• Tidak ada hasil yang ditemukan

CORAK TAFSIR SUFISTIK Studi Analisis atas Tafsir Ru>h}al-Baya>n Karya Isma>‘i>l Haqqi> TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CORAK TAFSIR SUFISTIK Studi Analisis atas Tafsir Ru>h}al-Baya>n Karya Isma>‘i>l Haqqi> TESIS"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

CORAK TAFSIR SUFISTIK

Studi Analisis atas Tafsir Ru>h}al-Baya>n Karya Isma>‘i>l Haqqi>

TESIS

DiajukanUntuk Memenuhi Salah SatuSyaratMemperolehGelar Magister

dalamBidangTafsirInterdisiplin

Oleh:

MUHAMAD ZAENAL MUTTAQIN

12.2.00.1.05.01.0031

Pembimbing:

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. pembawa kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Alh}amdulilla>h, dengan berbagai kesulitan yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis ini, akhirnya berkat ridha dan inayah Allah Swt., semua kesulitan tersebut dapat penulis lalui.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil di dalam penyelesaian tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-pihak lainnya.

Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., kepada Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA., kepada jajaran pimpinan serta para dosen pengajar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA., Dr. JM. Muslimin, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr. Bambang Pranowo MA., Prof. Dr. Zainun Kamal, MA., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof. Dr. Syukron Kamil, MA., Dr. Sudarnoto, MA.,Prof. Dr. Iik Ansari, MA., Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., selaku pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak sekali memberikan masukan-masukan yang berharga kepada penulis demi berkualitasnya karya ini.

Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada ayahanda tercinta Drs. H. Ma’mun, MM., serta Ibunda tercinta Hj. Heni Nurhayani, S.Pd., yang tak pernah letih memberikan motivasi serta kasih sayang yang tulus kepada penulis. Selain itu, kepada kakak-kakak tercinta, A. Dachri Iskandar, Evy Wafiroh,Fiki Fikayah, Maulana Joko Purnomo, adik-adik tercintaBachrul Ilmi dan Nurul Fadhilah, serta keponakan tecinta Nasrul Fattah, Rafasya Maulana, Dzakiah Al-Maira semoga Allah senantiasa melindungi kalian semua.

(3)

Pd.,Suhirman, MA. Ek.,Raden Siti Fadhilah, Mas Rofiq, Rafika Ade Saputra, Adit, Ihsan Ahmad, Ummul Fadilah, Sofiyuddin, MA. Pd., Khoirul Umam, Rahmah Ningsih, Nurul Etika, MA. Hk., Reksiana, MA. Pd., Harun Mulawarman, MA. Hk., Arianto dan teman-teman seperjuangan di SPs. UIN Jakarta lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kajian keislaman, disertai harapan semoga dengan hadirnya karya ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat dalam memperkaya wawasan intelektual, khususnya bagi perkembangan khazanah ‘ulu>m al-Qur’a>n.

Jakarta, 5 Agustus 2015

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul

“Corak Tafsir Sufistik: Studi atas Tafsir

Ru>h}

al-Baya>n

Karya Isma>‘i>l H{aqqi>”

yang ditulis oleh Muhamad Zaenal Muttaqin

NIM 12.2.00.1.05.01.0031 telah melalui proses bimbingan dan bisa diajukan

untuk Ujian Promosi.

Jakarta, 4 Oktober 2015

Pembimbing

(5)

PERSETUJUAN PENGUJI

Tesis dengan judul “Corak Tafsir Sufistik:Studi Analisis atas Tafsir Ru>h} al-Baya>n Karya Isma>‘i>l H{aqqi>” yang disusun oleh Muhamad Zaenal Muttaqindengan NIM: 12.2.00.1.40.01.0031, dinyatakan telah LULUS pada Ujian Pendahuluan Tesis pada tanggal 27Agustus 2015 dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan rekomendasi dari Tim Penguji serta dapat diajukan untuk Ujian Promosi Magister.

TIM PENGUJI

NO Nama Penguji Keterangan/Tandatangan

1 Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA

(Ketua Sidang/merangkap Penguji)

3 (Pembimbing/merangkap Penguji) Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

4 Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA

(Penguji I)

5 Prof. Dr. Hamadani Anwar, MA

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini menunjukan bahwa penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi>

termasuk ke dalam corak tafsir sufi fayd}i>. Hal ini terlihat dari penafsiran sufistiknya yang mengharmonisasikan makna zahir ayat dengan makna isha>ri>. Dengan demikian, makna sufistik yang dikemukakannya tidak keluar dari makna zahir yang terkandung pada ayat. Selain itu, penafsiran sufistik yang

dilakukan Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> terhadap ayat-ayat terkait ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman sufistik jika ditinjau dari teori validitas tafsir sufistik yang dikemukakan al-Dhahabi> adalah valid atau dapat diterima.

Penelitian ini mendukung pendapat al-Alu>si> (2001) yang menyatakan bahwa apa yang dijelaskan oleh para sufi tentang al-Qur’an merupakan isyarat yang mendalam, yang dapat disesuaikan dengan makna z}a>hir. Al-Zarqa>ni> (t.th) berpendapat penafsiran sufistik menggabungkan makna z}a>hir dengan makna

isha>ri> yang tersembunyi. Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh

al-Dhahabi (2000) yang mengatakan bahwa penafsiran sufistik

mengharmonisasikan antara makna eksoteris dan esoterik. Nicholas Heer (1999) menyatakan bahwa secara global metodologi penafsiran sufistik adalah dengan mengkombinasikan antara dimensi ba>t}in dengan z}a>hir serta dapat disejajarkan dengan perpaduan antara syariat dan hakikat.

Penelitian ini menolak pendapat Ibn S{ala>h} (1348 H), yang menyatakan bahwa tafsir Sufistik tidak layak untuk disebut sebagai tafsir, Orang yang menafsirkannya tersebut termasuk kedalam golongan Ba>t}iniyyah. Al-Zarkashi>(t.th) berpendapat bahwa perkataan para sufi dalam penafsiran mereka bukanlah merupakan sebuah tafsir, akan tetapi hanya kesan yang didapat ketika sedang membaca al-Qur’an. Al-T{u>s}i>(1960) beranggapan bahwa pola penafsiran sufistik merupakan kesalahan dan kedustaan yang besar kepada Allah. Penafsiran ala sufi tersebut merubah dan memalingkan makna dari posisi yang semestinya.

(7)
(8)

ABSTRACT

This research proves that thesufistic interpretation of Isma>'i>l Haqqi>can be includedinthe sufi interpretation patternof fayd}i>.It is shown from his sufistic interpretation that harmonizestextual meaning withisha>ri> interpretation. Therefore, sufistic interpretationthat has presented is not contradictingto the textual meaning.In addition, Isma>'i>l Haqqi>’s sufistic interpretation about‘ubu>diyah verses and the dimensions of sufismis valid or acceptable according toal-Dhahabi>’s theory of validity sufistic interpretation.

This research supports the statement of al-Alu>si> (2001) who stated that explanation of the sufis about al-Qur’a>n is a depth cue, which can be adjusted with thetextual meaning. Al-Zarqa>ni>(t. th.) stated that sufistic interpretation combinestextual meaningand hidden meaning of isha>ri>.The similiar statement is stated by al-Dhahabi> (2000) that sufistic interpretation harmonizes between exoteric and esoteric meaning. Nicholar Heer (1999) stated that globally, methodology of sufistic interpretation combines between z}a>hir and ba>t}in

dimension that can be equal to the unification between shari‘ah and haqi>qah. This research refused the statement of Ibn S{ala>h} (1348 H) that sufistic interpretation is not relevant to be called as interpretation. Mufassirwho interpret those are included in the sect of Ba>t}iniyah. Al-Zarkashi (t. th) stated that words of Sufis in their interpretation does not include an interpretation, but it is only an impression that is gained when reciting al-Qur'a>n. Al-T{u>si> (1960) assumed that sufistic interpretation pattern is mistaken and a big falsehood to Allah. Sufistic interpretation changes and diverts the meaning from proper position.

(9)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedomantransliterasi Arab-Latin yang digunakandalampenelitianiniadalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitusebagaiberikut:

A. Konsonan

Initial Romanization Initial Romanization

ا

A

ض

D{

ب

B

ط

Ţ

ت

T

ظ

Z{

ث

Th

ع

ج

J

غ

Gh

ح

H{

ف

F

خ

Kh

ق

Q

د

D

ك

K

ذ

Dh

ل

L

ر

R

م

M

ز

Z

ن

N

س

S

ة،ه

H

ش

Sh

و

W

ص

S{

ي

Y

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ

Fatah A A

ِ

Kasrah I I
(10)

2. VokalRangkap

Tanda Nama GabunganHuruf Nama

َ

...

ي

Fatḥahdanya Ai A dan I

َ

...

