• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara demokrasi. Dalam

negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal

dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat

penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat

merupakan konsekuesi logis dari sistem demokrasi dan

sekaligus merupakan wujud dari demokrasi itu. Konstitusi

sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan

tersebut. Setiap lembaga yang menjadi representasi dalam

penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat dalam

konstitusi.1

International Comission of Jurist merumuskan

sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk

pemerintahan dimana hak untuk membuat

keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara

melalui wakil-wakil yang dipilih. Dalam sistem

pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan

1

(2)

sistem perwakilan, maka keberadaan lembaga perwakilan

rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam

penyelenggaraan sistem pemerintahan.2 Secara teori dapat

dikatakan bahwa suatu negara yang demokratis

manakala setiap warga negara dan unit-unit politik harus

diwakili dan terwakili.

Konsep perwakilan terus berkembang dari tahun

ke tahun, sehingga konsep perwakilan telah menjadi

umum dalam suatu negara. Namun, setiap negara

memiliki pengorganisasian perwakilan yang berbeda.

Amerika misalnya memakai nama lembaga Parlemen

dengan menggunakan sistem dua majelis Upper House

atau Senate atau dikenal dengan sistem bicameral.3 Begitupula dengan Indonesia dalam format lembaga

perwakilan bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD.

Walaupun demikian, secara teori sruktur lembaga

perwakilan di Indonesia masih merupakan berdebatan

dalam hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie berpendapat

2

King Faizal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia, UII Press,Yogyakarta, 2013 hal. 22.

3

(3)

bahwa Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945

menjalankan sistem sistem tiga kamar (trikameral) karena

terdiri atas tiga lembaga yaitu MPR, DPR, dan DPD.

Argumentasi tiga kamar ini didasarkan bahwa

masing-masing dari ketiga badan memiliki fungsi dan wewenang

yang spesifik serta berbeda.

Menurut Anthony Mughan dan Samuel C.

Patterson bahwa suatu upperhouses (kamar kedua/majelis

tinggi) dibutuhkan karena suatu alasan yang penting yakni

untuk teori dan praktek dalam pemerintahan yang

demokratis. Karena kepentingan lembaga perwakilan

rakyat bermacam-macam dan secara potensial meliputi

alat perimbangan, seperti pada proses legislasi dan

sebagai simbol umtuk mempertinggi legitimasi

demokratis dengan memeriksa gerakan mayoritas dari

pemerintahan berpartai tunggal. Dan juga senat (kamar

kedua atau majelis tinggi) cenderung mempunyai

pengaruh penting dalam mempertajam output dari

kebijakan yang dikeluarkan oleh legislatif.4

4

(4)

Sebelum UUD Negara Republik Indonesia 1945

(selanjutnya disingkat UUD 1945) diubah, sistem

perwakilan rakyat di Indonesia dikenal adanya Majelis

Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disingkat MPR)

dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat

DPR). Pasca Perubahan Ketiga UUD 1945, lembaga

perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang

sangat mendasar, menjadi tiga lembaga yaitu: MPR, DPR

dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disingkat

DPD).

Perlu diingat bahwa anggota DPD disamping

memiliki status sebagai anggota DPD, juga merupakan

anggota MPR sehingga memiliki tugas, kewenangan, dan

hak sebagai anggota MPR. Lahirnya lembaga baru dalam

sistem kelembagaan negara selalu membawa pertanyaan

mengapa lembaga tersebut perlu ada, apa dasar filosofi

atau gagasan apa yang menghendaki kelahiran lembaga

(5)

