• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisiha pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisiha pdf"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMASI HUKUM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

Affan Muhammad Andalan

affan.muhammad.andalan-2014@fh.unair.ac.id

Fakultas Hukum Universitas Airlangga Abstrak

Dalam era yang sangat dinamis sekarang ini, dunia industri dituntut berjalan lebih adaptif agar semakin maju dan tidak malah mendatangkan kerugian. Adapun salah satu hal yang menjadi tantangannya ialah bagaimana perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan semudah mungkin dengan tetap memberi rasa keadilan bagi para pihak. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dirasa belum mampu sepenuhnya menjadi solusi atas hal tersebut. Oleh karenanya, melalui karya tulis ini penulis mencoba menguraikan tentang perselisihan hubungan industrial beserta cara penyelesaiannya serta urgensi dari dilakukannya reformasi hukum di bidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial demi terciptanya hubungan industrial yang rukun dan produktif sehingga dapat memajukan perekonomian.

Kata kunci: Reformasi Hukum, Perburuhan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pengadilan Hubungan Industrial, Indonesia

Abstract

In this very dynamic era, the industrial world must be more adaptive in order to be survived.

One of the challenge is to create a proper resolution for industrial relation dispute so that it

promotes justice to the parties. Law No. 2 Year 2004 considered not perfect yet to be the

(2)

in order to establish the harmony and productive industrial relation that gives positive impact

towards the economy.

Key words : Legal Reform, Labour, Industrial Relation Dispute Resolution, Industrial Relation Court, Indonesia

Pendahuluan

Dalam dinamika dunia industri, buruh dan pengusaha mempunyai hubungan yang menarik karena cukup berbeda dengan yang lainnya. Hubungan keduanya bisa diibaratkan seperti dua sisi pada keping logam. Di satu pihak, tampak kesan hubungan hukum yang tidak seimbang karena secara sosial ekonomi kondisi pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan buruh/pekerja. Akibatnya terdapat kerentanan yang berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Di lain pihak hubungan saling membutuhkan antara buruh dengan pengusaha merupakan awal bagi terciptanya hubungan kerjasama antara buruh dengan pengusaha1.

Terjadinya perselisihan antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dicegah2, karena perselisihan bisa terjadi tanpa suatu pelanggaran. Misalnya: Rasionalisasi akibat robotisasi; perbedaan penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum yang berlaku; Kaum buruh/pekerja menuntut kenaikan upah 50%; Atau menuntut supaya diberikan tunjangan kesehatan bagi keluarganya.

Perselisihan perburuhan juga terjadi sebagai akibat wanprestasi yang dilakukan pihak buruh atau oleh pihak pengusaha. Keinginan dari salah satu pihak (umumnya pekerja) tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak buruh atau pekerja. Kecenderungan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak merupakan suatu hal biasa terjadi. Ditambah lagi kondisi dalam

1 R. Herla a g Perda a Wiratra a , dkk., Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditinjau dari Pri sip Fair Trial & Hak Asasi Ma usia , “ura aya: U i ersitas Airla gga, 7. h. 5.

(3)

masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan hubungan kerja3.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka menjadi penting hadirnya suatu instrumen hukum untuk mengatur cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial demi terciptanya hubungan industrial yang rukun, produktif sehingga dapat memajukan perekonomian. Pasca reformasi bergulir, Indonesia memiliki tiga paket UU Perburuhan, yaitu: UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 2004, dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini dinilai belum mencerminkan asas cepat, tepat, adil dan murah dalam penyelesaian perselisihan itu sendiri. Adapun dengan berlakunya undang-undang ini, terjadi sebuah fenomena yang di kemudian hari turut mendapat kritik dari para ahli hukum perburuhan yakni terkait dengan berdirinya institusi peradilan baru. Pengadilan Hubungan Industrial yang lahir dari UU PPHI (dan bukan dari undang-undang tersendiri) dipandang mengandung kecacatan. Terlebih mekanisme seperti ini memungkinkan perlindungan bagi buruh yang hakikatnya dilakukan oleh negara/pemerintah menjadi bergeser dan menyudutkan posisi buruh.

Seiring dengan perkembangan hukum perburuhan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, maka perlu ditinjau kembali sejauh mana instrumen hukum yang tersedia dapat memberikan solusi yang seadil-adilnya bagi para pihak yang berselisih, dalam hal ini buruh dan pengusaha. Demi mewujudkan hubungan industrial yang rukun dan produktif sehingga dapat memajukan perekonomian dengan tetap

(4)

menghormati hak-hak yang melekat dalam diri para pihak, kiranya diperlukan suatu reformasi hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia.

