• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spiritualitas dan Profesionalisme Pendid (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Spiritualitas dan Profesionalisme Pendid (2)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Spiritualitas dan Profesionalisme Pendidik di Sekolah Teologi

Oleh: Kalis Stevanus, M.Th

Abstrak

Ada dua isu atau pokok pembahasan penting berkaitan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Teologi adalah seperti dua sisi mata uang, yaitu profesionalisme dan spiritualitas pendidik. Memiliki kedua kualitas tersebut merupakan kunci sukses pendidikan. Pada masa sekarang ini, di mana zaman yang diwarnai oleh perkembangan teknologi dan penemuan-penemuan yang serba modern, serba instant ini, ada kecenderungan pendidikan di dalam membangun masyarakat lupa dan larut oleh arus teknologi ini sehingga manusia semakin mengutamakan kesuksesan dalam dunia sekuler dengan mengabaikan prinsip-prinsip moral – etika kehidupan. Dan justru inilah yang menyebabkan munculnya penyimpangan-penyimpangan perilaku manusia sehari-hari disebabkan karena kurangnya penghayatan dari makna keutamaan pendidikan yaitu pengembangan spiritualitas peserta didik.

Kata Kunci: Spiritualitas, Profesionalisme, Pendidik, Sekolah Teologi

Batasan Pembahasan

Spiritualitas pendidik yang dimaksudkan di sini sengaja saya batasi pada mereka yang terpanggil secara khusus menggeluti – yang hanya memberi pengajaran atau yang mengajarkan iman Kristen di Sekolah Teologi. Namun pembahasan ini juga dapat diterapkan tidak saja terbatas pada pendidik yang memberi pengajaran iman Kristen di sekolah sebagai guru Agama Kristen, tetapi juga mencakup pendidikan baik di gereja maupun pendidikan anak di dalam keluarga bahkan di manapun tempat pelayanan lainnya.

Pendahuluan

Terkadang muncul pertanyaan,”apakah pendidik/dosen di Sekolah Teologi itu profesi atau panggilan? Bahwa tugas mendidik/mengajar sangat penting kita pahami dari contoh kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus sendiri. Sebenarnya Tuhan Yesus lebih dari sekedar seorang Guru, namun Ia telah dikenal sebagai “Guru yang datang dari Allah” (Yoh.3:2). Dan memang Tuhan Yesus sendiri dengan terang-terangan mengakui diri-Nya sebagai “Guru” – memang Akulah Guru ... (Yoh.13:13). Karena itu, tidak hanya murid-murid-Nya yang memanggil Dia sebagai “Guru” tetapi juga orang banyak memanggil-Nya sebagai “Guru/Rabi” (Mat.26:25,49; Mrk.9:5). Bahkan para tokoh agama Yahudi pun selalu menyapa Tuhan Yesus dengan sebutan “Guru” (Mat.12:38).

(2)

menghasilkan kelahiran baru di dalam diri orang percaya (Yoh.3:3,5,7). Pelayanan dan hidup-Nya seutuhnya dipenuhi oleh Roh Kudus (Luk.3:21-22).1

Berdasarkan uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang pendidik di Sekolah Teologi merupakan panggilan Tuhan. Hal itu diungkapkan oleh Paulus adanya “karunia” mengajar yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya (Ef.4:11).

Tantangan dan Peluang Sekolah Teologi Masa Kini

Pertanyaan yang sewajarnya ditujukan kepada setiap mahasiswa di Sekolah Teologi adalah: apakah dampak studi teologi atas kehidupan rohani mereka, atas spiritualitas mereka? Dengan kata lain, apakah mereka seorang mahasiswa teologi yang berilmu dan sekaligus beriman?

Ada mahasiswa, belajar teologi sungguh membawa berkat, memperluas pengertiannya akan Tuhan, memperteguh imannya dan memperkaya hubungannya dengan Allah. Namun, bagi yang lain, studi teologi menimbulkan keragu-raguan dan perjuangan rohani.

Sebenarnya hampir setiap orang Kristen yang mulai belajar teologi dan menggumulinya dengan sungguh-sungguh akan menghadapi masalah. Satu masalah yang sering terjadi ialah “kekeringan rohani”: kita merasa bahwa Allah jauh, Alkitab membosankan, tidak ada keinginan untuk bersekutu dengan saudara seiman dan lain sebagainya. Bila hal ini terjadi, seharusnya tidak menyerah. Sebaliknya, masalah seperti ini merupakan kesempatan untuk menumbuhkan iman mereka. Apabila ia tidak tinggal diam jika menghadapi tantangan, melainkan bergumul untuk menghadapinya, maka berarti iman mereka masih hidup.

Semestinya mempelajari teologi dapat sekaligus memperdalam dan meningkatkan mutu spiritualitas yaitu pengenalan akan Allah di dalam Kristus. Walaupun hal itu diharapkan oleh segenap sivitas akademika maupun komponen di dalam Sekolah Teologi terjadi pada setiap mahasiswa, tapi ternyata dalam prakteknya tidak selalu demikian. Sudah semestinya semua komponen di Sekolah Teologi baik edukatif maupun non-edukatif terpanggil (bertanggungjawab) membantu mahasiswa mengatasi beberapa kesulitan rohani yang mereka hadapi; dan membantu mereka dalam menentukan cara pendekatan kepada firman Tuhan yang konsisten dan yang dapat dipakai di dalam dan di luar ruang kuliah.