و

Fatḥahdanwau Au A da U

Contoh:

ينسح

: H{usain

لوح

: H{aul

3. VokalPanjang

Tanda Nama GabunganHuruf Nama

َـــ Fatḥahdanalif a> a dangaris di atas

يـِـ Kasrahdanya ī I dangaris di atas

وُــ Ḑamahdanwau ū u dangaris di atas

C. Ta’ Marbūţah

Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, biladimatikanditulis h. Contoh:

ةأرم

: Mar’ah

ةسردم

: Madrasah

(ketentuaninitidakdigunakanterhadap kata-kata Arab yang

sudahdiserapkedalambahasa Indonesia sepertishalat, zakat

dansebagainya,kecualidikehendakilafadzaslinya)

D. Shiddah

Shiddah/Tashdīd di transliterasiinidilambangkandenganhuruf, yaituhuruf

yang samadenganhurufbershaddahitu. Contoh:

انّبر

:

Rabbana>

لاّوش

: Shawwa>l

E. Kata SandangAlif + La>m

Apabiladiikutidenganhurufqamariyah, ditulis al. Contoh:

ا

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... ix

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ... xi

ABSTRAK ... xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xix

DAFTAR ISI ... xxi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Signifikansi Penelitian ... 16

F. Metodologi Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II:CORAK SUFISTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN A. Diskursus Tafsir Sufistik ... 21

1. Tafsir Sufistik ... 21

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir Sufi ... 24

B. Corak Tafsir Sufi ... 32

1. Tafsir Sufi Naz}ari> ... 33

2. Tafsir Sufi Isha>ri> ... 34

3. Validitas Tafsir Sufistik ... 36

C. Perdebatan Tentang Tafsir Sufi ... 37

1. Kontroversi Makna Isha>ri> ... 37

2. Tafsir Isha>ri> danBa>t}iniyah ... 39

3. Makna Z{a>hir dan Ba>t}in dalam Tafsir Sufi... 43

BAB III: ISMA<‘I<L H{AQQI< DAN KARYA TAFSIRNYA A. Biografi Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi> ... 45

1. Riwayat Hidup dan Perkembangan Intelektualnya ... 45

2. Seting Sosio-kultural Pada Masanya ... 54

3. Pemikiran Keagamaannya ... 57

4. Karya-karyanya... 64

B. Tafsir Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n ... 67

1. Alasan Pemilihan Nama ... 67

2. Motivas Penulisan ... 67

3. Sumber Penafsiran ... 68

4. Metode Penafsiran ... 69

(12)

6. Sistematika Penafsiran ... 71

BAB IV: FRAMEWORK TAFSIR RU<H{ AL-BAYA<N SEBAGAI TAFSIR SUFISTIK A. Instrumen Eksoterik ... 73

1. Bahasa ... 73

2. Syariat ... 77

3. Hikayat ... 83

4. Adab Sastra Sufistik ... 87

B. Instrumen Esoterik ... 89

1. Simbol Khusus yang Dipakai Para Sufi ... 89

2. Intuisi ... 92

3. Hakikat ... 97

BAB V:VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI< BURSAWI< A. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Tentang ‘Ubu>diyah 1. Shalat ... 105

2. Puasa ... 115

3. Haji ... 128

4. Zikir ... 142

B. Penafsiran Sufistik Isma>’i>l H{aqqi> Terhadap Puncak Pengalaman Sufistik 1. Mah}abbah ... 153

2. Ma‘rifah ... 163

3. Fana>’ dan Baqa>’ ... 171

4. Kashf ... 177

5. Ittih}a>d ... 185

BAB VI: PENUTUP A. Kesimpulan ... 197

B. Saran ... 198

DAFTAR PUSTAKA ... 199

GLOSARIUM ... 209

INDEKS ... 213

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian al-Qur’an selalu mengalami perkembanganyang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban dunia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, dari mulai yang klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode, serta pendekatan yang digunakan. 1 Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, tradisi penafsiran al-Qur’an terus berkembang,mulai dari periode klasik kemudian periode pertengahan dan terus berkembang sampai masa kontemporer.2Bahkan sejak abad ketiga hingga sekitar abad keempat hijriyah, bidang tafsir menjadi disiplin ilmu yang mendapat perhatian khusus dari para sarjana muslim. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap al-Qur’an.3Perkembangan ilmu telah merangsang para mufassir untuk lebih membuka tabir al-Qur’an, yang ditinjau dari berbagai bidang pengetahuan, sehingga membuat corak tafsir menjadi lebih bervariasi.4

Metode penafsiran yang berkembang juga sangat beragam, dalam metode penafsiran dikenal metode tah}li>li>,5 metode ijma>li>,6metode muqa>rin7 dan

1

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), 1. 2Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi membagi sejarah penafsiran al-Qur’an kedalam tiga fase, yaitu: pertama, adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat; kedua, yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in; ketiga, fase perkembangan tafsir pada masa penyusunan dan pembukuan yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Jilid I, 32-342. Lihat juga Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 326-333.

3Leonard Binder (ed.), The Study of Middle East: Research and Scholarship in the

Humanities and Social Science, (New York: A. Weley-Interscience Publication, 1976), 65. Lihat juga Sayyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of New York Press, 1981), 58.

4Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu, 1975) 76-77. 5 Metode tah}li>li> adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya serta menyingkap seluruh maksud dari ayat tersebut, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, muna>saba>t, asba>b nuzu>l ayat, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat, tabi’in. Prosedur tersebut dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Lihat ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al-Mawd{u>‘i> (Kairo: Maktabah Jumhu>riyah, 1977), 24.

6

Metode ijma>li> yaitu menafsirkan al-Qur’an secara global. Dengan metode ini, mufassir

berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah, sehingga dapat dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya. Lihat ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, Bida>yah Fi> Tafsi>r

(14)

metode maud}u>’i>.8Selain metode, dalam ilmu tafsir dikenal juga beragam bentuk

penafsiran, diantaranya: bi al-ra’y, bi al-ma’thu>r, dan bial-isha>ri.>Dari bentuk penafsiran yang disebutkan pertama, muncullahberbagai macam corak penafsiran. Hal ini disebabkan tafsir bi> al-ra’y yang biasanya menggunakan metode tah}li>li>, para mufassir relatif mendapat kebebasan, sehingga mereka lebih leluasa dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Tentunya masih dalam koridor yang sesuai dengan syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk bi

al-ra’y dengan metode tah}li>li> dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam.9 Ada beberapa corak penafsiran yang dikemukakan oleh pakar tafsir. Diantaranya: Quraish Shihab10menjelaskan, setidaknya corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: corak sastra bahasa (tafsi>r lugha>wi>/ al-bala>ghi>),11corak filsafat dan teologi (al-tafsir al-falsa>fi>),12 corak penafsiran ilmiah (al-tafsi>r al-‘ilmi>>),13 corak fiqih atau hukum (al-tafsi>r al-fiqhi>/ al-tafsi>r al-aya>t al-ah}ka>m),14 corak tasawuf (al-tafsi>r al-s}u>fi>)15 dan corak sastra

7

Metode muqa>rin adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan merujuk atau membandingkan dengan penjelasan para mufassirlainnya. ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al-Mawd{u>‘i>, 45.

8

Metode maud}u>’i> yaitu menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Selanjutnya menguraikan dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali, bersamaan dengan itu dikemukakan pula tujuan yang menyuluruh dari pembahasan tersebut sehingga bagian-bagian yang terdalam dari tema tersebut dapat dipahami oleh pembaca. ‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al-Mawd{u>‘i>, 52.

9Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 50.

10 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 72-73.

11Corak ini timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dalam bidang sastra, sehingga dirasa perlu untuk menjelaskan keistimewaan dan kedalaman kandungan al-Qur’an di bidang ini. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 216. Perhatian terhadap penafsiran dengan kecenderungan bahasa terus berkembang sejalan dengan kontak budaya antara bahasa Arab dengan bahasa non Arab. Pada masa shahabat, kecenderungan ini mulai nampak dengan tujuan untuk menyelamatkan dari pengaruh bahasa non Arab. Lihat Ali al-U<si>, dalam al-Hikmah (Bandung: Mîzan, 1992), 15.

12Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta adanya gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Abbasiyah. Buku-buku yang diterjemahkan kebanyakan buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan Plato. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 216. Biasanya mufassircorak ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pandangan atau pemikiran filsafat, seperti halnya tafsi>r bi al-ra’yi. Dalam hal ini ayat al-Qur’an lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, 431.

13 Corak ini diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta usaha para mufassir untuk memehami ayat-ayat al-Qur’an yang sejalan dengan perkembangan ilmu. Abuddin Nata,

Metodologi Studi Islam, 216.

