• Tidak ada hasil yang ditemukan

jiptummpp gdl mohammadar 50354 2 babi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "jiptummpp gdl mohammadar 50354 2 babi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara besar yang mempunyai perjalanan panjang dalam hal ketatanegaraan setelah Indonesia merdeka. Sejarah mencatat bahwa terdapat 3 periode kekuasaan atau orde, yaitu pada Orde Lama atau awal kemerdekaan dimana kondisi Negara masih dalam tahap pembenahan dan penyusunan ketatanegaraan, Orde Baru yang ditandai dengan pergantian kekuasaan presiden karena sebab-sebab perpolitikan negara, dan Orde Reformasi sebagai masa puncaknya perubahan ketatanegaraan Indonesia. Setiap masa atau orde selalu terdapat gejolak perubahan terkait dengan sistem ketatanegaran yang terus berlangsung untuk mencapai tujuan negara.

Gejolak perubahan tersebut identik dengan masing-masing orde kekuasaan. Hingga titik puncaknya pada pertengahan 1997 hingga tahun 1998 Indonesia dilanda krisis moneter. Pemerintahan waktu itu yang dipimpin oleh Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan orde baru untuk kali ketujuh menjadi sasaran dan target utama untuk diruntuhkan atau dilengserkan. Aksi protes, demonstrasi, dan gerakan sosial marak dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terutama mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia1

. Gerakan dan aksi sosial yang dipelopori oleh mahasiswa tersebut menuai hasil, pada tanggal 21 Mei 1998 secara resmi Soeharto mengundurkan

1

(2)

diri, dan berdasarkan ketentuan konstitusi2

secara otomatis tampuk kekuasaan beralih kepada B. J. Habibie selaku Wakil Presiden.3

Peristiwa ini juga sebagai tanda lahirnya Reformasi. Reformasi merupakan harapan bagi segenap masyarakat untuk mengadakan perubahan menuju penyelenggaraan Negara yang demokratis, transparan, akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat.

Hal tersebut dipandang penting dalam mendekatkan bangsa ini pada pencapaian tujuan nasional seperti dalam amanat Pembukaan UUD 1945. Ada beberapa tuntutan reformasi yang dianggap mendesak pada saat itu, diantaranya adalah amandemen UUD 1945. Tuntutan perubahan UUD 1945 didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM. UUD 1945 sebelum perubahan merupakan sebuah UUD yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik, tertutup dan KKN yang menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan4

.

Amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali, berturut-turut tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Keseluruhan amandemen tersebut mencakup 75 pasal dilakukan dengan mengikuti bentuk adendum atau sistem amandemen

2 Dalam pasal 8 UUD 1945 (sebelum amandemen) disebutkan bahwa “

Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”.

3

Willem Oltmans, 2001, Chaos in Indonesia, (terjemahan Wahjoedi Marjono, Surya Multi) Jakarta: Grafika, halaman 7.

4

(3)

Konstitusi Amerika Serikat, yakni bagian yang diamandemen merupakan atau menjadi bagian dari konstitusi UUD 19455

.

Setiap fase perubahan undang-undang tersebut mempunyai masing-masing konsekuensi, yang paling terasa adalah berubahnya sistem politik ketatanegaraan, diantaranya adalah perubahan sistem kelembagaan Negara dari sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara, dengan beberapa tugas dan kewenangan menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah :

1. Menetapkan Undang Undang Dasar (pasal 3) 2. Menetapkan GBHN (pasal 3)

3. Memilih presiden dan wakil presiden (pasal 6)

4. Mengambil sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden (pasal 9) 5. Mengubah Undang Undang Dasar (pasal 37)

Kemudian kewenangan tersebut di perjelas dalam Tap MPR Nomor 1 Tahun 1978 tentang peraturan tata tertib MPR disebutkan lebih luas tugas dan kewenangan MPR6

. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi bergeser menjadi MPR sebagai lembaga tinggi negara, sejajar dengan lembaga tinggi Negara lainnya seperti Presiden, DPR, dan MA. Pasca amandemen UUD 1945, MPR sebagai lembaga permusyawaratan adalah tempat bertemu dua lembaga legislatif DPR dan DPD yang memiliki dua wewenang7

. Pertama, wewenang terhadap UUD (mengubah dan menetapkan UUD). Kedua wewenang terhadap

5

Taufiqurrohman Syahuri, 2010, Metode Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi di Beberapa Negara, Jurnal Hukum Nomor 4 Vol. 17, Oktober 2010, halaman 527.