Pada umumnya atau kebanyakan mahasiswa di Sekolah Teologi memulai studinya dengan harapan studinya akan memperkaya spiritualitasnya (imannya). Pokok-pokok pembelajaran setiap hari yang semestinya menjadi makanan rohani serta memperkuat iman. Namun, tidak lama setelah memulai studinya, banyak mahasiswa menjadi kesal dan kecewa. Kuliah sering bersifat akademis saja, tanpa hubungan dengan kehidupan sehari-hari (spiritualitas pribadi).

Sekolah Teologi di Indonesia hadir dan berkarya untuk terus meningkatkan (lebih tepat: menghasilkan) kualitas manusia seutuhnya. Kita menghadapi era globalisasi. Berada di era globalisasi bukan hal yang mudah, karena masyarakat abad baru, ini sangat kompleks. Secara global dapat dikatakan bahwa pendidik di era globalisasi adalah pendidik yang berada dalam ketegangan yang luar biasa, karena dia muncul pada suatu era di mana IPTEK berkembang semakin canggih namun di sisi lain terjadi dekadensi moral yang luar biasa di mana orang tidak lagi merasa “risik” berbuat dosa secara terbuka di depan publik. Pendidik di Sekolah Teologi macam apakah yang didambakan oleh masyarakat di era globalisasi ini? Dibutuhkan seorang Pendidik yang teguh di era globalisasi dengan mengedepankan kualitas spiritual yang tinggi, karakter yang terpuji dan intelektual yang kompetitif.2 – ini adalah tantangan kita.

(3)

Kita memiliki keyakinan bahwa Sekolah Teologi hadir di dunia ini atas rencana dan kehendak Allah sendiri. Sebab itu, Sekolah Teologi kita harus selalu setia (committed) terhadap panggilan Allah yaitu memainkan peran sebagai “garam dan terang dunia” atau sebagai “saksi-Nya”, bukan sekadar menghasilkan manusia cerdas sesuai tuntutan konteks zaman. Sebagai lembaga pendidikan formal, Sekolah Teologi dipanggil Allah untuk menghasilkan kualitas orang-orang percaya – ini adalah peluang kita.

Sekolah Teologi kita di masa mendatang akan menghadapi tantangan zaman yang tidak semakin mudah. Sekolah Teologi harus berperan sebagai “mandataris” atau pelaksana kehendak Allah. Untuk melaksanakan tugas dan panggilan Allah demi menghasilkan orang-orang percaya yang berkualitas, tentunya dibutuhkan pendidik-pendidik yang dapat diandalkan kualitasnya: spiritual yang tinggi, moral yang terpuji dan intelektual yang kompetitif (andal-profesional). Ini tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi oleh Sekolah Teologi secara kritis, konstruktif dan realistis serta tentunya upaya tersebut dalam terang iman Kristen. B.S. Sidjabat menjelaskan pengertian kritis adalah tidak asal ‘nrimo’, namun tanggap terhadap kekurangan dan kekuatan dari hal-hal yang dipelajari. Konstruktif berarti mampu membangun sesuatu ‘yang baru’ dari apa yang kita pelajari. Realistis berarti apa yang kita pikirkan dapat diterapkan (B.S. Sidjabat: 2000, hlm.27)

Peran Strategis Sekolah Teologi

Sekolah Teologi merupakan mitra Gereja. Kedua lembaga ini sama-sama merupakan lembaga pendidikan. Perbedaannya, Gereja adalah lembaga pendidikan non formal sedangkan Sekolah Teologi adalah lembaga formal yang terstruktur. Akan tetapi keduanya (Gereja dan Sekolah Teologi) adalah sama-sama sebagai mitra atau “rekan sekerja” untuk membangun umat Allah.

Sekolah Teologi merupakan tempat pendidikan formal secara khusus untuk mempersiapkan warga Gereja yang terpanggil mengemban misi Tuhan di dunia. Apakah pembinaan atau pendidikan di Sekolah Teologi memiliki landasan teologis? Tentu jawabannya adalah “Ya”.

Panggilan untuk mengajar umat Allah sudah diawali sejak Perjanjian Lama, baik dalam konteks ‘keluarga’ maupun ‘umat Allah’. Selanjutnya, dalam Perjanjian Baru, hal mengajar telah dimulai oleh Tuhan Yesus ketika memanggil para murid-Nya menjadi sebuah ‘komunitas’ murid Kristus yang menjadi cikal bakal ‘Gereja’ maupun “Sekolah Teologi’ (dulunya Sekolah Alkitab).3 Tuhan Yesus memanggil dan mendidik para murid-Nya dengan tujuan agar mereka menjadi murid Kristus dan mengikuti Dia. Di samping itu, Tuhan Yesus juga mempersiapkan dan melatih mereka secara khusus agar kelak mereka juga menjadi Pendidik untuk memanggil banyak orang menjadi murid Kristus. Sebelum naik ke Surga, Tuhan Yesus memberi perintah yang kita kenal sebagai amanat agung,”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan

2 Pentingnya kualitas spiritual, saya membahasnya di Jurnal “Kepemimpinan Kristen” STT. Tawangmangu yang berjudul : Kepemimpinan Kristen Di Era Globalisasi, edisi 2, tahun 2014

(4)

kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

(Mat.28:19-20, band Mrk.16:15-16; Luk.24:47-49; Yoh.20:19-23; Kis.1:8). Sesungguhnya, di sinilah mandat pendidikan itu ditemukan.

