BOROK – BOROK
DEMOKRASI
&
PEMILU
KATA PENGANTAR
Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Yahfadzuhullahu Ta’ala (• Ditulis sebelum beliau meninggal dunia --rahimahullahu rahmatan waasi’an--. (Pent.)•
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Nabi kita
Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada
sesembahan yang hak kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’du,
Satu di antara tanda-tanda kenabian adalah bangkitnya Ahlus Sunnah untuk membantah ahli
bid’ah dan orang-orang yang menyimpang. Dan ini termasuk bukti benarnya sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Akan terus ada sekelomok dari umatku yang tegak di atas
kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi dan menghinakan
mereka hingga datangnya urusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian.”
Ahlus Sunnah-lah yang membongkar kebatilan dan kedustaan khawarij, rafidlah dan
jahmiyyah. Ahlus Sunnah pula yang berdiri tegak menghadapi kerancuan-kerancuan dan lelucon
mu’tazilah.
Apabila engkau membaca sejarah niscaya akan kau dapati bahwasannya orang-orang yang
bangkit untuk membantah kebatilan-kebatilan tersebut adalah Ahlus Sunnah. Demikian pula
ketika kau membaca bantahan-bantahan para imam kita terhadap ahli bid’ah niscaya hatimu akan
menjadi sejuk. Maha Benar Allah ketika berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menjaga Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)
Sungguh Allah telah menjaga agama-Nya dari perubahan, penggantian dan penyimpangan.
Hingga tatkala ahli bid’ah melakukan penyimpangan maka Ahlus Sunnah pun bangkit untuk
membantah mereka. Maha Benar firman Allah Azza wa Jalla :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (QS. Al Anbiya : 18)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi.” (QS. Ar Ra’d : 17)
Dia juga berfirman :
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan ini untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim : 24-26)
Tidaklah kebatilan itu menjadi besar dan berkuasa kecuali sebentar. Demikianlah dari
zaman ke zaman. Para pengekor kebatilan akan susut habis seiring dengan matinya kebatilan
tersebut. Mereka tidak dikenang kecuali dengan celaan dan tahdzir .
Di zaman kita sekarang ini, generasi penerus pendukung paham sekuler dan komunis telah
bergerak dengan satu baju. Dan orang yang menyingkap kejahatan mereka adalah Ahlus Sunnah.
Demikian juga telah bergerak ahli bid’ah dari kalangan orang-orang sufi, syiah, hizbiyyun, dan
jamaah takfir. Maka orang yang menghadapi dan membantah kebatilan mereka adalah Ahlus
Sunnah. Subhanallah, orang-orang yang dihadapi Ahlus Sunnah akan terbakar dan terbakar pula
fikrahnya. Benarlah perkataan seorang penyair :
Tidaklah orang yang mati istirahat dengan kematiannya
Tidak lain kematian adalah matinya orang yang punya kehidupan Orang yang mati adalah orang yang hidup dalam keadaan sedih Putus asa dan sedikit harapan
Betapa banyak seorang hizbi yang tadinya memiliki kekuasaan, kebesaran dan dijuluki
dengan gelar-gelar penghormatan namun setelah Ahlus Sunnah menjelaskan keadaannya matilah
Di antara ulama Ahlus Sunnah masa kini yang bangkit menghadapi para pengekor kebatilan
itu adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, Syaikh Rabi’ bin Hadi dan lain-lain.
Di Yaman adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi, Syaikh Abul Hasan
Al Ma’ribi, Syaikh Abdul Aziz Al Bura’i, Syaikh Abdullah bin Utsman Adz Dzammari, Syaikh
Utsman bin Abdillah Al Utmi, Syaikh Yahya Al Hajuri, Syaikh Ahmad bin Sa’id Al Hajuri dan
Syaikh Abdurraqib Al Ibbi.
Dan di antara mereka adalah Syaikh Ad Da’iyah Muhammad bin Abdillah Ar Rimi yang
digelari dengan Al Imam. Adalah beliau hafidzahullah memadukan ilmu, amal dan dakwah.
Murid beliau berjumlah sekitar tujuh ratus hingga delapan ratus orang. Pada liburan musim panas
tak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah. Sungguh madrasahnya telah
membuahkan hasil yang baik. Beliau terus mendidik, mengajar dan bersabar menghadapi makar
hizbiyyun. Sampai kemudian mereka datang menipu murid-muridnya dengan harta. Beliau
menyadari bahaya ini dan nyaris putus asa akan kemungkinan rujuknya kebanyakan mereka.
Maka bangkitlah Syaikh Al Imam memperingatkan umat dari bahaya hizbiyyun.
Buku ini adalah buku yang barakah di mana beliau membantah hizbiyyun dengan cara yang
baik. Aku tidak melihat ada buku lain yang sama baik dalam pembahasannya.
Semoga Allah membalas kebaikan kepada saudara kita Syaikh Muhammad dan
memberinya taufik agar tambah bersemangat dan kian kuat membela agama dan Ahlus Sunnah.
Semoga Allah melindungi kita dan beliau dari segala keburukan.
Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
7 Sya’ban 1417 H
KATA PENGANTAR
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Abdali
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi yang tidak
ada nabi sesudahnya.
Amma ba’du,
Aku telah membaca buku yang ditulis oleh saudara kita Asy Syaikh Al Fadhil As Salafi
Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Ar Rimi yang digelari dengan Al Imam sekitar pembahasan
kerusakan-kerusakan pemilu. Aku dapati buku ini adalah buku yang lurus dan berbicara atas
nama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik atas nasihat
yang beliau curahkan kepada kaum Muslimin secara umum, para pejabat secara khusus dan lebih
khusus lagi kepada elit-elit partai politik. Seperti inilah hendaknya Ahlus Sunnah wal Jamaah
menjadi pemberi nasihat bagi sekalian umat Islam.
Semoga Allah memberikan taufik kepada semuanya terhadap apa yang Dia cintai dan
ridhai. Dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga
dan para shahabat beliau dengan sebanyak-banyaknya.
Ditulis oleh
Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhab Al Abdali
MUKADIMAH
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya.
Dan kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kita dan dari keburukan amalan-amalan
kita. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang bisa
menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang bisa
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar
kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran : 102)
Allah juga berfirman dalam ayat yang lain :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah mengkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisa’ : 1)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab : 70-71)
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka.
