• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: VALIDITAS PENAFSIRAN SUFISTIK ISMA<’I<L H{AQQI< BURSAWI<

3. Haji

Ditinjau dari terminologi syariat, haji ialah menyengaja pergi ke Ka’bah

untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu, atau menziarahi tempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan amalan tertentu.58 Adapun landasan filosofis dari kewajiban menuanaikan ibadah haji ialah: pertama, pengakuan akan keesaan Tuhan serta penolakan terhadap segala macam bentuk kemusyrikan; kedua, keyakinan terhadap adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan yang dimana puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak;

ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, setiap

56Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid I, 295.

57Untuk lebih detailnya lihat Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi, Al-Tafsi>r wa al-

Mufassirun, Jilid II, 48.

58Wahbah Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), Jilid III, 2064-2065.

perbedaan dalam sisi kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapapun terdapat perbedaan antara mereka dalam hal-hal lainnya.59

Sedangkan haji menurut pandangan al-Bursawi> dapat dilihat dari penafsiran-penafsirannya berkaitan ayat-ayat haji sebagai berikut:

3. 1. Q.S. al-Baqarah [2]: 196

ُهصَّ َِمَ ُيْدَْلْو َغُ ْقُبَقُي صَّتََّ ْمُكَ وُءُر وىُ ِ َْتَ َلََو ِيْدَْلْو َنِو َرَسْيَقُ ْ و ىَيَا ُْتُْرِلْ ُأ ْنِ َا ِهصَّ ِا َوَرْيُعْاوَو صَّجَْلْو وى ِتَِأَو

َعصَّ ََتِ ْنَيَا ْمُ ْ ِوَأ وَاِ َا ٍكُسُا ْوَأ ٍةَ َدَص ْوَأ ٍمىَيِص ْنِو ٌةَيْدِ َا ِهِ ْأَر ْنِو ىًاَأ ِهِب ْوَأ ىً يِرَو ْمُكْ ِو َنىَ ْنَيَا

َكْ ِا ْمُ ْعَجَر وَاِإ ٍةَعْقُبَ َو صِّجَْلْو ِفي ٍمىصَّيَأ ِةَث َلاَث ُمىَيِلَا ْدَِيَ َْلم ْنَيَا ِيْدَْلْو َنِو َرَسْيَقُ ْ و ىَيَا صِّجَْلْو َلَِإ ِوَرْيُعْاىِب

ِبىَ ِعْاو ُديِدَش َهصَّ او صَّنَأ وىُيَ ْاوَو َهصَّ او وىُ صَّقُاوَو ِموَرَْلْو ِدِىْسَيْاو يِرِاىَ ُهُ ْهَأ ْنُكَي َْلم ْنَيِا َكِاَا ٌةَ ِوىَ ٌوَرَشَا

.

‚Dan sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah kalian karena Allah.

Apabila kalian terkepung (musuh atau terkena sakit), (sembelihlah qurban) yang mudah didapat, dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hewan qurban sampai di tempat penyembelihan. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu mencukur) dia wajib mengeluarkan fidyah, yaitu; puas atau bersedakah atau berqurban. Apabila kalian telah aman, maka bagi orang yang ingin

mengerjakan ‘umrah sebelum ibadah haji, wajib menyembelih qurban

yang mudah didapat. Tapi apabila tidak menemukannya, ia wajib berpuasa tiga hari di tempat haji dan tujuh hari lagi apabila kalian telah kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Yang demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk Mekkah). Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilahn bahwasannya Allah sangat keras siksaan-Nya.‛

(Q.S. al-Baqarah [2]: 196)

Al-Bursawi> memulai penjelasannya dengan menguraikan makna kalimat wa atimmu al-h}ajja wa al-‘umrah. Dalam uraiannya, ia megutip pendapat mazhab Abu> H{ani>fah tentang hukum dari pelaksanaan ibadah ‘umrah.