Dalam kaitan dengan tugas-Nya sebagai Guru, Tuhan Yesus telah mendemonstrasikan bagaimana selayaknya seorang guru harus mengajar, melatih atau membina orang lain. Tuhan Yesus menunjukkan kemampuan yang tinggi di dalam pelayanan. Ia punya visi yang luas akan keselamatan dunia (Mrk.10:45), dan pengetahuan yang luas dan dalam mengenai manusia (Yoh.2:24-25). Penguasaan-Nya terhadap bahan pengajaran sangat mengagumkan karena Ia memang memiliki kelayakan mengajar dengan tepat. Di samping itu, hidup-Nya sinkron dengan yang diajarkan-Nya.4

Tujuan dari mengajar Tuhan Yesus sangat jelas yaitu diarahkan untuk menjangkau orang-orang di luar Israel, dan menarik lebih banyak orang untuk percaya kepada-Nya (Yoh.10:16; 12:32). Atas dasar visi itu pula Ia telah memberi perintah kepada murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil – dan menjadikan semua bangsa murid-murid-murid-Nya (Mrk.16:15; Mat.28:20). Dan tema sentral dalam ajaran Tuhan Yesus adalah Kerajaan Allah. Agen pekabar Kerajaan Allah di bumi adalah Gereja. Ia menegaskan bahwa kedatangan-Nya ke dunia ialah untuk mendirikan Gereja (Mat.16:18).5

Gereja bukanlah Kerajaan Allah. Yang tepat Kerajaan Allah melahirkan Gereja dan Gereja sebagai Pekabar dari Kerajaan Allah. Warga Gereja merupakan anggota Kerajaan Allah. Dalam rangka mempersiapkan para Pekabar/Pekerja yang berkualitas, Tuhan Yesus mengajar, membina dan melatih murid-murid-Nya menjadi Pekabar/Pekerja sebelum mereka diutus. Fokus pendidikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya saat itu lebih berorientasi pada pendidikan karakter atau mutu spiritual daripada penguasaan doktrin. Lebih kepada kesaksian tentang kehidupan daripada doktrin atau hukum-hukum keagamaan (Mat.5-7). Tuhan Yesus sangat mengecam kehidupan para ahli Taurat sebagai guru umat Allah, di mana mereka sekadar andal soal-soal teologi tetapi kesaksian hidupnya (karakter) bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan (Mat.23:1-3).

Selanjutnya, pentingnya tugas mengajar dalam rangka pembangunan iman umat Allah, tugas tersebut terus berlangsung atau dilanjutkan oleh para Rasul dan kini adalah Gereja. Allah ingin membangun umat-Nya. Itulah sebabnya Allah membangkitkan karunia mengajar dalam Gereja-Nya. Gereja memiliki peran utama untuk mendidik umat Allah (Ef. 4:11-13).

Akan tetapi pendidikan di Gereja sifatnya informal. Sedangkan pendidikan di Sekolah Teologi sifatnya formal dan terstruktur dengan tujuan untuk mempersiapkan secara khusus anggota warga Gereja yang terpanggil untuk melayani Allah melalui Gereja-Nya. Untuk melaksanakan tugas dan panggilan mendidik umat Allah itu, sudah tentu Gereja memerlukan Pekerja-pekerja yang rela dan setia melayani umat serta yang dapat diandalkan kualitasnya.

Berkaitan dengan kualitas Pekerja-pekerja Gereja, Dr. B.S. Sidjabat mengungkapkan demikian:

“Kualitas yang dimaksud mencakup sehat dalam segi iman, dewasa dalam sikap dan mentalitas, serta anda (profesional) dalam mengemban tugas-tugasnya sehari-hari sebagai pewarta Injil. Dengan demikian, pekerja-pekerja itu menjadi contoh bagi warga jemaat, di tengah-tengah upaya membawa mereka bertumbuh ke arah kedewasaan iman di dalam Yesus Kristus.”6

4 B.S. Sidjabat, Menjadi Guru Profesional (Bandung: Kalam Hidup, 2000), hlm.20 5 Ibid. hlm.21

(5)

Meskipun Allah telah memberikan pelbagai ragam karunia dan pekerja, mereka bukanlah pribadi-pribadi yang dilahirkan dengan kualitas ready made atau bahkan ready used. Ternyata tidak. Mereka adalah orang-orang yang harus bertumbuh dan mengembangkan dirinya guna menjadi pekerja-pekerja yang berkualitas. Jelas, kualitas tidaklah datang dengan sendirinya, tanpa proses. Kualitas lahir dari hasil usaha yang disengaja, melalui pengalaman, pendidikan atau training.7

Dalam hal ini, Gereja sangat membutuhkan lembaga pendidikan khusus yaitu Sekolah Teologi untuk memperlengkapi warga Gereja yang terpanggil secara khusus untuk melayani Umat Allah atau menjadi Pewarta Injil (Ef.4:12). Ini adalah peran strategis Sekolah Teologi untuk memperlengkapi umat Allah di Gereja. Namun, ingat Sekolah Teologi bukan pengganti Gereja. Sekolah Teologi adalah mitra – rekan sekerja Gereja untuk membangun iman umat Allah.