(15)

kebudayaan kemasyarakatan (al-tafsi>r al-adab al-ijtima>’i>).16 Dalam hal ini, al-Dhahabi menambahkan al-tafsi>rbi al-ma’thu>r,17al-tafsi>r bi al-ra’y ke dalam

corak penafsiran. Sementara itu, Abd Hay al-Farmawi dalam menentukan corak penafsiran tidak memasukkan al-Tafsi>r al-lugha>wi> ke dalam corak penafsiran,18 selebihnya Farmawi sependapat dengan penjelasan al-Dhahabi. Sementara itu, Al-Sharba>s}i>dalam penelitiannya memasukkan al-tafsi>r al-siya>si> ke dalam corak penafsiran. Hal ini didasarkan pada pendapat-pendapat kelompok Khawarij dan lainnya yang terlibat politik dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.Menurut mereka, dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan perilaku serta peran politik yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai pada saat itu.19

Keberadaanpenafsiran sufistik menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dibahas, beragam penilaianterhadap kalangan sufi bermunculan. Otoritas sufi dalam menafsirkan al-Qur’an digugat, tetapi juga dibela. Penafsiran sufistik digugat kesahihan metodenya karena mirip dengan metode

ta’wi>lyang dilakukan kalangan Syi‘ah Ba>t}iniyyah. Salah satu hal yang menarik dan ditengarai telah menjadi inti selamatnya sufi dari tuduhan kekafiran seperti yang ditimpakan terhadap kalangan Ba>t}iniyyahadalah analisis para sufi yang tetap menyertakan makna z}a>hir, makna baku yang diperoleh melalui proses ijtihadi yang valid merujuk kepada pernyataan al-Qur’an, sunnah, maupun

karya al-Qurtubi> (Maliki); Kanz al-‘Irfa>n fi> Fiqh al-Qur’a>n karya Miqda>d al-Saiwari> (Syi’ah Ithna

‘ash’ariyah).

15 Adapun corak tafsir ini lebih didasarkan oleh pemikiran sufi, tafsir ini terbagi menjadi dua bagian: tafsi>r Su>fi> al-Naz}a>ri>, yaitu tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran penulis tafsir tersebut seperti renungan filsafat. Menurut al-Dhahabi, tafsir ini tertolak. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid II, 346. Bagian kedua dari jenis tafsir sufi adalah Tafsi>r Su>fi> al-Isha>ri>, yaitu tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasha>f), seperti Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adhi>m karya al-Tustari>; Haqa>’iq al-Tafsi>r karya al-Sulami> dan Ara>is al-Baya>n fi> Haqa>iq al-Qur’a>n karya al-Shira>zi>. Menurut al-Dhahabi Tafsi>r su>fi> isha>ri ini dapat diterima dengan beberapa syarat: 1) terdapat dalil syar’i yang menguatkan. 2) tidak bertentangan dengan syariat. 3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka akan tertolak. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid II, 377.

16 Corak tafsir ini menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta sebagai usaha untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi berdasarkan petunjuk ayat. Dengan kata lain, penafsiran corak ini tidak disandarkan pada pendapat fuqaha>’ tertentu dan tokoh-tokoh aliran keagamaan dan pemikiran yang telah berlalu, dan tidak juga terbatasi oleh sebab nuzul yang dipahami secara harfiyyah, melainkan didasarkan pada pertimbangan akal, kondisi sosial dan tuntutan jamannya. Lihat Bakri Syaikh Amin,

Al-Ta’bi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1980), 134.

17 Corak tafsir ini lebih bersumber dari riwayat dari Rasul, Sahabat dan Tabi’in. Lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid I, 152. Adapun contoh Jenis Tafsir ini adalah Ja>m’i al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya al-T{aba>ri>; Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Adhi>m karya Ibn Kathi>r; Al-Du>r al-Manthu>r karya al-Suyu>ti>. Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jilid I, 204-252.

18‘Abd H{ayy al-Farma>wi>, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r al-Mawd{u>‘i>, 24.

(16)

konsepsi pemakaian bahasa secara umum. Atas landasan makna z}a>hir inilah mereka membangun metode penafsiran al-Qur’an secara isha>ri> dalam menggali signifikansi moral al-Qur’an yang menjadi legacy mereka sebagai pewaris tugas kenabian dalam membawa risa>lah akhla>qiyyah kepada manusia secara umum.20

Kaum sufimemandang bahwa al-Qur’an tidak hanya bernuansakan makna z}a>hir saja,tetapijuga menyimpan pesan ba>t}in yang tampak pada setiap ayat-ayatnya.21 Karena itu, kaum sufisangat senang dengan aspek-aspek alegoris,22sehingga setiap mendalami makna esoterik sering kali memalingkan makna literal-ekstoterik.23 Para sufi mempunyai manhaj tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an, manhaj yang dimaksud adalah menakwilkan ayat-ayat

al-Qur’an secara metaforis.24Hal itu disebabkan para mufassir sufi memandang

bahwa setiap ayat al-Qur’an mengandung empat makna: yaitu makna z}a>hir, ba>t}in, h}add, dan mat}la’. Makna z}a>hir ayat adalah sebagai bacaannya, ba>t}in ayat

adalah ta’wilnya, h}add adalah hukum-hukum tentang halal dan haram,

sedangkan mat}la’adalah tujuan Allah dari hamba-Nya dengan ayat itu sendiri.25Untuk itu seorang mufassir harus menjalankan riya>d}ah ruhani agar memperoleh pengetahuan (ma’rifah)sampai mencapai tingkatan yang disebut kasha>f, dimana dengan kasha>f tersebut dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terkandung dalam al-Qur’an.26

Perkembangan sufisme dalam khazanah Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Oleh kalangan tertentu, praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mah}abbah, ma’rifah, h}ulul, dan wah}dat al-wuju>d. Dengan demikian, berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam, yaitu para praktisi (‘ama>li>) yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof (naz}a>ri>-falsa>fi>) yang lebih mengedapankan teori-teori mistisnya. Pada gilirannya dari kedua model sufisme ini lahirlah dua corak penafsiran sufistik yang biasa dikenal dengan istilah tafsir sufi naz}a>ri> dan tafsir sufi isha>ri> atau fayd}i>.27

20

M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Al-Qur’an‛,

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 1, no. 2, (2004): 1.

21 Al-Sira>j al-T}u>si, al-Luma>’(Kairo: Da>r al-Kutu>b al-H{adi>thah, 1960),106-107. 22

Annabel Keeler, ‚S{u>fi> tafsi>r as Mirror: al-Qushayri> the Murshid in his Lat}a>‘if al -Isha>ra>t‛, Journal of Qur’anic Studies, Vol. 8, No. 1 (2006), 1. http://www.jstor.org/stable/25728196 . (diakses 22 Maret, 2014).

23 Alexander D. Knysh, ‚Sufism and Qur’a>n‛ dalam J.D. McAuliffe (ed.), The Encyclopedia of the Qur’a>n (Leiden-Boston: E.J. Brill, 2006) vol. 5, 137.

24Ka>mil Must}afa> al-Shibli,al-S{ila>h baina al-Tasawwuf wa al-Tasyayyu‘ (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1958), 416.

25

M. Anwar Syarifuddin, ‚Hermenetika Sufi Sahl Ibnu Abdullah Al-Tustari‛ dalam Kusmana dan Syamsuri (eds), Pengantar Kajian Al-Qur’an: Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2004), 249.

26Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 347. 27

(17)

Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir sufi naz}a>ri>sebagai sebuah tafsir yang dilakukan oleh kelompok teosof (naz}a>ri>-falsa>fi>) untuk mempromosikan salah satu di antara sekian teori mistik dengan menggeser tujuan al-Qur’an kepada tujuan dan target mistis mufassir-nya.28Sudah tentu hal ini tidak mudah, mengingat al-Qur’an itu diturunkan tidak untuk menjustifikasi suatu pandangan tertentu, tetapi untuk mencari pemahaman terhadap al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai dasar atau pegangan bagi pandangannya. Adapun corak tafsir sufi isha>ri> atau fayd}i>, Subh}i Sa>lih} mendefinisikan sebagai sebuah bentuk penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dari makna z}a>hir-nya sesuai dengan pemahaman yang ditunjukkan oleh isyarat samar (isha>rah al-khafiyah) yang terkandung di dalamnya, di mana hal ituhanya bisa dipahami oleh seseorang yang telah melakukan perjalanan spiritual (sulu>k) saja.29Namun sebenarnya perbedaan cara pandang mereka terhadap al-Qur'an masih dapat ditarik benang merahnya. Kaum sufi, secara keseluruhan, sependapat bahwa al-Qur'an itu mempunyai dua dimensi, z}a>hir dan ba>t}i>n.30

Pada praktiknya, kaum sufiharus mengalami benturan dengan kaum formalistik fuqaha>’, muhaddithi>n dan mufassir dari kalangan bi> al-ma’thu>r, yang terlalu sibuk berkutat dan berputar-putar dalam kubangan makna lahiriah.31Ibn S{ala>h} (w. 643 H) menyatakan tafsir sufitidak layak untuk disebut sebagai tafsir. Orang yang menafsirkannya tersebut termasuk kedalam golongan Ba>t}iniyyah.32 Bahkan dijelaskan juga oleh Ibn S{ala>h, Abu H{asa>n al-Wa>h}idi> (w. 468 H), pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait dengan tafsir karya

‘Abd al-Rah}ma>n al-Sula>mi> (w. 412 H) yang menggunakan pendekatan isha>ri>.

