• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Pekerja memiliki peranan penting dalam suatu Perseroan Terbatas

(selanjutnya disebut perusahaan), dimana pekerja melaksanakan perintah dari

pengusaha untuk bekerja sebagai kewajiban dalam isi perjanjian kerja sehingga

tujuan dari kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan dapat tercapai. Dalam

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) telah ditentukan bahwa: “Tiap-tiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”. Jadi, setiap pekerja berhak mendapatkan pekerjaan untuk

mencapai penghidupan yang layak seperti mendapatkan upah.

Adanya hubungan hukum antara pekerja dan perusahaan/pengusaha

didasarkan pada hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara

pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja,1 yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah dan perintah.2 Sehingga adanya hubungan kausalitas antara

pekerja dan perusahaan. Hubungan kerja dapat berakhir karena suatu hal tertentu

sehingga mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan

perusahaan yang disebut dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).3

1

Yang dimaksud perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

2 Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 3

(2)

Dalam hukum perburuhan, secara teoritis pemutusan hubungan kerja

dibedakan menjadi empat macam, yaitu a). PHK demi hukum; b). PHK oleh

pengusaha; c). PHK oleh buruh; dan d). PHK oleh hakim. Masing-masing jenis

PHK tersebut memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda.4 Dalam pembahasan

ini, memfokuskan pada PHK demi hukum, dan PHK oleh pengusaha/perusahaan

yang berimplikasi pada prosedur PHK serta cara memperoleh hak-hak normatif

yang seharusnya diterima oleh pekerja. Hak normatif5 yang dimaksud tercantum

dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar

uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak

yang seharusnya diterima.”

Dalam hal pekerja mengundurkan diri baik status perusahaan sedang

dinyatakan pailit maupun tidak sedang dinyatakan pailit, maka tidak perlu

meminta penetapan lembaga penyelesaian perburuhan (sekarang dikenal dengan

nama Penyelesaian Hubungan Industrial atau PHI) serta pekerja tidak

mendapatkan uang pesangon melainkan hanya uang penggantian hak dan uang

pisah.6 Sedangkan jika pekerja di-PHK dengan alasan perusahaan pailit, maka

disamping perlu penetapan dari lembaga yang berwenang juga pekerja

normatif sejatinya baru menjadi potensi hak buruh dan menjadi hak riil yang pemenuhannya bisa diperjuangkan melalui hukum apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

6

(3)

memperoleh uang pesangon, uang penghargaan, dan hak-hak lainnya sebagaimana

diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003.7

Secara teoritis, hak pekerja telah mendapatkan perlindungan dari

peraturan-perundang-undangan yang ada. Akan tetapi, pada prakteknya tidak semua

perusahaan secara sukarela untuk memenuhi kewajibannya tersebut. Jika dilihat

dari perspektif pekerja, bagi pekerja pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan

awal hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja kehilangan pekerjaan dan

penghasilan.8 Sehingga bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya,

pekerja harus melakukan perbuatan yaitu dengan mengajukan upaya hukum untuk

dapat menerima dan melindungi hak-hak normatifnya. Upaya hukum yang dapat

dilakukan berupa mengajukan gugatan ke Penyelesaian Hubungan Industrial atau

mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi

keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan

kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas

seluruh kekayaan debitor pailit, baik telah ada maupun yang akan ada di

kemudian hari.9 Sehingga debitor dapat dinyatakan pailit setelah dikeluarkannya

putusan dari pengadilan. Sumber hukum dari kepailitan adalah Undang-Undang

7

M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 171. 8

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 175.

9

(4)

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

Apabila dilihat dari praktek dalam sejarah kepailitan, tidak banyak kasus

kepailitan yang dibawa ke pengadilan. Kondisi yang bertolak belakang terjadi

ketika Indonesia menghadapi krisis moneter mulai tahun 1997. Akibat dari krisis

tersebut diperkirakan 18.000 perusahaan mengalami kesulitan pembayaran utang

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.10 Akan tetapi pada perkembangannya

sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan digunakan sebagai

pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang oleh debitor, kreditor, atau

pihak yang berkepentingan lainnya. Hal ini didukung oleh: pertama proses

beracara yang cepat karena jangka waktu dikeluarkannya putusan Pengadilan

Niaga harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal

permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU No. 37 Tahun

2004). Kedua, syarat pengajuan permohonan pailit yang sederhana yaitu debitor

mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004).11 Ketiga, dalam hal pembuktian dimana permohonan pernyataan pailit

harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan terbukti secara sederhana

bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2

ayat (1) telah dipenuhi.