umum, maka pertanyaan yang akan muncul tentunya apa

tujuan dan manfaat kehadiran lembaga tersebut.5

DPD merupakan lembaga perwakilan baru produk

amandemen atau tepatnya pada perubahan ketiga UUD

1945 Bersama DPR, DPD diharapkan menjadi salah satu

kamar dari sistem perwakilan dua kamar bicameral dalam

format baru perwakilan politik Indonesia. DPR

merupakan lembaga perwakilan yang mewakili penduduk

yang diusung oleh partai politik, sementara DPD adalah

lembaga perwakilan yang mewakili wilayah atau daerah

dalam hal ini provinsi tanpa mewakili dari suatu

komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain

yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur

yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

Kedudukan DPD tertuang dalam Perubahan

Ketiga UUD 1945, yakni terdapat pada Pasal 22C, Pasal

22D, dan Pasal 22E, kemudian diatur lebih lanjut pada

Perubahan Keempat UUD 1945 yang konteksnya sebagai

bagian dari MPR. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1

5

(6)

UUD 1945 dikatakan bahwa “MPR terdiri dari Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui

Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan

Undang-Undang”.

Setelah anggota DPD dilantik pada tahun 2004

tidak ada kewenangan yang signifikan yang dapat

mengimbangi peran DPR dalam setiap mengambil

kebijakan, hal ini terlihat dari kewenangan yang diberikan

oleh UUD 1945 Pasal 22D6 Dalam Pasal tersebut terlihat

jelas bahwa konstitusi sangat membatasi kewenangan

DPD, dapat dikatakan kewenangan sangat terbatas dan

lemah. Mengenai kewenangan legislasi DPD hanya

berkisar pada usulan dalam Rancangan Undang-Undang

(RUU) itupun hanya terbatas dalam permasalahan daerah

saja sedangkan peran DPR sangat kuat. Dalam Pasal 22D

jelas dikatakan bahwa:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

6

(7)

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber Daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta

memberikan pertimbangan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan

undang-undang mengenai: otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya

ekonomi lainnya, pelaksanaan

anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Selain berbeda dalam hal kewenangan legislasi,

dalam Pasal 22D angka (2) dan (3) jelas secara eksplisit

mengatakan fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran

(8)

pengawasan, dalam aturan tersebut terkesan sangat

simplistik, dalam pengertian pengawasan yang dapat

dilakukan oleh DPD hanya pengawasan atas pelaksanaan

undang-undang tertentu oleh pemerintah. Padahal jika

dimaknai dalam perspektif demokrasi maka anggota DPD

dipilih oleh rakyat dan aturan pemerintahan mengatur

seluruh rakyat maka tentunya DPD pun diberikan ruang

yang sama dengan DPR dalam hal melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan

APBN, karena pada hakekatnya pengawasan yang

dilakukan oleh DPD ialah untuk memberikan penilaian

atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama

di bidang pembangunan, kemasyarakatan dan

pemerintahan telah dilakukan secara benar dan

bermanfaat bagi rakyat dan daerah. Masih dalam

perspektif yang sama, pelaksanaan fungsi pengawasan

yang dilakukan oleh DPD melaksanakan prinsip

pengawasan prosedural yang bersifat aktif, dalam

pengertian pengawasan yang dilakukan tidak tergantung

(9)

secara substansial tidak mencerminkan penegakan

keadilan bagi rakyat dan daerah. Tidak jauh berbeda

dengan pelaksanaan fungsi anggaran, dimana Pasal 22D

tidak terdapat pengaturan khusus DPD dalam pelaksanaan

fungsi anggaran. Adapun fungsi memberi pertimbangan

masih dinilai belum cukup dan tidak menunjukkan bahwa

DPD memperjuangkan kepentingan daerah dalam

penyusunan dan penetapan APBN. Dalam konteks ini,

dapat pula menggunakan pendekatan tripartit yang berarti

dalam pembahasan APBN melibatkan lembaga

perwakilan (DPR dan DPD) bersama dengan pemerintah.7

Selain itu, mengenai jumlah/anggota maupun alat

kelengkapan DPD dan DPR juga berbeda. Dalam UUD

1945 Pasal 22C ayat (2) secara eksplisit mengatakan

bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap

provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh Dewan

(10)

