• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Layar Alternatif dalam Memperpanja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Layar Alternatif dalam Memperpanja"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN LAYAR ALTERNATIF DALAM MEMPERPANJANG

UMUR EKSHIBISI FILM PANJANG INDONESIA:

STUDI KASUS FILM

LOVELY MAN

,

MENCARI HILAL

,

NAY,

DAN

SITI

Skripsi

Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Desain (S.Ds)

Nama : Caroline Sugijono NIM : 13120210366

Program Studi : Desain KomunikasVisual Fakultas : Seni & Desain

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA

TANGERANG

(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Caroline Sugijono

NIM : 13120210366

Program Studi : Desain Komunikasi Visual Fakultas : Seni & Desain

Universitas Multimedia Nusantara Judul Skripsi:

PERAN LAYAR ALTERNATIF DALAM MEMPERPANJANG UMUR

EKSHIBISI FILM PANJANG INDONESIA: STUDI KASUS FILM

LOVELY MAN, MENCARI HILAL, NAY, DAN SITI

dengan ini menyatakan bahwa, laporan dan karya Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana, baik di Universitas Multimedia Nusantara maupun di perguruan tinggi lainnya.

Karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan pelaksanan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan nara sumber.

(3)

iii gelar Sarjana Desain (S.Ds.) yang telah diperoleh, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Multimedia Nusantara.

Tangerang, 5 Januari 2017

(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Peran Layar Alternatif Dalam Memperpanjang Umur Ekshibisi Film Panjang Indonesia: Studi Kasus Film Lovely Man, Mencari Hilal, Nay, dan Siti

Oleh

Nama : Caroline Sugijono

NIM : 13120210366

Program Studi : Desain Komunikasi Visual Fakultas : Seni & Desain

Tangerang, 26 Januari 2017

Ketua Program Studi

Yusup Sigit Martyastiadi, S.T., M.Inf.Tech. Penguji

Bernadus Yoseph Setyo Prabowo B.MedA&Prod. M.ScrPr.

Ketua Sidang

Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A. Pembimbing I

Kemal Hasan, S.T., M.Sn.

Pembimbing II

(5)

v

KATA PENGANTAR

Sebelumnya, penulis beranggapan bahwa pencapaian pembuat film yang paling sukses adalah ketika sebuah film dapat ditayangkan di bioskop dan meraih profit dari penjualan tiket bioskop tersebut, kemudian selama menjadi mahasiswa sinematografi di UMN, penulis yang selama tugas perkuliahan maupun di luar perkuliahan terlibat dalam produksi film sebagai produser maupun line producer, ingin mengetahui apakah akan ada potensi pasar lain sebuah film untuk beredar. Film akan selalu menjadi media yang menarik untuk dinikmati dan didiskusikan, demikian pula dengan ruang pemutaran alternatif yang akan selalu menjadi tempat bernaungnya film-film tersebut. Tidak hanya penonton yang dapat disegmentasikan, film juga memiliki segmentasi ekshibisinya masing-masing. Sebenarnya, tidak ada keharusan bagi penonton untuk memilih menjadi penonton film yang ditayangkan pada jaringan bioskop komersial, maupun menjadi penonton film yang ditayangkan pada ruangan pemutaran alternatif, sebab keduanya adalah hasil karya yang dapat diapresiasi dengan cara yang berbeda pula.

(6)

vi hingga Desember, banyak peristiwa yang penulis alami, terutama dalam usaha mendapatkan narasumber untuk keperluan data skripsi ini. Pada akhirnya, penulis hanya ingin layar alternatif dapat dipandang sebagai salah satu aspek yang cukup menjanjikan bagi rantai industri perfilman Indonesia kedepannya.

Penulis sadar masih banyak hal yang perlu dieksplorasi dalam meneliti layar alternatif ini kedepannya, oleh karena itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, penulis mempersembahkan skripsi ini dengan harapan semoga konten yang penulis sampaikan dapat memberikan wawasan yang bermanfaat bagi pembaca. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan segala dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang menuntun penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Yusup Sigit Martyastiadi, S.T., M.Inf.Tech, Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual, dan juga Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A. selaku Ketua Program Studi Fakultas Televisi.

2. Kemal Hasan, S.T., M.Sn., dosen pembimbing akademik penulis sebagai mahasiswa sinematografi yang juga mendampingi penulis selama melakukan observasi pada komunitas film pada acara Temu Komunitas Cinema Poetica.

(7)

vii selama penulisan skripsi ini, dan mengasah penulis menjadi kritis dengan kritik dan saran dari kedua dosen pembimbing.

4. Dra. Setianingsih Purnomo, M.A., dosen mata kuliah Seminar dan dosen penguji Prasidang I yang dengan sabar mempersiapkan penulis dari tahap Prasidang hingga Sidang Akhir, Kus Sudarsono, S.E., M.Sn, sebagai dosen Digital Cinematography 3, koordinator Tugas Akhir yang sudah membimbing dan mendampingi kami semua dalam menjalani skripsi maupun tugas akhir, dan juga sebagai dosen penguji Prasidang II, serta Annita, S.Pd., M.F.A atas panduannya terhadap format penulisan skripsi.

5. Alexander Matius, manajer Kineforum, Jonathan Manullang, juru program dan Pandji Mukadis dari Sinema Rabu, Meiske Taurisia, pengelola Kinosaurus, serta para produser film panjang Indonesia; Djenar Maesa Ayu, Ifa Isfansyah, Salman Aristo, dan Indra Tamarron Musu, narasumber penulis yang bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi wawasan dan pengalamannya mengenai industri perfilman yang memperkaya penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Gayatri Nadya, Ali Satri Efendi, dan Vauriz Bestika Izhar Umar yang sudah memberikan data-data kepada penulis dan mengizinkan penulis menggunakan data-data tempat penelitian tersebut untuk keperluan skripsi.

(8)

viii seperjuangan penulis dalam menjalani rutinitas mahasiswa dengan kegiatan akademik perkuliahan dan organisasi selama penulisan skripsi ini.

8. Segenap kru Abhassara Film, Semasa Film, dan ACK Film yang memberi kesempatan dan pengalaman pada penulis dengan turut berkontribusi dalam produksi film pendek Tugas Akhir dikala penulisan skripsi ini.

9. Skolastika Lupitawina S.Ds., Herson Injaya, S.Ds, dan Edelin Sari Wangsa S.Ds., senior sinematografi yang bersedia berbagi pengalaman akademik kepada penulis, dan memberi penulis rekomendasi sumber pustaka.

10.Finna Amalia dan Muhammad Alif Firza, rekan penulis selama berkelana dari layar alternatif menuju layar alternatif lainnya, serta teman penetralisir kepenatan penulis selama penulisan skripsi; Jonas Awi, Xena Levina, Angelia Leanartha, Sintia Lolita, Arienta Aulia Karina, Fransisca Theodora, Jessica Nevina, Evie Khusnul Khotimah, dan Adithia Dandi.

(9)

ix Tangerang, 5 Januari 2017

(10)

x

ABSTRAKSI

Industri perfilman dapat terus berjalan dengan adanya supply chain management, terdiri dari produksi, distribusi, dan ekshibisi yang merupakan tanggung jawab seorang produser dalam pelaksanaannya. Saat ini, jaringan bioskop komersial adalah salah satu jalur ekshibisi dari sebuah film panjang yang umumnya dikenal oleh masyarakat sehingga dapat diapresiasi oleh banyak penonton dan menghasilkan keuntungan baik bagi pihak pembuat film maupun ekshibitor. Namun, seringkali durasi penayangan film panjang Indonesia di bioskop jaringan komersial lebih pendek dibandingkan film impor lainnya, karena bergantung terhadap minat penonton. Hal ini mengakibatkan eksistensi film panjang Indonesia dapat tidak disadari dan kurang diketahui oleh penonton pada waktu yang berkepanjangan.

Kehadiran layar alternatif menjadi sebuah jalur baru yang dapat memperpanjang umur ekshibisi film di hadapan penonton di luar jaringan bioskop komersial. Ekshibisi pada layar alternatif dapat terjalin dengan adanya kerjasama antara ekshibitor yang mengatur program pemutaran dengan produser atau distributor yang menyuplai filmnya. Dalam pemutaran film di layar alternatif juga biasanya terdapat tarif tiket sebagai bentuk apresiasi yang biasa disebut dengan “donasi” ataupun “harga tiket masuk” dan diberlakukannya sistem profit sharing antara pihak ekshibitor, produser/distributor, dan pemilik tempat pemutaran film.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bahwa keberadaan layar alternatif di Jakarta tidak hanya sebagai bentuk apresiasi kepada para pembuat film melalui pertunjukan untuk penonton, melainkan juga memiliki potensi untuk menjadi kegiatan perfilman yang memiliki nilai jual.

(11)

xi

ABSTRACT

Existence of film industry is supported by supply chain management handled by a film producer, which includes production, distribution, and exhibition. Nowadays, commercial cinema theater is one way of exhibition that is well-known by worldwide society. Feature-length films can be widely appreciated and they are

usually rewarding for both the filmmaker and the exhibitor. However, it is often

that in Indonesia, most commercial cinema theaters only exhibit Indonesian

feature-length films for a shorter limited time compared to other imported films

to accomodate audiences’ preferences. This practice leads to Indonesian

feature-length films being unnoticed and unrecognized by most movie-goers.