Perselisihan Hubungan Industrial

Sebuah perselisihan hubungan industrial dapat terjadi antara 2 (dua) pihak buruh dan pengusaha, atau para pihaknya terdiri dari setidaknya lebih dari 2 (dua) atau lebih pihak, yang saling berbeda pendapat mengenai pelaksanaan atau perlakuan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perselisihan hubungan industrial antara buruh/pekerja dengan pihak pengusaha4.

Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi dalam suatu hubungan kerja5. Pertama, perselisihan hak (rechtsgeschillen), yaitu jika masalah yang diperselisihkan termasuk bidang hubungan kerja, maka yang diperselisihkan adalah mengenai hal yang diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, perjanjian kerja Bersama, peraturan perusahaan, atau dalam suatu peraturan perundang-undangan. Suatu perselisihan hak bisa terjadi karena perbedaan pelaksanaan suatu aturan, dan perbedaan perlakuan terhadap suatu aturan, atau perbedaan penafsiran terhadap suatu aturan. Kedua, perselisihan kepentingan (belangengecshillen), yaitu tidak adanya persesuaian paham mengenai perubahan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan, biasanya berupa tuntuan perubahan atau perbaikan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Misalnya dalam pembaruan suatu Perjanjian kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja. Tuntutan kenaikan upah, tuntutan diberikannya tunjangan kemahalan, tunjangan anak dan sebagainya yang sebelumnya tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, atau Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama di perusahaan yang bersangkutan.

4Ibid. h. 128.

(5)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memperluas pengertian perselisihan hubungan industrial dengan mendefinisikan perselisihan hubungan industrial sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam suatu perusahaan.

Lebih lanjut di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), masing-masing perselisihan diberikan batasan dalam rangka proses penyelesaian. Masing-masing perselisihan menyebutkan6:

Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama. Misalnya: Berdasarkan Perjanjian Kerja upah buruh adalah Rp10.000.000,- pada suatu saat ia dibayarkan upahnya sebesar Rp7.500.000,- maka terjadilah perselisihan hak berupa tuntutan pembayaran upah Rp2.500.000,- lagi. Contoh lain misalnya Serikat Buruh menafsirkan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama berhak cuti dengan upah penuh, sedangkan pengusaha menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama buruh tidak berhak cuti dengan upah yang tetap dibayar.

Perselisihan kepentingan, adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Misalnya: Tuntutan Serikat Buruh akan kenaikan upah sebesar 50% atau

6 Ujang Charda S., Model Pe yelesaia Perselisiha Hu u ga I dustrial dala Huku Kete agakerjaa

(6)

tuntutan buruh akan tunjangan anak, istri, dan lain sebagainya yang sebelumnya tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Misalnya: Buruh menolak untuk diputuskan hubungan kerjanya, karena pesangonnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau nilainya masih lebih rendah daripada perhitungan undang-undang.

Perselisihan antar Serikat Pekerja, sebagai perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan7. Misalkan: Perselisihan antar Serikat Pekerja/Buruh menyangkut siapa diantara mereka yang berhak mewakili kaum buruh/pekerja menghadapi pengusaha dalam perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama.

Pembedaan pengertian perselisihan perburuhan tersebut dimaksudkan untuk membedakan kewenangan lembaga perselisihan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial8. Mediasi diberi kewenangan 4 (empat) macam perselisihan hubungan

industrial, yaitu mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan. Sedangkan Konsiliasi diberikan wewenang menyelesaikan 3 (tiga) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu: perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan. Kemudian Arbitrase diberi kewenangan menyelesaikan 2 (dua) macam perselisihan hubugan industrial, yaitu: perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan. Akhirnya Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung

(7)

Republik Indonesia diberi kewenangan menyelesaikan 4 (empat) macam perselisihan hubungan industrial, yaitu mencakup perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh di dalam suatu perusahaan.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, perselisihan perburuhan tidak hanya menyangkut perselisihan hak dan kepentingan, tetapi juga sudah berkembang kepada perselisihan antar serikat buruh9. Dengan memerhatikan sifat-sifat hubungan perburuhan, diharapkan fungsi lembaga-lembaga yang telah disahkan mengenai Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Industrial) dapat berjalan dengan baik, dalam arti membuat suasana hubungan industrial yang disharmoni, penuh curiga, ketidakpercayaan, dan saling menang sendiri, menjadi harmoni yaitu tercipta suatu kondisi dan keadaan di mana antara buruh dan majikan menjadi mitra yang baik, sehingga buruh tenang dalam bekerja dan majikan tentram dalam berusaha (Industrial Peace).

