• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Lokal ke Internasional. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Lokal ke Internasional. doc"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

2

Dari Lokal ke Internasional:

Mengamati Gejala Internasionalisasi

Lebih banyak negara di dunia yang terlahir sebagai negara heterogen, terdiri lebih dari satu etnis, dibandingkan dengan yang terlahir sebagai negara homogen. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian antara batas-batas teritorial dengan batas-batas kultural. Masalah-masalah ini secara mudah memicu tumbuhnya nasionalisme etnis yang dapat berkembang menjadi konflik etnis jika sentimen etnis tersebut tidak dikelola secara benar oleh pemerintah nasional. Entitas sebuah negara dikukuhkan dengan perjanjian internasional, sementara aktor-aktor sosial yang berada di berbagai negara melakukan interaksi sosial, ekonomi dan budaya. Namun sifat perbatasan (border) yang porous menyebabkan sebuah negara tidak bisa dengan mudah menghindar dari masuknya aliran barang, berita maupun manusia, termasuk mudahnya konflik nasional merembet ke negara lain.

(2)

terselesaikan, bahkan setelah negara yang bersangkutan bertahun-tahun lepas dari penjajahan.

Konflik berbasis etnis selama ini dikenal sebagai konflik nasional yang berada di ranah domestik. Keberagaman etnis dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya menghasilkan konflik etnis, dan tidak setiap konflik etnis menghasilkan kekerasan. Pemerintah di setiap negara memperlakukan konflik etnis sebagai urusan dalam negeri yang penyelesaiannya dilakukan melalui cara-cara yang dikehendaki masing-masing pemerintah nasional. Cara-cara yang ditempuh bervariasi, mulai cara-cara politik/persuasif sampai pendekatan militer. Alasan utama yang mendasari mengapa konflik etnis diperlakukan ‘hanya’ sebatas masalah nasional tidak terlepas dari sistem Westphalian yang menempatkan doktrin kedaulatan sebagai dasar bertindak setiap negara semenjak lebih dari tiga abad.

(3)

kenyatannya, amat sulit bagi beberapa kasus konflik etnis domestik untuk tidak bermutasi menjadi konflik internasional karena beberapa sebab. Berubahnya sifat konflik tersebut secara nyata merupakan ancaman bagi stabilitas dalam sistem internasional. Banyak konflik etnis menjadi dilema keamanan bagi negara-negara tetangga dan menjadi keprihatinan kolektif sehingga memerlukan tindakan kolektif pula untuk mengelolanya.

(4)

antaranegara sehingga memerlukan aktivitas diplomatik dalam menghadapinya.

Berkembangnya masalah lokal/nasional menjadi masalah internasional merupakan gejala yang terjadi sejak hampir tiga dasawarsa terakhir. Apakah gejala yang dapat diamati dari sebuah konflik etnis di peringkat nasional berkembang menjadi konflik internasional yang dapat berdampak destruktif bagi stabilitas sistem? Benar bahwa tidak semua konflik etnis berdimensi internasional karena terdapat beberapa kasus konflik etnis yang dapat dihindarkan dari proses pelebaran sehingga tidak sampai mengganggu stabilitas sistem. Berubahnya sifat konflik dari masalah nasional menjadi konflik yang menarik perhatian internasional dapat diamati melalui beberapa variabel yang dapat diperlakukan sebagai indikator. Melalui beberapa variabel indikator dapat diamati apakah sebuah konflik etnis di tingkat nasional telah mengalami proses internasionalisasi.

Bagian ini berupaya mengidentifikasi dan menguraikan beberapa faktor yang dapat dilihat sebagai ukuran bahwa telah terjadi perubahan sifat sebuah konflik, dari lokal menjadi internasional. Konflik etnis meng-internasionalisasi bila memenuhi sedikitnya kriteria-kriteria berikut ini:

1. Terdapat dukungan dari pihak luar/eksternal yang berasal dari:

(5)