The birth of alternative screening brings a new way to elongate a film’s screening time outside of commercial cinema theater. Exhibiting a film on an alternative screening can be arranged by a colaboration between the exhibitor who schedules the program and the film producer or distributor who supplies the films. Alternative screening usually charges admission fee to appreciate the exhibited

film in the form of “donation” or “ticket”. They use profit sharing system to share

the earnings with the exhibitor, film producer/distributor, and the owner of the exhibition place.

This research aims to analyze the fact that alternative screening is not only a form of appreciation upon filmmakers by showing their films to the audience, but it also has the potential to be a profitable film activity as well.

(12)

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ... II

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... IV

KATA PENGANTAR ... V

ABSTRAKSI ... X

ABSTRACT ... XI

DAFTAR ISI ... XII

DAFTAR GAMBAR ... XV

DAFTAR TABEL ...XVI

DAFTAR LAMPIRAN ... XVII

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Batasan Masalah ... 5

1.4.Tujuan Tugas Akhir ... 5

1.5.Manfaat Skripsi ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1.Ekosistem Perfilman ... 7

2.2.Definisi Supply Chain Management Perfilman ... 8

2.3.Peta Industri Perfilman ... 9

2.3.1. Model Bisnis di Industri Perfilman ... 10

2.3.2. Ruang Lingkup Industri Perfilman ... 11

(13)

xiii

2.4.1. Bioskop Komersial ... 13

2.4.2. Layar Alternatif ... 15

2.4.2.1 Layar Tancap ... 16

2.4.2.2 Festival Film ... 16

2.4.2.3 Art Cinema ... 17

2.4.3. Ekshibisi dalam Tinjauan Bisnis ... 18

2.5.Penonton Film ... 24

2.6.Film Programming ... 27

BAB III METODOLOGI ... 29

3.1.Gambaran Umum Penelitian ... 29

3.2.Tahapan Kerja Penelitian ... 30

3.3.Subjek Penelitian ... 35

3.3.1. Tentang Kineforum ... 36

3.3.2. Tentang Sinema Rabu... 36

3.3.3. Tentang Kinosaurus ... 36

3.3.4. Produser Film ... 37

BAB IV ANALISIS ... 38

4.1.Kegiatan Ekshibisi Layar Alternatif... 38

4.1.1. Programasi Film Layar Alternatif ... 38

4.1.2. Pemutaran Film dalam Ruang Gelap ... 40

4.2.Model Bisnis Ekshibitor ... 42

4.2.1. Key Activities ... 47

(14)

xiv

4.2.3. Key Resources ... 48

4.2.4. Value Propositions ... 49

4.2.4.1. Value Propositions dengan Customer Segments ... 50

4.2.4.2. Value Propositions dengan Revenue Streams ... 51

4.2.5. Channels & Customer Relationships ... 52

4.2.6. Customer Segments ... 57

4.2.7. Revenue Streams ... 57

4.2.8. Cost Structure ... 58

4.3.Memperpanjang Umur Ekshibisi Film Panjang Indonesia ... 59

4.3.1. Penonton Film Layar Alternatif ... 61

4.3.2. Film Siti ... 63

4.3.3. Film Mencari Hilal ... 65

4.3.4. Film Nay ... 67

4.3.5. Film Lovely Man ... 69

BAB V PENUTUP ... 72

5.1.Kesimpulan ... 72

5.2.Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ...XIX

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sembilan Blok Bangunan ... 20

Gambar 4.1. Kalender Program Kineforum ... 39

Gambar 4.2. Ruangan Pemutaran Sinema Rabu ... 41

Gambar 4.3. Ruangan Pemutaran Kineforum ... 42

Gambar 4.4. Ruangan Pemutaran Kinosaurus ... 42

Gambar 4.5. Model Bisnis Kineforum ... 44

Gambar 4.6. Gambar Model Bisnis Sinema Rabu ... 45

Gambar 4.7. Model Bisnis Kinosaurus ... 46

Gambar 4.8. Rekap Data Penonton Sinema Rabu ... 51

Gambar 4.9. Newsletter Kinosaurus... 52

Gambar 4.10. Newsletter Sinema Rabu ... 53

Gambar 4.11. Infodesk Sinema Rabu ... 53

Gambar 4.12. Kinopass Kinosaurus ... 54

Gambar 4.13. Infodesk Kineforum ... 54

Gambar 4.14. Denah Menuju Kineforum ... 55

Gambar 4.15. Tiket Pemutaran Film Layar Alternatif ... 55

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Model Bisnis Bioskop ... 15

Tabel 2.2. Mekanisme Penetapan Harga ... 23

Tabel 2.3. Ciri-ciri Pelanggan Bioskop ... 25

Tabel 2.4. Ciri-Ciri Penggemar Film ... 26

Tabel 2.5. Indikator Aspek dalam Film Programming ... 29

Tabel 3.2. Tabel Peredaran Film Panjang Responden ... 37

Tabel 4.1. Jadwal Pemutaran Film ... 40

Tabel 4.2. Jadwal Pemutaran Film ... 60

Tabel 4.3. Jumlah Penonton Pemutaran Layar Alternatif ... 62

Tabel 4.4. Rekap Data Pemasukan Pemutaran Film Siti di Layar Alternatif ... 63

Tabel 4.5. Peredaran Film Siti di Layar Alternatif Lainnya ... 64

Tabel 4.6. Rekap Data Pemasukan Film Mencari Hilal di Layar Alternatif ... 65

Tabel 4.7. Peredaran Film Mencari Hilal di Layar Alternatif Lainnya ... 66

Tabel 4.8. Rekap Data Pemasukan Film Nay di Layar Alternatif ... 67

Tabel 4.9. Peredaran Film Nay di Layar Alternatif Lainnya ... 68

Tabel 4.10. Rekap Data Pemasukan Film Lovely Man di Layar Alternatif ... 69

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A: TRANSKRIP WAWANCARA ALEXANDER MATIUS

(KINEFORUM) ... xix

LAMPIRAN B: TRANSKRIP WAWANCARA JONATHAN MANULLANG

(SINEMA RABU) ... xxxv

LAMPIRAN C: TRANSKRIP WAWANCARA MEISKE TAURISIA

(KINOSAURUS) ... lvi

LAMPIRAN D: TRANSKRIP WAWANCARA IFA ISFANSYAH

PRODUSER FILM SITI ... lxxvi

LAMPIRAN E: TRANSKRIP WAWANCARA DJENAR MAESA AYU

PRODUSER FILM NAY ... lxxviii LAMPIRAN F: TRANSKRIP WAWANCARA SALMAN ARISTO

PRODUSER MENCARI HILAL ... lxxxi LAMPIRAN G: TRANSKRIP WAWANCARA INDRA TAMORRON

MUSU PRODUSER LOVELY MAN ... lxxxiv LAMPIRAN H: DAFTAR FILM PANJANG YANG DIPUTARKAN DI

KINEFORUM 2014-2016 ... lxxxvii

LAMPIRAN I: DAFTAR FILM PANJANG YANG DIPUTARKAN DI

SINEMA RABU 2015-2016 ... xc

LAMPIRAN J: DAFTAR FILM PANJANG YANG DIPUTARKAN DI

KINOSAURUS 2015-2016 ... xcii

(18)

xviii

LAMPIRAN M: PUBLIKASI PEMUTARAN FILM MENCARI HILAL xcviii LAMPIIRAN N: PUBLIKASI PEMUTARAN FILM LOVELY MAN ... xcix LAMPIRAN O: DATA PENONTON KINEFORUM PADA PEMUTARAN

FILM MENCARI HILAL, NAY, SITI, DAN LOVELY MAN ... ci LAMPIRAN P: DATA PENONTON SINEMA RABU PADA PEMUTARAN

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

(20)

2 Gambar 1.1. Perbandingan Jumlah Penonton Blitz Megaplex

(https://twitter.com/eksb_pifilm/status/550858576609034240,2015)

Gambar 1.2. Perbandingan Jumlah Penonton Cinema XXI

(https://twitter.com/eksb_pifilm/status/550858831589158912,2015)

(21)

3 film impor. Hal ini menjadi salah satu penyebab usia film nasional di jaringan bioskop komersial menjadi pendek.

Layar alternatif menjadi sebuah jalur lain yang dapat mempertahankan eksistensi perfilman Indonesia dengan memperpanjang umur penayangan pada penonton meskipun sudah release dari beberapa tahun sebelumnya. Berbeda dengan jaringan bioskop komersial, yang memperhitungkan nilai ekonomis dari setiap film yang diputar berdasarkan tiket yang terjual, sehingga durasi ekshibisi bergantung pada jumlah minat penonton. Keberadaan layar alternatif tidak terletak di tempat yang umum dikunjungi oleh orang-orang. Pada umumnya, penonton yang datang ke layar alternatif memang hanya memiliki tujuan untuk menonton film yang akan diputarkan oleh ekshibitor, dan turut berpartisipasi dalam diskusi film yang biasanya diadakan setelah pemutaran film sebagai bentuk apresiasi baik berbayar maupun tidak.

