mengantipasi resiko dan kerentanan yang dihadapi oleh sebagian warga bangsa yang terbelit dalam
kemiskinan kronis bukan hanya untuk memitigasi terhadap mereka yang berada pada kemiskinan sementara (transient poverty) ketika terjadi suatu shock dalam perekonomian. Kemiskinan kronis itu sendiri dapat diidentifikasi ketika seorang individu atau rumah tangga berada dalam kemiskinan sepanjang waktu dan hidup di bawah norma minimun kehidupan yang layak secara sosial atau tetap berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk mewujudkan pendanaan kebijakan perlindungan sosial yang
diwujudkan dalam bentuk program – program jaminan sosial inklusif yang berhubungan langsung dengan peningkatan kapabilitas kaum miskin, ada baiknya sebagian anggaran yang sedianya digulirkan untuk subsidi energi digunakan untuk mendanai program – program jaminan sosial yang
berkesinambungan dan tak hanya bersifat bantuan sosial yang sifatnya sementara dan tak memecahkan akar persoalan yang mendasar.
Kini saatnya bagi pemerintah untuk lebih memfokuskan diri dalam mengembangkan dan memperluas kebijakan perlindungan sosial dalam bentuk jaminan sosial yang berkesinambungan yang memiliki target untuk meningkatkan kemampuan kalangan miskin dalam manajemen resiko dan memfasilitasi tingkat pengembalian investasi bagi kalangan miskin yang pada gilirannya akan mendukung pembangunan modal insani, memperluas kapabilitas kaum miskin dan kelompok masyarakat yang selama ini rentan serta membantu mereka untuk memutuskan rantai transmisi kemiskinan inter-generasi.