Ethnic kin (kerabat sesama etnis) dan diapora merupakan aliansi etnis yang berpengaruh kuat pada proses internasionalisasi konflik etnis. Saudara sesama etnis adalah sumber dukungan utama bagi sekelompok etnis yang sedang bertikai. Terdapat kecenderungan keberpihakan dari sebuah kelompok etnis kepada kelompok etnis lain yang terdepresi pada sebuah wilayah di luar wilayah yang dihuni oleh etnis simpatisan tersebut. Nepotisme etnis1 ini merupakan gejala yang wajar dan alamiah. Dukungan yang diberikan berdasarkan faktor genetik oleh blood brothers berdampak signifikan bagi etnis yang sedang menghadapi pertikaian, baik dengan negara (konflik vertikal) maupun dengan kelompok etnis lain (konflik horizontal).2 Menurut teori nepotisme etnis a la Berghe, terdapat kecenderungan predisposisi perilaku yang bersifat umum ‘untuk berfihak pada organisme

1Istilah ‘nepotisme etnis’ untuk pertama kali diperkenalkan oleh

Pierrre L. van den Berghe pada awal 1980-an. Berghe mengemukakan bahwa berbagai bentuk enisitas yang ada dikelompokkan berdasar pada seleksi kekerabatan (kin) dan etnisitas didefinisikan berdasar persamaan keturunan Lebih jauh, Berghe menjelaskan, ‘ethnic and racial sentiments are extension of kinship sentiments. Ethnocentrism and racism are thus extended forms of nepotism – the propensity to favor kin over nonkin’ (Vanhanen 1999, 1).

2Dukungan yang diberikan dapat berupa instrumental maupun

(6)

yang memiliki hubungan biologis dengan si aktor’. Semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin kuat preferensi perilakunya. Dengan demikian terdapat kecenderungan favoritisme dalam perilaku mendukung konflik berbasis etnis. Hal ini relevan dengan interpretasi politik Darwinian yang berakar pada teori evolusi sosiobiologis mengenai seleksi kekerabatan (Vanhanen 1999, 1-2).

Dalam konflik etnis pemisahan diri, dukungan bagi ethnic kin diberikan ketika ethnic kin mendapat represi dari pihak (negara/rejim/aktor) lain. Pada umumnya pihak pemberi dukungan pada ethnic kin di tempat lain berpegang pada prinsip conventional wisdom. Prinsip ini tidak memungkinkan sebuah negara yang mengalami konflik etnis serupa di negaranya sendiri memberi dukungan pada ethnic kin yang hendak memisahkan diri dari negara induknya (Saideman 2001, 2). Prinsip ini masih dipertahankan sebagai sebuah norma standar, namun di sisi lain prinsip ini sering sulit untuk dipatuhi oleh para aktor. Komunitas diaspora3 merupakan kelompok etnis yang bermigrasi

3 Secara etimologi, kata diaspora berasal dari bahasa Yunani

(7)

dan menetap di luar wilayah negara induknya (home country) yang secara potensial dapat berperan ganda, sebagai pihak yang membantu resolusi konflik dengan peran intervensi konstruktifnya maupun pihak yang membantu meningkatkan intensitas aspek kekerasan (violence) di negara induk. Beberapa masyarakat diaspora pada awalnya datang sebagai pengungsi atau pencari suaka, seperti yang dapat ditemui di kalangan diaspora Sri Lanka di Jerman dan Inggris. Perang, status yang tidak jelas dan rasa tidak aman di negara induk merupakan beberapa pemicu untuk menjadi diaspora.

Zunzer (2004, 13) menekankan bahwa diaspora memiliki potensi untuk menjadi pihak yang dapat membantu transformasi konflik etnis berkepanjangan (protracted). Diaspora dapat menjalankan perannya melalui,

“…supporting the conflicting parties as they argue about ways to achieve a negotiated settlement and empowering them, in the medium term, to initiate a sustainable process for overcoming the conflict causes by

a. Komunitas asal yang tersebar dari tanah airnya ke dua negara atau lebih; mereka terpisah dari lokasi geografisnya namun dipersatukan oleh visi,memori atau mitos tentang tanah leluhurnya;

b. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan pernah dapat diterima oleh masyarakat tempat tinggalnya saat ini, dan karenanya membentuk komunitas otonom untuk memenuhi kebutuhan sosial dan cultural sendiri;

c. Mereka dan keturunannya akan kembali jika kondisi memungkinkan;

(8)

themselves. This in turn means that conflict prevention and conflict transformation activities are interdependent and must involve key state and civil society actors.”