Keberadaan layar alternatif tidak hanya sebagai bentuk apresiasi kepada para pembuat film melalui pertunjukan untuk penonton, melainkan juga memiliki potensi untuk menjadi kegiatan perfilman yang memiliki nilai jual. Pradsmadji (2015) menjelaskan pengembangan dua jenis pemutaran di layar alternatif baik yang berbayar maupun tidak, penting untuk dikembangkan bagi sineas yang mengharapkan timbal balik finansial maupun non finansial. Pemutaran di layar alternatif dipungut biaya yang harganya hampir setara dengan harga tiket film di jaringan bioskop komersial pada umumnya di Jakarta.

(22)

4 yang kondusif. Bagi penonton, layar alternatif dapat menjadi sarana hiburan baru yang menyajikan pengalaman menonton film dan menimbulkan kesan bahwa kesempatan untuk menonton film tersebut adalah pada saat diadakan kegiatan pemutaran film di tempat-tempat layar alternatif ini.

Menurut Ayawaila et al. (2013) “Jakarta merupakan barometer bagi perkembangan industri perfilman di Indonesia” (hlm. 5). Kawasan Jakarta saat ini tersedia cukup banyak tempat sebagai layar alternatif yang memiliki program pemutaran film secara rutin, setidaknya satu minggu sekali. Seperti Kineforum yang didirikan Dewan Kesenian Jakarta, menurut Setianingsih (2016), Kineforum hadir untuk memutarkan film yang hanya tayang sementara di bioskop, dan film populer di Indonesia yang sudah sulit untuk didapatkan kembali karena masa peredarannya yang sudah lama. Dalam penulisan skripsi ini, penulis memilih tempat Kineforum, Kinosaurus dan Sinema Rabu yang terletak di Jakarta untuk diteliti karena selain memiliki program pemutaran yang rutin, pemutaran tersebut menetapkan donasi maupun harga tiket masuk serta pernah memutarkan film panjang Indonesia. Kineforum sendiri sudah berdiri cukup lama dibandingkan dengan Sinema Rabu dan Kinosaurus yang tergolong baru karena usianya belum mencapai dua tahun.

(23)

5 penulis untuk melakukan penelitian mengenai peran layar alternatif sebagai sarana untuk memperpanjang umur ekshibisi film.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana peran layar alternatif dalam memperpanjang umur ekshibisi film panjang Indonesia?

1.3. Batasan Masalah

Pembahasan skripsi ini akan dibatasi pada tiga tempat layar alternatif di Jakarta yang memiliki program rutin dan berbayar, dan menayangkan film panjang di Indonesia yang sebelumnya pernah diputar di jaringan bioskop komersial.

1.4. Tujuan Tugas Akhir

Penelitian ini bertujuan agar penulis dapat melakukan analisa bahwa keberadaan layar alternatif tidak hanya sebagai bentuk apresiasi kepada para pembuat film melalui pertunjukan untuk penonton melainkan juga memiliki potensi untuk menjadi kegiatan perfilman yang memiliki nilai jual.

1.5. Manfaat Skripsi

Bagi penulis, skripsi ini akan memperkaya wawasan penulis dalam menganalisa kaitan antara kegiatan perfilman dengan business model.

(24)
(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perfilman

Menurut Hutabarat et al. (2015) ekosistem perfilman adalah rantai aktivitas industri film yang mendukung keberlangsungan industri film. Terdapat empat komponen utama dalam ekosistem perfilman, yaitu:

1. Rantai Nilai Kreatif ( Creative Value Chain)

Meliputi kegiatan produksi, distribusi, dan ekshibisi. Ekshibisi memiliki tugas untuk (hlm. 34):

1. Memutarkan film kepada penonton sesuai dengan moda pertunjukan yang mereka geluti.

2. Melakukan manajemen pertunjukan film. 3. Melakukan promosi layanan ekshibisi.

Sedangkan proses ekshibisi film berlangsung lewat beberapa moda:

1. Bioskop: tempat pemutaran film untuk khalayak umum yang bisa diakses dengan cara membeli tiket.

2. Pertunjukan khusus: kegiatan pertunjukan film di tempat tertentu yang ditujukan untuk khalayak tertentu, contohnya festival film. 3. Layar keliling: kegiatan pertunjukan film dengan cara memutarkan

(26)

8 4. Pemutaran di televisi: pemutaran yang digelar oleh stasiun-stasiun

televisi beberapa saat setelah sebuah film turun layar di bioskop.

5. Home video: moda pemutaran film yang menggunakan keping

VHS/VCD/DVD/Blue Ray.

6. Jaringan internet: pemutaran film secara online baik yang bersifat gratis maupun berbayar.

7. Kanal lainnya: maskapai penerbangan, bus/travel, kereta api, hotel, dan lain-lain.

2. Lingkungan Pengembangan (Nurturance Environment), meliputi apresiasi film dan pendidikan film (hlm. 38-39).

3. Pasar (market), meliputi pasar dan pembeli. Pasar dalam industri film berarti adalah penonton. Baik produksi, distribusi, dan ekshibisi memiliki pasarnya tersendiri. Dalam produksi, pasarnya adalah penyediaan jasa teknis dan lokasi pengambilan gambar, dalam distribusi, partner-partner penyedia jasa internet distribusi melalui internet. Dalam ekshibisi, bioskop menjadi sasaran pasar bagi penonton (hlm. 36).

4. Pengarsipan (archiving), berguna sebagai bahan studi dan investasi budaya jangka panjang terhadap perkembangan periode perfilman Indonesia. Di Indonesia, pengarsipan film terdapat di Sinematek Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Nasional (hlm.40-42).

2.2. Definisi Supply Chain Management Perfilman

(27)

9 secara vertikal dan diupayakan oleh perusahaan film untuk memperkuat posisi dan memperbesar keuntungan mereka. Pada film-film Hollywood, film mencapai pemasarannya melalui tangan production company, distributor, kemudian ekshibitor, oleh karena itu, untuk film non Hollywood yang tidak memiliki sistem integrasi vertikal, melainkan terbentuk ke dalam satu sektor industri (15-16). Sasono et al. (2011) menambahkan, supply chain adalah kegiatan dua atau lebih perusahaan yang saling berhubungan dalam membentuk siklus yang saling berkaitan antara konsumsi dan produksi dengan mengolah bahan baku menjadi siap jadi (hlm.10).

2.3. Peta Industri Perfilman

1. Industri Inti atau Core Industry, baik elemen produksi, distribusi, dan

ekshibisi beroperasi dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Produser film menggunakan modal dalam membuat film untuk mendapatkan keuntungan. Distributor membeli hak edar agar dapat dijual ke bioskop-bioskop untuk mendapatkan keuntungan. Ekshibitor membeli hak tayang film untuk mendapatkan penonton yang membeli tiket dan memperoleh keuntungan. Namun tidak semua elemen ini bersifat komersial, terdapat golongan art

house cinema yang tidak memprioritaskan keuntungan finansial (hlm. 43).

(28)

10 produksi sebagai konsumsi kru, namun apabila tidak bersinggungan dengan industri film, sebuah industri kuliner tetap dapat berjalan karena konsumennya akan selalu ada (hlm. 43).

3. Industri Turunan atau Derivative Industry, adalah industri yang dihasilkan dari aktivitas industri inti sesudah film tersebut rilis, contohnya: industri pertunjukan dan merchandise (hlm. 45).

2.3.1. Model Bisnis di Industri Perfilman

1. Model bisnis di tataran produksi, dimana produser menjual hak penggunaan film mereka kepada distributor. Namun karena ketiadaan distributor di Indonesia, produser harus mengurus langsung pemutaran film mereka dengan ekshibitor, pada umumnya adalah bioskop Dalam gaya bisnis hal ini disebut dengan cuting out the middleman (hlm. 47). 2. Model bisnis di tataran distribusi, selain menjual hak tayang film ke

berbagai penyedia jasa ekshibisi, distributor juga dapat memodifiasi konten sebuah film, model bisnis ini bernama value added reseller (hlm. 47-48).

3. Model bisnis di tataran ekshibisi yang paling dikenal adalah bioskop. Bioskop memakai empat model ekshibisi yang dominan.

(29)

11

2. Monopoly by practice, monopoli pasar yang timbul karena

kurangnya kompetitor di pusat ekshibisi.

3. Penawaran fasilitas premium yang menawarkan fitur-fitur istimewa kepada pelanggan seperti diskon, menonton film dalam ruangan glamor dan reservasi online.

4. Model subscription, dimana ekshibitor memberikan fasilitas

berlangganan kepada penonton melalui mekanisme keanggotaan ataupun komunitas partner, hal ini dapat menumbuhkan loyalitas pelanggan terhadap produk yang ditawarkan oleh bioskop (hlm 47-48).

2.3.2. Ruang Lingkup Industri Perfilman

Merupakan bagian-bagian yang terdapat pada industri inti dalam ekosistem perfilman, terdiri atas (hlm. 45-46):

1. Pembuatan film 2. Jasa teknik film

3. Studio rekaman (kaset, VCD, DVD) 4. Pembuatan promosi film

5. Distribusi film

(30)

12 2.4. Ekshibisi

Menurut Rea dan Irving (2010) ekshibisi adalah kesempatan bagi pembuat film untuk mengadakan pemutaran karyanya di hadapan penonton, ekshibisi film merupakan komponen yang vital karena berhubungan dengan jumlah penonton dan berpengaruh pada keberlanjutan film berikutnya, karena itu memerlukan perencanaan distribusi dan pemasaran yang matang. Dalam sebuah ekshibisi, penonton yang membayar adalah bentuk apresiasi dalam bentuk finansial dan secara tidak langsung mendukung pendanaan pembuat film untuk membuat proyek baru. Penonton yang menonton sebuah film di ruang pemutaran memiliki persepsi dan pengalaman yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun jika ditayangkan di hadapan umum, efek suasana emosional yang dirasakan bisa menular, contohnya ketika menonton genre komedi sebagian besar penonton bisa tertawa (hlm. 319-320).

Rea dan Irving juga menambahkan, tempat pemutaran film dapat dikategorikan sebagai berikut (hlm. 320):

1. Festival film nasional dan internasional. 2. Gedung pertunjukan.

3. Lembaga kebudayaan.

(31)

13 2.4.1. Bioskop Komersial

Desser, Falkowska, dan Giukin (2015) menyatakan bahwa Group 21 dikenal sebagai bioskop pertama yang didirikan oleh Sudwikatmono pada tahun 1985 dan berpusat di Jakarta. Bioskop ini pernah menayangkan film “Daun di Atas Bantal” pada tahun 1998 yang disutradarai Garin Nugroho selama beberapa minggu dan membuktikan bahwa film nasional dapat sejajar dengan penayangan film Hollywood. Sebelumnya, film Amerika dan Cina dianggap mendominasi di bioskop nasional (hlm. 181). Ayawaila et al. (2013) juga menambahkan bahwa “syarat untuk memutar film di bioskop jaringan 21 yaitu bernilai komersil bagi

masyarakat meskipun bukan produksi film Hollywood, sedangkan dari segi kualitas film harus bisa diformat dalam film 35mm sesuai dengan proyektor 21” (hlm. 122).

(32)

14 secara massal, sedangkan bioskop dinikmati secara personal oleh individu. Karena eksistensi bioskop bergantung pada minat masyarakat sebagai penonton yang mengarah ke modernitas, hendaknya bioskop juga mengikuti perkembangan ke arah yang modern sehingga tetap menarik di mata pengunjung (hlm. 141-146), hal ini diperkuat dengan tanggapan Prakosa (2008) yang menyatakan bahwa film yang dapat dinikmati bergantung pada seperangkat persiapan yang menunjang penonton untuk menikmati film, seperti ruangan yang gelap total. Karena menonton film berbeda dengan menonton televisi yang bisa ditonton dengan sikap yang santai, penonton diharapkan ikut larut dalam suasana film tersebut hingga akhirnya lampu dinyalakan dan penonton menyadari bahwa pemutaran film sudah selesai (hlm. 14-15). Kristanto (1992) juga menambahkan, layar bioskop yang bertambah yang menampung film nasional akan berdampak juga pada peningkatan jumlah produksi film nasional, karena hal ini membuktikan bahwa film nasional memiliki peminatnya (hlm. 171).

(33)

15

15 Tabel 2.1. Perbedaan Model Bisnis Bioskop

(Menjegal Film Indonesia/Sasono et al. 2011)

Karakter Bioskop lama Sinepleks 21

Model bisnis Usaha keluarga Bagian dari konglomerasi

Kepemililkan properti Sendiri Menyewa di pusat

perbelanjaan

Permodalan Kecil ke menengah Besar

Pengembangan usaha Stagnan Ekspansif dengan dukungan

dana besar untuk akuisisi

Pelayanan Tak ada standar pelayanan Standar pelayanan serupa di

berbagai cabang

2.4.2. Ekshibisi Alternatif

Sasono et al. (2011) menggolongkan bentuk ekshibisi ini dengan sebutan art

house atau jaringan bioskop dengan minat khusus karena memutarkan film-film

(34)

16 2.4.2.1 Layar Tancap

Menurut Heeren (2012) pada tahun 1998 setelah reformasi, mulai muncul organisasi yang dipimpin dengan orang-orang baru. Salah satunya Hifki yang memelopori sinema keliling yang disebut dengan layar tancap. Layar tancap merupakan pertunjukan film yang sifatnya tidak ditayangkan dengan tempat yang menetap seperti di bioskop namun dengan layar yang ditancapkan di ruang publik. Biasanya layar tancap ini beredar di acara-acara yang sedang diadakan oleh pengunjung dengan jumlah cukup banyak sehingga semakin meriah, dan menayangkan film lokal. Layar tancap ini memegang peran cukup penting dalam sistem distribusi dan ekshibisi perfilman Indonesia karena selain dapat meraih lebih banyak penonton, penonton yang tidak memiliki uang ke bioskop memiliki kesempatan dan pengalaman untuk menonton film (hlm. 33-34).

2.4.2.2 Festival Film

(35)

17 pembuat film dari berbagai daerah bisa berkumpul dan berbagi pengalaman mengenai perfilman Indonesia dari berbagai sudut pandang. Biasanya dalam festival tersebut tidak hanya terdiri dari permutaran film namun juga terdapat lokakarya, temu komunitas, kompetisi, diskusi, apresiasi film untuk pelajar dan sesi konsultasi dengan pembuat film professional (hlm. 185-186).

2.4.2.3 Art Cinema

Dalam penulisan Kupovykh (2009), dideskripsikan bahwa Artkino adalah

art house cinema yang terdapat di Rusia sejak tahun 2007, yang tidak

memiliki pendonor yang besar, namun klub ini bisa bertahan karena ruang pemutaran tersebut digunakan sebagai tempat serbaguna, sehingga penontonnya juga bisa menjadi lebih beragam. Pada penelitian yang dilakukan Kupovykh, mayoritas pengunjung artcinema tersebut biasanya pelajar orang berusia sekitar 20 tahun, atau yang sudah bekerja di bidang media dan komunikasi, periklanan, dan freelancer menengah ke atas. Faktor terbesar penonton tertarik untuk berkunjung ke Artkino adalah variasi program training dan edukasi produksi film yang ditawarkan yang ditawarkan oleh Artkino itu sendiri, hal ini jugalah yang menjadi sumber utama pemasukan Artkino (hlm. 4-5).

Sedangkan di Kota Jakarta, menurut Prakosa (2006) pada

(36)

18 Tujuannya adalah untuk memutarkan film-film alternatif yang sebelumnya tidak pernah beredar di jaringan bioskop komersial dan lebih sering memutarkan film-film Hollywood dibandingkan film lokal. Kehadiran art

cinema ini memenuhi kebutuhan penikmat film akan tersedianya

keberagaman film serta memberikan keuntungan dan apresiasi kepada pembuat maupun pengedar film tersebut. Ruang pemutaran ini awalnya dikelola secara profesional oleh DKJ yang kemudian dalam pelaksanaannya diserahkan kepada mahasiswa film Institut Kesenian Jakarta (hlm. 203-204).

2.4.3. Ekshibisi dalam Tinjauan Bisnis

(37)

19 1. Memudahkan para perencana dan pengambil keputusan di perusahaan melihat hubungan logis antara komponen-komponen dalam bisnisnya, sehingga baik konsumen dan perusahaan sama-sama menghasilkan nilai dan sesuai dengan target pasar.

2. Membantu menguji konsistensi hubungan antar komponennya, artinya penetapan harga berhubungan pada kualitas nilai yang disajikan, ada hal yang melandasi relasi dari keterkaitan komponen tersebut.

3. Membantu menguji pasar dan asumsi yang digunakan, artinya bisnis tersebut dikembangkan mengikuti kemajuan jaman dan efisiensi sumber daya.

4. Menunjukkan seberapa radikal suatu perubahan dilakukan dengan konsekuensinya, artinya perusahaan tetap dapat meninjau dampak komponen apabila konsep berjalannya bisnis mengalami perubahan (hlm. 19-20).

(38)

20 Gambar 2.1. Sembilan Blok Bangunan

(Business Model Generation : Pedoman bagi para Visioner, Penggerak Perubahan, dan

Pendobrak /Alexander Osterwalder da Yves Pigneur , 2012).

1. Segmen pelanggan (customer segments)

Pelanggan berpengaruh besar terhadap stabilitas perusahaan. Perusahaan perlu membuat prioritas pelanggan yang dilayani dan tidak sebagai segmentasi, sehingga model bisnis dapat dibangun berdasarkan kebutuhan spesifik pelanggan. Kelompok pelanggan mewakili beberapa segmen terpisah jika :

1. Kebutuhan pelanggan yang diperlukan berbeda

2. Pelanggan diperoleh melalui Saluran Distribusi yang berbeda

3. Pelanggan memerlukan jenis hubungan yang berbeda

(39)

21 5. Pelanggan bersedia membayar untuk aspek-aspek penawaran yang

berbeda.

2. Proposisi nilai (value propotitions)

Dalam proposisi nilai, perusahaan harus memiliki nilai-nilai yang bisa ditawarkan terhadap pelanggan dan memiliki manfaat. Proposisi nilai terdiri dari produk dan layanan baik secara kuantitatif (harga dan kecepatan layanan) maupun kualitatif dari segi kepuasan pelanggan. Nilai yang dimiliki membantu pelanggan sebagai pilihan untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Saluran (Channels)

Blok bangunan saluran merupakan cara perusahaan menyalurkan nilainya agar pelanggan dapat mengetahui nilai yang ditawarkan sebuah perusahaan dan memungkinkan pelanggan untuk membelinya. Saluran ini terbagi kembali menjadi lima fase yaitu:

1. Kesadaran 2. Evaluasi

3. Pembelian, yaitu cara pelanggan dapat membeli produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan

(40)

22

22 4. Hubungan pelanggan (customer relationships)

Dalam hubungan pelanggan, perusahaan dapat menentukan relasi yang ingin dijalin dengan pelanggan, hubungan ini akan berpengaruh pada interpretasi pelanggan terhadap sebuah bisnis yang sedang berlangsung.

5. Arus pendapatan (revenue streams)

(41)

23

23 Tabel 2.2. Mekanisme Penetapan Harga

(Business Model Generation : Pedoman bagi para Visioner, Penggerak Perubahan, dan

Pendobrak / Alexander Osterwalder da Yves Pigneur, 2012)

Penetapan harga tetap Penetapan harga dinamis Daftar harga Harga tetap untuk

(42)

24 7. Aktivitas kunci (key activities), keberlangsungan bisnis bergantung pada faktor yang beragam. Setiap perusahaan harus dapat menentukan sendiri faktor utama yang ingin dikembangkan agar dapat terus berproduksi. Aktivitas kunci dapat dikategorikan ke delam bentuk produksi yang biasanya digunakan oleh perusahaan pabrik, pemecahan masalah oleh konsultan, dan jaringan yang menggunakan software.

8. Kemitraan utama, membangun relasi dapat meminimalisir resiko ketidakpastian lingkungan yang kompetitif dan mengetahui kondisi persaingan. Perusahaan memerlukan perusahaan lain sebagai sarana untuk menambah kelengkapan sumber dayanya dalam memenuhi kebutuhan konsumen.

9. Struktur biaya, struktur biaya merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan nilai-nilai perusahaan. Struktur biaya model bisnis dibedakan pada dua kelas, yaitu yang terpacu-biaya dan terpacu-nilai. Terpacu-biaya artinya meminimalisir pengeluaran dengan biaya yang rendah. Sedangkan terpacu-nilai cenderung mengutamakan ekslusifitas dan mengedepankan pelayanan bintang lima (hlm. 16-41).

2.5. Penonton Film

(43)

25

25 1. Pelanggan bioskop

Adalah penonton yang digolongkan berdasarkan kemampuan finansialnya, yaitu:

Tabel 2.3. Ciri-ciri Pelanggan Bioskop

(Layar Perak 90 tahun bioskop di Indonesia /Haris Jauhari (ed.),1992)

Kelas I Golongan A 1. Mau membayar mahal

2. Jumlahnya cukup banyak 3. Frekuensi menontonnya

tinggi

Kelas II Golongan B 1. Tidak masalah untuk tidak menonton secara premiere,

(44)

26

26 2. Penggemar film

Tabel 2.4. Ciri-Ciri Penggemar Film

(Layar Perak 90 tahun bioskop di Indonesia /Haris Jauhari (ed.),1992)

Kelompok pertama Kelompok kedua Kelompok ketiga

Sedangkan dalam penelitian Herlina (2014) pada bioskop Empire XXI Yogyakarta, penonton terbagi ke dalam dua golongan. yang pertama adalah

movie goers, merupakan jenis penonton yang menonton film sebagai aktivitas

untuk mengisi waktu luang. Refrensi dari kerabat akan menjadi pertimbangan

movie goers dalam memilih film yang akan ditonton Kedua adalah film lovers,

(45)

27

movie goers hampir dua kali lipat (64,31%) lebih mendominasi jumlahnya

dibandingkan film lovers (35,68%). 2.6. F ilm Programming

Menurut Bosma (2015), aktivitas utama dari ekshibisi film adalah programasi film atau kurasi film. Oleh karena itu dalam setiap pemutaran film harus menawarkan variasi pasokan film yang berbeda (hlm. 1). Dalam programasi film, seorang kurator memiliki tanggung jawab untuk membuat komposisi program yang menarik sehingga audiensnya banyak. Terdapat perbedaan antara kurator

dan programmer film, kurator dalam ekshibisi film menyusun program film untuk

pemutaran publik, sedangkan progammer film dalam industri film internasional memfokuskan pada penjadwalan pemutaran film. Film-film yang new release biasanya menjadi komoditas bisnis yang esensial di industri film terutama di bioskop. (hlm. 52).Strategi dalam meningkatkan pamor dari acara pemutaran film adalah memanfaatkan word of mouth. Seorang kurator film dapat menggunakan

trailer film sebagai materi promosi, poster, iklan, dan promo diskon, maupun

mengorganisir tambahan seperti sesi tanya jawab dengan pembuat film itu sendiri,

talkshow, maupun workshop. Kurator juga perlu menyajikan jenis pemutaran film

yang bervariasi. (hlm. 53).

Bosma menambahkan, dalam menyusun indikator dalam meninjau kembali programasi film, yang terbagi ke dalam indikator evaluatif (Key

(46)

28 evaluatif mengacu pada apakah sebuah kegiatan pemutaran film tersebut berhasil atau tidak. Sedangkan indikator kualitatif mengacu pada aspek-aspek yang menjadi tolak ukur kegiatan pemutaran film ini dapat dibuat (hlm.52).

Tabel 2.5. Indikator Aspek dalam Film Programming

(Film Programming /Peter Bosma, 2015)

Indikator Aspek Evaluatif Indikator Aspek Kualitatif Memperoleh box office tertinggi Popularitas: bahwa suplai film dan

permintaan audiens merupakan tolak ukur prioritas utama.

Program film bisa diwujudkan Keterlibatan sosial: taktik untuk mengikut-sertakan seseorang dalam pemutaran film.

Keragaman audiens: mengacu pada semgmentasi dan selera audiens yang berbeda.

Keunikan: film langka, film yang jarang terlihat.

(47)

29

29

BAB III

METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang mengacu pada pengelolaan ekshibisi pada layar alternatif melalui deskripsi yang menggunakan teori business model, dan film programming. Penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga Desember 2016. Proses pengumpulan data wawancara dilakukan di Kineforum, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat pada tanggal 29 Juli dan Paviliun 28, yang berlokasi di Jalan Petogogan No.25, 11, Kebayoran. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2016, dan juga di kantor narasumber. Penulis juga menggunakan website Kineforum dan Kinosaurus untuk menggali informasi yang lebih dalam sebelum melakukan proses wawancara. Selain ekshibitor, penulis juga akan melakukan wawancara terhadap produser yang filmnya pernah ditayangkan di bioskop komersial, kemudian umurnya diperpanjang melalui layar alternatif, wawancara dilaksanakan pada bulan Desember 2016, pada pelaksanaan JAFF dan via telepon.

(48)

30 adalah teknik untuk bertanya lebih lanjut mengenai penjelasan dari responden. Dalam melakukan wawancara terstrukstur, pewawancara perlu menentukan mana jawaban yang perlu digali lebih lanjut dan mana yang tidak (hlm.171-172). Penulis juga melakukan teknik triangulasi dengan sumber wawancara, observasi, dokumen teori business model dan teori ekshibisi dengan teknik analisa.

3.2. Tahapan Kerja Penelitian

Pada awalnya penulis tertarik dengan fenomena diputarkannya kembali film panjang yang sebelumnya pernah beredar di bioskop komersial ke dalam layar alternatif, dimana terdapat penonton yang datang dan membayar sejumlah yang diperlukan dengan harga tiket yang sedikit lebih murah dengan harga tiket bioskop komersial. Hal ini sama-sama bersifat simbiosis mutualisme baik antara ekshibitor dengan penonton, maupun ekshibitor dengan produser itu sendiri. Produser pun juga menjadi memiliki kesempatan kembali untuk bertemu dengan penontonnya. Penulis merasa perlu mengetahui pasar dimana sebuah film dapat beredar selain di jaringan bioskop komersial.

(49)

31 sampai film tersebut selesai. Selain itu, penulis juga pernah mengunjungi beberapa layar alternatif yang terdapat di Jakarta, baik itu berbayar maupun tidak, contohnya di Festival Film, Musik, Makan pada bulan April 2016 lalu, yang diadakan di Goethe Haus, pemutaran film Sang Penari di Teater Salihara di Pasar Minggu, pemutaran film Laut Bercermin di Conclave, kompilasi film pendek Andrie Cung di Ev Hive The Breeze, dan film-film lainnya yang ditayangkan di tempat yang menjadi bahan penelitian penulis (Kineforum, Sinema Rabu, Kinosaurus). Dari observasi tersebut penulis kemudian memahami bahwa terdapat pemutaran film di layar alternatif yang bersifat momentum atau rutin diadakan, berbayar maupun tidak. Menjadi penting bagi penulis untuk lebih memperdalam kegiatan pemutaran film yang dapat diadakan secara rutin meskipun belum menjadi kebutuhan utama masyarakat, karena itu penulis memilih tempat Kineforum, Kinosaurus, dan Sinema Rabu sebagai tempat ekshibisi yang memiliki program pemutaran yang rutin, memutarkan film panjang, dan berbayar.

Setelah menetapkan ketiga tempat tersebut, penulis akan kembali melakukan observasi terlebih dahulu sebelum melakukan tahap wawancara, dengan memerankan diri penulis sebagai calon penonton. Hal ini dilakukan agar dalam penulisan skripsi ini, penulis juga turut merasakan perspektif layar alternatif dari kursi penonton sebagai orang yang membayar untuk menyaksikan pemutaran film. Tahapan observasi tersebut antara lain:

(50)

32 2. Penulis akan melakukan RSVP (bila tersedia) agar terdaftar sebagai calon penonton yang akan mendapatkan tempat sesuai dengan kapasitas kursi yang telah tersedia.

3. Penulis akan melihat bagaimana alur masuk penonton ke dalam ruang pemutaran film.

4. Penulis akan melihat bagaimana kondisi dalam ruang pemutaran tersebut. 5. Penulis akan mengamati keadaan setelah pemutaran film selesai.

Dari observasi tersebut, penulis kemudian melakukan rencana penelitian dengan tahapan sebagai berikut:

1. Penulis menyusun pertanyaan wawancara dengan membuat klasifikasi daftar pertanyaa berdasarkan jenis dari business model canvas. Untuk Ekshibitor, pertanyaan tersebut terdiri atas:

Tabel 3.1. Panduan Pertanyaan Wawancara

Klasifikasi pertanyaan Pertanyaan

Umum a. Nama

b. Jabatan

c. Berapa lama menjadi ekshibitor d. Bagaimana proses sampai akhirnya

menjadi program pemutaran seperti sekarang

Business Model Canvas

Kemitraan utama Bagaimana cara program pemutaran tersebut mendapatkan pasokan film?

Aktivitas kunci Bagaimana cara menyusun program pemutaran?

(51)

33

Saluran Dengan siapa saja bekerja sama?

Bagaimana strategi promosi terhadap penonton untuk datang ke lokasi ekshibisi? Proposisi nilai Bagaimana cara mengamankan dari tindakan

pembajakan?

Relasi pelanggan Apa fungsi setiap penonton yang mengisi data?

Segmentasi pelanggan Apakah setiap pemutaran memiliki target penonton?

Pengeluaran Hal apa saja yang perlu dimaintenance dari pengelolaan ekshibisi ini?

Arus Pendapatan Bagaimana awal mula tercetusnya donasi/harga tiket masuk?

Donasi / harga tiket masuk itu akan digunakan untuk apa saja?

Penutup Bagaimana filmmaker atau penonton

merasakan dampak layar alternatif ini dari sudut pandang ekshibitor

Bagaimana prospek tempat pemutaran ini di masa depan

Apakah memiliki himbauan tertentu pada penonton film Indonesia?

Seputar peristiwa pemutaran Mengapa disebut sebagai bioskop non komersial?

Pernahkah tidak ada penonton yang hadir? Apakah ada filmmaker yang tidak menyetujui saat ditawarkan

(52)

34 1. Berapa lama pada awalnya film panjang tersebut ditayangkan di bioskop?

2. Apakah ekshibisi film panjang ke ranah layar alternatif setelah di bioskop komersial sudah menjadi strategi pemasaran sejak pra produksi?

3. Bagaimana proses kerjasama dengan pihak ekshibitor hingga akhirnya dapat terjalin kerjasama bahwa film dapat diputar di layar alternatif tersebut?

4. Bagaimana alur mendistribusikan film hingga sampai kepada pihak ekshibitor (apakah melalui distributor)?

5. Bagaimana sistem profit sharingnya terhadap donasi yang diberlakukan?

6. Bagaimana respon penonton setelah pemutaran film tersebut?

7. Menurut Anda apa dampaknya bila film tersebut tidak diputarkan pada layar alternatif?

8. Berapa profit yang didapatkan dari penayangan film tersebut?

(53)

35

3. Penulis juga mengumpulkan data-data film yang diputarkan di tempat

ekshibisi seperti Kineforum dari website www.kineforum.org, pengelola administrasi Sinema Rabu , Ali Satri Efendi, dan Kinosaurus yang terdapat pada materi publikasi instagram @Kinosaurus dan website

www.kinosaurusjakarta.com.

4. Penulis menyiapkan handphone dan catatan daftar pertanyaan wawancara.

5. Penulis melakukan proses wawancara.

6. Penulis membuat transkrip wawancara.

7. Penulis membuat analisis dari hasil wawancara.

3.3. Subjek Penelitian

(54)

36 3.3.1. Tentang Kineforum

Kineforum yang awalnya bernama Art Cinema TIM adalah sebuah tempat pemutaran film yang didirikan sejak tahun 2006 dan dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta dan bekerja sama dengan pengelola bioskop XXI TIM. Kineforum mengadakan program pemutaran setiap hari Senin, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu dengan menetapkan donasi untuk hari biasa sebesar Rp 15.000,00, sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu sebesar Rp. 20.000,00. Kineforum juga membuka perekrutan volunteer pada awal dan pertengahan tahun. Penulis mewawancarai Alexander Matius sebagai manajer pelaksana Kineforum.

3.3.2. Tentang Sinema Rabu

Sinema Rabu merupakan program pemutaran yang dicetuskan oleh badan hukum Nirwana. Tempat pemutaran ini berada di Pavilliun 28 yang merupakan tempat makan dan di dalamnya terdapat ruang pemutaran yang menyerupai bioskop. Sinema Rabu diputarkan seminggu sekali pada hari Rabu pukul 19:30 dan khusus memutarkan film panjang Indonesia dengan menetapkan harga tiket masuk sebesar Rp. 25.000,00. Penulis mewawancarai Jonathan Manullang yang berwenang sebagai juru program Sinema Rabu.

3.3.3. Tentang Kinosaurus

(55)

37 ruang seduh kopi. Penulis mewawancarai Meiske Taurisia sebagai seorang produser film yang merupakan salah satu pendiri Kinosaurus.

3.3.4. Produser Film

Untuk mengetahui peran layar alternatif, penulis perlu mewawancarai produser sebagai informan pendukung penulis. Penulis memilih informan kunci berdasarkan orang yang terlibat dalam proses pemutaran sebuah ekshbisi film, yaitu produser itu sendiri. Karena film-film yang sudah ditayangkan oleh layar alternatif ini cukup banyak, penulis melakukan seleksi data berupa pemilihan informan yang filmnya pernah ditayangkan di ketiga tempat pemutaran yang penulis teliti, setelah pernah diputarkan di jaringan bioskop komersial, dan hasilnya adalah film Nay, Siti, Mencari Hilal dan Lovely Man dengan masa penayangan sebagai berikut:

Tabel 3.2. Tabel Peredaran Film Panjang Responden

(filmindonesia.or.id, 2016)

Judul Film Lama peredaran di bioskop Produser yang diwawancara

Nay 20 hari Djenar Maesa Ayu

Siti 29 hari Ifa Isfansyah

Mencari Hilal

33 hari Salman Aristo

Lovely Man

(56)

38

38

BAB IV

ANALISIS

4.1. Kegiatan Ekshibisi Layar Alternatif

Baik Kineforum, Kinosaurus, dan Sinema Rabu melakukan manajemen pertunjukan film dengan berperan sebagai ekshibitor. Jonathan Manullang, Alexander Matius dan Meiske Taurisia turut terlibat dalam menentukan programasi film. Ketiga tempat ekshibisi ini juga menggunakan sosial media twitter, instagram, dan facebook untuk mempublikasikan konten pemutaran yang akan berlangsung.

4.1.1. Programasi Film Layar Alternatif

(57)

39 konteks kemerdekaan (wawancara pribadi, 10 Agustus 2016). Jika dikaitkan dengan teori programasi film oleh Bosma (2015) bahwa pada programasi layar alternatif, ketiga tempat ekshibisi tersebut menawarkan variasi yang berbeda melalui programasi setiap bulannya. Berikut merupakan contoh kalender program yang terdapa pada website Kineforum:

Gambar 4.1. Kalender Program Kineforum

(http://kineforum.org/web/)

(58)

40 Tabel 4.1. Jadwal Pemutaran Film

Kineforum Kinosaurus Sinema Rabu

Hari Pukul Hari Pukul Hari Pukul ekshibisi, pertama-tama ekshibitor akan mengontak terlebih dahulu produser atau distributor yang memiliki hak edar sebuah film, apabila disetujui oleh kedua belah pihak, mereka akan menandatangani surat kerjasama dan kemudian film tersebut akan ditayangkan, jumlah penonton akan didata dan kemudian dari pemutaran tersebut baik ekshibitor maupun produser akan mendapatkan profit sharing.