mengenai alat kelengkapan DPR dan DPD sangat

berbeda. Alat kelengkatan DPD terdiri atas Pimpinan,

Panitia Musyawarah, Panitia Kerja, Panitia Perancang

Undang-Undang, Panitia Urusan Rumah Tangga, Badan

Kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan

dan dibentuk oleh rapat paripurna.8 Sedangkan alat

kelengkapan DPR terdiri atas Pimpinan, Badan

Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran

Badan Kerja Sama antar-Parlemen, Mahkamah

Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga,

Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang diperlukan

dan dibentuk oleh rapat paripurna.9 Ketidakseimbangan

ini merupakan persoalan yang memprihatinkan karena

kehadiran DPD seharusnya memberikan solusi terhadap

sistem politik yang sentralistik sepanjang lima dasawarsa

terakhir. Pada kenyataanya keberadaan DPD tidak

mempunyai fungsi yang ideal dan seakan-akan hanya

8

Lihat Pasal 259 Undang-undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah, yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 42 tahun 2014.

9

(11)

berfungsi sebagai aksesori demokrasi dalam sistem

menarik jika dikaji secara hukum maupun politik. Secara

hukum, dalam hal ini yang dimaksud adalah Peraturan

Perundang-undangan, DPD memang haruslah perwakilan

daerah/teritorial bukanlah dari perwakilan partai politik/

mewakili partai politik tertentu. Akan tetapi hijrahnya

sejumlah anggota DPD tersebut bukan tanpa alasan. Hal

ini dikarenakan sejumlah ketimpangan kewenangan yang

dimiliki DPD sehingga dengan langkah hijrah ke partai

politik dianggap akan lebih menguntungkan posisi DPD

untuk memperjuangkan penguatan fungsi dan

kewenangan melalui suara fraksi yang tujuan utamanya

adalah Perubahan Kelima UUD 1945.

10

Reni Dwi Purnomowati, Op.cit, hal. 5.

11http

(12)

Mencermati problematika yang dihadapi oleh

DPD baik itu dalam tataran normatif maupun pada

tataran praktek, penguatan fungsi maupun peran DPD

menjadi sebuah hal penting yang perlu ditindaklanjuti.

Secara hukum, penguatan tersebut dapat dilakukan

dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945.

Bagaimanapun, menjadi sulit untuk melakukan penguatan

fungsi legislasi DPD tanpa menyentuh UUD 1945. Terkait

dengan hal itu maka penguatan fungsi DPD seharusnya

dilakukan dengan menata ulang secara komprehensif

fungsi dan kewenangannya dalam sistem pemerintahan

Indonesia. Berdasarkan latarbelakang diatas maka Penulis

tertarik melakukan penelitian dengan judul “Konsep

Ideal Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka rumusan

masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:

(13)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui struktur dan peran Dewan

Perwakilan Daerah saat ini.

2. Untuk mengetahui bagaimana struktur dan

peran perwakilan bicameral yang ideal di

Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat

dalam kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya

ilmu hukum tata negara yang berkaitan dengan

lembaga negara.

b. Manfaat Praktis

Hasil dari Penelitian ini diharapkan dapat

membuka cakrawala pikir dan menjadi bahan

(14)

MPR untuk melakukan Perubahan Kelima UUD

1945.

E. Kerangka Pemikiran

Mengenai problematika keterbatasan peran DPD

dalam format sistem perwakilan bicameral di Indonesia,

akan didekati dengan beberapa teori, yaitu: Teori

Kedaulatan Rakyat, Teori Lembaga Perwakilan dan Teori

Bicameral.

