Pranata dan Kinerja Ekonomi Oleh: M. Idrus Taba
Seorang petani sedang jongkok memandikan kudanya. Datang seorang turis asing menyapa:”Pak, jam berapa sekarang?”. Si Petani memegang ekor kudanya, menggesernya kekiri dan menatap di antara kedua celah kaki kudanya dan menjawab:” Jam sepuluh lewat lima belas”. Si Turis asing kagum, hanya dengan menggeser ekor kuda, tanpa jam tangan, si petani bisa menebak jam secara akurat. Sepuluh menit kemudian, si turis, bertanya lagi:”Jam berapa sekarang Pak?”. Dengan gerakan yang sama, si petani menjawab:” Jam sepuluh lewat duapuluh lima menit”. Si turis, tak bisa menahan kekagumannya, katanya: “Pak, ajari saya cara menebak waktu dengan hanya memegang ekor kuda”. Si Petani menyuruhnya jongkok, lalu menyibak ekor kuda, sambil menunjuk jam dinding dalam rumahnya:”Itu yang saya lihat”. Katanya kalem.
Menebak gejala pertumbuhan ekonomi ke depan, banyak caranya. Cara konvensional dan mapan, mengajarkan kita dengan dalil-dalil ekonomi klasik, membangun model matematika yang rumit, lalu lahirlah angka-angka pasti untuk membangun sebuah kebijakan ekonomi. Seolah, ‘angka” itu, makhluk steril yang lahir dari ruang hampa tradisi budaya, sosial dan sejarah. Tapi itulah yang coba ditepis Douglass North dan Robert Fogel, pemenang hadiah Nobel 1993, bidang ilmu sejarah ekonomi, melalui teorinya: A Theory of Institutional Change. Kadang disebut juga teori pranata sosial
North dan Fogel, mengkritisi, bahwa proses pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat, dipengaruhi kerangka pranata sosial. Lembaga-lembaga atau pranata memengaruhi kinerja perekonomian. Lembaga atau pranata, mencakup tradisi budaya, sosial, politik; perangkat hukum dan peraturan. Bahkan, termasuk ideology umum dan kelompok. Pranata ini hadir untuk mencoba mengurangi dampak ketidakpastian yang selalu terdapat dalam hubungan interpersonal. Hubungan ekonomi, memang sangat rumit. Untuk mengeliminasi kerumitan, menuntut biaya, transaksi berupa informasi atas produk yang ditransaksikan, dan jaminan hak kepemilikan. Transactional cost, muncul karena kita memilih organisasi sebagai media transaksi. Pranata, menentukan batas-batas hak kepemilikan (property rights) dan pengorganisasiannya, sepanjang sejarah. Jadi, pranata punya struktur, bentuk organisasi, aturan pelaksanaan, dan norma-norma sosial ekonomi non formal. Tiap struktur pranata, beda tingkat kerumitannya. Semakin tinggi biaya transaksi, misalnya karena pranata lemah, maka tingkat spesialisasi dalam perekonomian cenderung rendah, sehingga kinerja anjlok. Artinya, semakin transparan dan kokoh “framework” pranata, maka implikasi transaksional cost terhadap individu maupun organisasi di panggung ekonomi, semakin rendah. Begitupun sebaliknya.
Inilah soalnya barangkali, karena serangkaian kebijakan ekonomi dan capaian kinerja pembangunan kita , dibangun di atas sejumlah pranata yang rapuh.