Tentunya, diharapkan mereka yang dipersiapkan secara khusus sebagai Pekabar/Pekerja di Gereja-Nya di Sekolah Teologi bukan hanya menguasai doktrin (andal di akademis – tahu apa yang akan diajarkan), tetapi juga ditopang oleh kualitas spiritual yang tinggi dan menampakkan karakter Kristianinya.

Sebab itu, Sekolah Teologi masa kini jangan terfokus pada peningkatan dan pengembangan wawasan teologi/doktrin – mutu akademis belaka, tetapi juga menjadi wadah pembinaan spiritual bagi peserta didiknya. Hal ini bukan berarti penguasaan materi atau pengetahuan doktrin – mutu akademis menjadi kurang penting. Maksudnya saya, sebagai calon Pendidik bagi umat Allah atau warga Gereja, tidak cukup hanya cakap dalam mengajar atau berkhotbah, tetapi juga harus ditopang oleh kehidupan yang berkarakter baik sehingga menjadi teladan. Seperti dikatakan oleh Paulus,”Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus: (1 Kor.11:1). Lagi, Paulus menambahkan demikian,”Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku (2 Tim.3:10).

Inilah peran penting dan posisi strategis dari Sekolah Teologi yaitu menjadi wadah untuk menghasilkan para Pekerja/Pekabar Injil di dalam atau melalui Gereja bahkan di dimana pun tempat pelayanan lainnya. Sekolah Teologi harus tetap setia dan konsisten memperhatikan pembinaan spiritualitas – karakter para peserta didiknya. Studi teologi yang benar menghasilkan doksologi (puji-pujian), karena teologi adalah sumber terbaik dan terutama untuk menimbulkan sikap mau menyembah (worship) Tuhan. Bila Alkitab tidak menjadi bahan utama keseluruhan proses pembelajaran maka inti kehidupan rohani terserang. Sangat memprihatinkan bila kita kehilangan spiritulitas dan semakin jauh dari persekutuan dengan Allah, justru karena mempelajari Alkitab secara akademis.

Penulis kitab Ibrani mengatakan,”Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka “ (Ibr.13:7). Nasihat itu menunjukkan betapa pentingnya seorang Pekerja Tuhan memiliki kualitas iman teruji dan moral yang terpuji di hadapan orang-orang yang dilayaninya. Memiliki reputasi yang baik adalah tuntutan mutlak bagi seorang Pekerja di ladang Tuhan.

Alangkah menyedihkan bila Sekolah Teologi karena mengejar mutu akademis lalu mengabaikan atau kurang memperhatikan pembinaan spiritualitas para peserta didiknya. Sekolah Teologi harus selalu setia (committed) terhadap panggilan Allah yaitu memainkan

(6)

peran sebagai “garam dan terang dunia” atau sebagai “saksi-Nya”. Sekolah Teologi yang demikian adalah gagal sebab tidak committed (setia) terhadap panggilan Allah sebagai “mandataris” atau pelaksana kehendak Allah.

Tuntutan Seorang Pendidik di Sekolah Teologi Masa Kini

Pendidik/guru merupakan unsur penting dalam kegiatan pendidikan. Bahwa kualitas hidup guru sangat memegang peranan penting dalam proses pendidikan, termasuk di Sekolah Teologi. Prof. Tondowidjojo menjelaskan bahwa dasar yang tetap dibutuhkan guru sekarang ini ialah keutamaan hidup guru itu sendiri. Keutamaan itu kualitas yang baik dari sikap seseorang yang dihayati dengan baik dan tidak merugikan siapa pun. Keutamaan hidup tersebut harus dimiliki guru apabila ia ingin sukses sebagai pendidik. Berbagai aspek keutamaan guru di antaranya ketepatan, stabilitas, optimisme, solidaritas, menegur dengan sopan, penyesuaian diri, mawas diri, kesabaran, kesederhanaan, menghargai profesi, tahu batas, berprasangka yang baik, mengontrol kompetensi, memikirkan masa depan, humor yang sehat, ketenangan, melaksanakan tugas dengan baik, membuat persiapan yang baik, antusiasme, dan semangat iman.8

Sebagai seorang pendidik di Sekolah Teologi, ia tidak hanya dituntut profesional dalam menjalankan tugasnya dan kinerjanya sebagai guru – memahami profesi keguruan, tetapi juga haruslah menunjukkan spiritualitas dan karakter Kristianinya.

Dr. B.S Sidjabat mengatakan sebagai berikut:

“Tugas keguruan harus dipikul orang percaya dengan sungguh-sungguh. Tugas itu tentulah menuntut kualitas (Rm.12:7). Bobot di sini tidak saja menyangkut penguasaan materi pengajaran, seperti pemahaman Kitab Suci, tetapi juga mencakup dimensi moral, etis, dan spiritual – ‘perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian hidup’ (1 Tim.4:12,13,16).”9

Hal serupa dinyatakan oleh John Nainggolan:

“Seorang guru Pendidkan Agama Kristen bukan hanya dituntut profesional lewat kinerjanya sebagai seorang guru, melainkan harus juga dapat menampilkan hidup yang sepadan dengan tugas pelayanannya yaitu sebagai guru agama. Guru Pendidkan Agama Kristen haruslah menunjukkan spiritualitas dan karakter hidup yang baik.”10

Demikianlah pentingnya antara profesionalisme dan spiritualitas pendidik di Sekolah Teologi. Keduanya saling berkaitan dan saling melengkapi dalam mengemban tugasnya sebagai seorang pendidik.