Teori kedaulatan rakyat digunakan dalam

penelitian karena ketika berbicara mengenai lembaga

perwakilan rakyat maka di dalamnya mengandung makna

sebuah kedaulatan rakyat. Dimana kedaulatan rakyat

diatas segalanya sekaligus menjadi dasar sebuah

pemerintahan yang demokratis.12

Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat

hubungannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan

demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidak

lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan

melalui lembaga perwakilan sebagai realisasi sistem

12

(15)

demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu

diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah

perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak

yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang

mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana

hubungan serta kedudukannya13 Heinz Eulau dan John

Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam

tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang

mengharuskan adanya “wakil”, yaitu:

a. adanya partai

b. adanya kelompok

c. adanya daerah yang diwakili

Dengan demikian adanya klasifikasi yang

demikian, maka akan melahirkan tiga jenis

perwakilan, yaitu perwakilan politik (political

representative), perwakilan fungsional (functional

representative) dan perwakilan daerah (regional

representative).14

13

Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2008, hal. 17.

14

(16)

Secara historis, munculnya lembaga

perwakilan merupakan dampak dari pelaksanaan

sistem feodal, khususnya yang berlaku di Inggris dan

Perancis. Di sini awalnya hanya dikenal perwakilan

fungsional sebab pada umumnya yang menjadi wakil

pada waktu itu adalah orang-seorang yang direkrut

melalui sistem pengangkatan berdasarkan perbedaan

kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Tetapi

kemudian, di dalam negara-negara modern seperti

Amerika Serikat dan lain-lainnya dengan menganut

prinsip persamaan, perwakilan berdasarkan sistem

pengangkatan ini tidak dipergunakan karena dirasakan

tidak sesuai dengan sistem demokrasi dianut.

Sehingga dalam prakteknya hanya tinggal dua macam

perwakilan, yaitu perwakilan politik dan perwakilan

daerah.15

Mengenai teori bicameral, Penulis gunakan

untuk memperjelas sistem dua kamar di Indonesia,

dalam hal ini antara lembaga DPR dan DPD.

15

(17)

Terutama mengenai peran maupun kewenangan

masing-masing lembaga.

Sistem dua kamar pada hakikatnya

mengidealkan adanya dua kamar di dalam lembaga

perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik

Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikan

bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan

antara prinsip demokrasi dan oligarkhi. Lalu

kemudian, menurut Robert L. Madex, Jeremy

Bentham yang paling mula mengeluarkan istilah

bicameral tersebut. Merujuk pendapat Allen R. Ball

dan B. Guy Peters, kebanyakan Parlemen modern

menerapkan sistem dua kamar. Berkaitan dengan

model yang ada, Giovanni Sartori membagi lembaga

perwakilan rakyat bicameral menjadi tiga jenis, yaitu

(1) sistem bicameral yang lemah

(asymmetricbicameralism atau weak bicameralism

atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah

satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya;

(18)

atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua

dua kamar nyaris sama kuat dan perfect bicameralism

yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul

seimbang.

Dalam hubungan dengan tiga model bicameral

yang dikemukakan Giovanni Sartori itu, Denny

Indrayana mengemukakan bahwa sebaiknya weak

bicameralism dihindari karena akan menghilangkan

tujuan bicameral itu sendiri, yaitu sifat saling kontrol

di antara kedua kamarnya. Artinya, dominasi salah

satu kamar menyebabkan weak bicameralism hanya

menjadi bentuk lain dari sistem parlemen satu kamar

(unicameral). Di sisi lain, perfect bicameralism bukan

pula pilihan ideal, karena kekuasaan yang terlalu

seimbang antara Majelis Rendah dan Majelis Tinggi

memang seakan-akan melancarkan fungsi kontrol

antara kamar di parlemen, namun sebenarnya juga

(19)