Perselisihan yang terjadi pada prinsipnya diselesaikan oleh pihak-pihaknya sendiri secara musyawarah. Apabila tidak terselesaikan, maka perlu bantuan pihak lain. Namun demikian, juga tetap berdasarkan musyawarah. Pihak ketiga dalam penyelesaian perselisihan, dapat melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Proses penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga di luar Pengadilan menurut UU No. 2 Tahun 2002 dalam hal ini adalah hanya satu-satunya melalui Arbitrase yaitu suatu proses penyelesaian di mana seseorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih, dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

(8)

Terhadap putusan arbitrase ini dapat diajukan pembatalannya ke Mahkamah Agung dengan syarat: ada tipu muslihat, ada data yang dipalsukanm bertentangan dengan undang-undang, dan arbiter melampaui kewenangannya10.

Penyelesaian perselisihan hubugan industrial melalui Pengadilan dilaksanakan oleh Pengadilan Hubungan Industrial yaitu suatu proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri. Di pengadilan hubungan industrial, perselisihan hubungan industrial akan diperiksa dan diputus oleh hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha.

Sebagai prasyarat untuk proses di Pengadilan Hubungan Industrial, maka suatu perkara perburuhan harus lebih dulu diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi. Mediasi dan Konsiliasi pada hakikatnya dua lembaga yang sama tetapi diperankan oleh instansi yang berbeda. Mediasi diperankan oleh pemerintah sedang Konsilisasi diperankan oleh pihak swasta dengan kewenangan yang berbeda. Mediasi berwenang menyelesaian 4 (empat) macam perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan. Konsiliasi berwenang menyelesaikan macam perselisihan yaitu perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh di suatu perusahaan11.

Sedangkan mengenai perselisihan yang ditangai disebutkan: Mediator berkewajiban memberi anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih, untuk semua jenis perselisihan hubungan industrial. Konsiliator wajib memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih, untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Mengenai proses

10Ibid. h. 143.

(9)

penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga melalui pengadilan dalam hal ini melalui pengadilan hubungan industrial, yang merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri. Di pengadilan hubungan industrial, perselisihan hubungan industrial akan diperiksa dan diputus oleh hakim, terdiri dari hakim karier dan hakim ad-hoc yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja dan organisasi pengusaha12.

Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004

Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 mendefinisikan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Dalam penjelasannya, diuraikan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung13.

Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

12Ibid.

(10)

dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung14.

Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang, yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/organisasi buruh. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung15.

Dalam proses peradilan umum, yang menerapkan hukum acara perdata, sebelum sidang dimulai hakim biasanya menawarkan perdamaian (lembaga dading). Dalam hal ini hakim hanya berfungsi sebagai fasilitator, tidak ikut mencampuri pokok perkara. Apabila perdamaian tidak tercapai, baru kemudian sidang dilanjutkan. Lain halnya dengan proses yang terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial, hakim harus aktif mengupayakan terjadinya perdamaian, sehingga apabila para pihak telah mufakat untuk berdamai, maka hal tersebut dijadikan putusan oleh hakim. Dalam hal ini jelas perbedaannya dengan lembaga dading, karena dalam Pengadilan Hubungan Industrial telah menerapkan Alternative Dispute Resolution (ADR) yang memungkinkan hakim lebih aktif (Alternative Dispute Resolution Connect to Court)16.

Pengadilan Hubungan Industrial juga menerapkan prinsip Sederhana, Cepat, dan Murah. Sederhana, karena dalam mengajukan gugatan sebaiknya dilakukan secara lengkap dan jelas mengenai identitas dari pihak-pihak yang berperkara, dalil-dalil yang konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan gugatan (posita)

14Ibid.

15Ibid.

(11)

dan jelas gugatan itu sendiri (petitum). Di samping itu, perlu juga dicantumkan bukti-bukti yang lengkap, karena prosesnya sama persis dengan penyelesaian hukum acara perdata karena menggunakan proses gugat menggugat. Menurut UU No. 2 Tahun 2004 majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Proses ini relative sama dengan yang terjadi di Inggris, Regional Tribunal Offices prosedurnya didesain cepat, misalnya hanya 14 hari untuk proses hearing. Murah, karena dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,- (serratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 58)17.