Kemudian ia melanjutkan penafsirannya tentang makna lilla>h. Dalam menyibak kata tersebut, ia memulai dengan menganalisa dengan menggunakan perspektif bahasa, kemudian ia masuk kepada pemaknaan secara sufistik. Hal ini terlihat dari penafsirannya sebagai berikut:

Menurut al-Bursawi>, kalimat ‚Sempunakanlah ibadah haji dan ‘umrah

kalian‛ adalah sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah bagi orang yang mampu

untuk melaksanakannya. Dalam penjelasannya, al-Bursawi> mengutip pendapat

Abu> H{ani>fah yang mengatakan bahwa ibadah ‘umrah adalah sunnah. ‘Umrah

tidak wajib kecuali setelah yang wajib dilaksanakan, sebagaimana shalat

59M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

sunnah. Maksudnya apabila seseorang sudah mulai mengerjakan shalat sunnah

atau ‘umrah, ia harus menyempurnakannya. Sebagaimana pendapat para ulama

yang mengatakan bahwa apabila seseorang sudah masuk pada suatu pekerjaan yang pada mulanya tidak wajib, namun setelah ia selesai mangerjakan pekerjaan tersebut, penyempurnaan pekerjaan tadi menjadi wajib.60

Lilla>hi adalah ta’alluq(berkaitan) kepada kata atimmu. Huruf lam

merupakan lam maf’u>l li ajlih. Faedah pengkhususan dengan kata lilla>h dalam ayat ini bahwa dahulu bangsa Arab melakukan haji untuk tujuan berkumpul, saling pamer dan untuk melihat-lihat pasar. Semua itu bukan karena Allah dan tidak mengandung ketaatan dan kedekatan kepada-Nya. Maka Allah memerintahkan supaya haji ditujukan untuk melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak-Nya. Maksud dari ayat ini adalah sempurnakanlah rukun-rukun

haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya yang sudah diketahui

hukumnya dan dilakukan karena Allah tanpa menghilangkan ketentuan dari

keduanya. Haji dan ‘umrah harus semata-mata karena tujuan ibadah dan jangan

dicampuri dengan urusan bisnis dan tujuan duniawi lainnya. Dan hendaklah biaya untuk melaksanakan keduanya diambil dari harta yang halal.61

Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa makna dari

wa atimmu al-h}ajja wa al-‘umrahlilla>hiadalah perintah untuk menyempurnakan rukun-rukun haji dan ‘umrah, syarat-syaratnya, dan perbuatan lainnya sesuai dengan ketentuannya. Pelaksanaan kedua ibadah itu harus berorientasikan ibadah dan tidak dicampur adukkan dengan urusan duniawi. Selain itu, biaya pelaksanaan keduanya harus berasal dari harta yang halal.

Apabila dicermati, penafsiran al-Bursawi>tersebutsejalan dengan makna zahir yang terkandung dari ayat itu. Karena ayat tersebut menerangkan tentang perintah untuk menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat serta amalan lainnya yang terdapat pada ibadah haji dan ‘umrah. Selain itu,ayat ini juga mengandung perintah untuk senantiasa memelihara ketakwaan kepada Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Bursawi> dalam penafsiran sufistiknya selalu mencoba untuk menyelaraskan pemaknaan zahir dan batin. Sebagaimana yang diungkapkan al-Tafta>zani>bahwa apabila sebuah penafsiran sufistik hanya meyakini makna ba>t}in dengan mengingkari z}a>hir ayat, hal tersebut bisa tergolong kepada ilh}a>d(penyimpangan). Sebaliknya, jika interpretasinya sejalan dengan makna z}a>hir, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk keteguhan iman dan kesempurnaan ‘irfa>n yang mendalam.62

Senada dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Bursawi> mengenai ayat di atas, al-Qushayri> dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata wa atimmu al-hajja wa al-‘umrata lilla>h bermakna kesempurnaaan haji dengan melaksanakan semua rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, manasiknya dan melakukan segala sesuatu yang diwajibkan dalam pelaksanaan ibadah haji

60Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,Jilid I, 310.

61Isma>‘i>l H{aqqi>Al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,Jilid I, 310-311.