Lebih dari itu, ia menyebut siapapun yang mempercayai tafsir al-Sula>mi> tersebut berarti ia telah keluar dari Islam.33Senada dengan al-Wa>h}idi>, al-T{u>s}i>(w. 378 H) yang dikutip oleh Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n menganggap pola penafsiran sufistik merupakan sebuah kesalahan dan kedustaan yang besar kepada Allah. Penafsiran ala sufi tersebut merubah dan memalingkan makna dari posisi yang semestinya. Menurut al-T{u>s}i>, dalam memahami al-Qur’an, terdapat larangan untuk mendahulukan apa-apa yang diakhirkan Allah, begitupun sebaliknya tidak boleh mengakhirkan apa-apa yang didahulukan Allah. Selain itu, tidak

28

Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassirun, Jilid II, 256. 29

Subh}i> Sa>lih}, Maba>hith fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-’Ilm li> al-Mala>yi>n, t.t), 296. 30

Statemen tersebut awal mulanya diungkapkan oleh golongan Syi’ah Isma’iliyah saat meletakkan dasar-dasar dalam menafsirkan al-Qur’an, yang didasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh al-H{asan bahwa ia berkata:

لاق نسلحا نع يور

:

ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر لاق

:

علطم دح لكلو دح فرح لكلو نطبو رهظ ةيآ لكل

Diriwayatkan dari al-Hasan, Rasulullah saw. bersabda: ‚Setiap ayat memiliki z}a>hir dan ba>t}in, dan

setiap huruf mempunyai h}ad dan setiap h}ad mempunyai mat}la’‛.Untuk lebih detailnya Lihat Muhammad al-Sayyid Jibril, Madkhal ila> Mana>hij al-Mufassirin (Kairo: al-Risalah, 1987), 150.

31Aik Iksan Anshori, Tafsir Ishari>: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 1.

32

Taqiy al-Di>n Ibn S}ala>h, Fata>wa> (Kairo: Ida>rah T{aba>’ah al-Muni>riyyah, 1348 H), 29. 33

(18)

diperkenankan untuk menafsirkan al-Qur’an di luar dari makna bahasa Arab, karena al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas.34 Al-Zarkashi>(w. 794 H) dalam kitabnya al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n membuka pasal tentang tafsir sufi dengan pernyataan bahwasannya perkataan para sufi dalam penafsiran mereka bukanlah merupakan sebuah tafsir, tetapi hanya kesan yang didapat ketika sedang membaca al-Qur’an.Berikut ini adalah salah satu contoh penafsiranpara sufi terhadap ayat al-Qur’an:

َ ِ لَّ ُ مْلا َعَم َهلَّللا لَّنَأ اوُ َلمْعاَو ةًةَ مْلِ مْمُكيِ اوُدِ َيمْلَو ِرالَّ ُكمْلا َنِم مْمُكَووُلَيُّي َنيِ لَّلا اوُلِااَق اوُ َمَآ َنيِ لَّلا اَه يُّيَأ اَي

‚Wahai orang-orang yang beriman perangilah orang-orang yang dekat dengan kamu dari orang-orang kafir, dan hendaklah mereka meraakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang yang bertaqwa‛ (Q.S. al-Tawbah [9]: 123).

Kata ‚yalu>nakum‛ yang artinya ‚dekat kepadamu‛ ditafsirkan dengan arti nafsu. Para sufi berpendapat bahwa alasan manusia diperintah membunuh orang kafir yang dekat dalam ayat tersebutadalah karena kedekatan jaraknya. Sedangkan perkara yang paling dekat kepada manusia adalah nafsunya sendiri. Oleh sebab itu, manusia diperintah untuk membunuh nafsu yang ada dalam dirinya, sebab nafsu termasuk sesuatu yang paling dekat kepada manusia bahkan berada dalam diri manusia itu sendiri.35

Al-Suyu>t}i>(w. 911 H) dalam kitabnya al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>njuga membuka pasal tentang penafsiran para sufi dengan pernyataan yang bernada

klarifikatif, ‚amma kala>m al-s}u>fiy fi> al-Qur’a>n fa laysa bi al-tafsi>r‛ (pandangan

kalangan sufi terhadap al-Qur’an bukanlah sebuah tafsir).36Sementara itu, Al-Nasafi>(w. 537 H) berpendapat bahwa penafsiran sufi>merupakan pemindahan dari makna denotatif (z}a>hir) kepada makna konotatif (ba>t}in) seperti yang dimunculkan oleh ahli Ba>t}iniyyahadalahilh}a>d(penyimpangan). Namun menurut Al-Tafta>zani> (w. 792 H),ilh}a>d tersebut dapat terjadi jika penafsiran sufi hanya mengungkapkan makna ba>t}insaja sembari mengingkariz}a>hirayat pada langkah selanjutnya dengan mengabaikan aspek syari’at. Apabila interpretasi para sufi tersebut sejalan dengan makna z}a>hir, tidak melepaskan dari aspek syari’at dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otoritas untuknya, maka hal itu merupakan keteguhan iman dan kesempurnaan ‘irfa>nyang mendalam.37Dari penjelasan tersebut, tampaknya al-Nasafi> menolak tafsir Ba>t}iniyyah dengan

34

Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n, Us}ūl at-Tafsīr wa Qawa>’iduhu> (Beirut: Da>r al-Nafa>‘is, 1986), 215.

35

Badr al-Di>n Muh}ammad al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, t.th), 170.

36

Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al-It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n(Kairo: Maktabah wa Mat}ba’ah al -Mashhad al-H}usyni>, 1967), Jilid IV, 194.

37

(19)

pernyataannya bahwa penafsiran Ba>t}iniyyahmerupakan sebuah bentuk penyimpangan.

Berbeda dengan al-Nasafi>, al-Tafta>zani (w. 792 H) berpendapat bahwa penafsiran esoterik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai tafsir Ba>t}iniyyah, tetapi ada juga yang tergolong kedalam tafsir isha>ri>. Karena pada dasarnya ia menerima dan mengakui pola penafsiran isha>ri>karena menurutnya pola penafsiran tersebut dilakukan oleh ahli ma’rifah, dan mereka tidak

meninggalkan syari’ah. Berbeda dengan penafsiran Ba>t}iniyyahyang hanya

menafsirkan dan menggali makna ba>t}in saja dan meniadakan makna z}a>hirayat. Sebagaimana al-Nasafi>, al-Taftaza>ni> pun menolaknya dan menganggap hal itu sebagai sebuah penyimpangan, karena pada dasarnya penafsiran dengan pola tersebut sama dengan merubah makna-makna al-Qur’an.38Al-Ghaza>li>(w. 505 H) menyetujui dan mengakui eksitensi tafsir sufi, ia mengatakan bahwa untuk dapat menguasai ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang di masa mendatang maka hendaklah membaca al-Qur’an. Segala macam ilmu masuk di dalam perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya, karena di dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang diri-Nya, Dha>t-Nya, af’a>l-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Menurut al-Ghaza>li>,semua ilmu itu tak berujung, dan dalam al-Qur’an sendiri terkandung isyarat mengenai hal itu. Kemudian al-Ghaza>li> menambahkan, bahkan segala sesuatu yang sulit bagi mufakkiri>n untuk memahaminya, danterjadi perbedaan pendapat secara teoritis diantara mereka, maka dalam

al-Qur’an disediakan rumus dan petunjuk (dila>lah) untuk penyelesaiannya.

Selanjutnya al-Ghazali mengajak untuk menyelami dan merenungi hal-hal yang gha>rib dari al-Qur’an agar sejalan dan selaras (muwa>faqah) dengan ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.39

Senada dengan al-Ghaza>li>, al-Sha>t}ibi>(w. 790 H) mengakui pemaknaan

al-Qur’an secara isha>ri> dengan dua syarat. Pertama, makna ba>t}in sesuai dengan

tuntutan z}a>hir sebagaimana ketentuan dalam stuktur bahasa Arab. Kedua, pemaknaan ba>t}intersebut harus mempunyai argumentasi syari’at yang mendukung keabsahannya tanpa ada pertentangan di dalamnya. Jika tidak, maka penafsirannya terhadap al-Qur’an termasuk mengada-ada.40

Pada realitanya, jika menengok ke belakang, sejatinya akan didapati sumber dari al-Qur’an dan Hadis yang mendasari penafsiran isha>ri>, karena penafsiran corak ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantara penafsiran isha>ri> sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nas}r:

38

Muh}ammad ‘Ali> al-S{abu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n(Damaskus: Mu’assasah al -‘Irfa>n, 1390 H), 172.

39Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n, Us}ūl at-Tafsīr wa Qawa>’iduhu>(Beirut: Da>r al-Nafa>‘is, 1986), 220.