Profesionalisme Pendidik

Guru/pendidik merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu pendidikan. Guru merupakan posisi strategis untuk meningkatkan hasil pendidikan. Tentunya hal itu disangat dipengaruhi oleh kualitas – profesionalisme dari guru itu sendiri.

8 Tondowidjojo, Kunci Sukses Pendidik (Yogyakarta: Kanisius,1985), hlm. 5 dst

(7)

Clarence H. Benson di dalam bukunya “Teknik Mengajar” mengatakan demikian: “Gurulah yang merupakan kunci keberhasilan mengajar. Pengajaran Kristen yang berhasil dimulai dengan diri guru sendiri”.11

Selanjutnya Dien Sumiyatiningsih menyatakan sebagai berikut:

“Pendidik menjadi elemen yang sangat penting. Mereka mempunyai pengaruh yang sangat terhadap keberhasilan implementasi kompetensi bahkan ia menjadi penentu berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar”.12

Kata profesional sering kali digunakan dalam arti yang kurang tepat. Ada yang mengartikannya sebagai bayaran atau lawan dari kata amatir. Sebenarnya bukan itu arti yang utama. Kata profesional menjadi populer pada awal abad ke-20 ketika seorang dokter di Amerika Serikat menyusun kurikulum untuk akademi pendidikan perawat. Kurikulum ini memperkenalkan jabatan perawat sebagai profesi yaitu pekerjaan yang memerlukan pendidikan khusus, bersifat melayani manusia tanpa pembedaan dan berlaku seumur hidup. Profesional berarti mengutamakan mutu dan disiplin kerja. Bahkan sebenarnya kata

profesional mengandung arti yang jauh lebih dalam. Kata profesi atau profession berasal dari kata kerja to profess yang berarti mengaku. Kata mengaku tidak digunakan secara sembarang. Dalam 1 Tim.6:13 dikatakan bahwa Tuhan Yesus “telah mengikrarkan ikrar yang benar”. Dalam teks Yunani ditulis bahwa Yesus “marturesantos... kalen homologian.” Kata

marturesantos berasal dari kata martureo (bersaksi) dan dari situ lahir kata martus (martir). Sedangkan homologian berasal dari kata homologeo (mengaku). Ayat ini memperlihatkan kedalaman arti perbuatan mengaku. Itulah makna yang terdalam dari to profes atau

profession adalah mengaku dengan seluruh eksistensi, dengan menanggung konsekuensi dan dengan sepenuh hati.13

Kata “profesional” dalam arti sempit berarti pencaharian. Tetapi dalam arti yang lebih luas, sebagai kata benda yang berarti orang yang memiliki keahlian seperti guru, dokter, dan sebagainya. Andar Ismail menambahkan demikian:

“Pendidik yang profesional adalah guru yang mengajar bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kesempatan, bukan sebagai mata pencarian melainkan sebagai panggilan hidup, bukan dengan setengah hati melainkan dengan sepenuh hati, bukan asal jadi melainkan dengan kesungguhan, bukan hanya dengan otak melainkan juga dengan hati sanubari.”14

Menurut Brian V. Hill yang dikutip oleh Dr. B. S. Sidjabat, mengemukakan bahwa pendidik profesional adalah pribadi-pribadi yang mampu melihat dirinya sebagai orang-orang yang terlatih, mengutamakan kepentingan orang-orang lain dan taat kepada etika kerja, serta selalu siap menempatkan diri dalam memenuhi kebutuhan peserta didiknya terlebih dahulu.15

Menjadi guru yang profesional bukan sekadar tuntutan konteks zaman, melainkan dari sudut pandang iman Kristen itu adalah suatu panggilan dan kebutuhan untuk bisa menghasilkan kualitas umat Tuhan. Di masa kini maupun masa depan, keguruan harus

11 Clarence H. Benson, Teknik Mengajar (Malang: Gandum Mas,1997), hlm.5

12 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif & Menarik : Buku Pegangan untuk Mengajar PAK dari SD sampai Perguruan Tinggi (Yogyakarta:Andi,2006), hlm.24

13 Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2007), hlm.56-57 14 Ibid, hlm.58

(8)

dipandang dari sudut profesionalisme. Seperti sudah saya katakan di atas, kita ada di era globalisasi, di masa mendatang banyak pekerjaan dan layanan dalam berbagai bidang mengutamakan profesionalisme, yaitu mengutamakan kualitas kerja yang prima dan unggul.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa profesional di sini tidak boleh dipahami secara sempit, yang hanya dikaitan dengan bayaran/imbalan terhadap pekerjaan atau pelayanan yang diterima atau diberikan. Profesional yang saya maksudkan di sini adalah ahli/kompeten dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, bukan seorang yang asal-asalan bekerja. Seorang yang profesional adalah seorang yang ahli – menguasai betul apa yang dikerjakannya. Kita melakukan pekerjaan mendidik bukan semata-mata karena pembayarannya, melainkan karena kita mengaku agungnya perbuatan mendidik – mendidik sebagai panggilan Tuhan. Dan kita juga melakukan pekerjaan mendidik ini dengan sepenuh hati dan seantero hidup, dengan mutu dan disiplin. Kita tidak menganggap guru sekadar pegawai atau profesi tetapi sebagai panggilan mulia dari Tuhan.