62Jala>l al-Di>n al-S}uyu>t}i>, Al-It}qa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Jilid. II, 184. Lihat juga

walaupun diibaratkan harus meneteskan darah, dan tidak mengurangi segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji tersebut.63

Dari apa penjelasan al-Qushayri>, dapat dipahami bahwa kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah harus dilakukan walaupun sulit untuk

melakukannya. Hal ini diamini oleh al-Alu>si> yang menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut:

Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah ketika melaksanakan keduanya, dan niatkan kedua ibadah itu semata-mata karena Allah. Rusaknya ibadah haji atau umrah dikarenakan meninggalkan sesuatu yang diharuskan dalam pelaksanaan keduanya. Kesempurnaan yang diperintahkan ayat ini menunjukkan akan kemutlakan dalam pelaksanaan keduanya, karena segala sesuatu yang diperintahkan wajib untuk dilaksanakanmerupakan ketentuan

yang telah dijelaskan oleh syara’.64Dari penjelasan al-Alu>si>, dapat disimpulkan

bahwa menyempurnakan ibadah haji dan ibadah yangdiniatkan karena Allah adalah sebuah keharusan dalam pelaksanaan keduanya.Karena hal itumerupakan ketentuan yang telah dijelaskan oleh syariat.

Berbeda dengan Ibn ‘Arabi> yang mengatakan bahwa maksud darihaji

adalah tawh}i>d al-dha>t dan ‘umrah adalah tawh}i>d al-s}ifa>t. Kedua hal itu dilakukan dengan menyempurnakan semua maqama>t dan ah}wa>l dengan sulu>k

kepada Allah dan hanya demi Dia.65Penafsiran Ibn ‘Arabi> tersebut sangat kental dengan teori tasawufnya, yaitu penyatuan antara Dhat Allah dan sifat-sifat-Nya yang hanya bisa dicapai dengan maqa>m dan ah}wa>l yang sempurna.

Apa yang dipaparkan Ibn ‘Arabi>berlainan dengan paparan ketiga

mufassir sebelumnya yang masih menyoroti ayat dari perspektif syariat.Mereka lebih menekankan kepada keharusan dari penyempurnaan ibadah haji dan

‘umrah yang meliputi rukun-rukun, syarat-syarat, dan perbuatan lainnya di

dalamnya. Penyempurnaan tersebut harus sesuai dengan ketentuan syara’ dan

dilakukan karena mengharap keridhaan Allah swt. semata tanpa ada motivasi yang bersifat duniawi.

Selanjutnya,al-Bursawi> menjelaskan mengenairukun-rukun, wajib,

sunah haji dan ‘umrah. Kemudiania mengutip pendapat para imam mazhab

mengenai teknis pelaksanaan ibadah haji dan ‘umrah kemudian diikuti dengan penyebutan hadis Nabi utnuk lebih mempertegas penjelasannya. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya sebagai berikut:

Rukun haji ada lima: ih}ra>m, wuku>f di ‘Arafah, t}awa>f. sa‘i antara S}afa>

dan Marwah serta mencukur atau menggunting rambut. Rukun haji ialah yang apabila tertinggal, maka tidak sah hajinya kecuali dengan mengerjakan rukun- rukun itu. Wajib haji adalah apabila ditinggalkan harus membayar dam. Sunat haji ialah apabila ditinggalkan tidak wajib membayar dam. Demikian pula

‘umrah mencakup perkara yang tiga tersebut. Adapun rukun ‘umrah ada empat:

63‘Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 94.

64Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni>,Jilid II, 78-79.

65Muh}yiddi>n Ibn ‘Arabi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,

ih}ra>m, t}awa>f. sa‘i antara S}afa> dan Marwah serta mencukur atau menggunting

rambut.66

Para imam mazhab sepakat bahwa boleh melaksanakan ibadah haji dan

‘umrah dengan tiga cara: ifrad, tamattu‘ dan qiran. Haji ifrad ialah berihram

untuk berhaji saja. Setelah selesai haji ia kemudian ‘umrah dari tempat mawa>qit

dengan tanah haram. Haji tamattu’ ialah memulai ihram untuk ‘umrah pada bulan haji, lalu melaksanakan manasik ‘umrah. Setelah itu ia ih}ra>m untuk haji

dari Mekkah. Adapun haji qiran adalah berihram untuk haji dan ‘umrah secara

bersamaan, misalnya ia berniat untuk melaksanakan haji dan ‘umrah dalam

kalbunya, kemudian ia melaksanakan manasik haji. Dengan demikian, ia telah

melaksanakan manasik ‘umrah, karena manasik ‘umrah merupakan manasik

haji, namun manasik haji bukan manasik ‘umrah. Atau seseorang berihram

untuk ‘umrah kemudian haji dimasukkan ke ‘umrah sebelum ia memulai t}awaf,

sehingga ia mengerjakannya secara serentak.67Sebagaimana dalam hadis Nabi dikatakan:

و بهّ او و ديدلْو ثبخ يركاو ي ي ىي بىاّ او و ر او نىي ي ىيّنّ ا وريعاوو جلْو ب وىعبىا

ةّ لجو ّلَإ ءوزج روبرلمو ّجح ا سيا و ةّ او

.