6

Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT Asdi Mahastya, halaman 107.

7

(4)

Presiden (melantik dan memberhentikan Presiden). Sedangkan kewenangan untuk menetapkan GBHN tidak lagi ada, hal ini juga kemudian berimplikasi kepada MPR tidak lagi berwenang untuk membentuk ketetapan MPR yang sifatnya mengatur. Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kembali menempatkan ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Perubahan UUD 1945 yang tujuannya menciptakan keharmonisan dalam sistem ketatanegaraan dengan mengedepankan prinsip check and balances tentu menjadi point penting. Dalam hal kekuasaan Negara yang dipisahkan antar masing-masing lembaga negara. Gagasan fundamental yang di adopsi dalam perubahan UUD 1945 adalah anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasi sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (division atau distribution of power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD 19458

. Tujuan yang hendak dicapai dari adanya pemisahan kekuasaan ini untuk menciptakan keharmonisan lembaga-lembaga Negara dalam tatanan struktur ketatanegaraan.

Pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagai bentuk dari hasil perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya check and balances antar lembaga Negara. Sistem pemerintahan yang dianut Indonesia pada masa perubahan tersebut adalah presidensial dengan adanya sistem yang didasarkan atas asas pemisahan kekuasaan. Artinya, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

8

(5)

yudikatif secara prinsip satu sama lain terpisah9

. Hal ini sejalan dengan konsep

Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan membagi

kekuasaan pemerintah dalam tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Kekuasaan legislatif (rule making function) merupakan kekuasaan negara dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan eksekutif

(rule application function) merupakan kekuasaan Negara untuk menjalankan undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif (rule adjudication function)

merupakan kekuasaan negara untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang10

.

Pada hakikatnya, Trias Politica menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Kemudian menjadi sebuah dilema ketika MPR setelah perubahan UUD 1945 ini yang keanggotaanya terdiri dari DPR dan DPD, dengan DPR dan Presiden yang mempunyai kekuasaan legislatif karena berwenang untuk membentuk undang-undang. Sedangkan untuk MPR masih belum jelas sebagai lembaga apa. karena kewenangan untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan atau ketetapan yang bersifat mengatur (regelling) sudah tidak lagi dimiliki oleh lembaga tinggi Negara tersebut.

9

Sri Soemantri, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, halaman 210.

10

(6)

Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat

regeling (pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regelling) melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 194511

. Sedangkan apakah yang dimaksud oleh Montesqiueu dengan kekuasaan legislatif tersebut? Apakah kekuasaan legislatif hanya merupakan kekuasaan untuk membentuk undang-undang saja? Apakah kemudian kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD tidak termasuk kedalam ruang lingkup kekuasaan legislatif?

Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyan tersebut terdapat beberapa fakta menarik yang terjadi dalam penyelenggaran ketatanegaran Indonesia, seperti halnya terjadi dalam hal kewenangan untuk membentuk GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang ditiadakan dan diganti dengan RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional) melalui undang-undang yang di buat oleh DPR bersama Presiden ternyata tidak serta merta membuat arah dan tujuan negara ini tercapai. Sebagaimana yang di ungkapakan oleh Cholidah Mahmud, bahwa status sebagai undang-undang, RPJPN diyakini tidak akan powerful untuk menjadi rujukan utama perencanaan pembangunan nasional. Dibanding GBHN yang pada masanya begitu sakral sehingga “haram” untuk dilanggar12

.

11

Moh. Mahfud MD, 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, halaman. 32.

12

(7)

Oleh karena itu maka penulis sangat tertarik untuk menelaah kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah adanya reformasi dan lembaga Negara tersebut tergolong kedalam kekuasaan pemerintahan yang seperti apa. Kemudian menarik simpulan terkait rekonstruksi kewenangan MPR yang mempunyai kekuasaan sebagai lembaga legislatif sebagaimana konsep

trias politica yang di maksud oleh Montesquieu. Sehingga penulis mengambil judul “REVITALISASI KEWENANGAN MPR DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PASCA REFORMASI

BERDASARKAN TEORI TRIAS POLITICA”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia setelah adanya amandemen UUD 1945 di tinjau dari Teori Trias Politica?