Spiritualitas Pendidik

Tidak disangkal bahwa pendidik yang berkualitas sangat menentukan bagi pengembangan kualitas pendidikan dan pengajaran. Salah satu aspek dari kualitas pendidik yang sangat mendesak masa kini adalah aspek spiritualitas.

Apa itu spiritualitas? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama perlu saya jelaskan terlebih dahulu terminologi kata “spiritualitas” secara khusus dalam perspektif teologis (iman Kristen). Baker16 menjelaskan, kata spiritual dalam bahasa Yunaninya adalah pneumatikos. Menurut Paulus, kata pneumatikos memiliki tiga arti yaitu tentang orang-orang rohani (1Kor.2;13,15 band Gal.6:1) perihal atau hal-hal rohani (1Kor.2;13,15; 9:11 band Ef.1:3) dan mengenai benda-benda rohani yang merupakan metafora atau gambaran tentang hal-hal yang spiritual/rohani (1 Kor.10:3-4; 15:44-46; 1 Ptr.2:5,9). Baker mengaitkan ketiga arti ini yang menunjuk pada karya Allah di dalam Kristus melalui karya Roh Kudus. Sebenarnya di dalam konteks 1 Korintus, Paulus menggunakan kata pneumatikos untuk menegur beberapa orang/jemaat di Korintus yang menganggap diri mereka “rohani” dibandingkan dengan jemaat yang lainnya karena mereka memiliki karunia-karunia Roh terutama bahasa lidah atau bahasa roh. Padahal kehidupan mereka chaos – mereka masih melakukan praktek penyembahan berhala, percabulan, pertengkaran. Semuanya itu menunjukkan bahwa mereka masih manusia duniawi yang tidak dapat memahami hal-hal rohani.

Prof. Berkhof menjelaskan kata “spiritualitas” ditinjau dari bahasa Ibrani, berasal dari kata ruach yang berarti roh, angin atau nafas. Dan dalam bahasa Yunani, kata “ruach” diterjemahkan pneuma yang artinya angin, nafas atau spirit. Selain itu, kata pneuma bisa mengacu pada roh seseorang (Luk.8:55; 1 Kor.5:5), Roh Kudus (Mat.4:1,18), atau hal yang sifatnya rohani (1 Kor.10:3). Kata ruach dan pneuma identik dengan kata Latin spiritus yang berarti “nafas, bernafas” (Kej.2:7; Yeh.37:5-6), atau “angin” (Kej.8:1; Yoh.3:8). Sesuai teks Kej.2:7, dikatakan ketika Tuhan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidup manusia, maka manusia menjadi makhluk yang hidup. Penulis kitab Ayub mengatakan bahwa di dalam tangan-Nya terletak nyawa (ruach atau pneuma) segala yang hidup dan nafas manusia (Ayub.12:10).17

Jadi, baik ruach maupun pneuma memiliki pengertian yang sama yaitu mengacu kepada sesuatu yang sifatnya nonmateri atau supranatural, sesuatu yang tidak dapat dilihat atau

16 David L. Baker, Roh dan Kerohanian Dalam Jemaat : Tafsiran 1 Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 34

(9)

diraba secara fisik, namun akan terlihat eksistensinya dan kerjanya nyata. Misalnya tiupan angin. Perlu ditegaskan di sini, bahwa ruach maupun pneuma, merupakan pemberian Allah. Itulah sebabnya manusia disebut mahkluk roh (spiritual). Manusia tidak mungkin eksis tanpa spirit yang diberikan Allah kepadanya. Jelas bahwa kehidupan spiritualitas orang Kristen didasari karena iman kepada Kristus dan Roh Kudus tinggal di dalam hidupnya sehingga menghasilkan suatu pembaruan hidup yaitu suatu gaya hidup yang baru sama sekali. Dan itu semata-mata karena pekerjaan kasih karunia Allah. Dr. Andar Ismail menegaskan sebagai berikut: “Spiritualitas adalah kualitas gaya hidup seseorang sebagai hasil dari kedalaman pemahamannya tentang Allah secara utuh.”18 Dengan demikian, bisa disimpulkan yang dimaksud dengan spiritualitas adalah berbicara mengenai kualitas kehidupan rohani (Latin:

spiritus) dalam hubungan dengan Allah sebagai sumber utamanya.

Berkaitan dengan kedewasaan ke arah pengenalan yang lebih dekat terhadap Allah di dalam Kristus, B. S. Sidjabat menegaskan sebagai berikut: “Pengenalan terhadap Allah dalam hal ini tidak saja ‘mengetahui tentang’ Dia, tetapi menjadikan Dia dasar, pusat dan tujuan segala pemikiran dan tindakan.” 19 Pengenalan akan Allah tersebut berdampak pada kesadaran spiritual akan realitas kehadiran Allah ( omnipresent) di segala aspek hidupnya, baik kehidupan secara pribadi (kesendirian) maupun kehidupan bersama (korporat) di depan publik. Akibatnya, kehidupan yang dijalani oleh mereka yang memiliki spiritualitas yang tinggi – intim dengan Allah (subyektif) adalah kehidupan yang kudus. Spiritualitas yang benar harus diaktualisasikan/diwujudnyatakan di dalam seluruh bidang kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah Yusuf ketika dicobai oleh istri Poftifar untuk melakukan perbuatan asusila, dia berkata,”Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?". Inilah spiritualitas yang sejati.