(20)

َناَك َلاَق ٍسالَّبَع ِنمْبا ِنَع ٍمْيَْيُّبُج ِنمْب ِديِعَس مْنَع ٍرمْشِب ِبَِأ مْنَع َةَواَوَع وُبَأ اَ َيُّثلَّدَح َليِعاَمْسِْإ ُنمْب ىَسوُم اَ َيُّثلَّدَح

ُهُلمْيُّثِم ٌءاَ مْيُّبَأ اَ َلَو اَ َعَم اَ َه ُلِخمْدُا َِلِ َلاَ َيُّ ِهِسمْ َيُّو ِفِ َدَجَو مْمُهَضمْعَيُّب لَّنَأَكَ ، ٍرمْدَب ِخاَيمْشَأ َعَم ِنُِلِخمْدُي ُرَ ُع

مْمُ مْ ِلَع ُثمْيَح مْنِم ُهلَّوِإ ُرَ ُع َلاَ َيُّ

.

ٍممْوَيُّي َتاَذ اَعَدَ

مْمُهَعَم ُهَلَخمْدَأَ

لَّلاِإ ٍ ِئَممْوَيُّي ِنِاَعَد ُهلَّوَأ ُتيِئُر اَ َ

مْمُهَيُّيُِيِْل

.

َلَاَعَيُّا ِهلَّللا ِلمْوَيُّق ِفِ َنوُلوُ َيُّا اَم َلاَق

(

ُ مْ َ مْلاَو ِهلَّللا ُرمْ َو َءاَج اَذِإ

)

َهلَّللا ُدَ مَْنَ اَومْرِمُأ مْمُهُضمْعَيُّب َلاَ َيُّ

اَ مْيُّيَلَع َ ِ ُ َو اَومْرِ ُو اَذِإ ، ُهُرِ مْغَيُّ مْسَوَو

.

ٍسالَّبَع َنمْبا اَي ُلوُ َيُّا َكاَ َكَأ ِلَ َلاَ َيُّ اةًئمْيَش مْلُ َيُّي مْمَلَيُّ مْمُهُضمْعَيُّب َتَكَسَو

َلا ُتمْلُ َيُّ

.

ِهلَّللا ِلوُسَر ُلَجَأ َوُه ُتمْلُيُّق ُلوُ َيُّا اَ َ َلاَق

ملسو هيلع للها ىلص

َلاَق ، ُهَل ُهَ َلمْعَأ

(

اَذِإ

ُ مْ َ مْلاَو ِهلَّللا ُرمْ َو َءاَج

)

َكِلَجَأ ُةَمَلاَع َكِلَذَو

(

اةًبالَّوَيُّا َناَك ُهلَّوِإ ُهمْرِ مْغَيُّ مْساَو َكِّبَر ِدمْ َِبِ مْ ِّبَسَ

. )

اَم ُرَ ُع َلاَ َيُّ

ُلوُ َيُّا اَم لَّلاِإ اَهمْيُّ ِم ُمَلمْعَأ

. 41

‚Diriwayatkan dari Mu>sa> Ibn Isma>‘i>l, dari Abu> ‘Awa>nah, dari Abi> Bishr dari Sa‘i>d Ibn Jubayr dari Ibn ‘Abba>s berkata: ‚Suatu ketika ‘Umar Ibn

Khat}t}a>b membawa saya masuk (singgah) bersama sahabat-sahabat senior yang ikut dalam peperangan Badar, maka seolah-olah sebagian mereka marah terhadap ‘Umar dan berkata ‚Mengapa engkau ajak dia

(Ibn ‘Abba>s) bersama kita padahal kami mempunyai anak seumur dia‛. Maka berkata Umar: ‚Kalian telah mengenal siapa dia (Ibn ‘Abbas)‛.

Maka ‘Umar memanggil Ibn ‘Abbas pada suatu hari dan mengajak

bergabung bersama mereka. (Ibn ‘Abbas berkata) ‚Tidaklah ‘Umar memanggilku kecuali untuk memperlihatkan kepada mereka

(kelebihanku)‛. Umar berkata: ‚Bagaimana pendapat kalian tentang

firman Allah ‘Idha> ja>’ anas}rulla>hi wa al-fath}’? Maka sebagian mereka menjawab: ‚Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan meminta

ampun kepada-Nya apabila kita ditolong dan diberikan kemenangan

kepada kita‛ dan sebagian lain diam tidak menjawab sedikitpun. Maka Umar berkata kepadaku: ‚Apakah demikian juga pendapatmu wahai Ibn

‘Abba>s?‛ Maka aku menjawab ‚Bukan‛.Kemudian ‘Umar berkata:

‚Bagaimana pendapatmu?‛. Aku berkata: ‚Ayattersebut adalah tanda dari ajal Rasulullah saw. Allah memberitahu kepada Nabi mengenai ajalnya. Dan demikian pula mengenai ajalmu (fasabbih} bih}amdi Rabbika wa astaghfirh innahu> ka>na tawwa>ba>). Maka ‘Umar berkata

‚Aku tidak mengetahui tentang ayat ini kecuali apa yang kamu katakan‛.

Dari hadis yang telah disebutkan di atas, tafsir sufistik mempunyai kenyataan akar geneologi kuat yangbersumber dari al-Qur’an dan hadis. Artinya tafsir sufistik mempunyai legitimasi syari’at sebagai dasar legalitas dan

41

(21)

formalitas yang sepatutnya mendapat pengakuan. Dengan kata lain, asumsi ini membantah ulama fuqaha>’, muh}addith, dan mufassir yang menyatakan bahwa tafsirsufistik bukan termasuk kategori tafsir dan termasuk bentuk khurafat.42

Geneologi tafsir sufiisha>ri>sendiri mempunyai riwayat yang panjang. Dalam sejarah kebudayaan Arab, mulanya terdapat tiga epistem besar yang saling berbenturan satu sama lain. Yakni episteme baya>ni>, ‘irfa>ni> dan burha>ni>. Benturan-benturan episteme tersebut berupa perdebatan sengit yang terjadi antara fuqaha>’ (baya>ni>) dengan kaum sufi (‘irfa>ni>), fuqaha>’ (baya>ni>) dengan filosof (burha>ni>), dan filosof (baya>ni>) dengan kaum sufi(‘irfa>ni>).43Untuk meredam serta menjembatani benturan dari masing-masing epistemologi

tersebut, kaum sufi ‘Ama>li> berupaya mengharmonisasikan ketiganya.

Al-Muh}a>sibi> (w. 857 M) misalnya, yang berusaha mengharmonisasikan antara nalar baya>ni> dengan ‘irfa>ni> yang dikemudian hari disebut tasawuf sunni. Tujuan mendamaikan dua nalar besar tersebut disebabkan terdapat perbedaan yang ekstrim antara tafsir sufi naz}a>ri> dengan tafsir sufi isha>ri>. Pasca Al-Muh}a>sibi adalah Sahl Al-Tustari> (w. 986 M) dengan karyanya Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m

atau biasa dikenal dengan Tafsi>r Tustari>. Namun sayangnya, tafsir ini dinilai banyak kalangan kurang memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap dalam mengapresiasi seluruh kandungan al-Qur’an.44 Setelah itu muncul tafsir Haqa>‘iq al–Tafsi>r karya Abu> Abd al-Rah}ma>n al-Sulami> (w. 412 H). Akan tetapi, tafsir ini mendapat penilaian negatif. Bahkan dituduh banyak terdapat bid’ah, berbau syi’ah dan terdapat banyak hadis mawdu’ di dalamnya.45

Pekembangan selanjutnya muncullah ‘Abd al-Kari>m ibn H{awa>zan al-Qushayri> (w. 465 H), dengan karya tafsirnya yang berjudul Lat}a>‘if al-Isha>ra>t atau yang lebih populer dengan Tafsi>r al-Qushayri>.Dalam Risa>lah al-Qushairiyyah-nya,ia berpendapat bahwa setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tertolak dan setiap hakikat tidak berlandaskan syariat maka gagal, syariat adalah ibadah dan hakikat adalah saksi dari ibadah itu sendiri.46Di samping itu, dalam menafsirkan al-Qur’an ia berusaha agar tetap mengacu kepada syariat, dalam hal ini al-Qur’an dan Hadis.47Setelah al-Qushayri>, estafet penafsiran sufistik dilakukan oleh al-Ghaza>li> (w. 1111 M). Ia berhasil menggabungkan tiga nalar episteme sekaligus. Bahkan ia menelurkan dikotomi

42

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 3. 43

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 5. 44

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012), 47. 45

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 47. 46

Ibarhim Bashuni dalam muqoddimah-nya. Lihat Al-Qushayri>, Lat}a>‘if al-Isha>ra>t

(Kairo: al-Hay‘ah al-Mis}riyah, 2007), Jilid I, 6. 47

(22)

antara tafsir dan takwil. Tafsir sebagai interpretasi harfiah z}a>hir teks ayat

al-Qur’an dan ta’wil adalah interpretasi ba>t}in kaum sufistik.48

Tidak ketinggalan, Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> (w. 1725M),-selanjutnya

disebut al-Bursawi>- seorang sufi besar berkebangsaan Turki yang mengarang tafsir Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n.Al-Bursawi>mula-mula mengungkap makna setiap ayat secara lahir dengan gamblang, luas dan mendalam dengan menggunakan pendekatan riwayat yang sahih dari Nabi atau sahabat. Setelah itu baru dia menulis pemaknaan ayat secara isha>ri>.49Itulah sebabnya tafsir ini, juga dipandang para ahli sebagai tafsir yang berhasil memadukan antara tafsir lahir dan tafsir batin serta tidak akan menyerupai kitab-kitab tafsir sufi terdahulunya. 50 Hanya persoalannya sejauh pengamatan peneliti, kajian metodologi tafsir sufistik –dalam kajian ini al-Bursawi>- masih jarang yang menggarap secara maksimal. Apalagi jika dilihat dalam kajian manahi>j al-muafssiri>n atau kajian-kajian ‘ulu>m al-Qur’a>n sangat jarang ditemukan metodologi penentuan corak tafsir ishari>. Kebanyakan metodologi yang ada cenderung berorientasikan tafsir mazhab eksoterik, baik model tafsi>r bi

al-ma‘thu>r maupun tafsi>rbi al-ra’y. Inilah yang menjadi pendorong dalam penelitian ini, dimana penulis akan membahasnya dengan judul: ‚Corak Tafsir Sufistik:Studi Analisis atas Tafsir Ru>h} al-Baya>nKarya Isma>‘i>l H{aqqi>‛.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah.