10

Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Griya Media, Salatiga, 2009, h. 52-53.

(5)

Untuk dapat mengajukan permohonan pailit, maka pekerja yang

memposisikan diri sebagai kreditor harus memiliki kedudukan hukum (legal

standing). Berdasarkan pada tingkatannya, kreditor terbagi menjadi 3 (tiga)

golongan, yaitu kreditor konkuren, kreditor preferen dan kreditor separatis.12

Pekerja termasuk sebagai kreditor preferen umum (vide Bab II:

Golongan/tingkatan Kreditor). Selain itu, pekerja juga memiliki kedudukan

sebagai kreditor dilihat dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit

atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka

upah dan hak-hak lainnya dari pekerja merupakan utang yang didahulukan

pembayarannya.” Sehingga berdasarkan uraian di atas, pekerja memiliki dasar

hukum untuk dapat berkedudukan sebagai kreditor dalam mempailitkan

perusahaan (debitor).

Dalam beberapa kasus kepailitan, dapat dilihat bahwa kepailitan digunakan

sebagai pranata hukum penyelesaian sengketa hutang-piutang oleh pekerja

terhadap Perseroan Terbatas tempat dimana mereka bekerja. Berikut ini adalah

gambaran 10 (sepuluh) kasus yang mengkonstruksikan problematika terhadap

pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas.

12

(6)

Bagan 1.

Skema permohonan pailit

Dilihat dari gambar di atas, 2 (dua) dari 10 (sepuluh) putusan yakni putusan

Pengadilan Niaga Surabaya, putusan Kasasi dan putusan Peninjauan Kembali oleh

Mahkamah Agung yang dalam amar putusannya mengabulkan permohonan

pernyataan pailit oleh pekerja terhadap perusahaan. Sedangkan 8 (delapan) dari 10

(sepuluh) putusan mengenai kepailitan, pada amar putusan menolak permohonan

dengan pertimbangan hakim yang berbeda-beda. Contohnya permohonan harus

diajukan ke Penyelesaian Hubungan Industrial, apabila perusahanan milik negara

(7)

(Vide: Bab II). Beberapa contoh kasus kepailitan di bawah ini memberikan

gambaran singkat problematika terhadap pekerja dalam proses kepailitan

Perseroan Terbatas.

1. Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) melawan Sudiyarto. Dalam kasus ini, Sudiyarto sebagai pemohon kasasi atau pemohon pailit

adalah pegawai yang diberhentikan dengan hormat oleh PT. Merpati

Nusantara Airlines (selanjutnya disebut PT. MNA) sejak tanggal 17 Juli 2014.

Akibatnya, PT. MNA memiliki kewajiban memberikan uang sejumlah Rp.

406.674.590 (empat ratus enam juta enam ratus tujuh puluh empat ribu lima

ratus sembilan puluh rupiah) yang terdiri atas hak normatif (gaji, denda gaji,

iuran jamsostek) dan uang pesangon yang dianggap sebagai hutang. Akan

tetapi sampai permohonan pailit diajukan, PT. MNA belum memenuhi

kewajibannya. Selain itu, PT. MNA terbukti masih berhutang kepada 106

pegawai lainnya sehingga total hutang PT. MNA adalah Rp. 71.515.826.750

(tujuh puluh satu miliar lima ratus lima belas juta delapan ratus dua puluh

enam ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Sehingga terpenuhi syarat

permohonan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Sudiyarto, Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat dalam amar putusan No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt

Pst, tanggal 7 April 2016 menyatakan menolak permohonan. Dalam

pertimbangan hakim, PT. MNA terbukti milik Negara dan bergabung dalam

(8)

merupakan BUMN yang melayani kepentingan publik. Sehingga berdasarkan

Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 yang berhak mengajukan permohonan

pernyataan pailit adalah Menteri Keuangan, maka Sudiyarto tidak memiliki

kedudukan hukum. Selain itu, hakim menimbang bahwa sengketa antara

Sudiyarto dan PT. MNA yang mempersoalkan tentang hak-hak Sudiyarto yang

tidak dibayarkan, sehingga berdasarkan pasal 1 angka 17 Jo. Pasal 2 huruf a

UU No. 2 Tahun 2004 merupakan sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan

Hubungan Industrial dan Pengadilan Niaga tidak berwenang menyelesaikan

perkara.

Berdasarkan pada putusan pengadilan Niaga, Sudiyarto mengajukan

permohonan kasasi, yang pada putusan kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016

juga menyatakan menolak permohonan. Dalam pertimbangannya terhadap

keberatan Sudiyarto, hakim berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

tidak salah menerapkan hukum dan perkara tidak bertentangan dengan hukum

dan/atau UU.

2. Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan dk.

Dalam kasus ini Ko Ik Whan sebagai pemohon kasasi I atau pemohon

pailit I telah bekerja sebagai direktur operasional pada PT. Alogics Mandiri

Coal (selanjutnya disebut PT. AMC) sejak bulan 8 Juli sampai Nopember

2010. PT. AMC memiliki hutang sebesar Rp. 310.720.000,- (tiga ratus sepuluh

juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah) kepada Ko Ik Whan, yang terdiri atas

(9)

yang diberikan untuk pembayaran gaji karyawan PT. AMC yang tidak

diberikan pelunasan atau pengembalian sisa pinjaman.

Selain itu, Lee Bong Kyoo sebagai pemohon kasasi II atau pemohon

pailit II juga telah bekerja sebagai Direktur keuangan pada PT. AMC sejak

bulan 8 Juli sampai Nopember 2010. PT. AMC memiliki hutang sebesar Rp.

422.543.417,- (empat ratus dua puluh dua juta lima ratus empat puluh tiga ribu

empat ratus tujuh belas rupiah) kepada Lee Bong Kyoo, yang terdiri atas upah

atau gaji yang tidak dibayar selama 5 (lima) bulan bekerja dan pinjaman yang

diberikan untuk pembayaran gaji karyawan PT. AMC yang tidak diberikan

pelunasan atau pengembalian sisa pinjaman. Sehingga terpenuhi syarat

permohonan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Ko Ik Whan dan Lee

Bong Kyoo, Pengadilan Niaga Makassar dalam amar putusan No.

66/Pailit/2011/Pn.Niaga.Mks tanggal 22 Februari 2012 menyatakan menolak permohonan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan tidak terdapat bukti

yang secara konkrit besarnya gaji setiap bulan yang harus dibayarkan dan tidak

terdapat adanya bukti pinjaman oleh PT. AMC, bukti yang tidak dibubuhi

tanda tangan penanggung jawab sehingga tidak jelas penanggungjawabannya,

pengiriman surat somasi/tegoran kepada PT. AMC yang tidak berada lagi

dialamat yang dituju sehingga surat somasi tidak sampai kepada PT. AMC.

Sehingga menurut pertimbangannya tidak terbukti fakta sederhana adanya

hutang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar PT. AMC sehingga dapat

(10)

Berdasarkan pada putusan pengadilan Niaga, Ko Ik Whan dan Lee Bong

Kyoo mengajukan permohonan kasasi, yang pada putusan kasasi MA No. 246

K/Pdt.Sus/2012 juga menyatakan menolak permohonan. Dalam

pertimbangannya terhadap keberatan Ko Ik Whan dan Lee Bong Kyoo, hakim

berpendapat bahwa Pengadilan Niaga Makassar tidak salah menerapkan hukum

dan perkara tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU.

3. Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board Industry.

Dalam kasus ini Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul

Summit Particle Board Industry (selanjutnya disebut Dewan SP PT. USPBI

sebagai Pemohon Pailit yang diwakili oleh 9 (sembilan) orang karyawan, yaitu

Astadi, Didik Suprayitno, Supriyadi, Tri Wahyudi, Suparno, Arifin, Iwan

Singgih Purbadi, Supramiyanto, Yusak Agung Jawoto yang bertindak untuk

dan atas nama diri sendiri dan 69 (enam puluh sembilan) karyawan PT. Unggul

Summit Particle Board Industry (selanjutnya disebut PT. USPBI). Berdasarkan

pada Surat Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013, PT. USPBI dan Dewan

SP PT. USPBI telah menyepakati kewajiban PT. USPBI berupa uang pesangon

Rp. 3.237.095.000,- (tiga milyard dua ratus tiga puluh tujuh juta sembilan

puluh lima ribu rupiah, uang penggantian hak sebesar Rp. 485.564.250,-

(empat ratus delapan puluh lima juta lima ratus enam puluh empat ribu dua

ratus lima puluh rupiah), upah terakhir yang belum dibayarkan sebesar Rp.

(11)

Dewan SP PT. USPBI, yang harus dibayar paling lambat rabu tanggal 14

Agustus 2013. Akan tetapi PT. USPBI tidak membayar kewajibannya baik

secara mengangsur maupun sekaligus kepada Dewan SP PT. USPBI, hingga

Dewan SP PT. USPBI telah menegur berulangkali sampai permohonan

diajukan. Selain itu, PT. USPBI juga memiliki utang kepada Haji Basuni Bahdi

sebagai suplier batubara ke pabrik PT. USPBI sebesar Rp. 61.440.000,- (enam

puluh satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah). Sehingga permohonan

memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun

2004.

Berdasarkan permohonan pernyataan pailit oleh Dewan SP PT. USPBI

dalam amar putusan No. 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY tanggal 26 Nopember

2015 menyatakan mengabulkan permohonan. Dalam pertimbangannya hakim

menyatakan pemohon dalam permohonan pernyataan pailit telah memenuhi

persyaratan sebagai pemohon, berdasarkan fakta dalam persidangan telah

memenuhi pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu

Dewan SP PT. USPBI yang mewakili karyawan PT. USPBI telah

menandatangani surat perjanjian bersama dengan PT. USPBI untuk membayar

uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir serta hutang

perorangan yg belum di bayar kepada H. Basuni Bahdi sebagai kreditur lain.

PT. USPBI membenarkan mempunyai utang dan juga belum dapat melakukan

pembayaran karena kinerja PT. USPBI terus menurun. Sehingga beralasan

hukum untuk menyatakan PT. USPBI pailit dengan segala hukumnya.

Dalam beberapa kasus kepailitan di atas, menarik untuk diteliti

(12)

permohonan pailit yang diajukan pekerja sehingga menimbulkan problematika

dalam proses kepailitan Persertoan Terbatas. Berdasarkan latar belakang tersebut,

penulis tertarik untuk meneliti mengenai “PROBLEMATIKA TERHADAP

PEKERJA DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS”.

Berikut ini adalah uraian mengenai judul terpilih terebut :

1. Problematika

Problematika yang dimaksud adalah permasalahan yang timbul ketika pekerja

berstatus sebagai pemohon pailit menuntut pembayaran hak normatif akibat

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Perseroan Terbatas (PT) dalam proses

kepailitan yang mana dalam amar putusannya hakim menolak atau

mengabulkan permohonan yang berimplikasi pada perlindungan terhadap hak

normatif pekerja.

2. Pekerja

Pekerja yang dimaksud adalah pekerja yang mengajukan permohonan

kepailitan ke Pengadilan Niaga atas tuntutan penerimaan hak normatif (hak

dasar buruh dalam hubungan kerja yang dilindungi dan dijamin dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam UU No. 13

Tahun 2003) yang timbul sejak dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja

(selanjutnya disingkat PHK) baik secara sepihak maupun berdasarkan pada

(13)

3. Proses Kepailitan Kepailitan

Kepailitan yang dimaksud adalah kepailitan sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 yaitu sita umum atas semua kekayaan

debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU No. 37

Tahun 2004.

Proses Kepailitan

Proses kepailitan yang dimaksud adalah proses permohonan pailit yang mana

pemohonnya adalah pekerja terhadap perseroan di tempat pekerja bekerja.

Proses kepailitan dilihat dari berbagai kasus kepailitan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap baik dari Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung

khususnya pada pertimbangan hakim dan amar putusan terkait tuntutan hak

normatif oleh pekerja yang timbul sejak dilakukan pemutusan hubungan kerja

(PHK) dan tidak dibayarkan oleh perusahaan.

4. Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas yang dimaksud adalah perusahaan yang berdasarkan pada

kepemilikannya merupakan perusahaan milik negara (State Corporation)

maupun perusahaan milik swasta (Private Corporation)13 yang mempekerjakan

pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain sebagaimana

diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003.

13 Tri Budiyono,

(14)

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok

penelitian mengenai: problematika pekerja dalam proses kepailitan perseroan

terbatas. Berdasarkan problematika tersebut, terdapat beberapa pertanyaan

penuntun yang tujuannya agar pokok penelitian dapat terjawab, yaitu :

1. Bagaimana variasi pertimbangan hukum dari hakim dalam menentukan

terpenuhi atau tidaknya syarat formil atau materil dalam kasus-kasus

kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja?

2. Apakah dalam mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga perlu

mendapatkan penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang

diterima pekerja akibat PHK?

3. Variasi apa yang dapat dilakukan oleh pekerja sehingga apabila mengajukan

permohonan kepailitan dapat dikabulkan ?

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah menjawab

problematika terhadap pekerja dalam proses kepailitan perseroan terbatas yang

didasarkan pada serangkaian jawaban dari beberapa pertanyaan penuntun dengan

tujuan:

1. Untuk mengetahui bagaimana variasi pertimbangan hukum dari hakim

dalam menentukan terpenuhi atau tidaknya syarat formil atau materil dalam

(15)

2. Untuk mengetahui apakah dalam mengajukan permohonan pailit ke

Pengadilan Niaga perlu atau tidak untuk mendapatkan penetapan PHI yang

menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK.

3. Untuk mengidentifikasi variasi apa yang dapat dilakukan oleh pekerja

sehingga apabila mengajukan permohonan kepailitan memiliki kesempatan

permohonan tersebut dapat diterima.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait adalah :

1. Bagi Pekerja :

a. Untuk mengetahui variasi pertimbangan hakim dalam kepailitan

perseroan sehingga proses kepailitan dapat melindungi hak normatif dari

pekerja;

b. Untuk mengetahui variasi apa saja yang dapat dilakukan oleh pekerja

dalam mempailitkan Perseroan Terbatas apabila hak normatif tidak

dibayarkan oleh pihak perusahaan;

2. Bagi hakim : sebagai refleksi dalam merumuskan pertimbangan maupun

putusan apabila pemohon pailit adalah pekerja dalam kasus-kasus

kepailitan;

3. Bagi praktisi kepailitan : untuk memahami alur berpikir hakim dalam

merumuskan pertimbangan maupun putusan apabila subjek sebagai

(16)

4. Bagi akademisi maupun mahasiswa : menambah wawasan bagaimana

problematika kepailitan sebagai proses yang harus di jalankan oleh pekerja

sehingga hak normatifnya dapat dilindungi oleh negara.

E.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis terdiri dari jenis penelitian, metode

pendekatan, dan jenis bahan hukum yang digunakan.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah

dirumuskan dalam skripsi ini yaitu menggunakan penelitian yuridis

normatif.14 Yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktri-doktrin hukum untuk menjawab

isu hukum yang akan diteliti. Selain itu, penulis juga menggunakan metode

secara eksploratif, yaitu penelitian yang mencoba membuka wawasan

terhadap suatu hal yang belum pernah diteliti sebelumnya dengan tujuan untuk

memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, penelitian ini juga

digunakan untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai masalah yang diteliti,

atau bahkan belum ada sama sekali.15 Penelitian ini berusaha memberikan

solusi dalam mempailitkan perusahaan apabila pemohonnya adalah pekerja

dimana tidak dipenuhinya hak normatif yang timbul akibat adanya PHK oleh

perusahaan.

14

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Jawa Timur, 2009, h. 45.

15 Amirudin dan Zainal Asikin,

(17)

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

a. Pendekatan Kasus

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.16 Kasus yang

digunakan penulis berjumlah 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Kajian pokok dalam pendekatan kasus

adalah pertimbangan hakim (ratio decidendi) dan amar putusan yang

merupakan sumber penyusunan argumentasi dalam menjawab isu hukum

kepailitan berkaitan dengan perlindungan hak pekerja dalam proses

permohonan pailit.

b. Pendekatan Undang-Undang

Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan kasus yang ditangani.17

Dalam hal ini, undang-undang yang berkaitan dengan hak pekerja dan

Perseroan Terbatas dalam kasus-kasus kepailitan, yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat

Buruh;

16 Peter Mahmud Marzuki,

Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h. 134. 17

(18)

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

3. Jenis Bahan Hukum

Berkaitan dengan data yang digunakan dalam penulisan ini, maka bahan

hukum yang digunakan meliputi :

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi

atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.18 Dalam bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat

Buruh;

4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

18

(19)

Putusan-putusan hakim berkekuatan hukum tetap yang mana pemohon pailit

terhadap perseroan adalah pekerja dalam kasus-kasus :

a) Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan

Pengelola Aset (Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi (Putusan Pengadilan Niaga No. 41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst dan

Putusan Kasasi MA No. 075 K/Pdt.Sus/2007);

b)Kasus PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk. (Putusan Pengadilan Niaga

No. 14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby, Putusan Kasasi MA No. 917

K/Pdt.Sus/2008 dan Putusan PK No. 080 PK/Pdt.Sus/2009);

c) Kasus PT. Lidi Manunggal Perkasa melawan Slamet Riyadi, dkk (Putusan Pengadilan Niaga No. 12/Pailit/2009/PN.NIAGA.SMG. dan

Putusan Kasasi MA No. 897 K/PDT.SUS/2009);

d)Kasus PT. Ata Surya Wood Working Mantuil melawan Letti, dkk (Putusan Pengadilan Niaga No. 03/Pailit/2010/PN-NIAGA SBY dan

Putusan Kasasi MA No. 469 K/Pdt.Sus/2010);

e) Kasus PT. Rasico Industry (dalam likuidasi) melawan Andreas (Putusan Pengadilan Niaga No. 17/Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dan

Putusan Kasasi MA No. 584 K/Pdt.Sus/2010);

f) Kasus PT. Welltekindo Nusantara melawan Sendy Nainggolan, dkk

(Putusan Pengadilan Niaga No. 77/Pailit/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. dan

(20)

g) Kasus PT. Alogics Mandiri Coal melawan Ko Ik Whan, dk (Putusan

Pengadilan Niaga No. 66/Pailit/2011/Pn.Niaga.Mks dan Putusan Kasasi

MA No. 246 K/Pdt.Sus/2012);

h)Kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk (Putusan Pengadilan Niaga No. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn, Putusan Kasasi MA No. 401

K/Pdt.Sus/2012 dan Putusan PK No. 195 PK/Pdt.Sus/2012);

i) Kasus PT. Unggul Summit Particle Board Industry melawan Dewan

Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit Particle Board Industry (Putusan Pengadilan Niaga No. 17/Pailit/2015/PN-Niaga-SBY);

j) Kasus PT. Merpati Nusantara Airlines (Persero) melawan Sudiyarto (Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst dan

Putusan Kasasi MA No. 447 K/Pdt.Sus/2016);

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi tetapi berupa publikasi tentang

hukum, meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.19 Dalam penelitian ini menggunakan

buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan yang berkaitan dengan pekerja sebagai pemohon pailit.

19

(21)

F.

Unit Amatan dan Unit Analisis

a. Unit Amatan

Unit amatannya adalah 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang berkaitan dengan

pekerja sebagai pemohon pailit, dari 10 kasus tersebut dalam amar putusannya

menyatakan 2 (dua) kasus dikabulkan dan 8 (delapan) kasus ditolak.

Penyelesaian kasus dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang

berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan-perundang-undangan) dengan

mengkaji sistem suatu norma dalam peraturan yang digunakan sebagai dasar

pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan pailit sehingga dapat

menjawab problematika dalam proses kepailitan yang mana pemohonnya

adalah pekerja. Peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang-Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

b. Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini adalah tentang problematika terhadap pekerja

dalam proses kepailitan perseroan terbatas khususnya variasi pertimbangan

hukum dari hakim dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana

pemohonnya adalah pekerja serta variasi apa saja yang dapat dilakukan oleh

Referensi

Dokumen terkait

Metoda yang dilakukan adalah dengan cara mempelajari: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya

Tetapi jika permintaan barang atau pelayanan tersebut inelastis terhadap harga (price inelastic), maka peningkatan permintaan itu akan semakin meningkatkan surplus

Our strategy is to compare the gene expression profile of postmortem cerebellar specimens from autistic patients against normal age-matched, non- demented control subjects using

* A.1.13.1: Lexical conventions (covers 7.1.2), where A.1.13 is a new clause entitled "Recommendations" (these do not need to be.. satisfied by a

Aneuploidi adalah suatu keadaan ketika seseorang memiliki satu atau lebih kromosom lebih atau kurang dari komplemen 46 yang normal, yang dapat sangat berpengaruh pada kesehatan

Dalam sistem aplikasi enkripsi file masukan tidak lebih dari lima mega bytes (5 MB) hal tersebut dilakukan untuk menjaga kinerja dari kecepatan proses enkripsi

Sijil Pengesahan Halal bagi produk makanan dan minuman, barangan gunaan, premis makanan dan rumah sembelih yang dikeluarkan atau dikilangkan di Malaysia dikeluarkan oleh

dari Tampilan Fisik dan Inovasi Produk yang akan menimbulkan perilaku Word of Mouthpada diri konsumen dan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk memenangkan