parlemen. Karenanya, yang menjadi pilihan tepat

adalah terwujudnya sistem strong bicameralism.16

Di samping tiga model bicameral berdasarkan

tingkatan kekuatan tersebut, Giovanni Sartori juga

membedakan membedakan bicameral menjadi tiga

jenis berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan

di antara kedua kamarnya, yaitu: (1) bicameral yang

unsurnya sama similar bicameralism; (2) bicameral

yang unsurnya agak berbeda likely bicameralism dan

(3) bicameral yang unsurnya sangat berbeda

differentiated bicameralism. Karena model dua kamar

dari unsur yang sama mudah terjebak ke dalam model

unikameral, sebaliknya apabila terlalu berbeda

potensial menimbulkan deadlock dalam proses

legislasi maka perlu dicari perpaduan yang dapat

menghasilkan likely bicameralism. Mengacu kepada

jenis-jenis bicameral yang diajukan oleh Giovanni

Sartori itu, Denny Indrayana mengemukakan bahwa

16

(20)

bicameral ideal sebaiknya mengarah kepada

perpaduan antara strong bicameralism dengan likely

bicameralism.

Sistem bicameral bukan hanya merujuk

adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dapat

pula dilihat dari proses pembuatan undang-undang

yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui

Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Karena itu,

dengan adanya dua majelis two-chambers akan sangat

menguntungkan karena dapat menjamin semua produk

legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat

diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem

double check ini semakin terasa apabila Majelis

Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan

itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda

dari Majelis Rendah.17

17

(21)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum (legal

research) yaitu untuk mencari dan menemukan

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang mengatur

status, yang hendak dikemukakan adalah kecocokan

antara aturan hukum dengan norma hukum.18

Dengan demikian penelitian ini hendak mencari,

menemukan dan menjelaskan konsep, kaidah-kaidah

atau prinsip-prinsip berkaitan dengan struktur dan

peran lembaga perwakilan DPD dalam konsep

bicameral di Indonesia.

2. Jenis pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

approach) karena akan menelaah dan melihat kembali

fungsi dan kewenangan DPD dalam peraturan

perundang-undangan serta pendekatan konsep

(conceptual approach) karena akan mengkaji konsep

18

(22)

perwakilan bicameral yang ideal untuk diterapkan di

Indonesia.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdapat dalam unit

amatan, yaitu:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-undang No. 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat daerah yang telah diubah menjadi

Undang-Undang No. 42 tahun 2014.

3) Naskah Komprehensif Perubahan UUD

Negara Republik Indonesia.

4) Naskah Akademik UU MD3.

b. Bahan Hukum Sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

(23)

buku-buku yang berkaitan dengan lembaga perwakilan

rakyat bicameral.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

ensiklopedia hukum, dll.

4. Unit Analisa

Yang menjadi unit analis dalam penelitian

ini adalah mengenai struktur dan peran lembaga

Referensi

Dokumen terkait

Dengan pendekatan kualitatif analisa deskriptif, dijabarkan perbedaan inti BMC perusahaan profit dan kewirausahaan sosial ada pada variabel value proposition, customer

Hiasan pada baju Bodo suku Bugis dan Makassar yaitu adanya sejenis pita pada sekeliling pinggiran baju biasa disebut dengan pattenre, sedangkan hiasan pada baju

kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara bergiliran sehingga dapat melatih kesiapan siswa dan saling memberikan pengetahuan. Cara ini upaya yang sangat baik melatih

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Jurnal Pertanian Terpadu, Jilid 5, Nomor 2 | 45 responden usahatani tomat di Kelurahan Teluk Lingga per musim tanam adalah Rp. dengan rata-rata hasil produksi tiap

Pseudomonas stutzeri ASLT2 tidak dapat mereduksi nitrat pada media dengan penambahan nitrat, nitrit, dan amonium tetapi memperlihatkan adanya aktivitas reduksi nitrit dan

Karena garis tegak lurus ditarik dari tepi atas dan tepi bawah setiap interval, maka diperoleh gambar persegi panjang-persegi panjang yang saling berimpit pada salah satu

Terkait dengan pilar 3 tersebut, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) pada tahun 2015 memfokuskan terhadap 5 (lima) kegiatan utamanya, yaitu (1) penyiapan