Peserta Didik Sebagai Makhluk Roh (Spiritual)

Dalam rangka meningkatkan kualitas peserta didik melalui proses belajar mengajarnya, setiap Pendidik/dosen di Sekolah Teologi perlu memiliki pemahaman yang utuh mengenai peserta didik. Pendidik berfungsi sebagai fasilitator memberi bantuan, bimbingan atau pengarahan agar peserta didik mengalami proses belajar secara efektif. Pendidik terutama adalah stimulator dan motivator, bukan pemain, tetapi wasit yang menyemangati dan mengarahkan pemain. Sebab pelaku proses belajar adalah peserta didik. Pendidik tidak pernah belajar bagi peserta didik. Peserta didiklah yang belajar bagi dirinya sendiri. Inilah pentingnya setiap Pendidik mengenal siapa peserta didiknya. Itulah pendidikan.

Prof. Howard Hendricks menjelaskan mengenai hukum pendidikan demikian: “Sebagai pengajar yang efektif, Anda bukan hanya harus tahu apa yang akan Anda ajarkan – isi pengajaran – tetapi juga siapa orang-orang yang akan Anda ajar.”20 Lebih lanjut Prof. Howard Hendricks berkata: “Anda tak boleh hanya tertarik untuk menyampaikan prinsip-prinsip; Anda perlu memengaruhi orang.”21

Dr. B.S. Sidjabat juga mengatakan hal serupa bahwa seorang Pendidik perlu mempertimbangkan peserta didiknya.

“Jika guru berusaha mengenal siapa peserta didik yang akan dilayaninya, ia akan lebih mendapat pertolongan dalam merumuskan tujuan, sasaran, dan bahan pengajaran yang

18 Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2007), hlm.104 19 B.S. Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta : Andi, 1995), hlm.41

(10)

relevan, sesuai dengan kebutuhan mereka. Guru juga akan sangat tertolong dalam merencanakan strategi belajar mengajar. Guru dapat memikirkan pendekatan yang lebih tepat untuk mendorong terjadinya proses belajar. Guru pada akhirnya akan lebih mudah mengatasi kesulitan-kesulitan belajar serta memberi pertolongan yang cocok bagi epserta didik dalam menghadapi kesukarannya.”22

Kenalilah peserta didik kita. Jadilah pakar yang mengerti berbagai kebutuhan dan karakteristik kelompok usia mereka secara umum. Sekali lagi, sebagai Pendidik, kita perlu mencari tahu dan mengenali secara pribadi tentang peserta didik sebanyak mungkin. Sangatlah penting setiap Pendidik mengenal siapa peserta didiknya. Itulah pendidikan.

Dan aspek penting yang perlu mendapat perhatian serius seorang Pendidik adalah memahami bahwa peserta didik tidak hanya memiliki aspek lahiriah, tetapi juga spiritual sebab manusia sebagai hasil karya Allah yang dicipta “serupa dan segambar” dengan diri-Nya. Peserta didik adalah manusia yang memiliki aspek spiritual, sebab manusia memiliki kebutuhan spiritual yang harus dipenuhi. Inilah tugas penting dari Pendidik di Sekolah Teologi untuk memberikan pelayanan peserta didik memperoleh pemenuhan kebutuhan spiritual. Kebutuhan spiritual ini tidak boleh diabaikan karena alasan/dalih tuntutan akademik. Seharusnya pemenuhan kebutuhan intelektual – akademik tidak menjadi hambatan bagi pemenuhan spiritual peserta didik di Sekolah Teologi. Pendidikan di Sekolah Teologi yang kurang menyentuh sisi-sisi spiritual, bisa dikatakan gagal – tidak commtited kepada tugas dan panggilan Allah sebagai “mandataris” atau pelaksana kehendak Allah.

Pendidikan di Sekolah Teologi dituntut untuk membimbing peserta didik memiliki pemahaman dan relasional yang benar dengan Tuhan Yesus (Yoh.15:5) guna menimbulkan perubahan hidup (life transformation) ke arah keserupaan dengan Kristus,”Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus” (Kol.1:28).

Pendidikan Teologi bukanlah sekadar kegiatan yang membawa manusia memiliki pengetahuan banyak (aspek akademik), namun terpisah dari Allah. Sebaliknya, pendidikan di Sekolah Teologi haruslah berusaha membawa peserta didik mengenal Allah di dalam Kristus lebih mendalam dan bersifat pribadi melalui berbagai aspek kehidupannya secara konkrit (aspek spiritual) – pengenalan akan Allah. Pengenalan akan Allah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Sesungguhnya inilah hakikat dan tugas pendidikan di Sekolah Teologi dalam perspektif teologis.

Ukuran Keberhasilan dalam Tugas Pendidikan di Sekolah Teologi

(11)

diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap-tiap perbuatan baik”( 2 Tim.3:16).