2. Bagaimanakah prospek kewenangan MPR dimunculkan lagi sebagai fungsi legislatif dalam ketatanegaraan Indonesia?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 ditinjau berdasarkan teori Trias Politica;

(8)

2. Untuk mengetahui prospek menghidupkan kembali kewenangan MPR pasca reformasi;

D. Manfaat Dan Kegunaan

1. Manfaat Teoritis

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan referensi dalam pengembangan pendidikan terutama terkait dengan struktur ketatanegaraan dan kelembagaan Negara yang ada di Indonesia, khususnya pemahaman tentang kewenangan lembaga tinggi Negara yaitu MPR dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Karya tulis ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam rangka menunjang pengembangan ilmu bagi penulis pada khususnya, mahasiswa Fakultas Hukum, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.

b. Bagi Instansi Terkait

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan, sumbangan pemikiran serta konstribusi bagi pemerintah untuk terus berbenah

(9)

di dalam pembukaan UUD 1945. yang telah digariskan oleh para Founding People13

.

c. Bagi Masyarakat

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan membangun kesadaran masyarakat untuk saling mendukung terciptanya kesejahteraan melalui porsi yang proporsional dalam keterwakilannya di lembaga Negara secara efektif dan efisien.

E. Metode Penulisan

1. Metode pendekatan

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.14

Berdasarkan ruang lingkup serta identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan, untuk mengkaji secara komprehensif dan holistik pokok permasalahan, akan ditelusuri dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (normatif legal research). Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok permasalahan yang dibahas.

13

Menurut Mahfud MD, sebutan faunding people sebenarnya lebih tepat daripada faunding father, karena “faunding father” seakan-akan hanya mengakui bapak-bapak pendiri. Padahal kenyataannya anggota BPUPKI dan/atau PPKI itu ada juga kaum perempuannya. Telusuri Moh. Mahfud MD, 2012, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press, halaman 25.

14

(10)

Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah pertama,

pendekatan historis (historical approach) yang bertujuan mencari sejarah dan pengaturan kedudukan dan kewenangan MPR sebagai lemabaga negara. Kedua, pendekatan kepustakaan (library approach) berdasarkan pada kajian tulisan-tulisan atau pustaka yang sesuai dan relevan dengan penulisan tersebut pengumpulan bahan hukum ini di lakukan lewat beragam informasi kepustakaan (buku, jurnal ilmiah, ensiklopedi, Koran, majalah, naskah-naskah atau majalah-majalah yang bersumber dari khasanah kepustakaan)15

. Kajian pustaka yang digunakan dalam penulisan ini di anggap lebih efektif dan efisien untuk menganilisis tentang kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan pasca reformasi. Ketiga, pendekatan konsep (conceptual approach) yaitu penulis hendak menawarkan konsep bertatanegara yang ideal sesuai kebutuhan dari suatu masa.

2. Bahan Hukum16

Bahan hukum penulisan hukum ini meliputi: a. Bahan Hukum Primer17

meliputi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 17 tahun 2014

15

Mustika Zed. 2008. Metode Penelitia Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman 89.

16Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena

dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap bahan hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, halaman 268-269.

17

(11)

perundang-tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR tahun 1960 sampai dengan 2002, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan Hukum Sekunder: Bahan hukum sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal, buku-buku, makalah, atau sumber-sumber lain baik cetak maupun online yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum tersier: merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penulisan adalah kajian kepustakaan (library research). Yaitu pengkajian informasi tertulis dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan,18

studi kepustakaan yang dilakukan oleh peneliti adalah mengumpulkan bahan-bahan kajian dari buku-buku atau

undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

18

(12)

dokumen yang mendukung untuk penulisan ini. Kajian kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganilisis buku-buku dan dokumen lainnya yang berhubungan langsung dengan kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan dan teori trias politica yang di terapkan di sebuah Negara.

Kajian kepustakaan merupakan langkah yang paling penting dimana setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian19

. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang saling berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan seperti : buku-buku, dokumen hukum, jurnal ilmiah, artikel, koran dan internet yang sesuai. Berikut ini adalah bagan kajian kepustakaan yang penulis lakukan dalam penulisan ini.

Gambar 1.1. Bagan Kajian Pustaka

Dokumen hukum yang menjadi baham hukum dalam kajian ini berbentuk undang-undang, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

19

ibid,

Kajian Pustaka

Media Elektronik

Internet Buku dan

Jurnal Dokumen

(13)

kewenangan MPR. Penyimpulan data dengan menggunakan teknik dokumen merupakan salah satu cara yang paling akurat untuk menentukan langkah-langkah strategis dalam penulisan melalui teknik kajian pustaka ini.