Zunzer melihat bahwa peran positif diaspora, dalam berbagai kasus konflik etnis, sebagai agen perdamaian perlu mendapat perhatian. Diaspora memiliki potensi dalam transformasi konflik melalui peran sosio-ekonomi dan politik yang signifikan. Konflik etnis di Sri Lanka, misalnya, menunjukkan bahwa terdapat hubungan dialektik di antara diaspora Sri Lanka (yang sebagian besar terdiri dari kaum Tamil dan sebagian kecil Sinhala), host country (tempat tinggalnya) dan home country (negara asalnya) dan LTTE4. Mereka tidak hanya merespon setiap perkembangan yang terjadi di Sri Lanka tetapi juga memberikan dukungan ekonomi dan politik melalui jalur-jalur dan jejaring formal dan informal. Diaspora Sri Lanka generasi ketiga yang pada umumnya lebih terpelajar mendukung transformasi LTTE dari organisasi militer murni menjadi organisasi politik. Diaspora Sri Lanka di London memberi

4LTTE kerap diambil sebagai salah satu contoh “sukses” gerakan

(9)

sumbangan penting atas menurunnya aktivitas LTTE di Inggris setelah kaum diaspora berhasil mempengaruhi pemerintah Inggris sehingga undang-undang anti-terorisme disetujui oleh parlemen Inggris. Undang-undang tersebut berdampak pada larangan segala bentuk kegiatan LTTE di Inggris (Zunzer 2004, 20).

Selain berperan positif, ikatan etnis lintas batas negara dapat menjadi faktor pencipta ketidakamanan. Diaspora sering berperan sebagai sponsor bagi keberhasilan pemberontakan terhadap negara. Berbagai pemberontakan di belahan dunia mana pun, seperti di Algeria, Azerbaijan, Mesir, Sri Lanka, India, Indonesia, Kosovo, Turki, Irlandia Utara, Israel, Rwanda, Rusia, menerima berbagai bentuk dukungan dari komunitas migrant mereka masing-masing dalam bentuk uang, senjata maupun dukungan non-fisik seperti dukungan diplomatik dan penggalangan lobi-lobi internasional. Dukungan diaspora inilah yang menyebabkan pemberontak mampu meningkatkan kapabilitas perjuangannya memungkinkan mereka untuk bertahan dari serangan-serangan balik (counterinsurgency) yang dilakukan pemerintah.

(10)

Tamil di berbagai tempat, terutama mereka yang tinggal di negera-negara Barat, mantan presiden Sri Lanka J.R. Jayewardene memberi mereka sebutan sebagai ‘the world’s most powerful minority’ (Wyland 2004, 415).

Sebagai kelompok yang tinggal jauh dari tanah leluhurnya, diaspora memiliki kesempatan dan keleluasaan yang lebih besar dalam menentukan pilihan politiknya dibandingkan jika mereka tinggal di tanah leluhur. Demikian pula dalam mengambil posisi politik yang dikehendaki, diaspora memiliki lebih banyak pilihan. Dalam kaitan dengan perannya sebagai ‘mediator’ etnis, menurut Wyland (2004, 418), diaspora memiliki potensi untuk berperan penting dalam keberhasilan perjuangan kemerdekaan berbasis etnis, karena:

“In the diaspora, it became possible to explore and express Tamil cultural, linguistic, and religious identity as never before. Associations were formed, both with an eye toward facilitating integration in the host country as well as toward maintaining ties with the homeland, namely through supporting the quest for Tamil independence. Migration from Sri Lanka has resulted in Tamil identity-building from abroad as well as material support for the creation of a separate Eelam.”

(11)

yang perjuangannya berpengaruh pada dinamika konflik di Sri Lanka. Cara-cara yang digunakan oleh diaspora tersebut antara lain: (a) pertukaran informasi diantara sesama komunitas Tamil melalui koran, radio, internet, dan organisasi etnis; (b) menyebarkan kesadaran atas perjuangan Tamil melalui pawai, konferensi dan berbagai lobi ke pejabat-pejabat negara; (c) penggalangan dana, baik melalui cara-cara legal maupun ilegal. Propaganda yang dilakukan terus menerus tentang penderitaan kaum Tamil telah mampu membangkitkan rasa bersalah pada diaspora Tamil. Kegiatan-kegiatan ini berdampak pada keberlanjutan perjuangan kemerdekaan di Sri Lanka (Wyland 2004, 18). Sama halnya dengan diaspora Siprus, Yunani, Turki, pada umunya mereka seringkali bersikap nasionalis bahkan chauvinis bila berhadapan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik di tanah leluhur. Demikian pula dengan diaspora Yahudi yang mendukung terbentuknya negara Israel dan diaspora Irlandia yang mendukung berdirinya negara Irlandia (Anthias 1998, 567).