Amma ba’du,
Pada masa-masa belakangan ini --terlebih abad tiga belas dan empat belas Hijriyyah-- telah
perang pemikiran yang mengerikan. Orang-orang yahudi dan nasrani memerangi Islam di setiap
lini. Mereka berusaha mengurai tali Islam seutas demi seutas. Mereka pun berusaha meracuni
kaum Muslimin dengan memasukkan kerancuan-kerancuan di dalam Al Quranul Karim, Sunnah
Nabi yang shahih, Bahasa Arab dan sejarah. Mereka menikam umat Islam ketika mayoritas umat
dalam keadaan lupa dan lalai terhadap agama mereka.
Tikaman terbesar yang ditimpakan kepada kaum Muslimin adalah makar penyebaran
perbedaan pemikiran dan madzhab (khilaf al fikri wal madzhabi) yaitu menyangkut perkara yang
berkaitan dengan penguasa dan pemerintah kaum Muslimin yang dipasang oleh musuh-musuh
Islam. Ketika mereka berhasil menebarkan ikhtilaf pemikiran dan madzhab di antara orang-orang
tersebut mereka pun mampu meruntuhkan Khilafah Islamiyyah. Mereka terus-menerus
memperluas jurang perbedaan yang besar ini. Kemudian mereka jadikan negeri kaum Muslimin
tersekat-sekat dan terpecah-belah. Setelah mereka sukses melakukan ini semua mereka pun
berdaya upaya memisahkan Islam dari kehidupan umat, aktivitas pemerintahan dan yang lainnya
dengan menyusun undang-undang buatan (manusia) dan menggambarkannya seolah-olah sebagai
semangat zaman dan puncak peradaban.
Maka muncullah musibah yang menimpa kaum Muslimin --pertama-tama-- di dalam
perihal agama mereka. Kemudian diikuti oleh musibah pada kehidupan dunia mereka. Dan
musibah demi musibah ini kian bertambah parah dengan kemunculan demokrasi. Mereka
mengatakan demokrasi inilah yang relevan dengan situasi kekinian, norma hukum yang
melestarikan hak-hak asasi. Kenyataan ini diperkuat oleh kebodohan kaum Muslimin sendiri
terhadap agama mereka. Sehingga jadilah metodologi dan fikrah (paham) demokrasi ini sebagai
“Rabb” bagi orang-orang yang mengimaninya, mengamalkan dan menjaganya.
Al Quran dan As Sunnah cukup untuk menyingkap dan menguak kejahatan ini. Allah
Ta’ala berfirman :
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Quran (supaya jelas jalan orang-orang shalih) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al An’am : 55)
Ayat ini adalah penjelasan dari Rabb kita Yang Maha Mengetahui segala yang rahasia dan
tersembunyi, Yang Maha Mengetahui segala yang kasat mata maupun yang tersimpan di dalam
dada. Ayat ini datang menjelaskan bahwa merupakan satu keharusan untuk memperingatkan
manusia agar berhati-hati dari kekufuran, kesyirikan dan kejahatan --termasuk-- demokrasi
Demokrasi adalah kejahatan yang tidak akan tegak agama kaum Muslimin kecuali dengan
memutus dan memisahkannya dari jalan yang benar. Manusia yang paling sempurna
pengetahuannya terhadap Rabb dan agama mereka adalah manusia yang memiliki ilmu tentang
Al Kitab dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah yang mampu mendeteksi
kekufuran yang muncul atas nama kemajuan, peningkatan, hak-hak asasi manusia dan
perlindungan terhadap umat yang tertindas.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al An’am : 55)
Maka kita harus mengetahui bahwa perkara terbesar yang bisa membantu kita menghadapi
bahaya dan berbagai sarananya adalah beramal dengan cara-cara syar’i. Di samping itu kita juga
harus mengetahui hakikat Islam dan hakikat kekufuran. Islam tidak butuh kepada seluruh hukum
dan syariat-syariat buatan. Karena di dalamnya terdapat makrifat hakikat Islam dan kekufuran.
Rabb kita Jalla Sya’nuhu sendiri telah menjelaskan hal ini dengan tujuan agar kita dapat
mengetahui yang benar dari yang salah.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al Furqan : 33)
Sesungguhnya al haq itulah yang akan menghancurkan kebatilan sehancur-hancurnya.
Sungguh Allah telah menjelaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga Nabi-Nya Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam tentang keadaan orang-orang yang sesat dan membuat kerusakan di muka
bumi.
Yang menambah rusak urusan adalah jika ada orang yang mengaku berilmu dari kalangan
penulis, budayawan dan para “ulama” menjulurkan lidahnya di belakang ketamakan terhadap
dunia. Mereka bangkit membantah musuh-musuh Allah namun bantahan mereka tidak didasarkan
pada kekuatan hujjah dan kedalaman akidah yang benar. Dan mereka sangat lemah dalam hal
penguasaan ilmu syari’ah.
Belum lama mereka membantah dan meyakinkan umat tentang rusaknya kemajuan yang
dicapai Eropa tiba-tiba kini justru mereka yang mencocoki Eropa dalam perkara-perkara yang
baru saja diingkari. Tiap orang dari mereka telah membuka satu pintu masuk bagi
masuk lewat pintu riba. Sebagian lainnya masuk melalui pintu seruan kepada westernisasi. Yang
lain lagi masuk lewat pintu seruan mengambil undang-undang mereka. Yang lain masuk lewat
pintu seruan untuk melupakan dan membuang masa lalu termasuk membuang kewajiban
berhukum dengan Al Quran dan As Sunnah yang suci. Sebagian lagi menyeru untuk melakukan
“peninjauan ulang” terhadap syariat. Sebagian menyeru kepada persatuan agama-agama.
Sebagian menyerukan pendekatan antara As Sunnah dengan aliran-aliran sesat. Sebagian
menyeru kepada hizbiyyah. Sebagian menyeru agar menerima simbol-simbol dan esensi
demokrasi. Sebagian menyeru kepada pemilu dengan anggapan bahwa yang diharamkan hanya
demokrasinya saja. Demokrasi itu sistem kufur namun pemilu tidaklah demikian. Begitu menurut
mereka.
Ketika muncul pada diri mereka sikap tidak patuh pada kebenaran jadilah kebenaran --yang
kemarin hari masih dianggap sebagai kebenaran-- menjadi kebatilan pada hari ini. Kerancuan
demi kerancuan melumuri mereka. Sehingga mereka pun menjadi pembela pemikiran-pemikiran
dan pandangan-pandangan yang dibawa oleh musuh serta sangat bersemangat untuk meyakinkan
manusia bahwa hal itu tidak mengeluarkan seorang Muslim dari ajaran agama. Mereka
menganggap enteng hal-hal yang diharamkan. Salah seorang di antara mereka mengatakan :
“Seorang Muslim dapat menerima undang-undang buatan dalam keadaan dia tetap berada di atas
akidahnya.”