Pembinaan Spiritualitas di Sekolah Teologi

Sekolah Teologi merupakan lembaga untuk menyiapkan Pekerja-pekerja di Gereja maupun di luar Gereja untuk memenuhi panggilan amanat agung Kristus. Lulusannya diharapkan bukan saja memiliki penguasaan materi atau isi Alkitab (profesionalisme) tetapi tuntutan utamanya adalah menampilkan karakter Kristianinya (spiritualitas) sebagai hasil dari pengenalannya akan Tuhan dan firman-Nya.

Seorang hamba Tuhan yang dituntut oleh firman Tuhan adalah seorang tampil sebagai teladan iman dan juga teladan moral,”Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” (Ibr.13:7). Selanjutnya juga dikatakan oleh rasul Paulus bahwa seorang Pemimpin Umat perlu memenuhi kualifikasi seperti diuraikan di dalam 1 Tim.3:1-7 dan Titus 1:5-16 mengenai persyaratan seorang penilik/penatua jemaat yang meliputi kehidupan pribadi, keluarga, moral (bereputasi baik) serta memiliki kualifikasi spiritual yang tinggi. Spiritualitas yang sehat tentu akan menghasilkan buah kehidupan moral – etika yang baik pula dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga, gereja, kampus, keluarga dan di mana pun. Singkatnya, kehidupan spiritualitas seseorang menentukan mutu moralitasnya.

Pembinaan spiritual peserta didik di Sekolah Teologi harus nampak di dalam penyusunan kurikulum (contoh: di STT Tawangmangu, pembinaan spiritualitas – karakter mencapai sekitar 40% dari keseluruhan kurikulum). Pembinaan spiritualitas peserta didik tidak bisa diserahkan hanya kepada sivitas akademika belaka, melainkan segenap komponen di dalamnya termasuk semua staff itu sendiri. Sehingga semua program yang ada di kampus (edukatif) maupun kehidupan berasrama (non-edukatif) berdampak pada peningkatan mutu spiritualitas peserta didiknya.

Penutup

Pemerosotan moral – karakter di bangsa Indonesia ini sudah semestinya membuat Gereja maupun Sekolah Teologi sebagai lembaga pendidikan yang hadir di bangsa ini prihatin lalu mengambil sikap konkrit berupaya melakukan pembinaan umat Allah di Gereja maupun pendidikan di Sekolah Teologi.

Membangun kualitas manusia di tengah kemerosotan moral, membutuhkan kesiapan secara khusus adalah para Pendidik. Dan Gereja maupun Sekolah Teologi memiliki peran penting dan strategis menghasilkan kualitas orang-orang percaya.

Dalam menyikapi pemerosotan moral – karakter tersebut, khususnya Sekolah Teologi harus committed pada panggilan Allah yaitu memainkan dalam perannya sebagai “garam dan terang dunia” atau menjadi “saksi Kristus”. Oleh karena itu, hendaknya program peningkatan mutu akademik – penguasaan atau pengetahuan tentang Teologi tidak dibenturkan dengan program pembinaan spiritualitas di Sekolah Teologi. Baik profesionalisme maupun spiritualitas adalah sama-sama penting sehingga keduanya tidak perlu menjadi “pesaing” satu dengan yang lainnya.

(12)

seharusnya menjadi tempat persemaian atau pengembangan karakter Kristus. Kehidupan spiritualitas peserta didik di Sekolah Teologi harus dipenuhi oleh segenap sivitas akademika (edukatif) dan segenap komponen di dalamnya (non-edukatif).

Daftar Pustaka

Benson, Clarence H. Teknik Mengajar. Malang: Gandum Mas,1997

Baker, David L. Roh dan Kerohanian Dalam Jemaat : Tafsiran 1 Korintus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

Cupples, David. Beriman dan Berilmu. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1994.

Hendricks, Howard. Mengajar untuk Mengubah Kehidupan. Yogyakarta: Gloria, 2009

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika I: Doktrin Allah. Jakarta: LRII, 2000

Nainggolan, John M. Menjadi Agama Kristen – Suatu Upaya Peningkatan Mutu dan Kualitas Profesi Keguruan. Bandung: Generasi Info Media, 2007

Ismail, Andar. Selamat Menabur. Jakarta: BPK Gunung Mulia,2007

Sidjabat, B.S. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Kalam Hidup,2000

Sidjabat, B.S. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta : Andi, 1995

Tondowidjojo, Kunci Sukses Pendidik. Yogyakarta: Kanisius,1985

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat pengetahuan ibu hamil berdasarkan definisi kebudayaan, terutama pada pertanyaan tentang kehamilan merupakan proses alamiah sebagai kodratnya sebagai perempuan,

kecenderungan pola asuh orang tua diperoleh Mi = 115 dan Sdi = 23 dengan presentasi tertinggi adalah pada kategori tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Kegiatan belajar mengajar pada pertemuan pertama (siklus 1) guru (peneliti) menggunakan metode kerja kelompok untuk menyampaikan materi perkembang biakan

Satu set soal selidik digunakan sebagai instrumen untuk mengumpulkan data yang mengandungi 40 item soalan berdasarkan empat aspek persoalan kajian iaitu tahap pengetahuan,

Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat Minyak Jarak dari Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).. Skripsi

Saran yang dapat diberikan terkait dengan sistem sanksi dalam hukum Islam adalah: Negara Indonesia seharusnya tidak membatasi keberlakuan hukum Islam di Indonesia