‚Kerjakanlah haji dan ‘umrah secara berturut-turut, karena keduanya

menghilangkan kefakiran dan dosa bagaikan ubupan (alat yang ada di pandai besi) menghilangkan karat besi, emas dan perak. Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.‛

Dari uraianal-Bursawi> di atas, ia sangat gamblang menjelaskan rukun-

rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dalam perspektif fikih. Ini menunjukkan

bahwa sebagai seorang sufi ia tetap memegang teguh rambu-rambu syariat.Karena tidak sedikit dari para sufi yang lebih mementingkan aspek hakikat dan mengabaikan syariat. Pada dasarnya,syariat adalah gerbang awal hukum-hukum ‘ubu>diyah dalam kajian fikih. Sebelum melangkah ke tahapan yang lebih tinggi, yaitu esensi atau hakikat ibadah itu sendiri.

Dalam hal ini, al-Bursawi> mencoba mengharmonisasikan antara syariat dan hakikat.Ini ia dibuktikan dengan tidak mengabaikan syariat dalam mengungkap hakikat. Adapun penggunaan syariat dalam sebuah penafsiran sufistik menurut al-Dhahabi>bertujuan untuk memberikan rambu-rambu kepada para sufi yang terkadang mengabaikan aspek syariat yang bersumber dari al-

Qur’an, sunnah, ijma’ serta sumber-sumber syara’ lainnya dalam penafsirannya.

Sehingga hal itutidak menimbulkan kekhawatiran para sufi terlalu jauh dalam menakwilkan ayat al-Qur’an.68 Sebab jika penafsiran sufistik terlalu jauh dari prinsip-prinsip syariat, maka akan membawa orang kepada kesesatan. Tetapi

66Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,Jilid I, 310.

67Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,Jilid I, 311.

sebaliknya, jika penakwilan dilakukan sesuai dengan prinsip syariat maka akan menambah warna al-Qur’an.

Setelah menguraikan rukun-rukun, wajib, sunah haji dan ‘umrah dengan

perspektif syariat, kemudian al-Bursawi>melanjutkan penjelasannya tentang hakikat dari penyempurnaan ibadah haji dan umrah. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya di bawah ini:

Penyempurnaan haji selain melalui cara zahir, harus pula disempurnakan melalui cara batin. Adapun cara zahir yang dimaksud adalah rukun dan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut syariat. Dan yang dimaksud dengan cara batin adalah ketika seseorang telah berada dalam kondisi ihram, hendaknya ia memutuskan hawa nafsunya, membakar hijab kalbu sehingga ia sampai kepada maqam musha>hadah dan melihat bekas-bekas kedermawanannya setelah ia pulang dari berhaji. Ibadah haji bagi orang awam adalah pergi serta menziarahi Baytulla>h, sedangkan haji orang khawa>s} adalah menuju dan menyaksiakan pemilik Bayt. Sebagaimana nabi Ibrahim a.s. berkata:

ِنيِدْ َقُيَ صِّ َر َلَِإ ٌبِهوَا صِّ ِإ َلىَ َو

‚Dan nabi Ibrahim berkata:‛Sesungguhnya aku pergi dan menghadap Rabb-ku dan Dia akan memberi petunuk kepadaku.‛(Q.S. al-S{affa>t [37]: 99)

Dalam perkataan nabi Ibrahim a.s. tersebut terlihat bahwa ia menuju Allah, mencari-Nya dan menghadap-Nya secara total serta menebus jiwanya, hartanya, dan anaknya karena Allah. Ibrahim menjadikan sesembahan selain Allah sebagai musuh. Sebagaimana yang diungkapakan dalam kalimat:

َ ِيَاىَعْاو صَّبَر صَّلَِإ ِلي وٌّوُدَا ْمُ صَّقُاِ َا

‚Sesungguhnya mereka (yang kalian sembah) adalah musuhku, kecuali Rabb semesta alam.‛ (Q.S. al-Shu‘ara>’ [26]: 77)