4. Teknik Analisa Bahan Hukum

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan asumsi dasar dan menjawab fenomena yang telah dirumuskan penulis dalam rumusan masalah diatas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya dan dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

F. Sistematika Penulisan

(14)

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan dan penegasan istilah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini penulis akan memaparkan landasan konsep, teori, atau kajian teori, berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, meliputi:

pertama, teori trias politica (pemisahan dan pembagian kekuasaan negara), di dalamnya menjelaskan mengenai trias politica secara umum kemudian yang diterapkan di Indonesia. Kedua, teori kedaulatan rakyat, sebagai bentuk dasar untuk menganalisis penerapan kekuasaan oleh rakyat Indonesia yang kemudian di wakilkan kepada lembaga negara.

Ketiga, konsep lembaga perwakilan rakyat yang berisi tentang bentuk-bentuk lembaga perwakilan yang ada baik itu satu kamar, dua kamar, dan tiga kamar parlemen. Keempat, kewenangan MPR, di dalamnya memuat tentang kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Kelima, checks and balnces sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjelaskan hubungan antar lembaga negara yang ada di Indonesia sebagai bagian dari tujuan perubahan UUD 1945.

BAB III PEMBAHASAN

(15)

kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia setelah adanya amandemen UUD 1945 di tinjau dari Teori Trias Politica

dan Bagaimanakah prospek kewenangan MPR dimunculkan lagi sebagai fungsi legislasi dalam ketatanegaraan Indonesia. Uraian pembahasan yang diangkat oleh penulis serta dianalisis secara content

dan dianalisa kesesuaian atau keselarasan berdasarkan kenyataan yang ada (yang terjadi) didukung dengan teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penulisan ini.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulis dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian serta berisikan saran dan rekomendasi penulis sehingga diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat bagi semua pihak.

G. Penegasan Istilah

1. Revitalisasi

(16)

memvitalkan kembali suatu keberadaan atau bagian yang dulunya pernah vital hidup akan tetapi mengalami kemunduran dan degradasi20.

2. Kewenangan

Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban21. Kewenangan

adalah merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hokum administrasi negara22.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Majelis Permusyawaratan Rakyat disingkat MPR adalah lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum amandemen MPR adalah lembaga tertinggi negara dan setelahnya menjadi lembaga tinggi negara yang

20

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

21

Nurmayani S.H.,M.H. 2009. Hukum Administrasi Daerah. Universitas Lampung Bandar lampung. Halaman 26.

22

(17)

sejajar dengan lembaga lainnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang23

.

4. Ketatanegaraan Republik Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tata negara adalah seperangkat prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara dan sebagainya yang menjadi dasar peraturan suatu negara. Ketatanegaraan adalah segala sesuatu mengenai tata negara. Menurut hukumnya, tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Untuk mengerti ketatanegaraan dari suatu negara pertama sekali perlu dimengerti apa itu negara: paham negara secara umum dan negara menurut bangsa Indonesia.

5. Pasca Reformasi

Reformasi adalah proses pembentukan kembali suatu tatanan kehidupan (lama) diganti dengan tatanan yang baru. Tujuannya ke arah yang lebih baik dengan melihat keperluan masa depan. Dan kata pasca berarti setelah atau setelah peristiwa itu terjadi.

23

(18)

6. Trias Politica

Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislative atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politica adalah suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa24

.

24

Gambar

Gambar 1.1. Bagan Kajian Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

serta kesimpulan dan saran (jika diperlukan) yang dibuat dalam satu atau dua kalimat. Perhatikan bagan 2

3. Memenuhi persyaratan lainnya untuk kenaikan pangkat secara reguler lainnya. Pimpinan Unit Kepegawaian meneliti berkas-berkas Pranata Komputer yang memenuhi persyaratan

Diaries, letters, journals, biographies, newspaper reports, historical

[r]

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan kompetensi terhadap kinerja karyawan administrasi perkantoran RS. RK Charitas Palembang. H2 : Terdapat hubungan yang kuat antara

Dhabt : kecerdasan, ketangkasan, kecermatan, atau suatu kemampuan untuk memahami hadith, mampu untuk meriwayatkan seperti apa yang diriwayatkan oleh gurunya ,

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Dalam aspek yang nyata, aset yang paling penting dalam setiap organisasi adalah sumber daya manusia di mana aspek ini dapat membawa dampak yang signifikan