Walaupun proses yang terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial ini sudah memenuhi prinsip-prinsip Sederhana, Cepat dan Murah, namun demikian ada beberapa masalah yang berkaitan dengan gugatan yaitu, gugatan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya mempunyai tenggang waktu satu tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal 82)18.

Kelemahan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa substansi dari UU PPHI belum sepenuhnya memberi keadilan khususnya bagi buruh. Berkaitan dengan hal tersebut, kerancuan dapat menyebabkan dalam praktek seringkali terjadi yang pada awalnya adalah sebuah perselisihan hak, kemudian beralih menjadi perselisihan PHK, dimana PHK dianggap menjadi upaya

17Ibid. h. 151.

(12)

yang paling mudah yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah buruh dalam memperjuangkan haknya19.

Sebelum jauh membahas mengenai pengaturan acara persidangan dan seterusnya, sebenarnya secara mendasar ada yang kurang tepat dengan diberlakukannya mekanisme peradilan itu sendiri. Mulanya, tanggungjawab dipikul oleh negara/pemerintah dalam perlindungan buruh (Departemen Tenaga Kerja, atau dinas-dinas dibawahnya). Namun sekarang diserahkan pada kekuasaan yudisial melalui Pengadilan Hubungan Industrial itu sendiri. Bagi mayoritas buruh yang notabene tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni untuk menempuh proses beracara di persidangan, tentu ini sangat tidak menguntungkan dan semakin menyudutkan mereka ke posisi yang lebih lemah.

Meskipun demikian, dalam konstruksi upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia, peran pemerintah yang kuat diperlukan dalam rangka pemajuan hak asasi manusia, khususnya hak-hak buruh. Hal ini mengingat posisi buruh yang lemah (secara struktural) dalam hubungan ketenagakerjaan, sehingga buruh sangat berpotensi dilanggar hak-hak normatifnya oleh pengusaha atau pemilik modal. Dalam hubungan asimetris antara buruh dan pengusaha/pemodal maka sangatlah diperlukan intervensi negara, khususnya pemerintah untuk bisa lebih memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana mandat UUD 1945 Pasal 28I ayat (4)20.

Hal ini disebabkan UU No. 2 Tahun 2004 juga masih memiliki sejumlah kelemahan-kelemahan pula, antara lain21:

1. Mediasi dan konsiliasi tidak diposisikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) namun diposisikan sebagai ”mekanisme antara” yang harus ditempuh oleh para pihak yang berselisih sebelum mereka menempuh jalur Pengadilan

19 R. Herlambang Perdana Wiratraman, dkk., Op.Cit., h. 29. 20Ibid. h. 30.

(13)

Hubungan Industrial melalui gugatan (Pasal 5). Pasal 83 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat jika pengajuan gugatan tidak dilampiri penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

2. Penggunaan istilah ”mediasi” dan ”konsiliasi” kurang tepat dan tidak relevan dengan praktik yang dimaksud. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 pengertian mediasi disamakan dengan konsiliasi. Yang dimaksud dengan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Dalam sengketa dimana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya sehingga jalannya penyelesaian sengketa tetap berlangsung seimbang.

3. Pasal 1 ayat (12) dan Pasal 1 ayat (13) mengamanatkan pejabat tertentu untuk menjadi mediator atau konsiliator. Artinya, mereka dipilih bukan berdasarkan kehendak atau seleksi para pihak yang berselisih. Ini berdampak pada seringnya terjadi ketidaksepakatan antara para pihak sehingga belum bisa mewujudkan rasa adil. Ketimpangan akan semakin bertambah-tambah ketika perselisihan kemudian berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial.

4. Meskipun ada “garansi” sebagaimana yang tercantum pada pasal 58 , namun dengan rumit dan panjangnya jalur yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, buruh lagi-lagi akan dirugikan. Sebut saja adanya biaya (resmi dan tidak resmi) yang harus dikeluarkan. Sedangkan pengusaha tidak akan terlalu diberatkan dengan ketentuan yang semacam itu mengingat tingkat pendidikan dan kemapanan yang dimiliki.