Merujuk pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang terkait dengan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Geneologi Tafsir SufiSufistik yang bersumber langsung dari al-Qur’an dan Hadis.

b. Perbedaan corak Tafsir Sufi Isha>ri>atau Fayd}i> dengan Tafsir Sufi Naz}a>ri>.

c. Perbedaan Tafsir SufiIsa>hri>Fayd}i>dan Tafsir Sufi Naz}a>ri> dengan Tafsir Syi’ah Ba>t}iniyah.

d. Rumusan metode Tafsir Isha>ri>Fayd}i>secara teoritis. e. Validitas penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>>.

f. Corak penafsiran sufistik al-Bursawi>dalam peta penafsiran sufistik.

2. Pembatasan Masalah

48

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 7. 49

M. Sait Ozervarh, ‚Alternative to Modernization in the Late Ottoman Period: Izmirli Ismail Hakki’s Religious Thought againt Mterialist Scientism‛, International Journal of Middle East Studies, Vol. 39, No. 1, (Feb., 2007): 92, http://www.jstor.org/stable/4129113. (diakses 28 April 2014).

50

(23)

Dari beberapa masalah yang telah diidentifikasikan di atas,maka obyek penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, peneliti hanya membatasi analisis mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan‘ubu>diyah dan puncak pengalaman sufistik.Pada permasalan‘ubu>diyah, ibadah yang diambil adalah shalat, puasa, haji dan zikir. Adapun zakat tidak disertkan karena penulis berasumsi bahwa zakat merupakan ibadah yang lebih bersifat sosial. Sedangkan ibadah-ibadah shalat, puasa, haji dan zikir lebih bersifat transendental. Oleh karena itu, zakat tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Kemudian pada tema puncak pengalaman para sufi, term yang diambil adalah mah}abbah, ma‘rifah.

fana>’, baqa>’, kashf dan ittih}a>d.Dari penafsiran al-Bursawi> mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman para sufi itu, peneliti kemudian menganalisis secara kritis dengan menggunakan teori validitas sufistik yang dikemukakan oleh al-Dhahabi> yang mencakup empat aspek, yaitu: pertama,sebuah penafsiran sufistik tidak boleh bertentangan dengan makna zahir ayat al-Qur’an;kedua,didukung oleh argumen rasional atau

bukti kuat yang bersumber dari syara’; ketiga,tidak bertentangan dengan syariat

atau akal sehat; keempat, tidak mengklaim bahwa tafsir sufistik adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat tersebut, sebaliknya mufassir yang menulis tafsir tersebut, mengakui adanya makna z}a>hir ayat sebelumia menjelaskan makna isha>ri-nya.51Dengan menilik keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengetahui informasi tentang corak penafsiran sufistik al-Bursawi>.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah: ‚Bagaimana corak penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>serta validitas interpretasi sufistiknya?‛

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Menurut pembacaan peneliti, penelitian secara khusus yang berkenaan dengan tafsir Isha>ri> terlihat dalam berbagai penelitian para akademisi masa kini terhadap berbagai kitab tafsir.Misalnya,Septia Wadi dalam Disertasinya yang

berjudul ‚Penafsiran Sufistik Sa’i>d H{awwa> Dalam al-Asa>s fi> al-Tafsi>r.‛ yang di

tulis di UIN Syarif Hidayatullah jakarta pada 2010. Ia meneliti ayat-ayat yang ditafsirkan secara Isha>ri> oleh Sa‘i>d H{awwa> dalam al-Asa>s fi> al-Tafsi>r yang berkaitan dengan ayat-ayat maqa>ma>t dan dimensi ajaran tasawuf. Dari penelitian itu menunjukan bahwa penafsiran sufistik yang dilakukan oleh H{awwa> menggunakan makna isha>ri> dengan tetap mengacu pada makna lahir ayat.konklusi pada penelitian tersebut mengacu kepada pandangan al-Zarqa>ni> yang menyatakan bahwa penafsiran sufistik diimplementasikan dengan menakwilkan ayat al-Qur’an di luar makna lahir berdasarkan isyarat

51

(24)

tersembunyi dengan tetap mengacu kepada makna lahir ayat.52Walaupun mengkaji seputar tafsir Isha>ri>, nampaknya objek kajian dalam penelitian tersebut berbeda dengan tesis ini yang mengkaji tentang kecenderungan penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi>.

Tidak ketinggalan Baharuddin HS (2002) dalam Disertasinya berjudul ‚Corak Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni>karya al-Alu>si>: Telaah Atas Ayat-ayat yang Ditafsirkan Secara Isha>ri>‛yang ditulisdi UIN Syarif Hidayatullah Jakartajuga meneliti penafsiran sufistik al-Alu>si> dalam Ru>h} al-Ma‘a>ni>.Penelitian tersebut mempertegas bahwa penafsiran sufistik yang dilakukan mufassir bersandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga legal secara syara serta tidak bertentangan dengan makna lahir ayat. Karena yang tidak dilegalkan, ketika penakwilkan terhadap ayat menyimpang dari makna lahir serta bertentangan dengan syara‘.53Walaupun mengkaji seputar penafsiran secaraIsha>ri>, namun objek kajian dalam penelitian tersebut berbeda dengan tesis ini yang mengkaji tentang corak tafsir sufistik Isma>’i>l H{aqqi>dalam Ru>h} Baya>n fi> Tafsi>r

al-Qur’a>n serta validitas penafsirannya.

Penelitian lain berkenaan dengan tafsir isha>ri>, dilakukan Rosihan Anwar (2004) dalam Disertasinya ‚Tafsir Esoterik Menurut Pandangan

T{aba>t}aba>‘i>‛yang ditulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian

tersebut berfokus pada prinsip-prinsip tafsir Isha>ri>dalam pandangan T{aba>t}aba>‘i> serta pendapatnya berkenaan dengan riwayat para Imam.54Penelitian yang dilakukan Rosihan Anwar tersebut berbeda dengan tesis ini yang tidak memfokuskan pada pembahasan mengenai riwayat para imam. Tetapi lebih menekankan kepada pengkategorian corak tafsir sufistik yang dilakukan oleh

Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi> dalam tafsirnya Ru>h} al-Baya>n serta melihat validitas

penafsirannya dengan menggunakan teori validitas tafsir sufi al-Dhahabi>. T. Mairizal (2004) dalam Tesisnya berjudul ‚Penafsiran Dengan Pendekatan Isha>ri>: Kajian Terhadap Kitab H{aq>‘iq al-Tafsi>r Karya Abu>

‘Abdurrah}ma>n al-Sulami>‛yang ditulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyatakan bahwa peniliaian negatif yang dilontarkan oleh Ibn Jawzi>, Ibn S{ala>h, Ta>juddi>n al-Subki>, dan Ibn Taymiyah terhadap al-Sulami> adalah sebuah kekeliruan. Karena metode penafsiran sufistik al-Sulami> memuat penafsiran dengan riwayat yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, bahkan riwayat

sahabat dan tabi’in sebagaimana metode penafsiran yang dilakukan ulama tafsir

z}a>hir.55Penelitian yang dilakukan T. Mairizal tersebut berbeda dengan tesis ini

52

Septia Wadi, Penafsiran Sufistik Sa’i>d H{awwa> Dalam al-Asa>s fi> al-Tafsi>r (Disertasi) (Jakarta: Sps. UIN Syarif Hidayatullah, 2010).

53

Baharuddin HS, Corak Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni> karya al-Alu>si>: Telaah Atas Ayat-ayat yang Ditafsirkan Secara Isha>ri> (Disertasi) (Jakarta: Sps. UIN Syarif Hidayatullah, 2002).