4.1.2. Pemutaran Film dalam Ruang Gelap

(59)

41 atas dua baris dengan kapasitas 30 orang, dan Kinosaurus yang kursi-kursinya terpisah dan berbeda-beda bentuknya dengan kapasitas 20 orang. Hal ini sesuai dengan teori Prakosa (2008) mengenai ruang gelap untuk menonton sebuah film, selama sesi pemutaran ruangan akan digelapkan, sehingga penonton dapat konsentrasi terhadap film yang sedang diputarkan, dan ketika selesai, meskipun masih dilanjutkan dengan sesi diskusi, lampu ruangan akan dinyalakan sebagai penanda bahwa film telah benar-benar selesai. Biasanya credits akan ditunggu sampai benar-benar sudah selesi baru setelah itu lampu dinyalakan, berbeda dengan bioskop yang biasanya lampu sudah dinyalakan meskipun credits belum selesai karena memang daftar namanya yang panjang.

Gambar 4.2. Ruangan Pemutaran Sinema Rabu

(60)

42 Gambar 4.3. Ruangan Pemutaran Kineforum

(Dokumentasi Penulis, 2016)

Gambar 4.4. Ruangan Pemutaran Kinosaurus

(Dokumentasi Penulis, 2016)

4.2. Model Bisnis Ekshibitor

Mengacu dari teori Osterwalder dan Pigneur, dalam menganalisa hasil wawancara, observasi, dan data yang didapatkan penulis dari media sosial dan

website, penulis memetakan hasil wawancara ke dalam beberapa kategori seperti

(61)
(62)

44 Gambar 4.5. Model Bisnis Kineforum

(Hasil Analisa Penulis, 2016)

(63)

45 untuk memiliki jaringan art house cinema lain selain di TIM, sehingga program pemutaran tidak berasal dari satu ruang pemutaran saja.

Gambar 4.6. Gambar Model Bisnis Sinema Rabu

(Hasil Analisa Penulis, 2016)

(64)

46 Rabu hanya beroperasi pada hari Rabu saja, besar kemungkinan orang-orang yang datang ke restoran tersebut dapat mengetahui mengenai Sinema Rabu yang memiliki program pemutaran flm di Paviliun 28. Hal ini dapat menjadi kesempatan bagi Sinema Rabu untuk dapat lebih dikenal oleh calon penonton. Sinema Rabu juga memiliki data rekap penonton yang cukup lengkap dan terbuka pada publik karena setelah 1 tahun beroperasi, Sinema Rabu mempublikasikan laporan pemutaran mereka selama satu tahun kepada penontonnya, dengan memaparkan jumlah film yang sudah diputar, segmentasi gender pembuat film, usia penonton, dan domisili penonton tersebut.

Gambar 4.7. Model Bisnis Kinosaurus

(65)

47 Meiske Taurisia merupakan salah satu pendiri Kinosaurus, dan juga pengelola Kolektif yang mendistribusikan film Kolektif di Kinosaurus. Dari segi fasilitas, Kinosaurus memberikan kenyamanan dan suasana yang lebih santai dalam menonton film.Tetapi customer segments Kinosaurus belum dapat terlihat dengan cukup spesifik karena letika penonton mengisi data, penonton sebatas mengisi nama dan alamat email, hal ini membuat pemetaan data penonton menjadi tidak spesifik, dan customer segmentsnya menjadi sangat luas. Dibandingkan dua layar alternatif lainnya, Kinosaurus memasang harga paling tinggi dalam pemutarannya.

4.2.1. Key Activities

Pemutaran film merupakan kunci utama yang dilakukan oleh ekshibitor, pemutaran film ini dapat terus berjalan apabila ada film yang diputar, dan terdapat penontonnya. Untuk bisa mengadakan pemutaran film, ekshibitor harus menentukan terlebih dahulu film apa yang akan diputarkan, melalui programasi. Barulah setelah itu, ekshibitor akan mengontak produser untuk menawarkan filmnya diputarkan di sana. Setelah kerjasama sudah terjalin, ekshibitor kemudian akan melakukan publikasi agar calon penonton dapat mengetahui informasi mengenai pemutaran tersebut, dan datang ke tempat pemutaran.

4.2.2. Key Partnership

(66)

48 terletak di dalam Paviliun 28 tersebut. Untuk Kineforum menjalin kerja sama dengan XXI Cinema TIM yang sampai ini turut terlibat dalam pengelolaan teknis dan konteks ruang. Meiske Taurisia yang juga merupakan salah satu pendiri Kinosaurus dan pengelola Kolektif sebagai distributor film, juga menjalin kerjasama dengan lembaga kebudayaan untuk suplai film. Ketiga tempat ekshibisi ini menjalin kerja sama dengan produser yang memiliki hak edar atas film panjang tersebut, karena antara produser sebagai pemilik film dan ekshibitor akan terlibat dalam kesepakatan.

4.2.3. Key Resources

Setiap tempat ekshibisi memerlukan sumberdaya yang secara garis besar dapat dibagi ke dalam sumber daya fisik seperti ruang untuk memutar film dan perlengkapannya, aset intelektual yaitu hak edar film tersebut yang dimiliki oleh pemilik film, dan sumber daya manusia. Kineforum memiliki bagian administrasi dan sekretariat, bendahara dan keuangan, koordinator publikasi, koordinator

volunteer, koordinator teknis, serta database dan layouter grafis yang dipaparkan

dalam website Kineforum. dalam pengelolaannya juga membuka open

recruitment volunteer setiap enam bulannya. Volunteer ini bertugas untuk

menjaga infodesk, doorcheck, atau membantu projectionist. Sinema Rabu dikelola oleh empat orang yang bertanggung jawab terhadap masing-masing bidang:

public relations, projectionist, programmer, dan desainer. Untuk Kinosaurus

(67)

49 programasi film saja, tetapi berkaitan juga dengan hal-hal administratif dan teknis lainnya.

4.2.4. Value Propositions

Alexander Matius menyatakan bahwa bioskop tidak memiliki kebijakan untuk menampilkan film yang sudah lama, terkecuali apabila film tersebut dari hasil restorasi, sedangkan penonton memiliki hak untuk menonton film-film yang ditawarkan oleh bioskop pada umumnya dengan standar teknis yang hampir serupa (wawancara pribadi, 29 Juli 2016). Value itulah yang ditawarkan pada pemutaran film dan fasilitas yang dimiliki oleh Kineforum. Dalam hal ini, value

propositions sangat berkaitan erat dengan revenue streams. Value ini bersifat

kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif pemuatan film ini akan memberikan nilai hiburan bagi penontonnya, serta menambah edukasi akan suatu film dan pemahaman sudut pandang filmmaker. Secara kuantitatif, harga yang ditawarkan ekshibitor untuk donasi maupun harga tiket masuk terbilang cukup terjangkau, karena sedikit lebih murah dibandingkan pasaran harga tiket bioskop yang berada di Jakarta.

(68)

50 itu Sinema Rabu memutarkan khusus film panjang Indonesia, supaya tidak terjadi persaingan pasar pada tempat pemutaran yang mengadakan di saat weekend (wawancara pribadi, 10 Agustus 2016). Selain itu, Kinosaurus juga sering memanfaatkan ruangan pemutarannya untuk digunakan sebagai kegiatan selain pemutaran film.

4.2.4.1 Value Propositions dengan Customer Segments

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Meiske Taurisia, Kinosaurus adalah art house cinema yang memiliki skala bisnis yang kecil, sangat jauh bila dibandingkan dengan bioskop, konten cerita yang disajikan art

house cinema memang berbeda, oleh karena itu selain dari konten, harus

(69)

51 Gambar 4.8. Rekap Data Penonton Sinema Rabu

(Data Sinema Rabu, 2016)

Dari diagaram tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa mayoritas penonton berasal dari Jakarta Selatan. Karena itu, customer segments yang paling dominan berkunjung ke lokasi layar alternatif kemungkinan berkaitan dengan domisili dan lokasi tempat ekshibisi itu berada.

4.2.4.2 Value Propositions dengan Revenue Streams

(70)

52 pemutaran film, ekshibitor juga dapat menawarkan hal lain seperti Kinosaurus yang juga memanfaatkan ruang pemutarannya untuk digunakan sebagai kegiatan selain pemutaran film, misalnya untuk kegiatan peluncuran atau bedah buku.

4.2.5. Channels & Customer Relationships

Dilihat dari nilai customer relationships dan channels, pada ketiga tempat pemutaran tersebut, calon penonton sama-sama dapat mendapatkan informasi melalui informasi yang disampaikan di sosial media. Penonton juga dapat melakukan RSVP sebelumnya untuk Sinema Rabu. Baik Sinema Rabu dan Kinosaurus sama-sama memanfaatkan newsletter sebagai salah satu channels agar calon penonton dapat mengetahui jadwal pemutaran dalam waktu terdekat.