(14)

oleh M. Hadi Shubhan ialah cacat hukum berdirinya Pengadilan Hubugan Industrial itu sendiri serta cara pelaksanan atau eksekusi putusan PHI22. Seperti halnya institusi peradilan lain di Indonesia, seharusnya PHI berdiri dengan didasarkan oleh undang-undang khusus tentangnya. Dengan tercantumnya ketentuan-ketentuan mengenai PHI dalam UU PPHI tidak serta-merta membuat kewajiban adanya UU PHI itu sendiri menjadi gugur. Selain itu, masalah yang tak jarang dihadapi saat pelaksanaan putusan PHI ialah majelis hakim jarang sekali menerapkan uang paksa dalam implementasi putusan. Dengan demikian, pihak yang enggan melaksanakan suatu putusan tidak mendapat sanksi.

Kesimpulan

Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa adanya urgensi atas harmonisnya hubungan buruh dan pengusaha demi terciptanya hubungan industrial yang rukun, produktif sehingga dapat memajukan perekonomian. Hal tersebut dapat ditempuh dengan membuat suatu instrumen hukum yang berkeadilan yang mengatur dengan komprehensif cara-cara penyelesaian ketika terjadi perselisihan antara buruh dan pengusaha.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah menjelaskan tentang apa-apa yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial beserta cara penyelesaiannya. Namun demikian, masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam undang-undang tersebut yang menyebabkan kebanyakan perselisihan hubungan industrial berakhir merugikan pihak buruh/pekerja. Di antaranya ialah paradigma perlindungan hukum yang bergeser dari pemerintah dan mekanisme peradilan yang menyulitkan buruh.

Oleh sebab itu, diperlukan suatu reformasi hukum di bidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam UU PPHI yang

(15)

masih mengandung kerancuan atau kelemahan sebagaimana telah diuraikan di atas harus diperbaiki serta dilengkapi. Dasar hukum berdirinya Pengadilan Hubungan Industrial juga perlu diperjelas. Selain itu, perlu adanya penerapan uang paksa agar para pihak menghormati pelaksanaan putusan.

Khusus mengenai Pengadilan Hubungan Industrial, diskursus yang berkembang di antara para ahli hukum perburuhan ialah untuk menggunakan kuasa peradilan atau badan pengadilan administratif semu sebagai pengganti dari PHI itu sendiri. Badan ini kemudian harus dipastikan keberadaannya di setiap daerah agar terjangkau dan tidak menyulitkan buruh dalam urusan biayanya. Putusan yang diterbitkan oleh kuasa peradilan ini selanjutnya dapat didaftarkan ke pengadilan umum agar dapat dieksekusi. Adapun untuk mendirikan badan ini harus dilakukan melalui mekanisme pembuatan undang-undang yang mengaturnya secara khusus.

BUKU

Uwiyono, Aloysius, dkk., “Asas-Asas Hukum Perburuhan”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.

JURNAL

S., Ujang Charda, “Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam Hukum

Ketenagakerjaan setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004”, Jurnal Wawasan YURIDIKA, Vol. 1, No. 1, Maret 2017.

Wiratraman, Herlambang P., dkk., “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditinjau

dari Prinsip Fair Trial & Hak Asasi Manusia”, Universitas Airlangga Surabaya, 2007. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(16)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4356)

REFERENSI

1. Sam, ”Ini Tiga Kecacatan dalam UU PPHI”

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengamati gambar yang menunjukkan contoh sila pertama Pancasila di sekolah yang disajikan pada grup WhatsApp/Zoom/Google Meet , siswa dapat menunjukkan

Sebaran melintang suhu (Gambar 3a dan 4a) menunjukkan perairan dekat pantai (stasiun 4 dan 5) dan perairan selat (stasiun 2 dan 3) mempunyai sebaran suhu lebih

Seharusnya Posyandu menyelenggarakan kegiatan setiap bulan, jadi bila teratur akan ada 12 kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataannya, tidak semua Posyandu dapat

Rekonstruksi kota dalam seperti Rotterdam  kesempatan merealisasikan ide-ide baru di antaranya kombinasi kerajinan tangan + industri kecil  membawa ke arah

Dengan tahapan semacam itu maka kegiatan penelitian ini telah mengarah pada realisasi dari tujuannya yaitu: mengembangkan pembelajaran tentang deteksi dini dan

Intervensi garam beriodium dosis 15-25 ppm; 25-35 ppm; 35-45 ppm; dan 45-55 ppm KIO3 selama empat bulan masih dapat memberikan kadar iodium dan fungsi tiroid normal pada anak

Dapat dilihat berat tongkol tanpa kelobot per plot jagung dengan pemberian mol keong mas dan ampas sagu tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan dan produksi tanaman

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat