• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan InklusifSlow Learner Di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bab II Kajian Pustaka - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Pendidikan InklusifSlow Learner Di SD Negeri Pulutan 02 Salatiga"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

10

Bab II

Kajian Pustaka

2.1 Evaluasi Program Pendidikan

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

dengan mempertahankan kata aslinya menjadi “evaluasi”.

Suchman (1961,dalam Anderson 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Definisi lain yang dikemukaan oleh Worthen dan Sander (1973, dalam Anderson 1971) menyatakan evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu; dalam mencari sesuatu tersebut, juga termasuk mencari informasi yang bermanfaat dalam menilai keberadaan suatu program,produksi, prosedur serta alternatif strategi yang diajukan untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan. Sedangkan menurut Stufflebeam (1971,dalam Fernandes 1984) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses penggambaran,pencarian dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan.Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.

(2)

11

suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. (Arikunto, 2008).

Jadi Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang guna pengambilan keputusan.

Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan.Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya.Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program.

Pada kontek evaluasi program pendidikan, dapat dijelaskan bahwa evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu program pendidikan, dan hasil evaluasi dapat dijadikan informasi sebagai masukan untuk menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan.

2.1.1 Model Evaluasi Program Pendidikan

Menurut Kaufan dan Thomas dalam Arikunto (2010),terdapat berbagai model evaluasi program yang dapat dibedakan menjadi delapan kategori, yaitu:

(3)

12

program. Evaluasi dilaksanakan berkesinambungan, terus-menerus untuk mengetahui ketercapaian pelaksanaan program.

2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven. Dalam melaksanakan evaluasi tidak memperhatikan tujuan khusus program, melainkan bagaimana terlaksananya program dan mencatat hal-hal yang positif maupun negatif.

3. Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh M.Scriven. Model evaluasi ini dilaksanakan ketika program masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai (evaluasi sumatif).

4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model ini juga disebut model evaluasi pertimbangan. Maksudnya evaluator mempertimbangkan program dengan memperbandingkan kondisi hasil evaluasi program dengan yang terjadi di program lain, dengan objek sasaran yang sama dan membandingkan kondisi hasil pelaksanaan program dengan standar yang ditentukan oleh program tersebut.

5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model ini tidak banyak penjelasannya karena model ini kurang populer.

6. SSE-UCLA Evaluation Model,Model ini meliputi empat tahap, yaitu:

(4)

13

b. Program planning, perencanaan program dievaluasi untuk mengetahui program disusun sesuai analisis kebutuhan atau tidak.

c. Formative evaluation, evaluasi dilakukan pada saat program berjalan.

d. Summative program, evaluasi untuk mengetahui hasil dan dampak dari program serta untuk mengetahui ketercapaian program.

7. CIPP Evaluation Model (ContextInput Process Product), oleh Stufflebeam, yang terdiri dari:

a. EvaluasiKonteks

Evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap kebutuhan, tujuan pemenuhan dan karakteristik individu yang menangani.Seorang evaluator harus sanggup menentukan prioritas kebutuhan dan memilih tujuan yang paling menunjang kesuksesan program.

b. EvaluasiMasukan

Evaluasi masukan mempertimbangkan kemampuan awal atau kondisi awal yang dimiliki oleh institusi untuk melaksanakan sebuah program.

c. Evaluasi Proses

Evaluasi proses diarahkan pada sejauh mana program dilakukan dan sudah terlaksana sesuai dengan rencana.

d. Evaluasi Hasil

Ini merupakan tahap akhir evaluasi dan akan diketahui ketercapaian tujuan, kesesuaian proses dengan pencapaian tujuan, dan ketepatan tindakan yang diberikan, dan dampak dari program.

(5)

14

Model ini dipakai untuk mengetahui kesenjangan yang terjadi pada setiap komponen program.Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut. Model yang terakhir ini yaitu DiscrepancyModelyang oleh peneliti akan dibahas lebih lanjut secara lebih mendalam.Alasannya adalah model ini akan digunakan oleh peneliti untuk melakukan evaluasi program pendidikan inklusif slow learnerdi SD Negeri Pulutan 02 Salatiga.

2.1.2Discrepancy Evaluation Model

Pengertian kata discrepancy diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini

dikembangkan oleh Malcolm Provus dan merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program.Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnyakesenjangan yang ada di setiap komponen (Suharsimi, 2010).

Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut.Standar adalah: kriteria yang telah dikembangkan dan ditetapkan dengan hasil yang efektif. Penampilan adalah: sumber, prosedur, dan hasil nyata yang tampak ketika program dilaksanakan.

(6)

15

atau dihentikan.(2).Untuk mengidentifikasi kelemahan (sesuai dengan standard yang dipilih) dan untuk mengambil tindakan perbaikan dengan penghentian program sebagai pilihan terakhir (3).Langkah Langkah dalam Evaluasi Kesenjangan

Langkah langkah atau tahap tahap yang dilalui dalam mengevaluasi kesenjangan adalah sebagai berikut:

Pertama: Tahap Penyusunan Desain (Definisi). Dalam tahap ini dilakukan kegiatan merumuskan desain program yang terdiri dari input,proses dan ouput dengan variabel-variabelnya antara lain: peserta didik/siswa, tenaga pendidik, kurikulum, kegiatan pembelajaran, sarana prasarana, pemberdayaan masyarakat. Lalu merumuskan standar dalam bentuk rumusan/ kriteria yang dapat diukur, biasanya dalam langkah ini evaluator berkonsultasi dengan pengembang program.

Tujuan evaluasi pada tahap ini adalah untuk mendapatkan desain program dan untuk menilai desain tersebut sesuai dengan kelengkapan dan konsistensi internalnya.Standar untuk membuat penilaian pada tahap 1

ini adalah “Kriteria Desain” atau Desain Standar.Oleh karena

itu pada tahap ini harus ditentukan terlebih dahulu Kriteria Desain atau desain standarnya.

Tabel 2.1 Kriteria Desain/Desain Standar

(7)

16

Kedua, tahap penetapan kelengkapan program (Instalasi). Yaitu melihat apakah kelengkapan yang tersedia sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum.Dan yang akan dievaluasi tahap ini adalah ketepatan berbagai sumber daya/perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program pendidikan inklusif slow learners. Desain pada tahappertama menjadi standar untuk menilai pengoperasian program.

Dalam membuat perbandingan antara instalasi program dengan program standar, evaluator melakukan perbandingan komponen demi komponen denganprogram standar, yang disebut tes kongruensi.Hal ini perlu untuk meyakinkan bahwa program telah diinstal sesuai dengan rancangan yang ditetapkan.Jika ditemukan kesenjangan maka ada 2 pilihan yaitu memodifikasi desain program atau memodifikasi instalasi program (program pelaksana).Setelah instalasi program sudah cukup stabil, maka dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Ketiga, Tahap Proses.Tahap ini juga disebut tahap

(8)

17

ternyata tidak, artinya terdapat kesenjangan dan perlu dilakukan perubahan terhadap aktifitas-aktifitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perlaku tersebut.

Keempat, Tahap pengukuran tujuan (Produk).Yakni tahap mengadakan analisis data dan menetapkan tingkat output/keluaran yang diperoleh.Pertanyaan yang diajukan

dalam tahap ini adalah “apakah program sudah mencapai

tujuan terminalnya?”.Selama tahap produk, penilaian

dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak.

(S)

Program

Standar

(P)

Program

Pelaksana

(S)

Program

Standar

(I)

Input

(O)

Output

(O)

Output

(T)

Tujuan Terminasi PROSES

(9)

18 KETERANGAN :

Tahap I : Menetapkan Program Standar (S) dengan menentukan Kriteria desain.

TahapII :Melakukan perbandingan antara Program Pelaksana(P) dengan Program standar (S) melalui tes kongruensi, jika terjadi kesenjangan, dilakukan modifikasi program standar atau program pelaksana

Tahap III : Melakukan perbandingan sebab akibat, apakah input (I) berubah menjadi Output (O) melalui proses? Jika ada kesenjangan, dilakukan perbaikan proses.

Tahap IV : Apakah Output (O) yang dihasilkan sudah mencapai tujuan terminasinya (T)?

2.2 Pendidikan Inklusif

2.2.1. Pengertian

Pendidikan inklusif adalah suatu filosofi pendidikan dan sosial.Dalam pendidikan inklusif, semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan, apapun perbedaan mereka. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang memperhatikan cara mentransformasi system pendidikan, sehingga dapat merespon keanekaragaman peserta didik yang memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dengan keaneka ragaman tersebut, serta melihatnya lebih sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar dari pada melihatnya sebagai suatu problem. (Kemendiknas, 2013)

Selanjutnya Sapon dan Shevin dalam O’Neil(1995) mengemukakan tentang pendidikan inklusif adalah sistim

(10)

19

layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat biasa dengan teman-teman seusianya. Sekolah ini menggabungkan semua murid berkebutuhan khusus dan murid normal di kelas yang sama.Dan sekolah menyediakan program pendidikan yang layak dan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Sekolah inklusif adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi semua peserta didik pada sekolah yang sama tanpa diskriminasi, ramah dan humanis untuk mengoptimalkan pengembangan potensi semua peserta didik agar menjadi insan yang berdaya guna dan bermartabat. Suatu penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus semua peserta didik, untuk itu sekolah perlu melakukan berbagai modifikasi dan penyesuaian , mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran, serta sistem penilaiannya.

2.2.2 Prinsip-prinsip Pengelolaan Pendidikan Inklusif

(11)

20

dengan kondisi anak oleh karena setiap anak mempunyai kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. (c). Prinsip kebermaknaan. Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang ramah,menerima keragaman dan menghargai perbedaan-perbedaan serta bermakna bagi kemandirian peserta didik. (d). Prinsip keberlanjutan.Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan. (e). Prinsip keterlibatan.Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen pendidikan yang terkait.

2.2.3 Implikasi Manajerial Pendidikan Inklusif

(12)

21

swadaya masyarakat (LSM) dan komite sekolah dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran di sekolah(Dirjen Kemendiknas, 2013)

2.3 Pengertian

Slow Learner

Slow learner atau anak lambat belajar adalah mereka yang memiliki prestasi belajar di bawah standar (di bawah rata-rata anak normal) yaitu skor IQ antara 70 sampai 90 (Cooter & Cooter Jr,2004; Wiley,2007). Dengan kondisi seperti ini, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan teman sebayanya. Siswa slow learner ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan siswa lain yang memiliki taraf intelektual yang sama. Siswa seperti ini tidak di golongkan sebagai murid yang memiliki keterlambatan mental, karena dia dapat mencapai hasil belajar yang cukup memadai kendatipun pada tingkat yang lebih rendah dari pada murid-murid yang memiliki kemampuan normal atau sedang.

2.3.1Karakteristik Slow Learner

Anak yang mengalami kelambanan belajar (Slow Learner) mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1). Kemampuan kognisinya hanya di bawah level normal. (2). Cenderung tidak matang dalam hubungan interpersonal. (3). Kesulitan dalam mengikuti petunjuk-petunjuk yang memiliki banyak langkah. (4). Memiliki sedikit strategi internal, seperti kemampuan organisasional,

(13)

22

materi-materiyangtelah dipersingkat dan diberikan pada anak, seperti kegiatandi laboratorium dan kegiatan manipulatif. (7). Self-image yang buruk. (8). Menguasai keterampilan dengan lambat, beberapa kemampuan bahkan samasekali tidak dapat dikuasai. (9). Memiliki daya ingat yang memadai, tetapi mereka lambat mengingat. (10). Rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah (kurang dari 6). (11). Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkanteman-teman seusianya. (12). Daya tangkap terhadap pelajaran lambat.

2.3.2 Penyebab terjadinya kelambanan belajar/slow learner

Menurut Geddes (1981) penyebab terjadinya kesulitan/kelambanan belajar adalah faktor organ tubuh (organically based etologies) dan lingkungan (environtmentally based etologies). Sementara menurut (Hallahan &Kauffman,1991) ada 3faktor penyebabnyafaktor organik dan biologi, Faktor genetika dan faktor lingkungan.

(14)

23

faktor-faktor genetika. (3).Hubungan diantara tipe-tipe disfungsi otak ketrampilan neural di bawah optimal menyebabkan terjadinya masalah/hambatan pada daerah cerebral berkaitan dengan manifestasi tanda-tanda yang bersifat neurologis halus. (4). Hubungan disfungsi otak dan kelainan belajar anak dimungkinkan dengan gejala disfungsi otak tetapi tidak terdeteksi mempunyai ketidakmampuan belajar.

Sedangkan penyebab atas faktor lingkungan (Geddes,1981) meliputihal-halsebagai berikut: (1). Pengaruh gangguan emosional. Indikasinya adalah anak dengan masalah-masalah emosional cenderung mempunyai kelemahan dalam persepsi,bicara, dan mata pelajaran akademik (Myers & Hammil,1976). (2). Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh sebelumnya.Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensori motor untuk meningkatkan ketrampilan-ketrampilan perceptual. (3). Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan,1976). Kecenderungan kehilangan lingkungan bagi anak akan menimbulkan masalah belajar,kegiatan belajar yang sangat rendah.Menurut Hallahan & Kauffman (1991) faktor genetika menunjukkan bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya kelambanan belajar, khususnya pada hambatan membaca. Sedangkan faktor lingkungan menurut Hallahan & Kauffman (1991) yang menyebabkan masalah kelambanan belajar adalah kekurangan penanganan belajar (poor teaching).

(15)

24

(16)

25

luas.Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan merancang kegiatan-kegiatan kelompok khusus.(Sutrisno,1995)

2.4 Standar Program Pendidikan Inklusif

Slow

Learner

Dalam pengelolaan pendidikan inklusif sesuai Kemendikbud (2013) maka ada 6 komponen input yang perlu diperhatikan untuk dijadikan acuan atau standar Program Pendidikan Inklusif.

2.4.1. Komponen input

2.4.1.1. Peserta Didik

Kriteria standar untuk peserta didik pada program pendidikan inklusif adalah sesuai prosedur di bawah ini: a. Sasaran

Peserta didik di sekolah inklusif terdiri dari peserta didik normal/biasa dan peserta didik berkebutuhan khusus yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,mental,sosial atau memiliki potensial kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Peserta didik yang dikategorikan berkebutuhan khusus antara lain: tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita,tuna daksa,tuna laras, berkesulitan belajar, lamban belajar (slow learner),autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, dll serta peserta didik yang memilikik potensial kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

b. Identifikasi

(17)

26

terkait dengan menggunakan alat/instrumentasi standar maupun non satndar yang dikembangkan oleh guru atau profesional terkait tersebut.

Tujuan identifikasi adalah untuk penjaringan (screening), pengalihtangan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran dan pemantauan kemajuan belajar.

c. Assessment

Assessment adalah tindakan untuk mengetahui kondisi peserta didik meliputi aspek: potensi, kompetensi, dan karakteristik peserta didik dalam rangka penentuan program pendidikan atau intervensi untuk mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Juga asesmen dimaksudkan untuk mengetahui keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun akan benar-benar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Dalam pelaksanaannya perlu melibatkan tenaga ahli seperti psikolog, dokter, dan profesi spesifik yang terkait.Dalam konteks pembelajaran dan layanan kekhususan hasil asesmen dapat digunakan untuk menetapkan kemampuan awal peserta didik sebelum memperoleh layanan pendidikan maupun intervensi kekhususan yang diperlukan.

2.4.1.2Kurikulum

(18)

27

pengembang kurikulum ini terdiri dari : kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus, konselor, psikolog dan ahli lain yang terkait. Modifikasi terjadi pada 4 komponen utama pembelajaran yaitu: tujuan, materi, proses dan evaluasi.

Modifikasi tujuan berarti tujuan pembelajaran kurikulum standar nasional diubah dan disesuaikan dengan kondisi peserta didik slow learner.Sehingga peserta didik berkebutuhan khusus mempunyai rumusan kompetensi yang berbeda dengan peserta didik regular.

Modifikasi isi/ materi artinya merubah materi pembelajaran peserta didik regular untuk disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.Sehingga peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi sesuai dengan kemampuannya.Modifikasi materi meliputi keleluasaan, kedalaman, dan/atau tingkat kesulitan.

Modifikasi proses berarti kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus berbeda dengan kegiatan pembelajaran peserta didik regular. Metode atau strategi pembelajaran yang diterapkan pada peserta didik regular tidak diterapkan pada peserta didik berkebutuhan khusus. Modifikasi proses dalam kegiatan pembelajaran meliputi penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu, media, sumber belajar, dll.

(19)

28 2.4.1.3Tenaga Pendidik

Tenaga Pendidik adalah pendidik professional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program inklusif. Tenaga pendidik ini meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus (GPK).

a. Guru Kelas

Adalah pendidik dan pengajar pada kelas tertentu di sekolh inklusif dengan tugas utama: (1). Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah. (2). Menyusun dan melaksanakan asesmen akademik dan non akademik pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya bersama Guru Pembimbing Khusus (GPK). (3). Menyusun rencana pembelajaran /program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan GPK (4).Melaksanakan kegiatan pembelajaran , penilaian dan tindak lanjut sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah ditetapkan. (5). Memberikan program pembelajaran remedial pengayaan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

b. Guru Mata Pelajaran

(20)

29

individual (PPI) bersama GPK. (4). Melaksanakan kegiatan pembelajaran, penilaian,dan tindak lanjut sesuai dengan rencana pembelajaran/PPI yang telah ditetapkan. (5). Memberikan remedi pengajaran bagi peserta yang membutuhkan.

c. Guru Pembimbing Khusus (GPK)

Adalah guru yang memiliki kompetensi sekurang-kurangnya S1 Pendidikan Luar Biasa atau kependidikan yang memiliki kompetensi ke PLB an sesuai tuntutan profesi yang berfungsi sebagai pendukung guru regular dalam memberikan pelayanan pendidikan khusus atau intervensi kompensatoris sesuai kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Tugas pokok GPK adalah (1).Membangun sistem koordinasi dan kolaborasi antar dan inter tenaga kependidikan serta masyarakat. (2). Membangun jejaring kerja antar lembaga (antar jenjang pendidikn, layanan kesehatan, dunia usaha dll). (3). Menyusun instrument asesmen akademik dan non akademik bersama guru kelas dan guru mata pelajaran. (4). Menyusun Program Pembelajaran Indidual (PPI) bagi peserta didik berkebutuhan khusus bersama guru kelas dan guru mata pelajaran. (5). Menyusun program layanan kompesatoris bagi peserta didik. (6). Melaksanakan pendampingan atau pembelajaran akademik bagi peserta didik berkebutuhan khusus bersama guru kelas dan guru mata pelajaran. (7). Melaksanakan pembelajaran khusus di ruang sumber bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

2.4.1.4Pengelolaan dan Kegiatan Pembelajaran a. Perencanaan Pembelajaran

(21)

30

(2). Penyusunan perangkat pembelajaran (silabus,RPP,LKS,LP dan materi) bagi ABKmempertimbangkan hasl asesmen dan melibatkan pihak-pihak terkait: GPK, psikolog, dokter, orang tua dan lainnya.

b. Pelaksanaan Pembelajaran

(1). Guru mengorganisasi kelas sesuai kebutuhan peserta didik dalam setting kelas inklusif.

(2). Guru menyampaikan pembelajaran mengacu pada standar proses (elaborasi, eksplorasi, konfirmasi) dengan menerapkan strategi yang variatif sesuai kebutuhan didik yang beragam.

(3). Guru menggunakan media pembelajaran yang bervariasi sesuai kebutuhan peserta didik.

(4). Guru memberikan tugas-tugsa dan lembar kerja siswa yang beragam sesuai dengan kebutuhan siswa.

(5). Guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar yang beragam serta berkesinambungan dengan prinsip fleksibilitas.

c. Evaluasi/Penilaian

(22)

31

Tabel 2.2 Model Penilaian Sekolah Inklusi

No JENIS KURIKULUM PESERTA DIDIK EVALUASI

1 Kurikulum Standar Nasional

Peserta didik umum dan ABK

yang memiliki potensi kecerdasan rerata dan di atas rerata

1. Tanpa Modifikasi 2. Modifikasi sesuai dengan jenis kelainan peserta didik

2 Kurikulum akomodatif Peserta didik ABK Disesuaikan dengan jenis dan tingkat kemampuan

Sumber : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013)

2.4.1.5Sarana Prasarana

Sarana dan Prasarana penyelenggara sekolah inklusif terdiri dari 2 bagian yaitu: sarana prasarana umum dan sarana prasarana khusus.

a. Sarana dan Prasarana Umum

(23)

32

kepala sekolah, guru, dan tata usaha, beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan) (8). Lapangan olahraga, beserta peralatannya (perabot dan peralatan) (9). Toilet (10). Ruang kantin.

b. Sarana Khusus untuk ABK/ Slow Learner

Penentuan sarana khusus untuk setiap jenis kelainan didasarkan pada skala prioritas artinya mengacu pada kondisi dan kebutuhan peserta didik. Untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan slow learner diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan assessment dan remedial. Pada umumnya di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai

Resource Room” atau ruang sumber. 2.4.1.6Pemberdayaan Masyarakat

Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu pelaksana pendidikan harus memberdayakan masyarakat agar berpartisipasi dan berperan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Partisipasi dan peran tersebut antara lain: perencanaan, penyediaan tenaga ahli/profesional,pengambilan keputusan, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi, pendanaan,pengawasan dan penyaluran lulusan. Partisipasi dan peranan ini dapat dioptimalkan melalui: komite sekolah, dewan pendidikan dan forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.

2.4.2Komponen Proses

(24)

33

2.4.2.1 Bimbingan bagi anak dengan masalah konsentrasi

a. Mengubah cara mengajar dan jumlah materi yang akan diajarkan.

Siswa yang mengalami masalah perhatian dapat ketinggalan jika materi yang diberikan terlalu cepat atau jika beban menumpuk dengan materi yang kompleks. Oleh karena itu, akan berguna bagi mereka untuk :

 Memperlambat laju presentasi materi

 Menjaga agar siswa tetap terlibat dengan memberi pertanyaan pada materi diberikan.

 Menggunakan perangkat visul seperti membuat bagan/skema garis besar materi untuk memberikan gambaran pada siswa mengenai langkah-langkah atau bagian-bagian yang diajarkan.

b. Adakan pertemuan dengan siswa.

Siswa mungkin tidak menyadari peranan perhatian dalam proses pengajaran. Mereka juga tidak menyadari kalau perhatian merupakan bidang kesulitan tertentu bagi mereka. Dalam pertemuan ini seorang kita memberikan penjelasan dengan cara yang tanpa memberikan hukuman dan tanpa ancaman akan sangat berguna bagi siswa.

c. Membimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran.

Dengan membawa mereka dekat dengan guru secara fisik akan membawa si anak lebih dekat lepada proses pengajaran.

d. Memberikan dorongan secara langsung dan berulang-ulang.

(25)

34

penghargaan verbal yang dilakukan dengan tenang, dan lembut.

e. Mengutamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan menyelesaikan tugas.

Membuat penyesuaian dan jumlah tugas yang harus diselesaikan maupun waktu yang disediakan untuk menyelesaikan tugas berdasarkan kemampuan individuakan sangat membantu dan mendorong bagi sebagian siswa.

2.4.2.2 Bimbingan bagi anak dengan masalah daya ingat

a. Ajarkan menggunakan highlighting atau menggaris bawahi dengan penanda, untuk membantu memancing ingatan. Mereka harus diberi tahu cara memilih tajuk bacaan, kalimat dan istilah kunci untuk diberi garis bawah atau tanda dengan highlighter. Kemudian mereview dari bacaan yang sudah digaris bawahi tadi.

b. Perbolehkan menggunakan alat bantu memori (memoryaid). Yang mana alat-alat itu bias berfungsi bagi mereka sebagai alat pengingat dan bias jadi juga sebagai alat pengajaran.

c. Biarkan siswa yang mengalami masalah sulit mengingat untuk mengambil tahapan yang lebih kecil dalam pengajaran.Misalnya dengan membagi tugas-tugas kelas dan rumah atau dengan memberikan tes kemampuan penguasaan lebih sering.

(26)

35

2.4.2.3 Bimbingan bagi anak dengan masalah kognisi

a. Berikan materi yang dipelajari dalam konteks

highmeaning”.

Ini berguna untuk untuk mengetahui apakah siswa memahami arti bacaan mereka atau arti suatu pertanyaan mengenai materi baru.Pengertian dapat diperkokoh dengan menggunakan contoh, analogi atau kontras.

b. Menunda ujian akhir dan penilaian.

Perlu memberikan umpan balik dan dorongan yang lebih sering bagi siswa berkesulitan belajar. Evaluai terhadap tugas mereka sebagai tambahan pengajaran akan sangat membantu. Dengan kata lain, suatu kesadaran yang konstan mengenai siswasiswa ini akan membentuk kepercayaan diri dan kemampuan mereka. Bagi sebagian siswa, menunda ujian akhir mereka sampai siswa menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, mungkin merupakan cara terbaik.

c. Tempatkan siswa dalam konteks pembelajaran yang “tidak

pernah gagal”.

(27)

36

2.4.2.4 Bimbingan bagi anak dengan masalah sosial dan Emosional

a. Membuat sistem perhargaan kelas yang dapat diterima dan dapat diakses.

Siswa yang berkesulitan belajar perlu memahami sistem penghargaan ini dikelas dan merasa ikut serta di dalamnya. Jangan sampai siswa yang berkesulitan melajar

merasa “out laws”, mereka yang tidak memilki kesempatan untuk mendapatkan penghargaan yang diterima siswa lain. Untuk memahami bagaimana mereka bias mendapatkan penghargaan yang baik, para siswa disini perlu diberi pemahaman tentang bagaimana caramendapatkan keuntungan sosial dari sikap positif dan hubungan social yang baik dikelas. Beberapa siswa mungkin ingin pembuktian langsung dikelas.

b. Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain.

Sebagian siswa yang berkesulitan belajar tidak memilki kesadaran yang jelas pada sikapnya sendiri serta dampaknya pada orang lain. Membantu siswa ini menjadi lebih mengenal sikap mereka dan dampaknya pada orang lain merupakan kesempatan yang berarti bagi perkembangan sosial dan emosional. Berbicara terbuka dan penuh perhatian kepada siswa ini mengenai sikapnya juga dapat menjadi langkah penting dalam membentuk hubungan yang saling percaya di antara mereka.

c. Mengajarkan sikap positif.

(28)

37

hubungan yang baik dan senseofself (citra diri) yang lebih positif.

d. Minta bantuan

Jika sikap seorang siswa lamban belajar sangat tidak layak atau sikap negatifnya tetap ada ketika semua cara telah dicoba, jangan ragu minta bantuan. Cari bantuan pada teman sejawat disekolah yang mungkin dapat memberikan bantuan dalam menjelaskan masalah-masalah social dan emosional, serta mencari solusi mengenai kesulitan tersebut.Pertolongan ini bisa datang dari psikolog, konselor, orang tua, guru, dan kepala sekolah. Terpenting bagi seorang pendidik memahami bahwa minta bantuan bukan tanda kelemahan atau ketidakmampuan.

2.4.3Komponen Output

Tujuan diselenggarakannya program pendidikan inklusif di sekolah regular, sesuai dengan Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 adalah untuk memberikan kesematan yang seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif. Karena itu sesuai dengan tujuannya maka output yang diharapkan dari program pendidikan inklusif adalah sebagai berikut:

2.4.3.1 Peserta Didik

(29)

38

mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan atau kecacatannya.

2.4.3.2Tenaga Pendidik (Guru)

Komponen tenaga pendidik (guru) yang perlu diperhatikan adalah pada (a). Mampu melakukan pembelajaran bagi peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam. (b). Mampu mengatasi tantangan, khususnya dalam menangani masalah siswa-siwa slow learner.(b). Mampu mengembangkan sikap yang positif terhadap situasi anak yang beragam. (c). Mampu mengaplikasi gagasan baru, kreatif dan mendorong peserta didik lebih proaktif.

2.4.3.3 Orang tua dan Masyarakat

Komponen tenaga orang tua dan masyarakat yang perlu di perhatikan karena (a). Orang tua lebih mengerti tentang pendidikan bagi anaknya. (b). Orang tua merasa dihargai dan dianggap mitra dalam memberikan pendidikan bagi anaknya (c).Masyarakat bangga karena lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran (d).Masyarakat melihat bahwa potensi masalah sosial seperti kenakalan anak-anak bisa dikurangi. (e). Anggota masyarakat menjadi terlibat di sekolah dalam menciptakan hubungan lebih baik antara sekolah dan masyarakat.

(30)

39

Penelitian yang relevan di bidang evaluasi pendidikan inklusif yang dapat dikutip sebagai rujukan bagi penelitian ini adalah

1. Penelitian yang dilakukan Istiningsih (2005) tentang

“Manajemen Pendidikan Inklusif”. Dalam penelitian

inidiperoleh gambaran bahwa dalam manajemen rekrutmen/identifikasi anak yang dilakukan oleh para guru dan para pembimbing khusus bagi anak yang membutuhkan pelayanan khusus telah memperoleh hasil yang cukup bagus, manajemen kurikulum yang memadukan kurikulum reguler yang disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi anak yang memerlukan pelayanan khusus, manajemen sumber dana yang mencakup APBN, subsidi propinsi, subsidi kabupaten dan subsidi khusus pendidikan inklusif, manajemen pengadaan dan pembinaan tenaga kependidikan yang terdiri dari guru kelas biasa/reguler dan guru pembimbing khusus bagi anak yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang tetap mengutamakan pembinaan profesi dan pembinaan karir, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang mencakup sarana umum dan sarana khusus bagi anak yang memerlukan pelayanan khusus, manajemen kegiatan belajar mengajar/perangkat KBM yang mencakup pembelajaran umum seperti halnya sekolah reguler yang dipadukan pembelajaran khusus bagi anak yang memerlukan pelayan pendidikan khusus, serta manajemen pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara optimal sehingga diperoleh sinergi kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan masyarakat.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Terry Irenewaty dan Aman

(31)

40

SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada empat kendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu yang pertama sarana prasarana, keduapsikologi dari guru dan masyarakat, ketiga penilaian negatif dari masyarakat terhadap ABK, keempat Kebijakan dari penguasa setempat. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala kendala tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi ke berbagai daerah dan tempat tentang pendidikan inklusif sehingga tidak akanada lagi diskriminasi terhadap ABK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2013), tentang

“Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi Anak

Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Kabupaten

Pontianak”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

komponen konteks landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Dari komponen input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi seluruh siswa yang ada. Sedangkan dari komponen proses menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek yang dinilai,hasilnyamasuk dalamkategori baik dan cukup baik. Dan dari komponen produk menunjukkanproduk perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS dan UN dinilai cukup menggembirakan.

4. Penelitian oleh Fitri Nurcahyani (2013) tentang “Evaluasi Implementasi Kurikulum di Sekolah Inklusi SDN Mriyunan

Sidayu Gresik” dengan menggunakan model evaluasi CIPP.

(32)

41

konteks, masukan (perencanaan), proses pelaksanaan, hingga evaluasi keterlaksanaannya mencapai 90% yang dikategorikan sangat baik. Sehingga direkomendasikan untuk melanjutkan program pendidikan inklusi di SDN Mriyunan Sidayu Gresik dengan pertimbangan memperbaiki atau meningkatkan aspek-aspek yang belum terpenuhi.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Preliyano Rosandra

Hitiyahubessy (2014) yang berjudul “Pengembangan Model

Pembelajaran Inklusif Slow Learner di Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Salatiga” dengan penelitian Riset and Development (R&D).Hasil pengembangan dalam penelitian ini yaitu sekolah dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif bagi siswa inklusif slow learner.

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Desain/Desain Standar
Tabel 2.2 Model Penilaian Sekolah Inklusi

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio likuiditas (Current Ratio, Quick Ratio, dan Working Capital to Total Assets), rasio solvabilitas

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Berdasarkan angka 1 s.d 7 diatas, Pokja Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya pada ULP Kabupaten Bengkulu Utara mengumumkan pemenang seleksi umum paket pekerjaan

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah

test Tes tulisan (UAS) menentukan penyebab dari masalah sistem Menyusun kerangka teori menggunakan sumber teori yang berasal 1 sumber teori yang berbeda dengan benar

Memainkan alat perkusi dengan corak irama dan dinamik yang betul mengikut tempo berdasarkan skor secara konsisten. Memainkan alat perkusi dengan corak irama dan

Menganalisis data bivariat dengan uji korelasi regresi sederhana serta alternatif ujinya (non parametrik) dengan baik dan benar. Menganalisis data bivariat dengan uji