• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan dan wewenang MA dan KY serta h

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kedudukan dan wewenang MA dan KY serta h"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH

AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL SERTA

HUBUNGANNYA DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA

AMANDEMEN UUD 1945

Oleh:

Nadila Novisha

NPM:

110110130303

(2)

Setelah terjadinya masa reformasi pada tahun 1998 telah banyak membuat perubahan khususnya dalam sistem Lembaga Negara. Perkembangan proses reformasi terhadap elemen substantif dan struktural telah mengalami proses perubahan yang signifikan, yang utamanya mengarah pada bidang-bidang hokum yang mengatur elemen-elemen strategis dalam kehidupan demokrasi seperti perundang-undangan di bidang politik.

KEKUASAAN KEHAKIMAN OLEH MAHKAMAH AGUNG MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah. Pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.

Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:

 Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika itu sendiri;

 Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena

tujua ya itu, aka Pe eri tah suatu welfare staat , disa pi g e iliki

kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.

(3)

Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut tercantum di dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

Selanjutnya kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi. Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Keanggotaan Mahkamah Agung terdiri dari hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim) dan non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA.

(4)

Ba yak ya g e afsirka ahwa dala perkataa erdeka da terlepas dari pe garuh

kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.

Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.

Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.

KEDUDUKAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

(5)

sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa "Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain".

Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim". Mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah: mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kedudukan Komisi Yudisial dalam UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), disamakan dengan lembaga-lembaga negara lain yang juga diatur dalam UUD 1945. Komisi ini ditentukan dan diatur tersendiri oleh UUD 1945, karena dianggap mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting dan strategis dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim di Indonesia. Kedudukan Komisi Yudisial sesuai dengan Bunyi pasal 24B Ayat (1), seharusnya menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, dalam arti tidak berada di bawah kekuasaan manapun termasuk kekuasaan kehakiman. Sehingga Komisi Yudisial akan benar-benar independen.

(6)

MENENTUKAN POLA HUBUNGAN MA DAN KY YANG DIANUT UUD 1945 SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 005/PUU-IV/2006.

Pe gertia pola hu u ga MA de ga KY dapat diru uska se agai

Model/ e tuk hu u ga tata kerja a tara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara

tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka

e yele ggaraka Kekuasaa Kehaki a ya g erdeka, ersih, da erwi awa .

Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).

Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main

state i stitutio s ya g hu u ga ya satu de ga ya g lai diikat oleh pri sip he ks a d ala es . De ga de ikia , pri sip he ks a d ala es itu terkait erat de ga pri sip

pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif

he ks a d ala es di luar ko teks pe isaha fu gsi-fungsi kekuasaan negara

(7)

Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).

KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai

haki agu g oleh Preside . Pe gatura ya g de ikia e u jukka ke eradaa KY dala

sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.

(8)

Soal hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam 2 pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) dan hubungan kemitraan (partnership) berlandaskan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.

Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan antara MA dan KY dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) berbunyi: "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden".

Mekanisme pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (pasal 13 huruf a UUKY). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Di dalam pasal 15 Ayat (2) UUKY jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain : Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: karir dan non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 Ayat (2) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung).

(9)

UUKY). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 hari berturut-turut. Selanjutnya Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung selama waktu tersebut.

Setelah 15 hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lama 30 hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.

Proses penyeleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/ menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap satu lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.

Hubungan kemitraan (partnership) adalah hubungan kerjasama antara MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.

(10)

ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 Ayat (4) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal 32 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), yang masing-masing berbunyi:

• Pasal Ayat UUD 9 :

Kekuasaa kehaki a dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahka ah Ko stitusi ;

• Pasal Ayat (4) UUKK:

Mahka ah Agu g elakuka pe gawasa terti ggi atas per uata pe gadila dala

lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-u da g ;

• Pasal UUMA:

(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.

(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.

(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.

(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara ;

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konpress: Jakarta: Konpress.

Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekertariat Jendral Mahkamah Konstitusi RI.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Referensi

Dokumen terkait

- Pertukaran budaya/seni ke Thailand dan Singapura pada tahun 2010 - Lomba solo vokal Peksimida di UNSOED Purwokerto pada tahun 2010 - Anggota Paduan Suara Nusantara

dalarn bidang peneliiian bahasa dan sastra, Puji Santosa mengenal dengan sangat baik saripati ajaran-ajaran berbagai agama dan budaya yang terekspresikan dalam karya

Merujuk pada keprihatinan terhadap perkembangan kewirausahaan di Indonesia yang di warnai dengan kecurangan dan hanya memikikiran profit semata, maka diperlukan sebuah konsep

Kontrol Utama Clock Reset clock Reset Enable 1 Pseudorandom bit Clock Reset Enable 1 Serial to Parallel 1 Clock Reset Enable 2 Buffer Clock Reset Enable 3 Parity Generator

Franck dan Hertz menggunakan seberkas elektron dipercepat untuk mengukur energi yang dibutuhkan untuk mengangkat elektron dalam keadaan dasar dari gas atom merkuri

• state diagram gives CPI for each instruction type • workload gives frequency of each type. Type CPI i for type Frequency CPI i x

Kernel merupakan suatu software (kumpulan program) yang membentuk sistem dan memiliki tugas melayani bermacam program aplikasi untuk mengakses hardware komputer secara

POKJA 11 PENGADAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI PEM BANGUNAN GEDUNG KANTOR PENGADILAN AGAM A KOTOBARU TAHAP III