Gambar 4.9. Newsletter Kinosaurus

(71)

53 Gambar 4.10. Newsletter Sinema Rabu

(http://tinyletter.com/SinemaRabu)

Setiap tempat juga memiliki prosedur yang cukup serupa, dimana penonton terlebih dahulu mendaftar ulang atau mengisi data di meja yang sudah disediakan, baru setelah itu dipersilahkan untuk masuk ke ruangan dan menonton film.

Gambar 4.11. Infodesk Sinema Rabu

(72)

54 Gambar 4.12. Kinopass Kinosaurus

(Dokumentasi Penulis, 2016)

Gambar 4.13. Infodesk Kineforum

(Dokumentasi Penulis, 2016)

(73)

55 Gambar 4.14. Denah Menuju Kineforum

(https://twitter.com/kineforum/status/798737563418771457)

Penonton kemudian akan mendapatkan tiket yang akan diperiksa oleh doorcheck sebelum memasuki ruang pemutaran.

Sesudah film selesai diputarkan, biasanya terdapat sesi tanya jawab, namun apabila pembuat film tersebut berhalangan hadir, akan dipandu dengan moderator

Gambar 4.15. Tiket Pemutaran Film Layar

Alternatif

(74)

56 atau pemutaran film selesai dibubarkan. Oleh karena itu baik Kineforum, Kinosaurus dan Sinema Rabu menggunakan cara modern untuk menjangkau pelangannya karena memanfaatkan sosial media untuk mempromosikan konten jadwal penayangan dan refrensi singkat mengenai film yang akan ditayangkan. Sinema Rabu dan Kinosaurus memberikan kesempatan gratis satu tiket jika penonton sudah pernah menonton sebanyak sepuluh kali di Sinema Rabu, Sinema Rabu juga menawarkan reservasi online yang tiketnya dapat dibayarkan ketika penonton sudah datang ke tempat pemutaran. sedangkan Kinosaurus menerapkan sistem pemesanan dan pembayaran di tempat, kecuali apabila ada yang mereservasi untuk jumlah orang tertentu. untuk Kineforum sendiri juga menerapkan sistem pemesanan dan pembayaran di tempat. Hal ini sesuai dengan teori mengenai penawaran fasilitas premium dalam ekshibisi film rensta perfilman, dimana penawaran fasilitas premium tersebut dapat berupa diskon, menonton film dalam ruangan yang kondusif, dan reservasi online. Sesudah film selesai diputarkan, biasanya terdapat sesi tanya jawab, namun apabila pembuat film tersebut berhalangan hadir, akan dipandu dengan moderator atau pemutaran film selesai dibubarkan.

(75)

57 Gambar 4.16. Website Infoscreening

(http://infoscreening.co/, 2016)

4.2.6. Customer Segments

Segmentasi pelanggan ketiga ekshibitor ini tergolong dalam pasar tebuka karena tidak menetapkan segmen tertentu. Penonton bebas masuk, tidak ada kelas tertentu bagi penonton untuk membeli tiket dan penonton pasti akan menikmati fasilitas yang sama, meskipun terdapat klasifikasi usia di pada pemutaran film tertentu.

4.2.7. Revenue Streams

(76)

58 alternatif ini, donasi yang dimaksud adalah pelanggan tetap membayar namun mendapatkan tiket untuk menonton film pada pemutaran layar alternatif. Sebagai

revenue streams, Sinema Rabu menerapkan “Harga Tiket Masuk” yang dinaungi

oleh Badan Hukum Nirwana, sedangkan Kineforum dan Kinosaurus sama-sama menerapkan “Donasi” dalam pelaksanaannya.

Berlaku juga profit sharing untuk produser dan pengelola tempat itu sendiri, seperti Sinema Rabu dengan perbandingan 40:40:20 dimana 40% diberikan untuk produser film, 40% untuk Sinema Rabu, dan 20% untuk Paviliun 28 sebagai penyedia tempat ekshibisi. Kineforum menetapkan profit sharing 50:50 untuk produser dan Kineforum itu sendiri. Sementara Kinosaurus menetapkan profit

sharing 40:30:30, dimana 40% diserahkan untuk Kolektif yang mengurus

pemutaran film, 40% untuk Kinosaurus, dan 30% untuk pemegang rights film tersebut. Setiap tempat pemutaran juga menyediakan merchandise sebagai pemasukan dana tambahan. Artinya, ekshibitor tidak bisa 100% bergantung pada penghasilan dari tiket pemutaran, karena jumlahnya yang tidak. Ekshibitor harus memanfaatkan peluang lainnya agar mendapatkan pendapatan tambahan untuk dapat terus menjalankan kegiatan pemutaran film.

4.2.8. Cost Structure

(77)

59 4.3. Memperpanjang Umur Ekshibisi Film Panjang Indonesia

Berdasarkan data yang didapatkan dari filmindonesia.or.id, film Nay ditayangkan selama 20 hari di jaringan bioskop komersial, untuk Mencari Hilal ditayangkan 33 hari, dan Siti selama 29 hari, dari wawancara, penulis juga mendapatkan pernyataan dari Indra Tamarron Musu selaku produser film Lovely Man yang filmnya tidak bertahan sampai seminggu di jaringan bioskop komersial. Distributor bisa dibilang tidak memiliki peran dalam membawa film ini menuju layar alternatif, kecuali Lovely Man yang memiliki Kolektif sebagai distributornya untuk layar-layar alternatif. Tetapi ketiadaan distributor ini tidak menghambat beredarnya sebuah film ke layar alternatif, produser tetap menjadi pihak yang kooperatif untuk bekerja sama dengan ekshibitor dalam mengadakan pemutaran ini, meskipun profit bukanlah tujuan utamanya, melainkan untuk memberikan peluang film ini dapat bertemu dengan penontonnya.

(78)

60

60 Tabel 4.2. Jadwal Pemutaran Film

(Data Pribadi Penulis, 2016)

Kineforum Sinema Rabu Kinosaurus

Tanggal

2015 Siti 3 Februari 2016

(79)

61

61 4.3.1. Penonton Film Layar Alternatif

Berdasarkan hasil wawancara penulis, minat penonton belum menjadi landasan utama ekshibitor selama programasi film, karena itu ekshibitor tidak memilik target penonton dalam setiap pemutarannya. Menurut Jonathan Manullang, penonton layar alternatif yang sesungguhnya tidak perlu dihimbau untuk menonton, jika ada film Indonesia yang berkualitas, penonton tersebut akan datang dengan sendirinya dengan kesadaran (wawancara pribadi, 10 Agustus 2016).

(80)

62

62 Tabel 4.3. Jumlah Penonton Pemutaran Layar Alternatif

(Rekap Data Penulis, 2016)

Penulis pada awalnya ingin mencoba menganalisa apakah pelanggan pemutaran film pada layar alternatif itu benar-benar ada, berdasarkan kuantitas penonton tersebut datang ke tempat pemutaran. Tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan Meiske Taurisia, penonton layar alternatif yang disebut pelanggan tetap, artinya ia datang ke setiap pemutaran pada jenis film apapun yang diputar, dari film yang komersial, sampai memang termasuk kategori art cinema (wawancara pribadi, 28 Desember 2016). Dari penjelasan tersebut, penulis mengartikan bahwa penonton tersebut artinya memandang pemutaran film pada layar alternatif sebagai sebuah kebutuhan, dan bisa juga sebagai kegemaran. Dari hasil data yang didapatkan penulis, memang tidak terlihat pola minat penonton pada keempat pemutaran film ini, di Kineforum, Siti memang menjadi film yang meraih total penonton paling besar. Tetapi, dalam pemutaran pada programasi Sinema Rabu, Nay dan Mencari

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan Model Bisnis Bioskop
Gambar 2.1. Sembilan Blok Bangunan
Tabel 2.2. Mekanisme Penetapan Harga
Tabel 2.3. Ciri-ciri Pelanggan Bioskop
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting, karena pasar tidak mampu menciptakan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil dan merata, dan bahkan lebih

Selain itu juga peran perpustakaan komunitas dalam meningkatkan minat baca masyarakat cukup baik dengan koleksi yang dimiliki oleh mereka mencapai persentase 21%, untuk promosi

Perempuan Indonesia memegang peranan penting dalam pembangunan, jumlahnya yang mencapai 118.048.783 (49%) orang dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia (sensus pendudukan

Setiap anggota keluarga pasti memiliki perannya masing-masing, sama halnya seperti suku sasak, peran seorang ayah sangatlah penting bagi keluarga selain sebagai pemimpin atau

Maka distribusi merupakan sebagai salah satu fungsi atau kegiatan perusahaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu perusahaan untuk meraih peluang ini sehingga

Selain berperan dalam penyerapan tenaga kerja, sektor industri juga memegang peranan penting dalam distribusi PDRB Kota Batam, dimana pada tahun 2004-2006 sekitar

Menurut analisa penulis bahwa seorang guru memiliki peran yang teramat penting dan peranan tersebut cukup berat untuk dilakukan, karena seorang guru harus mampu untuk menjalankan

Untuk itu peran humas dianggap sebagai sarana yang sangat penting untuk dijadikan media dalam membangun citra positif Kwartir Cabang Jakarta Selatan, selain itu peran humas juga menjadi