Pertengahan bulan April tahun 2009 nama
Manohara Odelia Pinot begitu ramai di media massa. Namanya mencuat sejak kasus
dugaan kekerasan rumah tangga (KDRT)
yang dilakukan suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry.
Meskipun gadis kebangsaan Amerika Serikat dan Bugis ini sudah terjun di dunia model
Pada awalnya kasus ini biasa-biasa saja
namun menjadi sangat besar saat ibu
Keperkasaan Media Massa
Siapa yang tak kenal Manohara? Model yang
terpilih dalam 100 Pesona Indonesia menurut Majalah Harper’s ini menjadi topik hangat pada tahun 2009. Mulai dari ibu rumah tangga,
karyawan, sampai kanak-kanak pun familiar
dengan wajah cantik dan kisahnya yang mengharu-biru. Media massa menjadikannya lalu-lalang
Kekuatan media memang tidak diragukan lagi
dalam memengaruhi massa. Respon dari
masyarakat begitu mendalam. Ketika sebuah televisi berinovasi dengan Twitter dan
Facebook agar pemirsa bisa menanyakan langsung hal-hal kecil tentang Manohara, muncul pertanyaan “Is that Christian
Louboutin?” dan “Berapa buah koleksi Tas Hermes milik Mano?”. Benar-benar luar biasa. Pengaruh media terhadap khalayak
Para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai
sekarang berbeda pendapat mengenai kekuatan media massa memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak.
Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat powerfull. Media tidak hanya
Di sisi lain, pengaruh media dikatakan
terbatas, tergantung pada konteks ruang dan waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi mereka yang menganggap the media is
powerfull, kemudian melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang memiliki
pengaruh besar terhadap masyarakat dan budaya, yakni teori Agenda Setting, teori Dependensi, Spiral of Silence, dan
Agenda Setting
Masyarakat Indonesia yang plural dalam ragam
budaya dan strata ekonomi berhasil digiring televisi pada satu titik sikap, simpati bagi Manohara. Inilah kekuatan media massa, mampu memengaruhi
perubahan kognitif pemirsa.
Dasar pemikiran teori ini adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang
Teori agenda setting pertama kali
dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The
Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard
Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to
Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E.
McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka
meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang
meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional,
Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas
keseharian mereka dalam menonjolkan
berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari
Contoh kasus lain yang menjadi pilihan media
adalah Prita Mulyasari. Ibu muda yang
dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah
mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi
pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang
Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari
Framing yang dilakukan media membuat
suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik.
Seperti yang dikatakan Robert N. Entman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media
sebagai bahan perbincangan sehari-hari.
Dunia fashion mengambil kesempatan ini
untuk menarik style untuk kemudian
menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat bak meteor.
Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya
Agenda setting sendiri baru menunjukan
keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika
agenda publik menjadi agenda kebijakan.
Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir,
Kita bisa memakai media apa saja untuk
membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang
dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang
Kelemahan Teori Agenda Setting
Coba kita lihat skandal Century yang semakin
memanas hingga hari ini. Beritanya tidak
menjadi topik utama di semua media massa. Hanya beberapa media saja yang
Ketika mulai masuk ke selera publik maka
teori yang lebih relevan untuk melihatnya adalah Uses dan Gratifcation. Teori ini
mempertimbangkan apa yang dilakukan
Dalam memenuhi kebutuhan secara
psikologis dan sosial, audiens menjadi tergantung pada media massa. Audiens memperlakukan media sebagai sumber informasi bagi pengetahuan mengenai
Media mencoba memberikan apa yang
dibutuhkan oleh audiens sehingga
memberikan efek dalam ranah afektif
audiens. Salah satunya adalah meningkat dan menurunnya dukungan moral terhadap
Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa
pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir,
tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Ini termasuk dalam kelebihan dari teori agenda setting. Sementara yang lainnya memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan mudah untuk diuji. Dari kelemahan dan
Media Literacy
Teori yang disebut Cultural Norms,
beranggapan bahwa media tidak hanya
memiliki efek langsung terhadap individu,
tetapi juga memengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah
menghadirkan seperangkat citra, gagasan, dan evaluasi dari mana audiens dapat
memilih dan menjadikan acuan bagi
perilakunya. Sangat penting bagi pemirsa untuk menyikapi dengan benar masalah
Dalam teori agenda setting, audiens bersifat
pasif sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya. Agar tidak terjadi
kesalahan dalam perolehan informasi maka perlu untuk melek media atau Literacy
Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah
sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan
Pendekatan Media
Literacy
Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan
merupakan kondisi kategorikal
Media literacy perlu dikembangkan dengan
melihat tingkat kedewasaan seseorang
Tujuan dari media literacy adalah untuk
Media literacy bersifat multidimensi, yaitu
domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral
yang mengacu pada kemampuan untuk
Berita bukan refeksi dari realitas melainkan
konstruksi dari realitas. Sebagai masyarakat modern, masyarakat yang selalu
membutuhkan informasi atau bisa dikatakan Information Based Society, kita harus melek media. Hal ini bertujuan agar kita tidak salah dalam menerima berita. Kita jadi selektif
dalam menanggapi media massa. Karena menjadi audiens yang pasif tidaklah
menyenangkan. Akankah selamanya