b. Negara

(12)

Sekali pun banyak aktor-aktor non-negara memberi dukungan pada salah satu kelompok etnis yang bertikai, dukungan yang mereka berikan tidak melebihi skala dan jumlah dukungan yang diberikan oleh negara. Pada era Perang Dingin, dukungan negara membawa dampak besar pada efektivitas perjuangan kelompok etnis. Penelitian Byman et al (2001, 10) menunjukkan bahwa negara merupakan sponsor penting pemeliharaan konflik etnis dengan memberikan bantuan militer, politik dan kegiatan logistik, baik dalam skala terbatas maupun besar. Salah satu contohnya adalah Libya yang secara aktif membantu Gerakan Aceh Merdeka. Dukungan tersebut setidaknya terjadi sampai dengan tahun 1991. Terbatasnya jumlah personel dan logistik yang didapatkan GAM, menyebabkan organisasi ini tidak memiliki potensi berkembang untuk menjadi konflik internasional.

(13)

(Indo-Sri Lankan Peace Accord). Berdasarkan Perjanjian tersebut militer India memiliki kewenangan untuk memadamkan pemberontakan Tamil Eelam. Intervensi militer India tersebut berdampak pada permusuhan LTTE terhadap India. Oposisi LTTE pada aliansi New Delhi-Colombo ditunjukkan dengan pembunuhan tiga tokoh penting, yaitu Deputi Menteri Pertahanan Sri Lanka Ranjan Wijerante; Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi; dan Presiden Sri Lanka Ranasinghe Premadasa (Chalk 2003, 134).

Amerika Serikat juga terlibat dalam konflik etnis bagi pemisahan diri Kosovo dari Yugoslavia yang menyebabkan munculnya krisis di Balkan. Atas nama menghentikan pembersihan etnis di Kosovo oleh penguasa Yugoslavia, Slobodan Milosevic, AS melancarkan intervensi kemanusiaan, yang disebut Amerika sebagai “a just and necessary war” dan “the new interventionism” (Chomsky 1999, 3-4). Konflik Kosovo tidak saja melibatkan AS, tetapi juga organisasi internasional seperti NATO dan PBB. Dalam kaitan ini, konflik Kosovo tidak bisa lagi sekedar dipandang sebagai konflik etnis lokal yang terjadi antara etnis Albania (di Kosovo) versus Yugoslavia yang didominasi oleh etnis Serbia, namun sifat konflik telah bermutasi menjadi konflik internasional karena keterlibatan aktor-aktor internasional sebagai pihak ketiga. Dengan terlibatnya berbagai aktor eksternal, “intervensi kemanusiaan” AS di Kosovo menjadi salah satu episode aksi AS yang paling kontroversial dalam sejarah perang AS.5

5Intervensi AS dan NATO ke Kosovo merupakan pelanggaran

(14)

Deklarasi kemerdekaan Eritrea dari Etiopia pada Juli 1991 merupakan salah satu contoh keberhasilan gerakan pemisahan diri yang melibatkan aktor eksternal setelah melalui perang selama tiga puluh tahun. Konflik pemisahan diri Eritrea menyebabkan terlibatnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis dan PBB.6 Internasionalisasi konflik Eritrea sudah bermula sejak tahun 1940an. Indikator internasionalisasi sudah dapat diamati sejak awal, ketika melibatkan empat negara pemain kunci di Tanduk Afrika dan ketika Four Powers7 gagal

disepakatinya cara penyelesaian konflik.

Internasionalisasi konflik di Tanduk Afrika tersebut mulai menarik super power maupun dunia internasional pada umumnya. Baik Eritrea maupun Ethiopia sangat bergantung pada bantuan militer dua super power: AS mendukung Ethiopia dan Uni Soviet mendukung Eritrea, walaupun AS sebenarnya menghendaki federasi Eritrea

anti-Powell Doctrine”. Doktrin ini merupakan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Collin Powell ini menyatakan bahwa “the United States should use military force only after exhausting all other alternatives and then only decisively to achieve clearly defined political objectives” (Daalder dan O’Hanlon 1999, 133)

6Pada akhir tahun 1950, Majelis Umum PBB meloloskan resolusi

390A (V) menyatakan bahwa Eritrea harus “constitute an

autonomous unit federated with Ethiopia under the sovereignty of Ethiopian Crown” (Taras dan Ganguly 2002, 216).