Apa yang dilakuakan oleh nabi Ibrahim merupakan manasik haji yang hakiki. Oleh karena itu, Allah menjadikan Ibrahim sebagai orang yang pertama kali

mendirikan Ka’bah, bertawaf, berhaji, menyuruh manusia untuk berhaji dan

membuat jejak manasik.69

Dari Penjelasan al-Bursawi>di atas, dapat disimpulkan bahwa penyempurnaan haji tidakhanya dilakukan dengan cara zahir, tapi juga secara batin. Haji secara zahir yang dimaksudkanal-Bursawi>adalah melaksanakan rukun dan syaratnya sesuaidengan aturan syariat. Sedangkan maksud dari pelaksanaan haji secara batin adalah menghilangkan hawa nafsu ketika seseorang sedang dalam kondisi memakai kain ihram. Ketika hawa nafsunya sudah terputus, maka hijab kalbunya akan terbakar sehingga ia akan sampai kepada maqam musha>hadah dan ibadahnya tersebut akan memberikan dampak

positif setelah ia pulang dari berhaji. Adapun maqam musha>hadah yang dimaksudkan al-Bursawi>adalah menyaksiakan pemilik Bayt dengan kalbuhya. Karena orang yang tidak memutus hawa nafsunya ketika berhaji hanya dapat menziarahi Baytulla>h tanpa bisa melihat pemilik Bayt dengan kalbunya.

Penjelasan sufistik al-Bursawi> di atas sejalan dengan penafsiran al- Qushayri>yang mengatakan bahwa haji orang awam adalah mendatangi

Baytulla>h. Sedangkan haji orang khawa>s} dan mengatahui hakikat pelaksanaan ibadah haji adalah mendatangi al-H{aqq. Pada dasarnya, zahir orang berhaji adalah memakai ihram, melakukan t}awa>f dan sa’i>. Tetapi hakikat dari ibadah haji adalah menyertakan hatinya. Ketika kain ihram yang digunakan dengan niat yang benar disertai dengan menanggalkan pakaian ‚syahwatnya‛, maka ia akan menggunakan pakaian ‚sabar‛ dan menyadari kefakirannya di hadapan Allah. Di samping itu, ia akan senantiasa berhati-hati, meninggalkan hawa nafsu, khusu’, tawad}d}u‘, bertalbiyah dan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada pada dirinya adalah milik Allah.70Dari penjelasan al-Qushayri, dapat dipahami bahwa perbedaan anatara haji orang awam dan khawa>s} terletak pada penyertaan hati ketika melakukan ibadah haji. Oleh karena itu, orang yang menyertakan hatinya ketika melaksanakan haji, akan mendatangi al-H{aqqsang pemilikBayt.Sebaliknya, orang yang tidak menyertakan hatinya ketika berhaji, ia hanya akan mendatangi Baytulla>h saja.

Dari pemaparan di atas, al-Bursawi> mengawali penafsiran sufistiknya dengan pemaknaan zahir sebelum kemudian melangkah kepada pemaknaan ayat secara isha>ri>. Dalam menjelaskan seputar permasalahan ibadah haji, ia sangat menyoroti aspek syariat sebelum beranjak kepada tahapan hakikat. Jika mengacu pada teori validitas tafsir sufistik al-Dhahabi>,suatu penafsiran sangat terkait dengan korelasi antara syariat dan hakikat secara legal formal yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis.Hal terpenting dalam tradisi penafsiran sufistik adalah penggunaan argumentasi yang dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis ataupun argumentasi yang bersumber dari rasio.71Dalam hal ini, metode penafsiran al- Bursawi>ketikamenjelaskan ayat berpijak pada tradisi tersebut.Ini memberikan nilai tambah kepada penafsiran sufistiknya yang masih berpegang kepada

argumentasi syara’ serta tidak bertentangan dengannya. Di samping itu, tidak

ditemukan klaim dari al-Bursawi>bahwa makna ishari>-nya merupakan satu- satunya makna yang dimaksudkan oleh ayat ini. Dengan demikian, penafsiran al-Bursawi>dapat dikatakan valid jika ditinjau dari teori mengenai validitas penafsiran sufistik yang diungkapkan oleh al-Dhahabi>.

3.2. Q.S. al-Baqarah [2]: 197

70'Abd al-Kari>m al-Qushayri>, Lat}a>if al-Isha>ra>t, Jilid I, 95.

71Aik Iksan Ansori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd

ْنِو وىُ َعْ َقُا ىَوَو صِّجَْلْو ِفي َلوَدِج َلََو َقىُسُا َلََو َثَاَر َلاَا صَّجَْلْو صَّنِ يِا َضَرَقُا ْنَيَا ٌتىَوىُ ْعَو ٌرُ ْشَأ جَْلْو

ِبىَبْاَْاو ِليوُأ ىَي ِنىُ صَّقُاوَو ىَىْ صَّقُ او ِووصَّزاو َرْقُيَخ صَّنِ َا ووُوصَّوَزَقُاَو ُهصَّ او ُهْيَ ْعَقُي ٍْيرَخ

.

‚Ibadah haji itu adalah beberapa bulan yang ditetapkan. Barangsiapa yang menetapkan niatnya pada bulan itu akan mengerjakan ibadah haji, ia tidak boleh rafath, tidak boleh berbuat fasik dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam ibdah haji. Dan jika kalian mengerjakan kebaikan, Allah mengetahuinya. Berbekallah, sesungguhnya sebaik- baiknya bekal adalah taqwa. Dan bertawalah kepada-Ku wahai orang- orang yang berakal.‛ (Q.S. al-Baqarah [2]: 197)

Al-Bursawi> memulai penafsirannya dengan menerangkan kalimat al-

h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t menggunakan analasisis kebahasaan. Kemudian ia

melanjutkan penjelasannya mengenai hikmah penentuan haji pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terlihat dari uraiannya berikut ini:

Maksud dari kalimat al-h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal,

Dhul Qa‘dah dan sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah. Dua bulan ditambah sebagaian bulan (sepuluh hari pada bulan Dhul Hijjah) disebut ‚beberapa bulan‛

padahal jama’ qillah tidak boleh di-mutlaq-kan kepada bilangan yang kurang

dari tiga. Pernyataan tersebut menurut al-Bursawi>adalah untuk menempatkan

‚sebagian‛ pada tempat ‚keseluruhan‛ atau untuk me-mutlaq-kan pada

bilangan yang lebih dari satu. Sedangkan kata ma’luma>t pada ayat di atas menurut al-Bursawi> adalah bulan-bulan yang diketahui oleh manusia, karena manusia mewarisi pengetahuan tentangnya. Dan syariat datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah mereka ketahui dan waktu haji itu tidak berubah dari ketentuan waktu sebelumnya.72

Adapun faedah dari penentuan ibadah haji pada bulan-bulan tertentu menurut al-Bursawi> agar orang-orang yang hendak berhaji mengetahui bahwa haji tidak sah apabila dilakukan selain pada bulan-bulab tersebut. Demikian pula dengan ihram, meskipun ihram dapat dilakukan selain pada bulan-bulan yang disebutkan, hanya saja hal itu dimakruhkan. Karena ihram merupakan syarat haji, maka pelaksanaannya boleh didahulukan sebagaimana mendahulukan bersuci sebelum shalat.73

Dari penjelasan al-Bursawi> di atas, dapat dipahami bahwa maksud dari

al-h}ajju ashhurun ma’lu>ma>t adalah bulan Syawal, Dhul Qa‘dah serta sepuluh

bulan Dhul Hijjah. Penggunaan kata ma’luma>tdisebabkan manusia diwarisi pengetahuan oleh umat sebelumnya. Kemudian syariat Islam datang untuk menetapkan apa-apa yang sudah diketahui tersebut. Hikmah dari penentuan ibadah haji adalah sebagai rambu bahwa pelaksanaan haji diluar dari bulan- bulan yang sudah ditentukanadalah tidak sah.Apa yang dijelaskan al-Bursawi>ini tidak dijumpai pertentangan dengan makna tekstual dari ayat di atas.

72Isma>‘i>l H{aqqi>al-Bursawi>, Ru>h} al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n,Jilid I, 313-314.

Karenaayat ini mengandung pengertian bahwa Ibadah haji telah ditetapkan pelaksanaannya pada beberapa bulan tertentu.

Penjelasan al-Bursawi> di atas sejalan dengan al-‘Alu>si>yang mengatakan bahwa ketentuan pelaksanaan ibadah haji telah ditentukan pada bulan-bulan

Dokumen terkait