Benarlah Umar ketika berkata kepada Ziyad bin Hudhair : “Tahukah kamu hal-hal yang bisa menghancurkan Islam?” Ziyad berkata, aku menjawab : “Tidak tahu.” Umar berkata : “Yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya seorang alim, bantahan seorang munafik dengan menggunakan Al Kitab dan berkuasanya para pemimpin yang menyesatkan.” (Riwayat Ad Darimi dan Ibnu Abdil Barr di dalam Al Jami’ dan atsar ini adalah shahih)
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Adi bahwasanya Umar radliyallahu 'anhu
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah seorang munafik yang pintar bicara.”
Juga terdapat riwayat Ahmad dan Thabrani dari hadits Abu Darda ia berkata, bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari hadits Imran bin Hushain
radliyallahu ‘anhu.
Yang dikhawatirkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah apa yang telah
diperlihatkan oleh Allah kepada beliau dari fitnah-fitnah yang akan terjadi pada umat ini.
Sungguh Allah telah memperlihatkan dan memberitahukan kepada beliau tentang para pelakunya.
Nabi menamai mereka sebagai “para pemimpin yang menyesatkan”. Mereka kerahkan segenap
potensi yang mereka miliki untuk membantah dan mendebat Al Quran serta menebarkan
kerancuan-kerancuan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berdebat tentang Al Quran adalah kufur.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dari
Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)
Mereka mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat• dari Al Quran untuk menyesatkan
manusia dan memberikan kerancuan kepada kaum Muslimin.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (QS. Ali Imran : 7)
Dengan sebab mereka, merebaklah perdebatan dan penyimpangan di kalangan kaum
Muslimin. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memperingatkan kita agar
berhati-hati dari golongan ini. Di dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari hadits Aisyah
radliyallahu ‘anha beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membaca : [Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Quran] hingga firman-Nya : [Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal] (kemudian) beliau bersabda : “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah maka berhati-hatilah terhadap mereka.”
Yaitu terus menerus waspada dari bahaya pemikiran dan talbis (pengkaburan) mereka.
Sungguh kalangan Salaf telah menjatuhkan sikap dan sanksi yang setimpal terhadap golongan
Mereka, Salafus Shalih berdiri menghadapi mereka karena menyadari bahayanya golongan
ini, golongan yang tidak dikaruniai ilmu yang bermanfaat, sikap tsabat (keteguhan) dan
keikhlasan hati. Bahkan mereka selalu ditimpa keraguan dan kebimbangan. Mereka menyangka
berada di atas kebenaran dan hujjah, bersikap sombong terhadap ulama Rabbaniyyin,
menghantam setiap penyeru al haq, menentang para ulama Salaf dan pemahaman mereka bahkan
menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sampai-sampai salah seorang di antara
mereka mengatakan : “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam masih hidup niscaya beliau akan berhukum dengan demokrasi. Seandainya beliau masih hidup niscaya akan mendoakan keberkahan terhadap kami atas kemajuan ini.”
Setiap orang yang sesat dari golongan ini menganggap benar madzhab dan kelompoknya
meski pada akhirnya yang muncul adalah penyimpangan di kalangan manusia. Setan selalu
berkata kepada mereka : “Kalian berada di atas sirath al mustaqim!”
Ketika telah terbongkar dan tersingkap keadaan mereka yang sebenarnya mereka pun
tampil dengan wajah yang lain dan rupa yang bermacam-macam. Akan tetapi sebanyak dan
segiat apapun orang-orang yang menyimpang itu membikin kerancuan maka sungguh Allah telah
menugaskan satu kaum untuk membongkar dan menjelaskan kesalahan mereka, melumpuhkan
syubhat mereka, menjelaskan pembelotan mereka dari kebenaran, bahaya mereka terhadap umat
dan kerusakan yang mereka lakukan terhadap Islam. Kelompok yang diberkahi adalah Ahli Ilmu
yang mendapat bimbingan dan taufik dari Allah untuk beramal dengan Kitab-Nya dan Sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman Salaful Ummah dalam keyakinan,
ucapan maupun amalan. Merekalah orang-orang yang dipilih Allah untuk membela agama-Nya.
Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa kelompok
tersebut akan senantiasa ada sepanjang masa.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang menampakkan kebenaran hingga datang keputusan Allah sedang mereka dalam keadaan menang.” (Hadits Muttafaq ‘alaihi dari Al Mughirah radliyallahu 'anhu)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Mu’awiyah radliyallahu ‘anhu dari Nabi
“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghina dan menyelisihi mereka sehingga datang urusan Allah dan mereka dalam keadaan menang atas manusia.”
Hadits ini juga datang secara mutawatir dari Tsauban, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Imran bin
Hushain, Uqbah bin Amir, Qurrah bin Iyas, Jabir bin Abdillah, Jabir bin Samurah, Sa’d bin Abi
Waqqash, Abu Anbah Al Khaulani dan lain-lain.
Sungguh Allah telah menjaga agama-Nya dengan thaifah (kelompok) yang selalu
mendapatkan pertolongan ini dahulu maupun sekarang. Dan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah telah bersepakat bahwa thaifah yang dimaksud adalah Ahlul Hadits. Sebagaimana
pendapat Ahmad bin Hambal, Ibnu Al Mubarak, Ibnu Al Madini, Yazid bin Harun, Al Bukhari
dan lain-lain. Untuk melihat riwayat perkataan mereka ini silakan merujuk pada Kitab As Sunnah
karangan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan selainnya dari kitab-kitab akidah Ahlus Sunnah
Wal Jamaah.
Adapun yang dilakukan para ulama umat di masa sekarang ini di dalam membantah pelaku
kebatilan merupakan kelanjutan saja dari jejak langkah penuh berkah yang pernah ditempuh oleh
para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dan perkara pemilu yang akan kami jelaskan hukumya
menurut syariat adalah di antara perkara-perkara yang menjadi fitnah bagi kaum Muslimin dan
sebagian orang yang mengaku memiliki ilmu dan pemahaman. Maka wajib bagi kami untuk
menimbangnya dengan timbangan syariat seperti yang akan pembaca dapati penjelasannya di
pembahasan ini. Insya Allah.
Aku dapati masalah pemilu ini memiliki banyak sekali mafsadat (kerusakan) sebagaimana
tercantum di dalam Al Quran secara rinci.
Tidak ada seorang pun yang menelaah sebagian apalagi keseluruhan dari
kerusakan-kerusakan pemilu yang tidak sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya ia merupakan sistem
thaghut. Pemilu diharamkan dengan sangat keras pasti tanpa keraguan. Meskipun dulu saya akui
bahwa saya tidak mampu membahas masalah ini karena beberapa sebab di antaranya ialah
keterbatasan ilmu. Dan saya juga tidak ingin membuat kitab ini jadi berat dengan banyak
pembahasan dan kutipan dari para ulama.
Dan aku berusaha untuk tidak menyebut hadits kecuali yang shahih lidzatihi atau lighairihi
dan hasan lidzatihi atau lighairihi. Dan inilah yang selaras dengan keyakinan kita yang mantap
manapun. Inilah ajaran yang para shahabat berada di atasnya. Inilah yang diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap mereka sebagaimana telah dimaklumi. Dan amalan ini
--yaitu menjauhi hadits munkar dan dhaif-- adalah wajib bagi kita supaya kita tidak memasukkan
ke dalam agama sesuatu yang bukan bagiannya. Inilah perbuatan ulama Ahlul Hadits.
Aku bagi kitab ini menjadi dua pasal, kerusakan pemilu dan syubhat serta bantahannya.
Dan aku buat mukadimah yang memuat definisi dan pengertian demokrasi dan aku akhiri dengan
menjelaskan sekilas tentang aspek dakwah kami yang kami sarikan dari Al Quran dan As Sunnah
dan manhaj Salaful Ummah sebagai nasihat untuk kaum Muslimin serta penutup kitab.
BAB I : DEMOKRASI SYIRIK VS MAJELIS SYURA' SYAR'IYYAH
Definisi Demokrasi
Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah
mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber
kekuasaan.
Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap teori demokrasi adalah
Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu bukan majemuk. Definisi ini
juga yang dikatakan oleh Muhammad Quthb dalam bukunya Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah.
Dan juga oleh penulis buku Ad Dimuqrathiyyah fi Al Islam serta yang lainnya.
Perkembangan Demokrasi
Revolusi Prancis tercetus dengan semboyannya yang terkenal “kebebasan, persaudaraan,
dan persamaan .” Prancis memasukkan demokrasi ke dalam undang-undang dasarnya di bawah
judul Hak-Hak Asasi Manusia pada pasal ketiga :
“Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan. Setiap lembaga atau individu yang
memegang kekuasaan tidak lain mengambil kekuasaan dari rakyat.”
Pasal ini dimasukkan kembali pada undang-undang dasar tahun 1791 M. Di situ disebutkan
bahwa tahta kepemimpinan adalah milik rakyat. Sistem ini tidak mengakui model pembagian
kekuasaan, pengunduran diri ataupun meraih kekuasaan dengan cara kudeta.
Kemudian paham demokrasi inipun dicantumkan di dalam undang-undang dasar sebagian
negara Arab dan Islam. Sebagai contoh di Mesir ditetapkan di dalam undang-undang kesatu
tahun 1923 serta 1956. Dan pada tahun 1971 di dalam undang-undang tersebut terdapat teks yang
menyebutkan antara lain bahwa :
“Kepemimpinan adalah milik rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan menurut cara yang dijelaskan di dalam undang-undang.”
Pasal ini terdapat pada undang-undang nyaris semua negara Arab dan Islam. Pasal semacam
ini juga termaktub di dalam undang-undang Yaman, negara kami. Pada pasal empat misalnya
disebutkan :
kekuasaan itu dapat dilakukan secara tidak langsung melalui lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta melalui majelis-majelis perwakilan yang dipilih.”
Dari sini dapat diketahui bahwa demokrasi adalah “Rabb” yang berhak menetapkan syariat.
Maka tidak samar bagi seorang Muslim bahwa ini adalah perbuatan kufur akbar, syirik akbar, dan
kezaliman yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan perkataan Luqman Al
Hakim :
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)
Syirik apalagi yang lebih besar daripada meniadakan peribadatan kepada Allah?
Demokrasi sendiri memiliki tiga unsur yaitu :
1. At Tasyri’ (Legislatif)
Tidak ada yang berhak menetapkan peraturan kecuali demokrasi. Padahal Allah-lah Ahkamul
Hakimin (Hakim Yang Seadil-adilnya) dan Arhamur Rahimin (Yang Maha Penyayang) yang
bagi-Nya seluruh kekuasaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dalam demokrasi,
hukum-hukum-Nya tidak lagi berlaku. Dia tidak boleh membuat peraturan bagi
hamba-hamba-Nya. Membuat peraturan adalah ujung tombak dari undang-undang. Karena itulah
dibuat peraturan demi melestarikan demokrasi.
2. Al Qadha’ (Yudikatif)
Tidak diperkenankan bagi seorang penguasa pun untuk memutuskan sesuatu kecuali
berdasarkan undang-undang. Kalau tidak maka dia akan terkena hukuman. Sebagaimana
tertera pada pasal 147 undang-undang dasar negeri Yaman : “Memberi keputusan adalah
kekuasaan tersendiri baik di dalam masalah hukum, harta kekayaan maupun administrasi.
Dan pengadilan diberi kemerdekaan untuk memberi keputusan hukum dalam seluruh perkara
perdata dan pidana. Para hakim adalah independen, tidak ada atasan bagi mereka dalam
menjatuhkan vonis kecuali undang-undang.”
Renungkanlah kata-kata “tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis kecuali
undang-undang”.
3. At Tanfidz (Eksekutif)
Tidak boleh melaksanakan satu keputusan pun kecuali yang berasal dari undang-undang. Itu
berarti membekukan seluruh aturan-aturan syari’ah dan kepada Allah-lah tempat mengadukan
“Yang menjadi pelaksana kekuasaan sebagai ganti dari rakyat adalah presiden dan kementrian sesuai garis-garis yang telah ditentukan di dalam undangundang.”
Apabila kita telah mengetahui bahwa demokrasi merupakan sistem hidup menurut kacamata
pembuat dan pembelanya maka yakinlah kita bahwa ia tidak hendak lengser dan berubah.
Demokrasi adalah sistem sosial politik internasional yang disokong dan disepakati oleh
negara-negara besar. Demokrasi adalah sistem dan pandangan hidup global. Tidak ada halangan bagi
kelompok pro-demokrasi untuk mengubah satu bagian atau satu kata saja dari pasal tersebut demi
kepentingan demokrasi itu sendiri. Namun itu dilakukan bukan untuk meruntuhkannya seperti
kenyataan yang kita saksikan sekarang.
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)
Di sini ada persoalan penting yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap orang
yang menerima paham demokrasi tanpa adanya alasan syar’i?
Jawab :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)
Allah menjadikan orang yang menginginkan selain Islam termasuk golongan “orang-orang
yang merugi pada hari kiamat” kecuali orang tersebut belum sampai pada apa yang dia inginkan
dan belum mengerjakan apa yang dia maukan.
Allah berfirman mengisahkan kerugian orang ini :
Dan barangsiapa yang ringan timbangannya maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. Muka mereka dibakar api neraka dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu sekalian tetapi kamu selalu mendustakannya? Mereka berkata : “Ya Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami dan adalah kami orang-orang yang sesat.” (QS. Al Mukminun : 103-106)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya ada dua hukum, hukum Allah Azza wa Jalla
dan hukum makhluk-Nya. Dan Allah menjelaskan bahwa hukum selain-Nya adalah hukum
jahiliyah walaupun manusia memandangnya sebagai lambang kemajuan dan “lebih demokratis”.
Dan demokrasi adalah hukum jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al Maidah : 47)
Sebab turunnya ayat ini adalah ketika ahlul kitab mengingkari hukuman terhadap seorang
pezina yang Allah syariatkan di dalam kitab mereka dan lebih ridha dengan hukum yang mereka
buat. Allah memvonis mereka dengan kekufuran, kezaliman, dan kefasikan. Lalu, bagaimana
dengan orang yang menentang semua hukum Allah, mengingkari dan memperolok-oloknya?
Bukankah kekufuran, kezaliman, serta kefasikannya lebih keras dan lebih besar? Sungguh Allah
telah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka kecuali jalan ke neraka Jahannam mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa : 168-169)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy Syura : 21-22)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’ 60)
Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya :
Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :
1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah semata, tidak
ada sekutu bagi-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)
“Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja.” (QS. Yusuf : 40)
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya.” (QS. Ar Ra’d : 31)
Dan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar perintah Allah
bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)
Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An’am (ayat ke-60) dan Al Ahqaf
(ayat ke-9) :
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : “Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu.” (QS. Al Anbiya : 45) Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang mempunyai akal yang cerdas.” (QS. An Najm : 3-6)
Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl : 44)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. An Nisa’ : 59)
Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat kepada-Nya.
Allah berfirman :
“Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ : 80)
Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia taat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
“Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” (QS. An Nur : 54) Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang hamba
pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata : “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” (QS. Al Furqan : 27-29)
Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh --setinggi
apapun tingkatan ilmunya--. Karena seandainya dia mengetahui sesuatu tentu masih banyak
hal lain yang tidak dia ketahui.
2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada sebagian
unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan sempurna bagi segala problem
kehidupan.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)
Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa setiap Muslim dituntut
untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An Nisa’ : 59)
Firman Allah Azza wa Jalla mencakup segala masalah yang terjadi perselisihan di dalamnya.
Karena kata tersebut adalah nakirah dalam konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa
Jalla :
“ … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan perselisihannya kepada
Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka pengakuan
keimanannya adalah dusta.
3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan selamat dari
azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)
Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di hadapan-Nya dan
azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka keselamatan dan
kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan Rabb kita. Sebab, taat kepada
makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah hanya akan membuahkan kehinaan dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu bagaimana
pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum-hukum mereka?
4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk menaati mereka
secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita. Mereka tidak akan berhenti
melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita selamanya sampai kita mau menerima agama
mereka secara total dan meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)
Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin --terutama para penguasa-- menerima
aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : “Kami akan menaati mereka pada
sebagian perkara saja.”
Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian pula tidak
diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan jahat! Bagaimana bisa
seorang Muslim melahirkan satu sikap yang kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!”
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi tidaklah
memiliki akal yang sehat.
6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan nashara serta
agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin. Mereka hidup di negeri Islam. Di
hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah serta para ulama dan da’i-da’i ilallah yang
ikhlas dan selalu memberi nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang
demokrasi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah : “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isra : 107)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran : 100-101)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Yang menjadi dalil dari ayat ini adalah :
“Bahkan Allahlah Pelindungmu dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.” (QS. Ali Imran : 150) 7. Sebaliknya, kita juga harus konsisten di atas Islam sebagaimana mereka juga konsisten di atas
kekufuran dan kebatilan.
Apabila mereka menerus di atas kekufuran dan kebatilan, mengapa kita tidak mau
terus-menerus berada di atas kebenaran padahal kebenaran tersebut ada pada kita?
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Jika kamu menderita kesakitan maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula) sebagaimana kamu menderitanya sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An Nisa’ : 104)
Allah bersama kita, menjaga, menolong, membela, melindungi dan memuliakan kita di dunia
dan akhirat. Surga adalah balasan bagi orang Mukmin dan neraka adalah balasan bagi orang
kafir. Kalau tidak ada yang diperoleh dari Islam kecuali keselamatan dari azab kubur, azab
hari kiamat, azab neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya apakah akan ridha seorang Muslim
dengan “jual beli” yang merugikan? Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan.
Seorang Mukmin apabila seluruh penduduk bumi kufur niscaya tetap tidak akan ragu
terhadap kebenaran selamanya apalagi meninggalkannya.
8. Kita diperintah untuk menyeru seluruh manusia termasuk di dalamnya orang-orang yahudi
dan nasrani agar masuk ke dalam agama Islam.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 64)
Apabila kita dituntut untuk mengajak mereka kepada Islam supaya mereka meninggalkan
kesyirikan dan kekufuran, bagaimana bisa diperbolehkan bagi seorang Muslim --baik
penguasa ataupun rakyat, pimpinan ataupun bawahan-- beralih dari kedudukannya sebagai
“pengajak” menjadi “orang yang diajak” dan menerima kejelekan serta kebatilan yang
9. Apabila kita meyakini keabsahan demokrasi niscaya tidak akan tertanam keimanan kita
kepada Allah. Karena tidak sah keimanan kita sampai kita kufur terhadapnya (sistem
demokrasi).
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah : 256)
Allah menjadikan kufur kepada thaghut sebagai syarat sah keimanan.
Di sini ada persoalan penting yaitu mengapa Allah mendahulukan perintah kufur kepada
thaghut?
Jawabnya :
Bahwa adanya “syarat” tidak mengharuskan adanya “masyruth” (sesuatu yang disyaratkan)
dalam kondisi apapun. Kalau “syarat” tidak ada maka hal itu menunjukkan tidak adanya
masyruth. Rabb kita Azza wa Jalla telah menjadikan kufur terhadap thaghut sebagai syarat
sahnya iman. Apabila syarat ini hilang maka batallah manfaat keimanan. Syarat di sini adalah
sesuatu yang mengharuskan adanya sesuatu yang disyaratkan. Maka keduanya --yakni
mengkufuri thaghut dan iman kepada Allah-- adalah sesuatu yang mengharuskan dan yang
diharuskan.
Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia :
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) :
“Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (QS. An Nahl : 36) Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa’ : 60)
Tidak diragukan lagi bahwa demokrasi adalah thaghut terbesar. Tukang sihir adalah thaghut.
Orang yang menyelisihi hukum Allah yang qath’i (pasti ketentuan hukumnya, ed.) dalam satu
atau dua masalah adalah thaghut. Lalu apa pendapat Anda terhadap demokrasi yang pada
dipandang berhak menetapkan segala peraturan dan melawan hukum-hukum Allah Azza wa
Jalla ?
Andai mengeraskan suara di sisi perkataan Allah dan Rasul-Nya bisa menyebabkan
terhapusnya amal shalih dari diri seorang Muslim sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat : 2)
Maka bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang di samping mengeraskan suara juga
menolak hukum Allah dan Rasul-Nya? Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang
berpaling, melecehkan hukum Allah dan Rasul, bersikap sombong bahkan memusuhi dengan
segala harta dan jabatan yang ia miliki? Bukankah orang ini lebih pantas untuk dihapus iman
dan amal shalihya?
10.Anggap saja kaum Muslimin --karena terpesona retorika para propagandis demokrasi--
menerima paham dan ajaran demokrasi tersebut. Lantas siapa yang akan menjamin
keberadaan dan keberlangsungan paham ini?
Sebagaimana paham-paham lain yang muncul lebih dulu dari masa ke masa, paham
demokrasi pun telah tersebar dan tersiar. Orang menyangka paham ini tidak mungkin
digoyahkan. Namun ternyata kerusakannya begitu cepat dan nyata di hadapan manusia
sehingga dengan serta merta mereka pun meninggalkan paham tersebut.
Tidak usah jauh-jauh! Ambil contoh kasus paham sosialisme yang memiliki hakikat
kekufuran yang sama dengan demokrasi. Adakah kaum sosialis era ‘60-an dan ‘70-an yang
mengira bahwa pada akhirnya paham ini akan hancur lebur dan musnah?
Dahulu sebagian orang ada yang berkata : “Umat manusia hanya bisa diselamatkan oleh
sosialisme!”
Saksikanlah! Sosialisme kini telah lenyap! Dan orang yang pertama kali mengingkarinya
adalah para penggagasnya sendiri!
Kenapa ajaran tersebut gagal?
Jawaban yang paling gampang adalah karena sosialisme itu buatan manusia! Demikian pula
demokrasi juga buatan manusia yang tidak memiliki hak memerintah sedikitpun. Karena
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Buruj : 16) Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah : “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 26)
Bolehkah bagi kita menolak apa yang datang dari Allah untuk menerima pendapat ahli filsafat
dan penyembah berhala?
Bolehkah kita menolak syariat Allah padahal syariat-Nya adalah syariat yang sempurna dan
universal dari masa ke masa serta senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat?
Sesungguhnya sejak diutusnya Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam lebih dari 1400 tahun
yang lalu, syariat ini tidak pernah berkurang satu huruf pun dan akan terus terjaga. Syariat
Allah akan kekal dengan izin-Nya sampai hari kiamat!
Dapatkah dibenarkan kita berjalan beriringan bersama mereka padahal para pemikir mereka
mengatakan : “Sesungguhnya tidak ada cara untuk mengatasi krisis ini kecuali dengan
berpegang teguh kepada Islam.”
Doktor Imaduddin Khalil di dalam bukunya, Qalu anil Islam menyebutkan lebih dari dua
puluh pemikir barat yang mengatakan : “Tidak ada agama yang mampu mengatasi seluruh problematika manusia di dunia sekarang ini selain Islam. Inilah keistimewaan Islam.” Seluruh perkataan mereka berkisar pada makna ini.
Di dalam buku tersebut dia juga menyebutkan banyak perkataan yang menjelaskan tentang
keagungan Al Quran dan keagungan Nabi Dan kebenaran adalah sebagaimana dipersaksikan
oleh musuh.
Islam adalah kebenaran tidak diragukan lagi, baik musuh-musuh mengakuinya atau tidak.
Namun kebenaran tersebut akan semakin kokoh tertanam di relung hati kebanyakan manusia
ketika musuh mereka ikut mengakuinya.
“Kebanyakan orang-orang ahli kitab menghendaki seandainya mereka dapat mengembalikan kalian (wahai orang-orang beriman) kepada kekufuran disebabkan kedengkian yang ada pada diri-diri mereka setelah jelas kebenaran itu bagi mereka.” (QS. Al Baqarah : 109) Apakah yang menghalangi mereka untuk beriman?
Jawabnya adalah :
Kedengkian yang tersembunyi di dalam jiwa-jiwa mereka. Allah telah memberi keutamaan
kepada umat ini dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dengan sesuatu yang
tidak diberikan kepada umat yang lain. Karena itulah mereka dengki kepada kita.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Baqarah : 105)
Dengan sebab kebaikan yang dikhususkan Allah kepada kita maka pecahlah hati orang-orang
yahudi dan nashara karena dengki. Kedengkian tersebut mendorong mereka untuk
merencanakan makar demi makar kepada kita. Pikiran mereka tidak akan tenang kecuali
apabila mereka bernafas dengan sesuatu dari kedengkian ini. Ia adalah penyakit kronis yang
muncul ketika semakin besar kenikmatan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih untuk
menaati-Nya dan membela agama-Nya.
Yahudi, nasrani dan lainnya akan terus menggembar-gemborkan demokrasi dan pemilu. Bagi
mereka hal itu sudah merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari “agama” mereka.
Barangsiapa yang menganut kekufuran niscaya dia akan menyebarkannya. Inilah firman
Allah tentang para pengusung demokrasi dari kalangan yahudi, nashara dan yang semisal
dengan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 42)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al
Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan
dari Al Kitab dan mereka mengatakan : “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Padahal
ia bukan dan sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.
(QS. Ali Imran : 78)
Inilah karakter yahudi! Mereka sangat lihai menelusupkan kerancuan dan keresahan di
barisan kaum Muslimin. Lihatlah apa yang terjadi akibat kerancuan-kerancuan ini di tubuh
umat Islam sekarang!
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya yahudi dan nasranilah yang
merupakan biang kerok dari segala fitnah yang merusak barisan kaum Muslimin. Akan tetapi
anehnya, justru ada sebagian kaum Muslimin sendiri yang turut serta menanamkan kerancuan
kepada sesamanya. Mereka menjadikan demokrasi dan pemilu sebagai masalah yang harus
ditanggapi secara positif atau minimalnya disikapi secara netral.
Bahwa demokrasi merupakan salah satu dari kemajuan zaman dan bahwa ia mengajak kepada
kebebasan, persaudaraan, dan persamaan telah kami jelaskan sedikit dari kata-kata ini pada
pasal yang lalu.
Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk menyerupai orang-orang yahudi dan nasrani dalam
mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil. Tidaklah Allah mencabut kenikmatan
syariat dari ahlul kitab kecuali dengan sebab disembunyikannya Al Haq oleh mereka dan
dicampur aduk dengan al bathil. Padahal Allah telah menjamin terjaganya agama ini hingga
hari kiamat.
Bagaimana hukum perkataan : “Demokrasi dan pemilu adalah sama dengan syura Islami ?”
Jawabnya :
Demi Allah, seandainya kami tidak mengkhawatirkan orang yang bodoh terpengaruh dengan
kata-kata seperti ini niscaya kami tidak akan membantahnya.
Sebelum menjelaskan kesembronoan penyamaan ini, akan saya sebutkan untuk mereka dua
hadits yang agung. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
kembali kepada Islam dengan selamat. (Riwayat An Nasa’i, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Buraidah)
Dan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang jelas menjadikan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh jaraknya daripada antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih dan Abu Hurairah)
Dalam kedua hadits ini terdapat nasihat bagi orang yang berbicara atas nama Allah tanpa
ilmu, petunjuk dan landasan kitab yang terang.
Yang jelas, demokrasi dan pemilu tidak bertemu dengan musyawarah yang disyariatkan
Allah. Tidak pada pokoknya, tidak pula pada cabangnya. Tidak pada keseluruhannya, tidak
pula pada sebagiannya. Tidak pada maknanya, tidak pula pada bentuknya. Dalilnya adalah
sebagai berikut :
Pertama, siapakah yang mensyariatkan “demokrasi” ? Jawab, orang-orang kafir.
Siapakah yang mensyariatkan musyawarah?
Jawab, Allah.
Apakah boleh bagi makhluk untuk membuat syariat?
Jawab, tidak boleh.
Apakah bisa diterima syariat yang dibuatnya?
Jawab, tidak bisa.
Yang mensyariatkan demokrasi adalah makhluk dan yang mensyariatkan musyawarah adalah
Allah. Rabb dan Pemilik musyawarah adalah Allah sementara Rabb dan pemilik demokrasi
adalah orang-orang kafir dan pengikut hawa nafsu. Apakah kita mempunyai Rabb selain
Allah?
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah?” (QS. Al An’am : 114) Allah Azza wa Jalla berfirman :
diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (QS.Al An’am : 14)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Katakanlah : “Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu.” (QS. Al An’am : 164)
Maka ayat di atas adalah garis demarkasi yang nyata antara demokrasi dan pemilu di satu sisi
dengan musyawarah Islami di sisi yang lain.
Kedua, musyawarah kubra dilakukan berkaitan dengan pengaturan umat. Para pelakunya adalah ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan ulama, orang-orang yang shalih dan ikhlas. Adapun
demokrasi, para pelakunya adalah individu-individu yang suka berbuat kufur, jahat, dan
orang-orang pandir dari kalangan lelaki maupun perempuan. Dan apabila bersama mereka
terdapat Muslimin atau ulama, hal ini tidak lain hanyalah mempermainkan kaum Muslimin.
Bolehkah disamakan seorang Muslim yang beriman dan shalih yang telah dipilih Allah
dengan penjahat yang telah dijauhkan dan dihinakan oleh Allah?
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambilkeputusan?” (QS. Al Qalam : 25-26)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al Jatsiyah : 21)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad : 28)
benar. Berbeda dengan para penganut demokrasi. Mereka menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Menganggap batil sesuatu yang hak dan membela kebatilan.
Ahli musyawarah akan memusyawarahkan segala sesuatu yang masih samar dari
perkara-perkara yang hak dan berupaya merealisasikannya. Mereka sekedar mengikut dan mencontoh,
tidak mendatangkan hukum-hukum yang menyelisihi hukum Allah. Adapun pengikut
demokrasi, mereka suka membikin perkara-perkara baru, mengerjakan kebatilan, serta suka
membuat peraturan dari selain Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama.” (QS. Asy Syura : 21)
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan : “Sesungguhnya aku adalah Rabb selain daripada Allah.” Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (QS. Al Anbiya : 29)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)
Keempat, musyawarah tidak dilakukan kecuali pada perkara-perkara yang langka. Adapun pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya serta telah jelas hukumnya maka tidak
ada musyawarah dalam masalah tersebut. Sedangkan demokrasi senantiasa bertentangan
dengan hukum-hukum Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah : 44)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)
Kelima, musyawarah tidak fardhu dan tidak wajib pada setiap saat. Akan tetapi hukumnya berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan. Kadang wajib kadang tidak wajib. Karena
inilah maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan musyawarah untuk
bergerak pada sebagian peperangan dan tidak melakukannya pada waktu yang lain. Hal
tersebut berbeda menurut perbedaan keadaan.
Sedangkan demokrasi adalah satu kemestian bagi para pengikutnya. Tidak diperkenankan
bagi seorang pun untuk keluar daripadanya. Para penguasa dan pejabat harus selalu
melaksanakannya dan menerapkannya pada rakyat mereka. Padahal barangsiapa mewajibkan
sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah berarti dia telah memperbudak manusia.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Kahfi : 102)
Keenam, demokrasi menolak syariat Islam, menganggapnya lemah dan tidak baik padahal syura menetapkan kekuatan Islam dan kelayakannya pada setiap zaman dan tempat.
Ketujuh, musyawarah ada bersamaan dengan kedatangan Islam. Adapun demokrasi tidaklah datang ke negeri kaum Muslimin kecuali pada dua abad terakhir ini --abad tiga belas dan
empat belas hijriyah--. Apakah dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah seorang yang berdemokrasi? Demikian pula para
shahabat dan kaum Muslimin pada umumnya?
Kedelapan, demokrasi berarti “kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat”. Adapun syura berangkat dari musyawarah, di dalamnya tidak ada unsur pembuat hukum yang tidak ada
asalnya dalam syariat. Yang ada hanyalah tolong menolong dalam memahami al haq,
mengembalikan hal-hal yang masih tercecer kepada yang sudah terkumpul dan
PEMUJA BERHALA DEMOKRASI, SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan memohon
ampunan dari-Nya. Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri-diri kami juga dari
kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang dapat
menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya tak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwasanya tidak ada zat yang berhak diibadati selain Allah dan bahwasanya
Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Karena syubhat-syubhat yang digembar-gemborkan para pendukung pemilu banyak terlebih
lagi kerusakan yang ditimbulkan olehnya tidak lebih sedikit dari kerusakan pemilu itu sendiri
sehingga syubhat-syubhat yang menjadikan seorang Muslim dalam keadaan bingung dan ragu
dalam menyikapi kebenaran dan menerimanya. Dan terkadang syubhat-syubhat ini membuat
seorang Muslim lemah dan tidak berdaya. Dengan syubhat-syubhat ini menyeret seorang Muslim
sehingga bisa menyimpang dari kebenaran lalu condong kepada kebatilan. Karena inilah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memperingatkan umatnya agar tidak mendekat kepada
orang-orang yang membawa syubhat. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim meriwayatkan dari
Imran bin Hushain radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah
bersabda :
“Barangsiapa mendengar Dajjal maka waspadalah, demi Allah sesungguhnya seseorang pasti akan didatanginya dan dia menyangka bahwa dia (Dajjal) Mukmin lalu mengikutinya dengan sebab bangkitnya yang membawa syubhat.”
Betapa banyak kaum Muslimin yang pada mereka ada kebaikan namun mereka
menceburkan diri ke tempat-tempat yang banyak mengandung syubhat. Karena itulah mereka
kerapkali goyah dan terguncang. Syubhat yang banyak menyelimuti para penuntut ilmu dan da’i
ke jalan Allah itu sangat samar dan tersembunyi terlebih-lebih pada awal munculnya. Karena itu
haruslah disebutkan syubhat-syubhat yang ada pada perkara pemilu ini kemudian disebutkan
bantahannya secara singkat, Insya Allah Azza wa Jalla. Mengetahui syubhat sangatlah membantu
seorang Muslim untuk menjauhi kebatilan.
Tidak diragukan lagi bahwa keselamatan bagimu, wahai saudaraku Muslim akan terwujud
dengan menjauhi syubhat sebagaimana yang dibimbingkan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal
‘Alaihi Wa Sallam. Jika kamu tidak menjauhinya maka sangat dikhawatirkan kamu akan
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ini bila kamu bukan
orang yang memenuhi syarat untuk membantah syubhat dan menjelaskan kebenaran dengan
dalil-dalil syar’i.
Tidak betul bahwa setiap orang yang memiliki ilmu syar’i pasti memiliki kemampuan untuk
membantah syubhat-syubhat. Bahkan ia harus menyadari terlebih dahulu bahwa ilmu yang ia
miliki tidak cukup untuk melancarkan bantahan hingga digabungkan padanya pengetahuan yang
mendalam tentang manhaj Salaf dan pengetahuan tentang bagaimana interaksi mereka bersama
para ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.
Demikian pula seharusnya para da’i memohon ketegaran pada Allah Ta’ala. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Ya Allah, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu!”
Dalam hal ini ada hantahan terhadap syubhat-syubhat tersebut yakni mengembalikan
syubhat-syubhat tersebut kepada kaidah yang benar dan jelas. Umpamanya ada sekelompok
dokter menyatakan sesuatu itu bermanfaat namun sebagian mereka mengatakan bahwa itu adalah
racun yang mematikan. Yang lain lagi mengatakan bahwa benda itu berbahaya tapi tidak beracun.
Sebagian lain lagi mengatakan mengandung manfaat namun ada madharatnya. Bukankah logika
menuntut untuk meninggalkan sesuatu yang diperselisihkan ini?
Begitu pula syubhat dalam pemilu. Para ulama yang mengikuti Manhaj Salafus Shalih telah
sepakat bahwa sistem pemilihan umum itu berasal dari musuh-musuh Islam dan tidak terdapat
dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak pula datang
dari para pendahulu umat ini. Kesepakatan ini bulat tanpa ada khilaf dalam wajibnya mengambil
kesepakatan ini. Kemudian mereka berselisih, sebagian mereka ada yang mengatakan di
dalamnya tidak ada kebaikan dan justru ada padanya keburukan-keburukan sebagaimana yang
berlalu penjelasannya. Lalu mereka pun meninggalkannya secara total.
Di antara mereka ada yang berpendapat pemilu mengandung kebaikan dan kejahatan namun
kejahatannya lebih besar daripada kebaikannya. Maka meninggalkannya secara total lebih utama.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pemilu mengandung keburukan dan kebaikan
meninggalkan pemilu dan menolaknya itu lebih selamat dan lebih melanggengkan Islam? Hanya
saja hawa nafsu telah memisahkan kebenaran dari umumnya manusia.
Firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah : 24)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini :
“Dengan kesabaran kamu bisa meninggalkan syahwat dan dengan keyakinan kamu bisa meninggalkan syubhat.”
Berikut ini adalah syubhat-syubhat dan bantahannya.
Syubhat Pertama Sistem Demokrasi Selaras Dengan Islam
Orang yang menyelisihi kami tidak menjawab dengan mantap ketika mereka ditanya :
Mengapa kalian menerima demokrasi?”
Kadang mereka menjawab :
Demokrasi di negeri kami sama artinya dengan ‘syura’. Di dalam Al Quran sendiri ada
surat yang bernama Asy Syura dan Allah Ta’ala berfirman : “Bermusyawarahlah mereka dalam
urusan itu.”
Dan Allah juga berfirman : “Dan perkara mereka dengan musyawarah di antara mereka.” Kadang mereka mengatakan demokrasi itu ada dua macam, pertama demokrasi yang
menyelisihi syariat dan kami mengingkarinya. Sebab demokrasi semacam ini merupakan bentuk
pelimpahan kekuasaan hukum kepada rakyat bukan kepada Allah. Yang kedua demokrasi yang
sesuai dengan syariat yaitu hak umat untuk memilih pemimpinnya, mengawasi mereka,
mengangkat mereka dan memecat mereka. Yang kedua ini kami beriman padanya dan kami
berupaya untuk mengabdi Islam dari sisi ini.
Kali lain mereka mengatakan : “Kami semua dalam kondisi terpaksa!”
Atau mereka mengatakan demokrasi diambil dengan mengikut kaidah (mengambil) bahaya
yang paling ringan.
Yang tergambarkan dalam berbagai contoh-contoh logis --walaupun dipaksakan-- yaitu
sampaikanlah dan jangan pernah merasa ragu. Saya hanya ingin menyingkap tabir dari jawaban