7Four Powers adalah sebutan untuk empat negara yang terlibat

(15)

ke dalam Ethiopia. Perang tiga puluh tahun antara Eritrea-Ethiopia disebabkan karena komplikasi kepentingan negara-negara besar tersebut. Berakhirnya konflik Eritrea-Ethiopia bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin. Kasus ini membuktikan bahwa internasionalisasi konflik domestik berpengaruh pada durasi waktu yang panjang atas konflik tersebut.

2. ‘Menghasilkan’ pengungsi

Pengungsi8, yang merupakan korban kekerasan politik di negaranya, merupakan salah satu indikator yang dapat diidentifikasi sebagai faktor internasionalisasi konflik etnis. Pertikaian etnis di sebuah negara secara signifikan dapat meningkatkan jumah pengungsi ke negara lain dan kedatangan pengungsi di tempat baru tersebut secara potensial dapat menimbulkan berbagai konflik baru yang berdimensi ekonomi, sosial maupun politik. Sejak tahun 1980an pengungsi lebih banyak

8Definisi Pengungsi (refugee) telah ditetapkan oleh Konvensi

(16)

dihasilkan oleh konflik etnis daripada oleh bencana alam atau konflik-konflik lain (Weiner 1996 dalam Saideman 2001, 3). Konflik etnis yang berdampak pada mengalirnya pengungsi terjadi di banyak tempat, seperti Vietnam, Armenia, Azerbaijan, Burma, Ethipia, Georgia, Sri Lanka, dan Yugoslavia. Mengalirnya pengungsi menarik perhatian aktor eksternal dan mereka berusaha untuk mencari cara terbaik untuk mengatasinya.

Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain yang disebabkan karena ketidakamanan di negara induk lebih banyak membawa dampak negatif terutama bagi populasi negara induk, seperti menurunnya standar hidup, penularan penyakit, perdagangan gelap, kecenderungan terjadinya kejahatan, dan berbagai dampak negatif lainnya. Mengalirnya pengungsi juga membebani negara tujuan karena pengungsi memerlukan makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang harus dipenuhi oleh negara tujuan. Beban menjadi lebih berat bagi negara-negara miskin, seperti datangnya pengungsi Albania ke Macedonia. Ilmuwan politik seperti Aristide Zolberg dan Astri Suhrke berpendapat bahwa pengungsi adalah kelompok “istimewa”. Menurut mereka,

“…Refugee status is privilege or entitlement, giving those who qualify access to certain scarce resources or service outide their own country, such as admission into another

(17)

agencies” (Zolberg at al 1989, 3 dalam Newland 1993, 144).

Sejak berakhirnya Perang Dingin, negara-negara maju lebih banyak didatangi oleh pengungsi dari negara miskin yang mengalami konflik etnis, seperti yang terjadi di Eropa. Negara-negara maju di Eropa, menjadi tujuan utama pengungsi dari wilayah-wilayah konflik di Eropa Timur seperti Yugoslavia. Negara-negara etnokratik seperti Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, Israel dan Myanmar memiliki kecenderungan mengalirkan lebih banyak pengungsi ke negara-negara sekitarnya karena kelompok etnis lain, selain etnis dominan memiliki potensi untuk mengalami asimilasi paksa (forced assimilation), pengusiran dan penganiayaan, dan lebih buruk lagi, pembersihan etnis (ethnic cleansing). Perebutan sumber (alam, kekuasaan) dan kekhawatiran etnis dominan untuk tidak memperoleh sumber-sumber tersebut merupakan faktor terpenting yang menjadi penyebab kesewenang-wenangan rejim etnokratik yang dapat menjadi penyebab konflk etnis. Rejim etnokratik mengingkari kewajiban dalam melindungi warga negara, sehingga persoalan perlindungan warga negara menjadi tanggungjawab pihak lain.