54

Rosihan Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan T{aba>t}aba>‘i> (Disertasi) (Jakarta: Sps. UIN Syarif Hidayatullah, 2004).

55

T. Mairizal, Penafsiran Dengan Pendekatan Isha>ri>: Kajian Terhadap Kitab H{aq>‘iq al

(25)

yang lebih menyoroti pada uji validasi penafsiran sufistik Isma>‘il H{aqqi>> al -Bursawi>dalam Ru>h} al-Baya>nuntuk menemukan corak penafsiran sufitiknya.

Novizal Wendri (2007) dalam Tesisnya ‚Penafsiran Esoterik dalam

Tafsir Syi’ah: Studi Kitab Biha>r al-Anwa>r‛ yang ditulis di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta mengemukakan metode penafsiran al-Majlisi> yang memfokuskan pada dila>lah dalam melegalkan tafsir esoterik.56 Penelitian yang dilakukan Novizal Wendri berbeda dengan penelitian ini yang membahas penafsiran esoterik tafsir dari kalangan ahl al-sunnah, yaitu Ru>h} al-Baya>n karya

Isma>‘i>l H{aqqi> al-Bursawi>. Selain itu, penelitian ini lebih memfokuskan pada uji

validasi penafsiran sufistik al-Bursawi> terkait ayat-ayat ‘ubu>diyah dan dimensi ajaran tasawuf.

Aik Iksan Ansori (2012) dalam penelitiannya tentang penafsiran Isha>ri>

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> mengatakan bahwa penafsiran Isha>ri> yang legal-formal

bisa diterima selama tidak ada resistensi dan mematuhi aturan kaidah tafsir sufistik. Pada saat yang sama pula tidak diwajibkan untuk mengambilnya sebagai pedoman. Dikatakan boleh sebab di dalamnya tidak berlawanan dengan

syari’ah yang legal. Demikian pula tidak wajib dijadikan pedoman sebab Isha>ri>

berorientasikan kepada wijdaniya>t, yang mana sama sekali tidak terdiri atas dalil baya>ni atau nalar burha>ni, melainkan disandarkan kepada nalar irfa>ni dan suatu keadaan yang dialami, ditemui kaum sufistik berupa rahasia antara mereka dan Tuhan yang bersifat eksklusif.57 Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut, walaupun mengkaji seputar tafsir Isha>ri>, tetapi objek kajian dalam penelitian tersebut berbeda dengan tesis ini yang secara eksplisit mengkaji tentang kecenderungan penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi> yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Jamal J. Elias menjelaskan geneologi tafsir sufi yang sangat panjang sehingga bisa diterima secara luas sebagai sebuah genre tersendiri dalam bidang keilmuan Islam. Bahkan selama beberapa abad terakhir beberapa sarjana muslim banyak meneliti karya tafsir sufistik dan menggagas serta mengkategorikan sebagai genre tersendiri dalam kajian tafsir.58Kristin Zahra Sands, dalam penelitiannya mendokumentasikan arsip-arsip hermeneutika tafsir sufistik termasuk di dalamnya bentuk-bentuk interpretasi mufassir sufi. Penemuan terpenting Kristin adalah menjelaskan metode ta’wil dalam kerangka metodologi hermeneutika tafsir sufistik.59 Berbeda dengan Kristin, G. Bowering berpendapat bahwa hermeneutika tafsir sufistik pada dasarnya tidak memiliki

56

Novizal Wendri, Penafsiran Esoterik dalam Tafsir Syi’ah: Studi Kitab Biha>r al-Anwa>r

(Tesis) (Jakarta: Sps. UIN Syarif Hidayatullah, 2007). 57

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, 173.

58Jamal J. Elias, ‚S{u>fi> Tafsir Reconsiderere: Exploring the Development of a Genre‛,

Journal of Qur’anic Studies, Vol. 12, (2010), 41,

https://www.academia.edu/887650/Sufi_tafsir_reconsidered_Exploring_the_development_of_a_g enre. (diakses 28 April 2014).

(26)

metodologi secara teoritis. Karena penafsiran para sufi hanya mengandalkan mystical ideas, yakni bersandarkan kepada kesatuan dari moral, literal, spiritual dan simbol maknawi.60 Penelitian-penelitian tersebut patut mendapatkan apreasi yang sangat tinggi, dan sangat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penelitian mengenai tafsir esoterik.

Ignaz Goldziher dalam bukunya yang berjudul Maza>hib Tafsi>r al-Islami> diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern. Membahas mazhab serta aliran tafsir dengan perspektif teologis, tasawuf, sekte keagamaan dan tafsir era kontemporer.61Secara umum, penelitian lain yang dapat dijadikan kajian kepustakaan berupa kitab yang berkaitan dengan ‘ulu>m al-Qur’a>n, serta mana>hij al-mufassiri>n, seperti Mana>hil al-‘Irfa>n karya al-Zarqa>ni, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n karya al-Dhahabi, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-S{uyu>ti>,

al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-Zarkashi>. Dimana masing-masing dari karya tersebut membahas hal yang berkenaan dengan tafsir sufi. Dari buku-buku tersebut tidak ada yang secara eksplisit berbicara mengenai corak penafsiran sufistik Isma>‘i>l H{aqqi> yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini.

Penelitian yang berkaitan dengan Isma>’i>l H{{aqqi> sendiri masih sedikit dijumpai, Ilha>m Isma>‘i>l H{ara>rah dalam tesisnya di Universitas Islamiyah Giza memfokuskan penelitiannya denganmengkaji sisi kebahasaan. Dalam pembahasannya tersebut, Ilha>m mencoba mengeksplor gambaran ‘ilm al-baya>n yang terdapat dalam tafsir Ru>h al-Baya>n, kemudian mengkomparasikan dengan tafsir-tafsir yang bercorak lughawi>.62Penelitian yang dilakukan Ilha>m Isma>‘i>l H{ara>rah nampaknya berbeda dengan tesis ini yang lebih menekankan pada aspek tasawuf.

Mani’ ‘Abd H{ali>m Mah}mu>d dalam bukunya Mana>hij al-Mufassiri>n,

membahas biografi Isma>‘i>l H{aqqi dan kitab tafsirnya secara singkat, serta

menjelaskan contoh penafsiran al-Bursawi>. Dalam bukunya tersebut tidak dijelaskan metode penafsiran al-Bursawi> secara khusus. Seperti halnya Mani’

‘Abd H{ali>m Mah}mu>d, Muh}ammad, ‘Ali> Iya>zi> dalam bukunya al-Mufassiru>n:

H}aya>tuhum wa Manhajuhum63 juga membahas biografi al-H{aqqi> secara singkat, serta menuliskan beberapa contoh penyajian penafsiran al-Qur’an dalam kitab tafsirnya.

Penelitian lainnya yang mengkaji Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>dilakukan oleh Yasar Aydinli yang membahas tentang pemikiran filsafat tasawuf Isma>‘i>l H{aqqi>.Dalam penelitiannyadipaparkan pendapat Isma>‘i>l H{aqqi> yang

60 Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam (Berlin & New York: De Gruyter, 1980), 136-139.

61

Untuk lebih detailnya lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Aliran Klasik Hingga Modern (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010).

62

Ilha>m Isma>‘i>l H{ara>rah, Al-S{u>rah Baya>niyah fi> Kita>b Ru>h} Baya>n fi> Tafsi>r

al-Qur’a>n li Isma>‘i>l Haqqi> al-Al-Bursawi> (tesis) (Giza: al-Ja>mi’ah al-Isla>miyah, 2013).

(27)

menyatakan bahwa suatu kemustahilan untuk mengetahui esensi dari eksistensi sesuatu dengan pengetahuan biasa yang berpijak pada rasio, hal tersebut hanya dapat diketahui dengan ma’rifat Alla>h. karena hakikat ma’rifat Alla>h adalah pengetahuan yang dianugerahkan Allah kepada hamba pilihannya.Berdasarkan hal tersebut, al-Bursawi> menolak pemikiran filsafat dalam tasawuf.64Kemudian

Yaşar Aydemir dalam penelitiannya yang berjudul “Bursalı İsmail Hakkı’nın Eserlerinden Hareketle Şiir Görüşü ve Şiir Yazma Şekli”,65 memfokuskan penelitiannya pada kutipan-kutipan puisi serta bait-bait syair Isma>’i>l Haqqi> al-Bursawi> yang terdapat dalam tafsirnya Ru>h al-Baya>n. Penelitian Yaşar Aydemir

tersebut berbeda dengan penilitian ini, karena penelitian ini tidak memfokuskan kajian pada puisi serta bait-bait syair yang terdapat pada Ru>h al-Baya>n. Yang mana cakupan dalam penelitian ini lebih luas, yaitu pada corak penafsiran sufistik al-Bursawi> termasuk di dalamnya syair-syair al-Bursawi>. Karena pada dasarnya tafsir-tafsir yang bergenre esoterik tidak terlepas dari syair-syair sufi dari penulisnya.

Adem Apak dalam “İsmail Hakkı Bursevi’nin Rühü’l-Beyan’da İslam

Tarihi İlk Dönem Hadiseleri ve Siyasi-İtikadi Fırkalar Hakkıdaki Görüşleri”,66 mengkaji tentang pemikiran Isma>’i>l Haqqi>al-Bursawi> dalam Ru>h} al-Baya>n

mengenai peristiwa-peristiwa yangterjadi pada periode pertama Islam dan sekte-sekte teologi Islam seperti Ash’a>riyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Penelitian ini lebih menekankan kepada kecenderungan pemikiran teologi al-Bursawi>. Hal ini berbeda dengan kajian penelitian tesis ini yang lebih berorientasikan pada

kecenderungan corak penafsiran sufistik Isma>’i>l H{aqqi>al-Bursawi>>.

İsmail Güle dalam “İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhü’l-Mesnevi Sinde

Geçen Hadisler Üzerine Bir Değerlendirme”.67ia mengkritisi terhadap kualitas

matan hadis-hadis Nabi yang ditulis Isma>’i>l H{aqqi> dalam kitab Ru>h} al-Mathnawi>. Kemudian Ismail Selim Ecirli dalam penelitiannya yang berjudul

‚Isma>’i>l Haqqi>al-Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A

64

Yasar Aydinli, ‚Îsmaîl Hakki Bursevî’nîn Felsefe Tasavvuru: The Philosophical Concept in the Thought of ismail Haqqi Bursawi‛ İslâmî Araştırmalar Dergîsî, Vol. 16, No. 2 (2003), 185. http://www.islamiarastirmalar.com/magazine/en-ismail-hakkI-bursevnin-felsefe-tasavvuru-221.html?page=archive&sid=7c186a697d2ab3f6cf94216e56166f7a (diakses 29 April 2014).

65

Yaşar Aydemir, “Bursalı İsmail Hakkı’nın Eserlerinden Hareketle Şiir Görüşü ve Şiir

Yazma Şekli”, Türkoloji Araştımaları, Vol. 2, No. 3 (2007), 107.

http://www.turkishstudies.net/DergiTamDetay.aspx?ID=117. Diakses pada 29 Januari 2015.

66

Adem Apak, “İsmail Hakkı Bursevi’nin Rühü’l-Beyan’da İslam Tarihi İlk Dönem

Hadiseleri ve Siyasi-İtikadi Fırkalar Hakkıdaki Görüşleri”, T.C. Uludağ Üniversiti İlahiyat

Fakültesi, Vol. 11, No. 2 (2002), 147.

http://dergipark.ulakbim.gov.tr/uluifd/article/view/5000018020/5000018310. Diakses pada 25 Januari 2015.

67

İsmail Güle, “İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhü’l-Mesnevi Sinde Geçen Hadisler Üzerine

(28)

Translation With an Introduction And Notes‛68yang ditulis pada 2004, yang mengkritisi tentang komentar Bursawi> terhadap kitab S{ala>t al-Mashishiyah. Jika dilihat dengan seksama, kedua penelitian ini sangat berbeda dengan kajian dalam tesis ini. Karena yang menjadi objek penelitian tesis ini adalah ayat-ayat al-Qur’an. Di samping itu, sumber primer yang digunakan dalam tesis ini juga berbeda; yaitu kitab tafsir Ru>h} al-Baya>n.

Fatih Oruç dalam tesisnya “İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan

Tefsirinde Harikulade Olayar”69 yang di tulis pada tahun 2008 yang meneliti tentang penafsiran Isma>’i>l H{aqqi> terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan mu’jizat. Nampaknya penilitian yang dilakukan oleh Fatih berbeda dengan tesis ini yang lebih memfokuskan penelitian pada ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tasawuf.

Secara garis besar, penelitian ini mencoba melakukan penelitianyang belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya, yaitu dengan mengkategorisasikan corak penafsiran sufistik al-Bursawi>, serta menguji validitas interpretasi sufistik al-Bursawi>yang terdapat dalam tafsirnya. Oleh sebab itu, penelitian ini hadir untuk melengkapi kajian tentang al-Bursawi> yang telah ada sebelumnya.

D. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dari tujuan penelitian ini adalah:

a. Menjelaskan kecenderungan atau corak penafsiran sufistik al-Bursawi>. b. Membuktikan validitas penafsiran sufistik al-Bursawi>terhadap

ayat-ayat al-Qur’an terkait ‘ubu>diyah dan puncak pengalaman sufistik.

E. Signifikansi Penelitian

Apabila corak penafsiran sufistik al-Bursawi> sudah diketahui, maka penelitian ini secara keilmuan akanmemberi kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan tasawuf yang bersumber dari al-Qur’an (tasawuf Qur’ani). Serta memberikan informasi tentang keberadaan tafsir al-Bursawi> ini sebagai tafsir yang bercorakan tasawuf berdasarkan data yang telah dianalisis terkait ayat-ayat tasawuf. Demikian juga, jika metode penafsiran al-Bursawi> sudah diketahui, maka penelitian ini diharapkan akan membawa kontribusi yang signifikan bagi pengembangan ilmu tafsir sehingga kedepannya muncul tafsir-tafsir alternatif yang sesuai dengan tuntunan zaman,yaknimetode tafsir-tafsir yang

68

Ismail Selim Ecirli, Isma>’i>l Haqqi>Al-Bursawi>’s Commentary on al-Sala>t al-Mashi>shiyya: A Translation With an Introduction And Notes (Tesis) (Malaysia: International Islamic University, 2004).

69

Fatih Oruç, İsmail Hakkı Bursevi’nin Ruhu’l-Beyan Tefsirinde Harikulade

(29)

dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bisa memenuhi kebutuhan ruhani manusia modern yang semakin kering akan nilai-nilai spiritual.

F. Metodologi Penelitian

Sebagai suatu analisis yang memfokuskan pada corak serta validitas penafsiran sufistikal-Bursawi>,maka penelitian ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penilitian

Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian pustaka (library research).70 Karena penelitian ini termasuk ke dalam kajian tokoh dalam hal

ini Isma>‘i>l H{aqqi, maka ada dua metode penting untuk memperoleh

pengetahuan tentang tokoh tersebut. Dimana kedua metode digunakan secara bersamaan. Pertama, Biografis. Menjelaskan penelitian tentang kehidupan, lingkungan serta sosio-kultural yang melatar belakangi tokoh tersebut. Kedua, Taksonomis. Penelitian tentang gagasan dan pemikiran dalam karya-karya al-Bursawi>, khususnya Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n.71

Penelitian ini bersifat eksplanatoris-kategoris, yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara deskriptif-analisis, serta mengeksplorasi secara detail terhadap penjelasan-penjelasan terhadap aspek yang berkaitan dengan permasalahan seputar corak dan metode penafsiran yang ditawarkan Isma>‘i>l Haqqi> untuk kemudian dianalisis agar memberikan pemahaman yang jelas tentang eksistensi dan pandangan al-Bursawi> terhadap corak dan metode tersebut serta aplikasinya dalam penafsiran sufistik al-Qur’an.

2. Sumber Data

Sumber data primer dalam penelitan ini adalah karya tafsir al-H{aqqi> yang berjudul Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n.Adapun data sekunder dari penelitian ini yaitu literatur yang berkaitan dengan tasawuf, ‘ulu>m al-Qur’a>n

maupun tafsir sufistikagar lebih menyempurnakan pembahasan dalam penelitian ini.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan Content Analisis, dan komparatif Analisis.72 Data yang telah terkumpul

70 Maksud dari Kajian pustaka disini meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi serta data-data yang berkaitan dengan masalah penelitian. Lihat Consuselo G. Sevills, Jesus A. Ochave, Pengantar Metode Penelitian (Terj.) (Jakarta: UI-Press, 2006), 31.

71

A. Mukti Ali, ‚Metodologi Ilmu Agama‛ dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 59.

72

Gambar

Tabel 1.1 Validitas Penafsiran Sufistik al-Dhahabi>

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan sampel pada penelitian ini mengajukan dua kriteria pemilihan sampel, yaitu: (1) Daerah kabupaten/kota yang melaksanakan pemilukada pada tahun 2017; (2) Data

Secara prisipil melalui Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah mengedepankan pendekatan RJ dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan diatas maka langkah-langkah yang digunakan dalam proses pelestarian bahan pustaka di Perpustakaan Universitas Islam Negeri

Pemahaman dan penguasaan peserta untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja yang benar.. Pengamatan dan pemeriksaan secara visualisasi terhadap objek yang dikerjakan

Faktor yang paling utama dalam keberhasilan sensus pajak di daerah Bangkalan ini adalah peran serta Wajib Pajak yang ikut andil dalam mensukseskan program sensus pajak

Jika dibandingkan dengan kesalahan minum arak di tempat awam bagi pesalah beragama Islam seperti yang termaktub dalam EKJS, kesan daripada kesalahan di bawah seksyen 45

Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan

Untuk memberikan solusi dari permasalahan diatas dan berdasarkan beberapa teknologi yang sudah pernah diterapkan dalam sistem informasi parkir di berbagai