(18)

yang dinyatakan oleh Salehyan dan Gleditsch (2006, 338), bahwa:

“…refugees and conflict by arguing that refugees facilitate the spread of rebel networks and negative externalities to receiving areas… countries that experience an influx of refugees from neighboring states are significantly more likely to experience civil wars themselves. Thus population movements are an important factor contributing to the regional clustering of violence and the diffusion of conflict.”

Konflik etnis yang menyebabkan melimpahnya pengungsi ke negara lain merupakan masalah keamanan yang memerlukan manajemen kolektif. Pengungsi yang mencari perlindungan di tempat lain sebagai hasil konflik etnis di negaranya, dapat disebabkan karena negara tidak bersedia melindungi warga negaranya dan karena ketidakmampuan negara dalam melakukanya, yang dua hal ini harus dibedakan. Rejim etnokratik yang melepaskan tanggungjawab perlindungan etnis minoritasnya memiliki masalah atas compliance terhadap hukum internasional yang berkonsekuensi pada pemberian sanksi; Sementara negara lemah yang tidak mampu melindungi warganya sendiri merupakan pihak yang perlu mendapat bantuan internsional.

3. Melibatkan PBB dalam resolusi konflik etnis

(19)

yang terjadi. Peran PBB sebagai badan dunia penyelesai konflik etnis selama ini dianggap kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai persoalan, baik substansi maupun teknis. Terdapat dua hal penting dalam melihat keterlibatan PBB dalam resolusi konflik etnis.

Pertama, PBB seringkali mengalami kesulitan menempatkan diri sebagai pendamai karena harus berhadapan dengan berbagai kepentingan yang tumpang tindih dari aktor-aktor yang terlibat dalam konflik etnis. Lebih jauh lagi, resolusi konflik etnis tidak jarang menemui jalan buntu ketika dihadapkan pada kepentingan negara-negara besar. Keterlibatan negara besar seringkali justru mempersulit resolusi konflik etnis. Diplomasi PBB dalam menangani berbagai konflik etnis seringkali juga mengalami kegagalan, selain karena campur tangan negara besar, juga karena berkaitan dengan masalah kedaulatan, yang berakibat pada penolakan negara atas campur tangan asing untuk urusan konflik etnis yang masih dipandang sebagai urusan dalam negeri. Pasal 2 (7) Piagam PBB menyatakan bahwa PBB tidak memiliki otoritas untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam yurisdiksi domestik sebuah negara. PBB juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta negara lain untuk intervensi dalam penyelesaian masalah dalam negeri sebuah negara berdaulat. Prinsip non-intervention masih menjadi pegangan kuat bagi PBB untuk membatasi tindakannya.

(20)

enggan terlibat dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik etnis. Keengganan PBB sebagai penyelesai konflik etnis, seperti yang diutarakan oleh Pierre van den Burghe, bahwa, “The UN is first and foremost an organization of states, not of nations, and since most states are, in fact threatened by the claims of nations, it is little wonder that the UN is pro-state and anti-nation” (dikutip dari Ryan 1995, 155 dari Kuper 1981, 161). Atas dasar alasan tersebut tidak mengherankan bila PBB memiliki alasan untuk tidak berperan aktif dalam konflik penyelesaian etnis.

Kedua, sekalipun PBB sulit berposisi tegas dalam urusan konflik etnis, namun tidak jarang berbagai persoalan konflik etnis mengharuskan PBB untuk terlibat, baik sebagai penjaga perdamaian, mediator maupun manajemen pemberian bantuan pada hal-hal yang terkait dengan konflik etnis. Idealnya PBB adalah pihak ketiga yang dapat diterima pihak-pihak yang bertikai sebagai pendamai. Jika diukur secara kualitatif, keterlibatan PBB bervariasi, mulai dari keterlibatan secara intensif maupun partial. Hal tersebut tergantung pada beberapa faktor seperti tingkat kekerasan konflik, lokasi, pihak yang berkonflik, keterlibatan pihak ketiga, posisi penguasa, dan sebagainya.

(21)

melibatkan PBB dalam perannya sebagai peacekeeper, peacemaker dan peacebuilder.

Dalam menjalankan tugas-tugas administratifnya di berbagai negara, peran PBB sebagai peacekeeper (penjaga perdamaian) dijalankan melalui operasi penjaga perdamaian (peacekeeping operations)dengan menghadirkan secara fisik pasukan militer asing. Target operasi ini adalah menghentikan peperangan antara pihak yang berkonflik, terutama melucuti senjata dan menghentikan baku tembak antarpara tentara pihak yang berkonflik. Cara demikian ditempuh agar tercipta situasi damai bagi negosiasi politik dan operasi pemulihan keamanan. Berbeda dengan peacekeeper, peacemaking (pencipta perdamaian) merupakan upaya penyelesaian konflik oleh pihak ketiga dengan melibatkan aktivitas politik dan diplomatik yang bertujuan membawa para pemimpin dari pihak yang bertikai mencapai kesepakatan melalui negosiasi perdamaian. Metoda yang digunakan dapat berbentuk arbitrasi, mediasi dan fasilitasi. Sedangkan peacebuilding adalah kegiatan jangka panjang yang berdimensi sosial-ekonomi dan kultural, ditujukan terutama untuk anggota masyarakat dari pihak-pihak yang bertikai agar masyarakat dapat mengubah perilaku, persepsi dan citra negatif atas pihak lawan (Taras dan Ganguly 2002, 94-97).

(22)

Barat); UNAMET, UNTAET, UNMIT (Timor Leste); UNMOGIP (Jammu dan Kashmir); UNFICYP (Siprus Yunani dan Siprus Turki); UNOSOM (Somalia); UNOMUR (Uganda-Rwanda); UNOMIG (Georgia); UNMIK(Kosovo);

UNMEE (Ethiopia dan Eritrea)

(http://www.un.org/Depts/dpko/list/list.pdf. Akses 04/02/09).

(23)

kemudian menganjurkan untuk dilakukanya operasi peace enforcement dalam konflik etnis untuk meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa tidak banyak yang mereka peroleh dengan cara bertikai.

Keterbatasan-keterbatasan PBB dalam merespon persoalan keamanan dunia mendorong badan dunia ini untuk mengambil langkah nyata. Di tengah-tengah krisis harapan dan tingginya tuntutan pada PBB untuk berperan lebih efektif dalam masalah keamanan, PBB memberikan respon positif. Salah satu upaya rasional dan koheren PBB dalam merespon keamanan internasional adalah Laporan Sekretaris Jendral PBB, Boutros Boutros Ghali pada tahun 1992 yang berjudul An Agenda for Peace. Sekali pun tidak dimaksudkan sebagai solusi komprehensif atas berbagai persoalan keamanan dunia, Laporan ini memuat rencana PBB dalam menjalankan berbagai perannya dalam mengatasi masalah-masalah keamanan terasuk himbauan untuk menambah dana bagi pasukan-pasukan PBB. Laporan tersebut dianggap sebagai langkah berani karena selama ini PBB dipandang tidak memiliki kapabilitas memadai dalam mengatasi berbagai masalah keamanan internasional, termasuk ketidakberdayaan PBB dalam mengambil inisiatif diplomasi preventif, peacemaking dan peacekeeping (Roberts 1993, 208-210).

4. Berkaitan dengan terorisme internasional

(24)

yang baru karena banyak kasus membuktikan hal tersebut. Tidak saja konflik etnis yang terjadi di negara sedang berkembang (LTTE, Jammu-Kashmir), hal serupa yang terjadi di negara maju pun (IRA, Basque) menggunakan taktik yang sama. Sekalipun demikian tidak berarti semua konflik yang menggunakan taktik terorisme internasional diidentifikasikan dengan konflik yang berdimensi terorisme internasional.

Beberapa bukti menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara kelompok-kelompok pemberontak etnis dengan terorisme internasional. Hubungan antaraktor non-negara yang melakukan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan (violence) sangat kompleks dan terbukti meningkat setelah Perang Dingin. Seperti yang dinyatakan oleh Oehme III (2008, 81) terdapat hubungan dan keterkaitan antara teroris, pemberontak dan kriminal yang membentuk konvergensi. “Kekuatan” ini terutama muncul dan tumbuh subur pada situasi “security gap”, yaitu sebuah kondisi yang terjadi di antara masa pasca konflik dan masa rekonstruksi.

(25)

pejuangnya adalah anggota MNLF dan sebagian lagi merupakan veteran perang Afghanistan. Ditengarai Abu Sayyaf menerima dana dari Osama bin Laden melalui Mohammed Jamal Khalifa, saudara ipar Osama yang memiliki beberapa organisasi kedermawanan (charity) di Filipina Selatan. Menurut laporan Manila Chronicle, mereka banyak melatih para pejuang Abu Sayyaf. MILF dan MNLF menyangkal adanya keterkaitan tersebut, namun hal ini sulit dibuktikan (Niksch 2002, 4). Keterlibatan Abu Sayyaf dalam perjuangan pemisahan diri di Filipina, sebagian juga dipicu oleh dukungan Presiden Arroyo dalam ‘War on Terror’ menyebabkan pemerintah AS bergerak menempatkan sekitar 650 personel militer di Filipina. Keterlibatan pihak eksternal dalam konflik pemisahan diri menjadikan konflik ini bertransformasi menjadi konflik internasional. Apalagi pihak eksternal yang terlibat adalah kekuatan global. Pada umumnya konflik-konflik yang mengalami proses difusi dan eskalasi lebih sulit diselesaikan.

5. Terdapat elemen iredentisme

(26)

pertama kali digunakan untuk menggambarkan wilayah berbahasa Italia yang berada di bawah kekuasaan Austria selama paruh kedua abad ke sembilan belas. Italia harus berperang melawan Austria untuk memperoleh wilayah tersebut (Chazan 1991).

Iredentisme mencakup pengertian keinginan sebuah wilayah bergabung dengan wilayah/negara lain. Pada dasarnya iredentisme muncul karena terdapat keinginan dari salah satu pihak negara yang berdekatan untuk ‘melindungi’, ‘menyelamatkan’ atau ‘membebasakan’ saudara se-etnisnya yang menjadi minoritas di wilayah negara tetangganya tersebut. Ikatan emosional yang kuat antara satu kelompok etnis yang terpaksa terpisah menjadi dua negara yang berbeda menyebabkan terjadinya dorongan melakukan iredentisme. Iredentisme dapat memperburuk konflik mayoritas-minoritas dengan memperkuat saling kecurigaan dan permusuhan yang dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan maupun perang. Berdasar pada argument tersebut, Ben-Israel menyatakan iredentisme merupakan ekspresi nasionalisme yang agresif expansionis, berdasarkan pada "atavistic feelings for territory and for kith and kin" (Ben-Israel 1991, 33).

(27)

aktor-aktor utama pelaku iredentisme. Iredentisme Islam Asia Tenggara berbasis ideologi, bukan etnis. Lain halnya dengan iredentisme yang terjadi di Eropa, seperti Jerman, Italia, Yunani, Spanyol, Rusia dan Polandia berbasis sejarah, yang merupakan perpaduan antara keinginan etnis untuk bersatu dengan upaya untuk mempertemukan kembali antara negara pada masa lalu (historic states) dengan batas-batas historis (historic boundaries), yang seringkali tidak berkaitan dengan batas-batas etnisitas. Hal ini juga terjadi di Afrika, seperti pada kasus penyatuan Eritrea oleh Ethiopia pada tahun 1952, yang dilihat sebagai “kembali ke negara induk”, bukan aneksasi (Neuberger 1991, 101).

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, yaitu pengaruh model kooperatif tipe team assisted individualization (TAI) untuk meningkatkan hasil belajar shooting bagian

0343-656450 Canned Pasteurized Crabmeat Frozen Demersal Fish Frozen Raw Shrimp Frozen Cooked Shrimp Frozen Crab Meat Frozen Crab Frozen Added Value Frozen Demersal fish Frozen

Barthes terdapat peta tanda yang dapat membantu peneliti dalam memaknai sebuah tanda baik denotatif maupun konotatif yang terdapat pada film Kill The Messenger

Dengan Pernyataan ini, saya memberi kuasa kepada semua dokter di rumah sakit, klinik, perusahaan asuransi, atau perusahaan/lembaga, atau yayasan, atau perorangan, untuk membuat

Infeksi adalah penyebab paling umum dari rinitis akut pada anak-anak, antara usia 2-6 anak rata-rata memiliki enam infeksi per tahun masing-masing berlangsung 7- 10 hari,

Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersifat pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada

bahwa dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Pangandaran, Pemerintah Daerah telah mengalokasikan anggaran sehingga masyarakat tidak

Keadaan dimana nucleus pulposus keluar menonjol untuk kemudian menekan kearah kanalis spinalis melalui annulus fibrosus yang robek. Dasar terjadinya